ada dua macam alasan untuk mengundurkan diri:
* kemarahan, mutung, dan lain2 emosi negatif
atau
* merasa kegiatannya tak ada gunanya dan memilih melakukan kegiatan lain yg lebih produktif
semoga yg anda lakukan disebabkan oleh kemungkinan yg kedua seperti cerita dibawah:
Sebagian orang memang tidak kepingin untuk bebas dari
persoalan. Jika mereka tidak memiliki cukup problem yang
bisa dikhawatirkan, mereka akan menyetel sinetron TV untuk
bisa mengkhawatirkan problem tokoh fiksi di TV. Banyak juga
yang merasa ketegangan membuat mereka lebih 'hidup';
beranggapan penderitaan sebagai hal yang nikmat. Mereka
tidak ingin menjadi bahagia, karena mereka begitu melekat
pada beban mereka.
Dua orang bhikkhu merupakan teman dekat selama hidup mereka.
Setelah meninggal, satu terlahir sebagai dewa di sebuah alam
surga yang indah, sementara temannya terlahir sebagai seekor
cacing di dalam sebuah tumpukan kotoran.
Sang dewa segera merasa kehilangan temen lamanya dan
bertanya-tanya di manakah dia terlahir kembali. Dia tidak
bisa menemukannya di alam surganya, jadi dia mulai
mencari-cari temannya di seluruh alam surga yang lain.
Temannya tidak ada di sana. Dengan kekuatan surgawinya, sang
dewa mencari di dunia manusia, namun juga tidak dapat
menemukannya. Pikirnya: pastilah temanku tidak akan terlahir
di alam hewan, tapi dia tetap mengeceknya juga. Tetap tidak
ketemu. Akhirnya sang dewa mencari ke dunia serangga dan
binatang-binatang kecil, dan kejutan… dia menemukan temannya
terlahir sebagai seekor cacing di dalam sebuah tumpukan
kotoran yang menjijikkan!
Ikatan persahabatan mereka begitu kuat sampai-sampai
melewati batas satu kehidupan. Sang dewa merasa dia harus
membebaskan sahabat lamanya ini dari kelahiran yang jelek
ini, tidak perduli karma apa yang akan dihasilkannya.
Sang dewa lalu muncul di depan tumpukan kotoran tersebut dan
memanggil sang sahabat, "Hei, cacing! Apakah kamu ingat aku?
Kita dulu sama-sama bhikkhu di kehidupan lampau dan kamu
adalah sahabatku yang paling dekat. Sementara aku terlahir
kembali di dunia surga yang menyenangkan, kamu terlahir di
tumpukan kotoran sapi ini. Jangan khawatir, karena aku akan
membawamu ke surga bersamaku. Mari, sahabat lama!"
"Tunggu dulu!" kata si cacing, "Apa sih hebatnya alam surga
yang kamu ceritakan itu? Aku sangat bahagia di sini, bersama
kotoranku yang harum, nikmat dan lezat ini. Makasih banyak!"
"Kamu tidak mengerti!" kata sang dewa, dan dia menggambarkan
betapa menyenangkan dan gembiranya berada di alam surga.
"Apakah di sana ada kotoran?", tanya si cacing, langsung ke
tujuan.
"Tentu saja tidak ada!", sang dewa sambil mendengus.
"Kalau begitu, aku gak mau pergi!" jawab si cacing. "Aku
cabut!". Dan si cacing membenamkan dirinya ke tengah-tengah
tumpukan kotoran tersebut.
Sang dewa berpikir, mungkin kalau si cacing sudah melihat
sendiri alam surga itu, dia akan mengerti. Sang dewa lalu
menahan nafas dan memasukkan tangannya ke dalam kotoran
tersebut, mencari-cari si cacing. Begitu ketemu, ditariknya
keluar.
"Hei, jangan ganggu aku!" teriak si cacing. "Toloong! Aku
diculiiiik!". Dan si cacing kecil yang licin itu menggeliat
dan bergerak-gerak sampai terlepas, lalu kembali masuk ke
dalam tumpukan kotoran untuk bersembunyi.
Sang dewa yang baik hati ini kembali merogohkan tangannya ke
dalam kotoran, ketemu dan mencoba menariknya keluar sekali
lagi. Hampir dapat, tapi karena si cacing berlumuran lendir
dan terus menggeliat membebaskan diri, akhirnya terlepas
lagi dan kembali masuk ke dalam kotoran. Berkali-kali sang
dewa mencoba menariknya keluar dan membebaskannya dari
tumpukan kotoran yang menjijikkan tersebut, tetapi si cacing
begitu melekatnya dengan tumpukan kotorannya sehingga selalu
bisa menggeliat kembali!
Akhirnya, sang dewa menyerah dan kembali ke surga,
meninggalkan si cacing bodoh di "tumpukan kotorannya yang
menyenangkan".
Dari buku "Opening the Door of Your Heart"
Ajahn Brahm