Dari perdebatan yang demikian panjang dan melelahkan, kesimpulan saya adalah:
Theravada cenderung menuduh Mahayana ETERNALISTIK
Mahayana cenderung menuduh Theravada NIHILISTIK
Referensi mengenai Eternalistik dan Nihilistik adalah sbb:
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=2604.0
NIHILISME
3. Ajita Kesakambala
Pandangannya adalah uccheda-vada, kemusnahan/annihilation. Lebih lanjut bisa dikategorikan sebagai materialisme, yang menyangkal kehidupan lampau, kehidupan yang akan datang, kelahiran kembali, surga, neraka, buah dari perbuatan, baik ataupun buruk. Ia juga menyangkal semua pengetahuan yang timbul dari pencerahan. Pandangannya bisa juga disebut natthika-vada (nihilisme).
ETERNALISME
4. Pakudha Kaccayana, [….], alirannya bisa digolongkan sebagai akiriya-vada, yaitu menyangkal perbuatan berkehendak. Tetapi aliran tersebut juga bisa digolongkan sassata-vada (kekekalan), karena ia percaya ada suatu atta dalam setiap makhluk.
In my opinion, semua itu berpangkal dari ajaran Buddha yang paling eksentrik yaitu
AN-ATTA . Anatta adalah ajaran yang jelas-jelas BERLAWANAN dengan ajaran SEMUA AGAMA di dunia yang mengajarkan adanya ATTA (apapun istilahnya, Jiva, Jiwa, Soul, Spirit, Roh, etc.) yang ETERNAL.
BRAHMANISME memberikan kepastian bagi pengikutnya bahwa ATTA/ATMAN bila MOKSHA akan menyatu dengan BRAHMAN. Bagai TETES AIR menyatu dengan SAMUDRA.
Manunggaling Kawula Gusti. Kekal Abadi selama-lamanya. ETERNALISTIK.
Jainisme walau NON-THEIS (tidak mempercayai BRAHMA sebagai Pencipta Semesta) namun juga memberikan kepastian bagi pengikutnya bahwa bila JIVA MOKSHA maka jiva akan mencapai NIRVANA (Jainisme menganggap Nirvana/Nibbana adalah alam tertinggi , lebih tinggi dari Alam Maha Brahma). Kekal Abadi selama-lamanya. ETERNALISTIK.
Menurut logika sederhana, Buddha seharusnya menerima paham NIHILISTIK sebagai pasangan ideal dari AN-ATTA. Namun ternyata Buddha dengan tegas menolak NIHILSIME. Mengapa? Di satu sisi, bila Buddha menerimanya maka berarti dia menyetujui Ajita Kesakambala sang guru NIHILISME.
Di sisi lain, cara Buddha menolak NIHILISME adalah sedikit banyak meniru DENIAL METHOD-nya JAINISME.
Bukan ini bukan itu. Bukan eternalis bukan nihilis.
Tidak ada kepastian yang dapat dijangkau dengan logika (nihil? eternal?) dalam hal (PARI)NIBBANA ini yang kemudian menjadi DEBAT ABADI antara Theravada dan Mahayana masa kini.
ETERNALISME & NIHILISME yang walaupun secara
TEORITIS sama-sama
DITOLAK THERAVADA & MAHAYANA namun dalam
PRAKTEK itulah yang sesungguhnya menjadi
PERDEBATAN yang sangat
ABHI (HALUS-TINGGI-LUAS) yang tak kunjung usai (dapat dibandingkan dengan perdebatan antara THEISME dan ATHEISME yang juga tak akan pernah berakhir).
Dan perdebatan
(Pari)nibbana ini kemudian merembet ke perdebatan
Arahat versus Bodhisattva & Dhammakaya versus Trikaya. Mungkin yang paling happy
dalam benang kusut ETERNALISME (ala
Pakudha Kaccayana) dan NIHILISME (ala
Ajita Kesakambala ) ini adalah
Sanjaya Belatthaputta yang mengajarkan AGNOSTIK-ISME (don’t know) alias SKEPTIK-ISME (ragu pangkal cerah – pinjem morpheus punya istilah).
Karena itu konon Sanjaya Belatthaputta yang jeli melihat ‘titik lemah’ ajaran Buddha ini pernah bercanda (lebih kurang demikian):
“Yang merasa pandai silahkan jadi pengikut Buddha, yang merasa kurang pandai silahkan jadi pengikut saya saja.”