Nah berikut ini pengalaman pribadi yang cukup menarik, berkaitan dengan Shia shen, yg terjadi 2 tahun yg lalu.
Waktu itu saya berkunjung ke Bali dan ketemu teman lama yang menikah dengan putri dari Bali.
Dia dengan background K******k, tapi setelah menikah menjadi tidak jelas orientasinya. Dari cerita bersambung cerita, dia bertanya: "mau ngga lihat sebuah pura milik pribadi, tetapi selain dewa dewi Hindu yg dipuja disitu , juga Bodhisattva Kuan Im. Pemiliknya sepasang suami istri asli Bali, dan sangat baik pada siapa saja."
Karena tidak ada acara apa apa, keesokan harinya kita berdua meluncur ke desa yg cukup jauh dari Kuta, ada dibawah pura Besakih, Gn. Agung.
Kami sampai di desa tersebut, sudah menjelang senja, dengan udara yang cukup dingin.
Ibu Jero, demikian biasa dipanggil oleh orang orang sekitarnya, menyambut kami dengan ramah, mempersilahkan duduk di serambi rumahnya disebelah kompleks pura pribadi, yang ternyata sedang ada acara sembahyangan. Setelah saling berkenalan ibu Jero mohon maaf untuk mohon diri karena upacara sudah akan dimulai, dan mempersilahkan kita untuk minum dan menikmati snack yang telah dihidangkan.
Kurang lebih satu jam kita menunggu, tiba tiba seorang pria keluar dari pura mendatangi kami, dan mengatakan bahwa kami berdua diundang untuk masuk ke pura, padahal kami tidak punya persiapan untuk masuk pura yaitu memakai sarung Bali dengan ikat pinggang putih. Waktu saya menyatakan bahwa kami tidak membawa sarong dan ikat pinggang; utusan ke dua datang dan mengatakan tidak perlu pakai sarung dan ikat pinggang. Akhirnya kami masuk kedalam pura dan diminta duduk di depan.
Ternyata ibu Jero yang sedang dalam kondisi trance, dengan mata terpejam dia berkata (suaranya berbeda dengan suara pada waktu berbincang bincang dengan kami). "Romo, saya hanya menyampaikan permintaan. Itu diluar pagar ada 2 panglima perang dengan ratusan prajuritnya yang memohon agar dapat dibebaskan dari sumpah setianya kepada romo".
Ditengah kebingungan, saya bilang : "Bu Jero, saya tidak melihat apa apa diluar pagar, dan saya tidak pernah punya prajurit"
Yang dijawab : "Bukan sekarang, tapi duluuu sudah lama sekali, romo ., kasihanilah mereka, karena terikat dengan sumpah setia mereka kepada romo, maka mereka tidak bisa meninggalkan dunia ini."
Selagi saya sedang bingung dan saling pandang dengan teman saya , tiba tiba suara Ibu Jero berubah menjadi suara pria dan ngoceh dalam bahasa yg tidak saya pahami, kelihatannya seperti dialek salah satu etnis di Tiongkok. Karena saya tidak paham, saya hanya bengong menatap. Lalu tiba tiba si Ibu Jero bernamaskara dihadapan saya sambil menangis dan masih mengoceh dalam bahasa yg tidak saya pahami.
Lalu ada seorang pedanda Hindu yang tampil dan mengatakan : "Pak, kalau yang diminta hanya pembebasan dari janji, berikan saja pak". Karena bagi saya tidak pernah merasa menerima janji, maka saya sama sekali tidak keberatan.
Lalu saya katakan sambil menghadap ibu Jero : "Saya tidak keberatan, semua yang terikat dengan sumpah setia, saya bebaskan". Kembali si Ibu Jero mengoceh dan namaskara berulang ulang.
Waktu saya katakan : "sudah cukup", tiba tiba suara si Ibu Jero berubah lagi, kembali ke suara wanita :"Romo , mereka minta pembebasannnya diresmikan dan ditunjukkan jalan untuk mereka." Kembali saya dibuat bingung. Dan si Ibu Jero berkata lagi :"Ini pesan dari mak Kwan Im, romo sdh tahu caranya". Bingung bertambah bingung, tiba tiba saya teringat cara pelimpahan jasa disertai Mantra Hrdaya Sutra.
Saya lalu meminta air untuk pemberkahan, yg selalu tersedia di setiap Pura, dan minta ditambah isinya, lalu seperti biasa merenungkan rasa enak, rasa nikmat, rasa kenyang yg telah saya rasakan pada waktu makan siang tadi (babi guling komplit hehehe), juga rasa segar dan puas waktu minum es jeruk sebagai penutup; lalu mengucapkan agar semua rasa tersebut dapat dinikmati oleh siapa saja yang berkumpul disitu dan membutuhkan. Berikutnya bermeditasi Metta Bhavana sebentar dihadapan rupang Bodhisattva Kwan Yin, lalu saya bangun dan mulai berkeliling untuk memercikkan air pemberkahan sambil membaca mantra :"Gate, gate paragate Bodhi Svaha".
Sekembalinya ke dalam pura, ibu Jero mengatakan :"Romo, sudah selesai, mereka semua gembira dan sudah berangkat, saya juga pamit". Lalu ibu Jero duduk diam , tidak berapa lama, membuka mata dan bersuara dengan suara aslinya : "Wah Romo, baru pertama kali saya lihat orang begitu banyak kumpul disini".
Saya dan teman saya yg tidak melihat apa apa, bertanya pada ibu Jero : "Bu, saya tidak melihat apa apa, bisa ceritakan yang ibu lihat". Lalu si Ibu Jero berkata : "Tadi waktu badan saya dipinjam, saya hanya bisa mendengar dan melihat, saya melihat banyak sekali prajurit dari negeri Cina, mereka seperti baru selesai berperang, banyak yang berdarah, dan pakaiannya sobek sobek, tutup dada yang dari kulit juga banyak yang rusak, semuanya berlutut diluar pagar itu, tidak berani masuk. Setelah romo memberikan air, mereka kelihatan sangat gembira dan puas, tidak lama kemudian lenyap."
Setelah itu, saya menanyakan mendetail kepada ibu Jero, mengapa beliau sampai membuat cetya secara khusus untuk Kwan Im, padahal beliau asli Bali dan tidak pernah pergi ke kelenteng. Cukup panjang ceritanya, tapi tidak berkaitan dengan cerita ini.
Akhirnya kami berdua mohon pamit kepada Ibu Jero dan suaminya, untuk kembali ke Kuta. ditengah perjalanan saya tidak tahan oleh rasa lapar, terpaksa mampir dulu di warung sebelum kembali ke hotel.
Sampai sekarang saya masih skeptis dengan pengalaman tersebut. Karena saya sendiri tidak merasakan apa apa selama kejadian tersebut. Siapa yang menguasai raga ibu Jero, saya juga tidak tahu.