Bro 4DMYN yang baik, sebagian besar kasus perkosaan sulit dibuktikan, pada umumnya plaintiff kalah di pengadilan. Sekali lagi harap dimengerti saya bukan menuduh master Lu.
kelihatan seperti sebuah kalimat generalisasi, kalau menyelidiki kasus sebaiknya case by case
Maksudnya? Apakah kasus ini berbeda? Apakah kasus ini bukan kasus tuduhan perkosaan?
btw kalau Venerable Maha Boowa memproklamirkan diri mencapai Arahat, ada yang percaya tidak? kalau Master Lu memproklamirkan diri mencapai ke-Buddha-an ada yang percaya tidak? apa sebab seseorang mempercayai guru-nya?
Banyak yang percaya... banyak yang tidak...
Saya tidak akan mempercayai begitu saja seorang guru, Angulimala adalah contoh korban yang mempercayai begitu saja apa kata gurunya, sehingga ia salah jalan dan membunuh banyak orang (999 orang).
Pangeran Ajatasattu adalah contoh lain seorang murid yang menelan mentah-mentah apa kata gurunya (Devadatta), sehingga ia akhirnya berbuat kejahatan sangat besar, yaitu membunuh orang-tuanya sendiri, dan harus terlahir di Neraka Avici.
Sekali lagi harap dimengerti saya bukan menuduh master Lu seperti itu, saya hanya sharing bahwa saya tak akan mempercayai guru begitu saja.
Dalam tantrayana, sebelum mengangkat seseorang menjadi guru, murid harus mengamati gurunya selama 3 tahun. murid tidak bisa sembarangan mengangkat seorang guru. karena begitu mengangkat guru, murid harus menganggap guru sebagai Buddha.
daripada berpolemik disini tentang sumber dari SHC yang tidak jelas, apakah anda pernah membaca buku Master Lu sebagai bahan untuk ber ehipashiko?
[at] robert yang,
saya sependapat dengan anda tentang ehipashiko
Bro 4DMYN yang baik, apakah bro sudah mengamati beliau selama 3 tahun? bertemu saja kalau tidak salah cuma sekali, selebihnya baca buku dan lihat video. Apakah cukup?
Kalau video, bila bro 4DMYN pernah membaca tulisan saya yang lain, tentu bro akan mengerti bahwa seseorang yang masih menangis bukan Buddha, Arahatpun tak akan menangis bahkan bila seluruh keluarganya, atau seluruh kenalannya dibantai. Seperti contoh Sang Buddha ketika mendengar kabar bahwa sanak keluarga Beliau suku Sakya dibantai oleh pasukan Vidudabbha tanpa melawan, Beliau tidak menangis. Menangisi murid adalah bentuk kemelekatan.
Saya banyak membaca buku master Lu, saya tidak membantah atau membenarkan isi dari pengalaman beliau yang tertuang dalam buku-bukunya, ceritanya memang menarik sebagai bacaan diwaktu senggang. Tetapi buku itu justru semakin menguatkan saya bahwa master Lu bukan seorang Buddha.
Seorang Buddha adalah manusia cerdas yang bijaksana. Dalam Petavatthu ada beberapa kali Bhante Mogallana melihat mahluk peta yang aneh-aneh, dibenarkan oleh Sang Buddha penglihatan beliau, tapi Sang Buddha mengatakan Beliau pernah melihat mahluk peta tersebut, tetapi tak mau menceritakan hal itu kepada orang lain karena mencegah orang lain akan mencemooh. Setelah bhante Mogallana menceritakan hal itu baru Beliau membenarkan. Jadi seorang Buddha tidak akan menceritakan begitu saja pengalaman mistik Beliau yang tak dapat dibuktikan orang lain karena akan mengundang cemoohan orang.
Bro 4DMYN sudah menerima "bulat-bulat" bahwa master Lu adalah "juruselamat" dengan sepenuh keyakinan, tentu apapun yang orang lain katakan tak akan mengubah keyakinan bro sendiri, walaupun orang itu mengajukan argumen yang masuk akal sekalipun. Walau nyata-nyata ciri fisik beliau berbeda dengan yang digambarkan kitab suci. Baca ciri-ciri manusia agung (Cakkavatti Sihanada Sutta) apakah master Lu juga punya ciri-ciri fisik seperti itu? Juga latar belakang keluarga, apakah master Lu terlahir dari keluarga terpandang? Dsbnya.
Tapi kalau bro 4DMYN mau sedikit lebih kritis, tentu dapat membedakan, berikut saya berikan tips lainnya:
- Seorang Buddha suaranya merdu mempesona bagai suara burung karavika, sehingga memukau para pendengarnya, apakah suara master Lu seperti itu?
-Seorang Buddha bisa memperdengarkan suaraNya hingga 1 milyar tata-surya, bahkan lebih, itulah sebabnya pendengar suara khotbah Sang Buddha walau jaraknya sangat jauh 100 meter atau satu kilometer atau lebih, dapat mendengar suara Beliau bagai berhadapan muka.
Jadi seorang Buddha tak memerlukan pengeras suara pada waktu khotbah, walau di lapangan Monas semua pendengar dapat mendengarkan suara Beliau dengan jelas bagai berhadapan muka. Apakah master Lu seperti itu? Bro 4DMYN setuju ber-ehipassiko kan? Cobalah resep sederhana ini, pada waktu master Lu khotbah minta beliau mematikan pengeras suara, lalu dengar suara khotbah beliau dari tempat parkir, simak apakah suaranya terdengar seperti sedang berhadapan muka?
Nanti bila telah ber-ehipassiko baru kita diskusi lagi mengenai master Lu.