Saya mengalami ini untuk pertama kalinya, sehingga ingin berbagi cerita ini kepada rekan2 disini, karena jika untuk seorang umat awam Buddhist yang meninggal saya rasa dimana2 sama, seperti yang sudah saya alami juga kurang lebih sama, namun ini seorang Dasasilamata yang mana di Indonesia belum ada (di Indonesia adanya Bhikkhuni Theravada, yang kebetulan di forum ini belum ada yg menulis bagaimana proses kremasi Bhikkhuni), semoga cerita ini ada manfaatnya.
Nunnery ini telah merawat seorang Dasasilamata yg telah lanjut usia (80 thn) dan menderita sakit parah selama 6 tahun, saya sering merasa iba, setiap melihat beliau saya selalu berdoa dalam hati agar segera terbebaskan dari penderitaannya, karena kamar beliau dekat dg toilet, otomatis tiap hari akan beberapa kali melihat beliau, sekarang beliau telah berhasil terbebaskan dari penderitaannya pada tgl.26 dec 2010 jam 5 sore waktu setempat. Tanda2 kematian beliau mulai nampak pada tgl.24 Dec 2010, dg menolak makan tapi masih mau minum, namun minum itupun untuk malam terakhir kali minum, karena keesokannya sudah tidak mau sama sekali makan dan minum, hanya berbaring dan menutup mulut rapat2 tp masih bernafas, kemudian kemarin tgl.26 dec 2010 sejak pagi sudah tersengal2, semua sudah tahu bahwa akan meninggal hari itu juga, sore hari, bahkan beberapa sudah menebak jam nya dan tepat sekali tebakan mereka (maaf ya, bukan maksud sy utk menceritakan bhw masih percaya ramal meramal), kami hanya membicarakan hal yg sedang terjadi utk mempersiapkan hal2 yg diperlukan. Sejak pagi sudah diputarkan kaset paritta lengkap, dengan begitu beliau dpt mendengar paritta2 tsb beliau akan merasakan kebahagiaan disaat2 terakhir. Ternyata beliau berhasil berangkat jam 5 sore (persis dg yg diperhitungkan mereka2), lalu Chief nun segera memanggil dokter wanita untuk memeriksa beliau, saya segera mengambil kain baru serta sabun yang baru juga utk memandikan beliau tapi dilarang oleh Chief nun karena selama ini mereka tidak pernah melakukan itu, segala sesuatunya sudah ada yg urus, kami dilarang mengotak atik jenasah, lalu dokter datang dan memeriksa, ternyata masih ada denyut nya lemah, disuruh menunggu dulu sampe 3 jam, kemudian dari “Kumari” suatu badan yg menangani jenasah datang dan mengambil jenasah utk diurus lebih lanjut.
Seperti umumnya jenasah yang lain pasti pagi harinya akan diantarkan kembali dg lengkap segalanya, jenasah berpakaian lengkap (kalau pria lengkap dg stelan pakaian jas semua serba baru, kalau wanita dg gaun putih spt pengantin juga serba baru), sedangkan beliau karena Dasasilamata maka berjubah lengkap serba baru, peti yg telah dihias baik sisi dalam maupun luar, sisi dalam peti diselubungi kain yg dijahit lipit2 disusun cantik sekali (bila umat biasanya kain berwarna putih, sedangkan Dasasilamata ini berwarna orange sesuai warna jubah Srilanka, dan hiasan kain dilipit2 bag.dalam sepertinya sudah bentuk baku semua peti pasti dihiasin lipit2 demikian), rangkaian bunga diatas peti maupun disamping peti, karpet, hiasan gading (palsu), tenda yg memayungi peti, pokoknya semua udah rapi ditangani oleh badan urusan jenasah ini. Sedangkan jenasah ini kok belum juga sampai pdhal udah jam 8 pagi, lalu saya tanya dg Chief nun kenapa jenasah belum datang? Pdhal wkt udah menunjukkan jam 8 pagi, beliau bilang krn Nunnery blm menelpon mereka, jika telah siap semua maka akan menelpon dan jenasah pasti segera datang, rupa2nya Nunnery sy masih blm selesai membersihkan ruangan yg akan dipakai utk upacara jenasah, setelah siap lalu mereka menelpon, hasilnya kok ternyata membuat Chief Nun segera pergi untuk sesuatu yg mendesak, hanya pembicaraan yg sempat sy dengar bhw jenasah ditahan, jadi jenasah hanya akan diantar ke nunnery utk upacara pemberangkatan ke kremasi saja, rupa2nya di Srilanka hal ijin ttg ke-jenasahan agak ketat, saya pikir kayak di Indonesia bisa menunggu hingga beberapa hari tanpa ijin segala (bayangan saya setidaknya 3 hari seperti umumnya umat2), disini ternyata ketat harus ada ijinnya, sehingga Chief Nun bergegas pergi entah untuk ketemu siapa, hasil akhir stlah beliau datang yg sy dengar hanya bhw urusan kremasi udah ok, oven udah segera disiapkan, jadi tidak perlu kuatir lagi semua udah siap, kemudian jam 2 siang jenasah datang dan tak berapa lama para bhikkhu datang (ada 6 orang) dan upacara pemberangkatan jenasah segera dimulai.
Upacara dimulai dg pembukaan Chief Nun mempersembahkan daun sirih (adat Srilanka selalu pakai daun sirih utk upacara apapun) dan namaskara, kemudian seorang Bhikkhu Kepala memimpin upacara :
1. para umat diminta utk mengucap Namakāra gāthā diawali dg “sadhu” 3x, kemudian “Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa” 3x. (Namakāra gāthā nya beda dg Indonesia, kalau ini di Indonesia disebut Pubbabhāganamakāra/Vandanā)
2. Saraṇāgamanaṃ (di Indonesia disebut Tisaraṇa)
3. Pancasila.
4. Dilanjutkan dengan kami tanpa umat yg juga dibimbing oleh beliau, membaca gāthā persembahan (persembahan berupa kain 3 warna, kuning, orange, putih, entah kenapa mereka mempersembahkan 3 warna, saya tahu warnanya itu krn sy yang membungkusnya, waktu membungkus persembahan tsb sy tidak mempertanyakan, karena dlm situasi yg sedang sibuk sekali, tikar, bantal, sapu utk ruangan, sapu lidi), kemudian Chief nun menyerahkan persembahan
5. Dhammadesana (bhs Sinhala).
6. Pelimpahan jasa kebajikan dilakukan oleh para Dasasilamata dg menuangkan air putih kedlm mangkok, sambil membaca gāthā “idaṃ vo ñātinaṃ hotu sukhita hontu ñātayo” 3x (Arti: “semoga jasa2 ini melimpah pada sanak keluarga yg telah meninggal, semoga mereka berbahagia”).
diikuti para bhikkhu membaca gāthā :
“Yathā vārivahā pūrā,
Paripūrenti sāgaraṃ,
Evameva ito dinnaṃ,
Petānaṃ upakappati.”
(Arti : “Laksana sungai-sungai yg melimpah airnya, memenuhi samudera, demikian pula dengan yg diberikan disini akan memberi manfaat kepada arwah yang menderita.”)
7. Paṃsukulā gāthā.
8. Bhikkhu Kepala (beda dg yg memimpin upacara tadi, beliau adalah Kepala membawahi daerah kami) memberi kata2 perpisahan yg antara lain menceritakan beliau mengenal almarhumah dan penderitaan sakitnya.
9. Ditutup
Peti diangkat masuk mobil jenasah, lalu kami berangkat ke crematorium. Bayangan saya seperti di Indonesia kami dapat menyaksikan prosesnya pembakaran jenasah dari kaca jendela, ternyata beda sekali, oven dibuat tertutup rapat dari bahan stainless steel, salah satu wakil diminta menekan tombol penyalaan api, lalu selesai. Tidak ada terlihat sedikitpun api, ternyata api dari kamar lain yg terpisah gang bbrp meter, disitu terdapat 6 tabung besar dan tingginya lebih tinggi dari saya (tinggi badan 158cm), semua gas diputar dg volume besar, ada suara mendesis tp tidak panas sama sekali, begitu pula ruangan oven, tapi kami segera diminta keluar. Proses pembakaran jenasah hanya 1,5 jam, cepat sekali, pengalaman saya waktu di Indonesia butuh lebih dari 5 jam. Tidak nampak asap tebal membumbung ke udara dari cerobong asap, padahal pengalaman saya waktu di Indonesia nampak asap tebal mengepul dan menebarkan bau pembakaran. Saya pikir Indonesia perlu meniru cara mereka, bagaimana tehnik membuat cerobong asap dari oven kremasi pembakaran jenasah tidak banyak asapnya dan menebarkan bau hangus (maaf ya, jenasah selalu mengeluarkan bau hangus waktu kremasi).
Saya tanya dg Chief nun, bagaimana selanjutnya abu? Ternyata abu disimpan disana, waduh, kasihan juga pikir saya, kenapa tidak dilakukan penaburan di laut seperti umumnya di Indonesia. Waktu kami datang ketempat crematorium memang sy melihat banyak sekali pajangan nisan yg memuat foto & data (nama, tgl.lahir, tgl.meninggal), jadi sama persis seperti nisan kuburan hanya nisan kepala saja tanpa badan, maka yg ada di dinding pagar (sekali lagi ini benar2 dinding pagar yg mengelilingi halaman crematorium) adalah deretan nisan kepala yg tertanam dlm dinding, rasanya kasihan juga kita seperti melihat seseorang terpaku di dinding, berderet sepanjang dinding pagar mengelilingi halaman krematorium. Tapi mo gimana lagi karena adat budaya yang berbeda2.
Tidak ada lagi upacara apapun, bahkan pembacaraan parittapun tidak ada lagi. Kami hanya mengelilingi 3 kali memutari kamar oven sebagai penghormatan terakhir, setelah penekanan tombol api dinyalakan. Kami menunggu kira2 setengah jam disana lalu pulang kembali ke nunnery.
Bayangan saya akan ada pembacaan paritta yg dilakukan oleh para nun di crematorium ternyata tidak ada, simple sekali tata caranya.
Cerita ini bukan sebuah cerita istimewa, hanya sebuah kejadian sederhana yg saya alami pertama kali, siapa tahu ada membawa manfaat bagi yg lain. Sayapun kelak jika dikremasi ingin yg simple aja spt ini, tdk perlu upacara lama2, baca paritta lama2, toch yg penting adalah bekal yg sudah dilakukan selama hidup. Dibacain paritta berjam2 kalau memang akan jatuh kealam menderita, neraka atau binatang (sesuai dg perbuatan yg telah dilakukan/timbunan kamma) maka akan tetap terjadi. Justru yang penting dilakukan oleh sanak keluarga atau teman adalah pelimpahan jasa kebajikan yang dilakukan penuh cinta kasih dan kasih sayang maka akan sampai ke almarhum (Tirokuddasutta), walau menurut sutta hanya kaum peta saja yg bisa ditolong, namun saya tetap yakin akan sampai (maaf keyakinan pribadi saya ini jangan dikaitkan dg Tipitaka).
Mettacittena,