//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta  (Read 80295 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Mr. Wei

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.074
  • Reputasi: 99
  • Gender: Male
Re: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta
« Reply #15 on: 26 August 2008, 03:26:56 PM »
:)

Pandangan Pak Hudoyo ini sangat menarik, makanya saya mau tahu bagaimana Pak Hudoyo 'mengekstrak' ajaran Buddha ini :)

Offline June

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 160
  • Reputasi: 9
  • Buddhism is to be practised
Re: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta
« Reply #16 on: 26 August 2008, 03:29:58 PM »
 _/\_
Sory ikut nimbrung, namun jika saya salah mohon diperbaiki...

Saya kira setiap dari kita punya konsep 'Aku' didalam diri kita sendiri. Untuk bisa melepaskan diri dari 'Aku' sepertinya bakal butuh perjuangan dan latihan vipassana yang amat keras. Selama latihan vipassana juga bisa muncul 'Aku'. Bukan berarti setelah latihan vipassana maka 'Aku'-nya telah hilang kan???? Hanya saja pada latihan vipassana, kita bisa melihat konsep 'anatta' didalam diri kita.

Contohnya: Ketika mengalami rasa sakit pada anggota tubuh, kita dapat menyadari bahwa rasa sakit berada diluar kuasa diri kita untuk mengatur. Itukah yang dinamakan 'Anatta'?

 _/\_
Buddhist newsletter

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta
« Reply #17 on: 26 August 2008, 03:42:32 PM »
Pak hud, esensi dari anattalakkhana sutta adalah nama rupa itu bukan atta, dengan demkian tidak layak dilekati. Demikian pula di dalam bahiya sutta dan sutta2x lainnya. Yang terdengar hanya ada yg didengar... dst (tanpa adanya atta disana). Walaupun tidak spesifik dikatakan ini anatta, tapi isinya adalah demikian. Kita coba lihat esensinya bukan label2x suttanya.

Tujuan dari itu semua adalah untuk melepaskan kemelekatan itu sendiri.


There is no place like 127.0.0.1

Offline nyanadhana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.903
  • Reputasi: 77
  • Gender: Male
  • Kebenaran melampaui batas persepsi agama...
Re: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta
« Reply #18 on: 26 August 2008, 03:42:48 PM »
Anatta itu bukannya secara gamblang terdefinisi sebagai rangkaian rangkaian yang menghidupkan nama seseorang seperti kita terusun dari zat-zat,trus anggota tubuh,trus berbagai macam yang kalau dipisahkan semuanya ibarat bermain lego trus kita pecah semuanya apakah kita akan menemukan yang namanya inti diri(atta),jadi apakah yang disebut sebagai seorang nyanadhana itu sendiri hanyalah paduan dari unsur-unsur dan berbagai macam jeroan yang membangun tubuh ini sehingga kita berasa seolah-olah diri ini memiliki roh,jiwa namun ketika kita pisahkan mulai dari rambut sampai kuku jari,kita tidak menemukan siapapun yang bernama nyanadhana disana.

Saya sharing berdasarkan pemahaman pribadi atas anatta,silahkan koreksi  _/\_
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one’s own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta
« Reply #19 on: 26 August 2008, 03:49:26 PM »
Kita coba tilik kembali kisah anattalakkhana sutta,

5 pertapa yang sotapanna mendengar anattalakkhana sutta lalu mencapai arahant.

Apakah ada vipassana disana? Apakah hanya intelektual/menghafal? Apakah mengerti? Apakah memahami langsung?

Atau seperti kata pak hud dulu waktu kita ketemu pertama kali *jadi nostalgia :)) * saya pernah bertanya pertanyaan senada lalu dijawab itu karena kharisma Sang Buddha?
There is no place like 127.0.0.1

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta
« Reply #20 on: 26 August 2008, 03:59:40 PM »
Hal tersebut beliau sendiri katakan pada not self strategy. Mungkinkah hal tersebut diragukan sendiri oleh Bhante Thanissaro? Selain itu dengan penerjemahan dukkha menjadi stress, dan berbagai macam tulisan beliau yang kadang bagus kadang ..., saya memilih lebih berpihak kepada para penulis klasik.

menurut saya, penerjemahan dukkha ---> stress memiliki arti lebih baik daripada suffering :)

mungkin hanya saya yg berpendapat demikian ;)
suffering/penderitaan sering kali dapat langsung disangkal bahwa saya tidak sedang menderita.
ada momen dimana kita tidak sedang menderita, melainkan sedang berbahagia.

sedangkan stress, saya translate kecemasan...
yg saya sadari adalah, kecemasan seseorang tidak pernah berhenti.
walau dalam keadaan bahagia dan menderita, seseorang tetap mencemaskan sesuatu.
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta
« Reply #21 on: 26 August 2008, 04:18:25 PM »
menurut saya, penerjemahan dukkha ---> stress memiliki arti lebih baik daripada suffering :)
mungkin hanya saya yg berpendapat demikian ;)
suffering/penderitaan sering kali dapat langsung disangkal bahwa saya tidak sedang menderita.
ada momen dimana kita tidak sedang menderita, melainkan sedang berbahagia.
sedangkan stress, saya translate kecemasan...
yg saya sadari adalah, kecemasan seseorang tidak pernah berhenti.
walau dalam keadaan bahagia dan menderita, seseorang tetap mencemaskan sesuatu.

Betul, YM Thanissaro Bhikkhu menulis untuk konsumsi orang Barat. ... Bagi pembacanya, 'suffering' tidak banyak menyentuh, karena sebagian besar orang tidak merasa 'menderita'. ... Tetapi 'stress' ... besar atau kecil ... dialami oleh hampir semua orang, terutama dalam dunia modern yang penuh persaingan. ... Jadi dipilihlah 'stress' sebagai terjemahan 'dukkha' agar pesan Sang Buddha diterima orang Barat sebanyak-banyaknya. ...

Di Indonesia, mungkin 'stress' kurang tepat ... karena banyak orang tidak merasa 'stres' ... 'penderitaan' juga kurang tepat ... Entah apa kata yang tepat ... Mungkin lebih baik digunakan banyak kata sekaligus: duka, penderitaan, stres, konflik .... dan dijelaskan hubungan sebab-akibatnya.

Salam,
hudoyo

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta
« Reply #22 on: 26 August 2008, 04:36:12 PM »
Wei, kalau anda perhatikan tulisan Pak Hudoyo, MMD berdasarkan ajaran Krishna Murti, yang ditemukan persamaannya dengan ajaran Sang Buddha.

Wah, Anda membuat kesimpulan yang sama sekali tidak tepat mengenai pengalaman batin saya. ... Saya mempelajari ajaran Sang Buddha dan Krishnamurti mulai saat yang hampir bersamaan: ajaran Sang Buddha saya kenal pada akhir 1960an dan ajaran Krishnamurti pada awal 1970an ... dan selama ini saya mempelajari kedua ajaran itu bersama-sama ... tanpa melebihkan yang satu atau mengecilkan yang lain ...

Memang kesimpulan Anda itu bisa dimengerti karena saya telah membuang banyak apa yang ditampilkan dalam 'AGAMA' Buddha (Tipitaka) sebagai "ajaran Sang Buddha" ... karena saya melihat bahwa semua yang saya buang itu embel-embel yang tidak penting bagi pembebasan batin saya sendiri ... Di lain pihak, saya tidak hanya mempelajari Tipitaka Pali semata-mata, melainkan juga ajaran Mahaprajnaparamita dan ajaran Huineng ...

Sedangkan di lain pihak ajaran Krishnamurti tetap terpelihara secara murni dalam bentuk rekaman kaset atau video, sehingga sampai sekarang tidak kemasukan unsur-unsur asing yang tidak bermanfaat untuk pembebasan. ...

Hasil pengalaman batin saya itu tertuang dalam apa yang sekarang dikenal sebagai MMD. ...

Memang bagi orang yang melekat kuat pada Tipitaka Pali sebagai ucapan Sang Buddha seluruhnya, MMD tampak tidak cocok dengan pemahamannya sehingga ia mendapat kesan seolah-olah MMD "lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran Krishnamurti daripada ajaran Buddha". ... Tetapi para praktisi MMD tidak ada yang memperoleh kesan seperti itu ... malah mereka melihat saya lebih banyak bicara tentang ajaran Buddha (yang saya anggap relevan) dan ajaran agama-agama lain, sementara sedikit sekali merujuk pada ajaran Krishnamurti. ... Sudah tentu saya menggunakan 'upaya kausalya' dalam mengajarkan pembebasan kepada berbagai macam orang.

Salam,
hudoyo

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta
« Reply #23 on: 26 August 2008, 04:42:09 PM »
Nah, bagaimana Pak Hudoyo bisa beranggapan bahwa Sutta ini benar, sutta ini palsu, sutta ini begini, sutta ini begitu...

Rekan Wei, saya mempelajari sutta bukan seperti kebanyakan umat buddha membaca sutta (dengan kepercayaan mutlak akan kebenarannya) ... Saya membaca sutta dengan kritis, menggunakan prinsip Kalama-sutta ... karena saya tahu bahwa sutta itu sudah diturunkan dari mulut ke mulut selama EMPAT RATUS TAHUN sebelum dituliskan.

Jadi, bagi saya, ukuran kebenaran bukan isi sutta itu sendiri, melainkan pengalaman batin saya sendiri dalam praktik vipassana ... sutta itu saya skrin berdasarkan pengalaman batin itu.

Salam,
hudoyo

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta
« Reply #24 on: 26 August 2008, 04:47:38 PM »
Saya rasa saudara semit telah membuktikan post Pak Hudoyo bahwa MMD didekati dari Khrisnamurti, yang anda samakan dengan Buddha atau apapun namanya.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta
« Reply #25 on: 26 August 2008, 04:51:16 PM »
Panutan hidup JK (katanya sebagai bukti bahwa Tanpa campur tangan ajaran sang Buddha bisa mencapai pencerahan) dan Sang Buddha yang mencapai pencerahan dengan usaha sendiri :)
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta
« Reply #26 on: 26 August 2008, 05:00:19 PM »
Sory ikut nimbrung, namun jika saya salah mohon diperbaiki...
Saya kira setiap dari kita punya konsep 'Aku' didalam diri kita sendiri. Untuk bisa melepaskan diri dari 'Aku' sepertinya bakal butuh perjuangan dan latihan vipassana yang amat keras. Selama latihan vipassana juga bisa muncul 'Aku'. Bukan berarti setelah latihan vipassana maka 'Aku'-nya telah hilang kan???? Hanya saja pada latihan vipassana, kita bisa melihat konsep 'anatta' didalam diri kita.

Rekan June,

Menurut pengalaman saya, dalam latihan vipassana tidak diperlukan perjuangan apa pun, dan vipassana bukan latihan yang amat keras. Inilah pandangan salah yang membuat banyak umat Buddha menjauhi vipassana!

Jika orang merasa vipassana sebagai "perjuangan yang amat keras" itu disebabkan karena ia mempunyai CITA-CITA, TUJUAN, yang harus dicapai dengan USAHA, PERJUANGAN. ...

Bagi saya, vipassana justru sangat mudah, ringan, ... karena kita hanya berada pada saat kini, tanpa memikirkan masa lampau dan masa depan ... Kalau pun pikiran menyeret kita ke masa lampau atau ke masa depan ... kita tinggal menyadari saja pikiran itu ... pasti pikiran itu akan berhenti ...

Vipassana adalah kedamaian yang sempurna ... istirahat yang sempurna ... Sekali lagi, kalau Anda merasa berjuang keras dalam vipassana, berarti pandangan Anda terhadap vipassana keliru 180 derajat.

Dalam vipassana, kita tidak lagi memikir-mikir tentang konsep 'anatta' ... Alih-alih, kita menyadari saja setiap kali pikiran muncul yang selalu diikuti oleh si aku/diri/atta ... Kalau disadari, pikiran & atta itu lenyap kembali ... sebentar lagi muncul lagi ... begitu seterusnya ... menyadari tanpa usaha apa pun ... tanpa keinginan untuk melenyapkan pikiran atau aku/atta itu ... Ringan sekali ... Kalau ada keinginan untuk melenyapkan pikiran/aku, maka di situ mulailah konflik dan penderitaan, mulailah 'beban meditasi' yang sesungguhnya tidak perlu. ...

Quote
Contohnya: Ketika mengalami rasa sakit pada anggota tubuh, kita dapat menyadari bahwa rasa sakit berada diluar kuasa diri kita untuk mengatur. Itukah yang dinamakan 'Anatta'?

Ini, mah, ajaran sutta yang diajarkan dalam "vipassana tradisional". ITu tidak lebih dari pikiran yang merasionalisasikan rasa sakit itu dengan tujuan untuk mengatasinya. ... Dalam vipassana yang saya ajarkan, kalau timbul rasa sakit, sadari saja ... tanpa bereaksi, tanpa membuat rasionalisasi, tanpa berteori ... Kalau sakit hilang, ya sudah ... kalau sakit tidak hilang, malah menghebat, ubah posisi kaki, atau berdiri dan lakukan meditasi jalan, jangan terikat pada "keharusan" duduk diam berjam-jam ... SAederhana sekali.

Salam,
hudoyo

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta
« Reply #27 on: 26 August 2008, 05:02:59 PM »
Oh iya Pak Hudoyo, kalo menurut bapak, emang Murid2 Sang Buddha/yang mengikuti ajaran sang Buddha yang tercerahkan lebih sedikit atau lebih banyak dari pada orang2 yang bukan murid2 sang Buddha/yang tidak mengenal ajaran sang Buddha :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline williamhalim

  • Sebelumnya: willibordus
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.869
  • Reputasi: 134
  • Gender: Male
Re: Hati-hati membaca Anattalakkhana-sutta
« Reply #28 on: 26 August 2008, 05:12:27 PM »
Masalah ini sudah berlarut2....  apapun topiknya, jelas benang merahnya, yakni:
1. Pak Hud mengatakan bahwa MMD spesial dibanding vipassana lainnya dan sutta2 yg mendukungnya adalah murni dari Sang Buddha.
2. sedangkan pihak lain mengatakan MMD tiada bedanya dgn vipassana lainnya dan MMD mencoba mendompleng ketenaran Buddhisme dengan mencomot sutta2 yg mendukung dan membuang sutta2 yg tidak mendukung MMD.

Dan topik kali ini juga tidak jauh2 dari usaha untuk melegalkan MMD dengan meminjam 1 atau 2 sutta2 pilihan dan mengkritik/menyepelekan sutta2 lain yg tidak mendukung MMD.

----

Menurut aye, nggak usah pusying2 mikirin teori muluk2 soal ajaran mana yg benar... karena makin didebatkan akan makin njilimet.... setiap pihak akan bersikukuh dengan 'konsep'nya... dan akhirnya yg udah pengalaman berdebat sekian puluh tahun dan yg sudah biasa berdebat spiritual di berbagai milis yg akan memenangkan teori dan konsep2nya....

----

Jadi gimana dong? Gimana caranya menentukan mana yg benar? Sy sudah pernah posting dulu soal ini.

Barometernya adalah:
1. Jika dengan mempraktikkan ajaran tsb bermanfaat bagi perkembangan/perbaikan mental diri sendiri
2. Jika si pengajar (guru) memperlihatkan dirinya telah sesuai dengan apa yg diajarkannya
3. Murid2nya yg lain memperlihatkan progress yg baik

Suatu ajaran yg baik pasti akan bermanfaat dan tercermin pada diri sendiri, Sang Guru dan beberapa murid2nya......  :)

::

Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Perbedaan cara mengajar vipassana Bhante Gunaratana & saya
« Reply #29 on: 26 August 2008, 05:43:01 PM »
Saya rasa saudara semit telah membuktikan post Pak Hudoyo bahwa MMD didekati dari Khrisnamurti, yang anda samakan dengan Buddha atau apapun namanya.

Apa yang ditampilkan oleh Rekan Semit dalam postingnya baru-baru ini adalah potongan yang dilepaskan dari konteks tulisan saya secara keseluruhan, sehingga tidak bisa dipakai sebagai jawaban terhadap pertanyaan: "Apakah dasar rujukan MMD?" ... Konteksnya bukan itu. ... Agar pembaca mendapat perspektif sebenarnya dari ucapan saya, di bawah ini saya tampilkan sepenuhnya tulisan saya itu, berasal dari posting di Milis Spiritual tgl 17 November 2003. ...

Tentang jawaban lengkap terhadap pertanyaan "Apakah dasar rujukan MMD?", sudah saya uraikan dalam tanggapan saya terhadap Rekan Karuna_murti sebelum ini.

Topik ini sudah OOT; kalau mau diteruskan bikin thread baru saja dengan pertanyaan itu sebagai judulnya.

Salam,
hudoyo

*****

Message #21472 - Mon Nov 17, 2003 6:39 am

Perbedaan cara mengajar vipassana Bhante Gunaratana & saya

Para pemeditasi vipassana,

Diskusi yang panjang lebar antara Michael Suswanto dan saya telah mendorong
saya untuk mengkaji kembali cara mengajar meditasi vipassana oleh Bhante
Gunaratana. Kebetulan saya memiliki bukunya yang terbaru "Delapan Langkah
Meditasi Menuju Kebahagiaan". Saya baca Bab 7: Meditasi Trampil (istilah
lain bagi 'Samma-sati' atau 'Perhatian Benar', yakni meditasi vipassana itu
sendiri), yang belum pernah saya baca sebelumnya.

Di situlah saya banyak memahami cara mengajar meditasi vipassana beliau.
Dan memang ternyata terdapat perbedaan, di samping kesamaan, dengan cara
mengajar MMD saya selama ini. Di sini saya hendak menampilkan kedua cara
mengajar itu sehingga jelas perbedaan & kesamaannya bagi para pemeditasi
vipassana.

Bukan maksud saya untuk mempersoalkan mana yang benar dan mana yang salah
di antara kedua cara mengajar meditasi vipassana itu. Masing-masing guru
meditasi tentu mengajarkan cara yang sesuai dengan pengalaman batinnya
sendiri. Jadi tidak bisa dikatakan benar atau salah. Dan masing-masing
murid juga mempunyai kecenderungan berbeda-beda; ada yang merasa lebih
cocok dengan metode Goenka, ada yang lebih cocok dengan metode Mahasi
Sayadaw; ada yang lebih cocok dengan pendekatan Bhante Gunaratana (seperti
Michael S.), ada yang lebih cocok dengan pendekatan saya (seperti peserta
MMD yang berkali-kali mengikuti pelatihan MMD Akhir Pekan, sekalipun yang
diajarkan ya itu-itu lagi).

Bagaimanakah cara mengajar Bhante Gunaratana? Berikut ini saya ringkaskan
dari Bab 7 buku beliau di atas (bagian-bagian yang akan saya bahas lebih
lanjut saya beri nomor):

"LANGKAH KETUJUH: MEDITASI TRAMPIL

"Meditasi artinya memberikan perhatian kepada apa yang ada dari saat ke
saat. Karena secara tidak sadar kita mempersepsikan diri kita dan dunia di
sekeliling kita lewat pola pikir-pola pikir yang tergatas, menurut
kebiasaan, dan dikondisikan oleh sikap menipu diri, maka persepsi kita dan
konseptualisasi mental tentang realitas itu tersebar dan kacau. Meditasi
mengajar kita untuk sementara menunda segala konsep, gambaran, penilaian,
komentar mental, pendapat serta tafsiran.[1] Batin yang bermeditasi itu
akurat, menembus, seimbang, dan tidak kacau. Seperti cermin yang
memantulkan tanpa distorsi apa pun yang ada di depannya.

"Sang Buddha sering menganjurkan kepada para siswa beliau untuk
"mempertahankan perhatian di depan." 'Di depan' maksudnya adalah saat kini.
Ini berarti lebih dari sekadar tetap menyadari apa yang tengah dilakukan
oleh pikiran sementara kita duduk bermeditasi, tetapi juga memahami setiap
gerak fisik maupun mental yang kita buat selama kita tidak tidur. Dengan
kata lain, ini berarti berada pada saat kini, di sini. [...]

"Begitu kita belajar memperhatikan tanpa mengomentari setiap peristiwa yang
tengah terjadi, kita dapta mengamati peradaan dan pikiran kit atanpa
terperangkap di dalamnya, tanpa terhanyut oleh pola-pola reaksi kita yang
biasa. Jadi meditasi memberi kita waktu yang kita butuhkan untuk mencegah
atau mengatasi pola-pola pikiran dan perilaku yang negatif, dan
mengembangkan dan mempertakankan pola-pola yang positif. Meditasi mematikan
fungsi pilot otomatis dan membantu kita mengendalikan pikiran, perkataan,
dan perbuatan kita.[2]

"Lebih lanjut, meditasi membawa kepada pencerahan, "penglihatan batin" yang
jelas dan tidask terdistorsi terhadap segala sesuatu. Dengan praktik
teratur, baik dalam meditasi formal maupun sambil mengerjakan kegiatan
sehari-hari, meditasi mengajar kita untuk memandang dunia serta diri
sendiri dengan mata kearifan batin. Kearifan adalah mahkota pencerahan.
Membuka mata kearifan adalah tujuan sesungguhnya dari meditasi, karena
pencerahan tentang sifat sejati dari realitas adalah rahasia terbesar dari
kedamaian serta kebahagiaan. Kita tidak perlu mencarinya di luar diri kita;
kita masing-masing memiliki kemampuan yang hakiki untuk mengembangkan
kearifan.[3] [...]

"Sang illahi menyembunyikan kebenaran ini dalam pikiran manusia. Sekarang
marilah kita mencoba mencarinya! Meditasi bukanlah ditujukan untuk
mempelajari sesuatu yang ada di luar. Sasarannya adalah menemukan kebenaran
yang tersembunyi di dalma diri kita--di dalam inti kita sendiri.

"Menurut Sang Buddha, batin kita itu secara alami menerangi. Di dalam
setiap saat, ketika kesadaran pertama kalinya timbul, sinarnya terang.
Tetapi di dalam batin yang tak tercerahkan, sinar itu tertutup oleh
ketidaksucian berupa keserakahan, kebencian dan ketidaktahuan.
Ketidaksucian ini menghalangi kecerahan batin, membuat batin gelap dan
menderita.[4]

"Kita tidak dapat mengatakan bahwa batin itu sudah suci. Kita harus
mengupayakannya. Kita harus membersihkan batin yang menerangi itu untuk
membiarkannya bersinar tanpa terhalang oleh ketidaksucian. Kearifan yang
dikembangkan lewat meditasi membakar rintangan berupa keserakahan,
kebencian dan ketidaktahuan. Semakin kita singkirkan mereka, semakin batin
kita menjadi nyaman, bahagia, dan cerah.[5] [...]

"Bagaimana meditasi menghasilkan kearifan, dan bagaimana kearifan
melepaskan rintangan-rintangan batin? Sementara kita mencari ke dalam diri
sendiri, [...] kita menjadi sadar akan kelompok-kelompok badan dan batin
ini. [...] Kita mulai melihat bagaimana badan dan batin ini muncul,
berkembang, mencapai puncaknya, menua, dan mati.

"[...] Meditasi terhadap saat kini memberi kita pencerahan tentang
perubahan, tentang ketidakkekalan [anicca] yang menjadi sifat segala
sesuatu yang ada.

"Memperhatikan ketidakkekalan dari semua fenomena memberi kita peluang
untuk melihat sifat tidak memuaskan [dukkha] yang diakibatkan oleh
perubahan itu. [...] Sementara kita melihat bagaimana segala sesuatu
menghilang [...] kita mendapatkan pencerahan tentang penyebab keadaan tidak
memuaskan dan ketidakbahagiaan kita, yakni kelekatan kepada hal-hal yang
terus-menerus berubah. [...]

"[...] Kalau kita mencari makna kehidupan, yang kita temukan hanyalah
perubahan. [...] Kita temukan tak ada sesuatu yang kekal atau abadi di
dalamnya [...].

"Jadi meditasi memberi kita pencerahan tentang tiga sifat dari segala
sesuatu yang ada: ketidakekalan [anicca], sifat tidak memuaskan [dukkha],
dan tidak adanya 'aku' yang kekal dan tidak berubah [anatta]. [...]

"Kalau kita sampai pada kesadaran ini, kita biarkan sensasi, perasaan, dan
pikiran lewat di dalam batin tanpa melekat kepada apa pun, betapa pun
menyenangkan dan indahnya. Kalau keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan,
yang menyakitkan, atau tak tertahankan, timbul, kita biarkan mereka berlalu
tanpa menjadi gelisah. Kita sekadar membiarkan segalanya terjadi tanpa
berusaha menghentikannya, tanpa takluk kepada mereka, atau berusaha
melarikan diri dari mereka. Kita sekadar memperhatikan segala sesuatu
seperti apa adanya.[6] [...]

"Empat Landasan Perhatian

"[...] Kita mulai dengan obyek meditasi apa pun: napas, perasaan, kondisi
batin, salah satu rintangan batin--tidak menjadi soal. Apa pun yang kita
fokuskan akan segera berubah. Kalau batin pindah ke sesuatu yang tidak
baik, kita segera memberinya sesuatu yang baik [...]. Kalau batin pindah ke
sesuatu yang baik, kita beri dia dorongan.

"Apa pun yang muncul dalam batin menjadi obyek meditasi. Kita dapat
menggunakan apa pun untuk melanjutkan pencerahan kita tentang anicca,
dukkha dan anatta. Ketika apa pun yang kita pikirkan mereda dengan
sendirinya, kita arahkan perhatian kita kembali kepada obyek meditasi semula.

"Tetapi janganlah pindah dari obyek ke obyek dengan sengaja. Mulailah
dengan fokus pada obyek meditasi terpilih, seperti napas, dan beralihlah
kepada obyek lain hanya kalau itu muncul secara spontan. Misalkan, Anda
tengah memusatkan perhatian pada napas, lalu timbul pikiran tentang
kesehatan kulit Anda. Kalau pikiran itu berlalu, perhatian kembali kepada
napas berikutnya. Kalau pikiran tetap terfokus pada kulit, renungkanlah
ketidakkekalan kulit; juga betapa tidak memuaskan kulit itu, [...] semakin
Anda melekat kepadanya, semakin Anda menderita. Renungkanlah pula kosongnya
'aku' (diri) dari kulit itu.[7] [...] Lalu amatilah sementara
pikiran-pikiran ini menghilang. [...] Ketika semua pikiran telah reda, dan
tak ada lagi yang timbul dalam batin, biarkanlah perhatian Anda kembali
kepada napas. [...] Mempraktikkan meditasi secara ini, akhirnya
pikiran-pikiran akan berhenti, dan batin menjadi terpusat. [...]

"Kita mulai dengan meditasi terhadap tubuh, terutama napas. Bermeditasi
terhadap napas memberi kesempatan badan dan batin Anda untuk tenang. Lalu,
sementara landasan-landasan meditasi lainnya muncul, kita menyadarinya. Apa
pun subyek yang timbul, pastikan bahwa Anda memperhatikan/menyadari
ketidakkekalan [anicca], sifat tidak memuaskan [dukkha], dan tiadanya 'aku'
[anatta] dari pengalaman-pengalaman Anda, entah itu fisik atau mental.[7]"

*****
Komentar saya:

[1] Intisari meditasi vipassana ini persis sama dengan apa yang saya
ajarkan: yakni berada pada saat kini, dan tidak memikirkan atau melekat
pada segala konsep, gambaran, penilaian, komentar mental, pendapat serta
tafsiran. Di sini saya lebih radikal lagi, yakni tidak melekat pada segala
sesuatu yang kita pelajari tentang Buddhisme (ajaran Sang Buddha) dari
kitab suci.

[2] Kalau kita sekadar mengamati, tanpa melekat atau menolak, segala
sesuatu yang muncul pada badan & batin kita, maka di situ tidak ada
penilaian lagi, tidak ada baik dan buruk, tidak ada memilah-milah dan
memilih-milih lagi, membuang yang buruk dan mengembangkan yang baik; di
situ sang 'aku' tidak berfungsi lagi. Tidak ada lagi apa yang disebut
"pengendalian diri". Ini bukan berarti orang akan berbuat semau-maunya,
karena di situ batin tidak lagi melekat atau menolak pada apa pun. Yang ada
ialah tindakan spontan; dan karena batin tidak lagi melekat atau menolak,
maka tindakan spontan seperti itu selalu "bermanfaat".

[3] Dalam kesadaran sehari-hari, 'kedamaian' dan 'kebahagiaan' biasanya
dikontraskan dengan 'kekacauan' dan 'ketidakbahagiaan'. Tetapi dengan
demikian, 'kedamaian' dan 'kebahagiaan' itu menjadi reaksi (terhadap
keadaan saat kini yang 'tidak damai' dan 'tidak bahagia'), menjadi
cita-cita (di masa depan). Kalau itu kita pegangi, kita harapkan atau
cita-citakan, maka itu membuat kita tidak lagi berada pada saat kini, dan
menimbulkan konflik baru yang halus, konflik antara 'apa yang ada' dan 'apa
yang dicita-citakan', konflik antara saat kini dan masa depan.

Oleh karena itu dalam MMD saya hampir tidak pernah berbicara tentang
'kedamaian' dan 'kebahagiaan', tentang tujuan dan cita-cita MMD itu
sendiri, tentang 'nirvana' dsb, melainkan selalu kembali kepada keadaan
saat kini, yang dicengkeram ketidakkekalan (anicca) dan ketidakbahagiaan
(dukkha), dan didorong oleh sang 'aku' (atta).

[4] Di sini Bhante Gunaratana berbicara tentang paham metafisikal-religius
yang menyatakan bahwa di lubuk batin manusia terdapat apa yang dinamakan
percikan keilahian, kearifan, penerangan sempurna, kebenaran dsb. (Dalam
Agama Hindu ini disebut Atman, dalam Sufisme disebut Nur Insani, dalam
Kristianitas disebut Roh Kudus dst.)

Di dalam MMD saya selalu menekankan, bahwa selama orang berada dalam
kesadaran pikiran sehari-hari, pengertian-pengertian seperti itu tidak
lebih dari sekadar konsep-konsep pikiran yang kita pelajari di masa lampau,
dan perlu diamati dan disadari seperti apa adanya, yakni konsep pikiran.
Ini bukan berarti menolak adanya sesuatu yang bersifat
metafisikal-religius--yang berarti bereaksi terhadap pandangan metafisikal
tersebut--melainkan justru menekankan bahwa hakikat kenyataan
metafisikal-mistikal itu--kenyataan yang memang ada--tidak dapat ditangkap
dengan pikiran dan kata-kata, bahwa "kata bukanlah bendanya". Dengan
demikian, sepanjang pelaksanaan MMD, pemeditasi tetap berada pada keadaan
yang digambarkan dalam butir [1], yakni 'berada pada saat kini, dan tidak
memikirkan atau melekat pada segala konsep, gambaran, penilaian, komentar
mental, pendapat serta tafsiran.'

[5] Di sini Bhante Gunaratana menggambarkan meditasi vipassana sebagai
suatu "perjalanan mendaki" dari ketidaksucian menuju kesucian, dari
keburukan menuju kebaikan, dari ketidakarifan menuju kearifan, dari
ketidakbahagiaan menuju kebahagiaan, dari ketidakbenaran menuju kebenaran,
dst.

Di dalam MMD saya menggambarkan meditasi vipassana sebagai "pelepasan satu
per satu" segala sesuatu yang semula kita anggap sebagai milik kita,
sebagai diri kita, atau sebagai ruh kita; secara singkat, pelepasan dari
lapisan-lapisan sang 'aku', seperti orang mengupas bawang merah. Apa yang
ada di balik semua itu--bila "bawang merah" (sang 'aku') itu telah habis
terkupas semua--tidak dipikirkan, tidak diharapkan, dan tidak
dicita-citakan sekarang.

[6] Dalam praktik vipassana ini, apa yang diajarkan Bhante Gunaratana
kembali persis sama dengan apa yang saya ajarkan.

[7] Di sini Bhante Gunaratana mengajarkan agar pemeditasi menggunakan
pengamatan terhadap segala sesuatu yang muncul pada badan & batin untuk
merenungkan 'anicca', 'dukkha' dan 'anatta'. Ini perbedaan pokok dalam
praktik antara ajaran Bhante Gunaratana dengan apa yang saya ajarkan dalam
MMD.

Saya mengajarkan bahwa "anicca", "dukkha" dan "anatta" adalah konsep-konsep
pikiran yang kita pelajari di masa lampau. Kalau konsep-konsep itu muncul
dalam batin sementara kita berlatih MMD, itu harus kita sadari seperti apa
adanya; dan oleh karena disadari, pikiran-pikiran itu akan lenyap kembali.

Kalau ini dijalankan terus, maka pada suatu titik kelak akan muncul
PEMAHAMAN tentang 'anicca', 'dukkha', dan 'anatta', pemahaman yang tidak
dicetuskan oleh kata-kata itu, pemahaman yang bukan berupa pikiran yang
dipelajari dari masa lampau. Inilah yang disebut pencerahan dalam vipassana
(vipassana-nyana). Pencerahan ini hanya bisa timbul bila pikiran dari masa
lampau telah berakhir.

Pencerahan tentang 'anicca' bukanlah konsep tentang 'anicca'. Ini terlihat
nyata pada pemeditasi MMD yang non-Buddhis, yang pada umumnya tidak pernah
belajar tentang konsep 'anicca', 'dukkha', 'anatta'. Misalnya, pernah
seorang Muslim, setelah menjalankan MMD beberapa lama, tiba-tiba berkata:
"Ternyata hidup ini seperti sungai yang mengalir, tidak ada apa-apanya."
Ini menunjukkan timbulnya pencerahan tentang 'anicca' dan 'anatta', tanpa
menggunakan kata-kata 'anicca' dan 'anatta'.

***
Ketika Bhante Gunaratana menulis tentang perenungan terhadap obyek-obyek
mental (dhammanupassana) sebagai bagian dari pengembangan perhatian
(satipatthana), beliau menekankan agar pemeditasi menyadari timbulnya
Kelima Rintangan Batin, Kesepuluh Belenggu, Kelima Kelompok Badan & Batin,
Keempat Kebenaran Suci, dan Ketujuh Faktor Pencerahan. Semua itu adalah
pengertian-pengertian yang dipelajari dari kitab suci.

Sebaliknya, dalam MMD, sejak awal saya selalu menekankan bahwa pemeditasi
harus melepaskan segala sesuatu yang dipelajarinya di masa lampau dari
kitab suci. Segala sesuatu harus dilihat dan disadari sebagai apa adanya,
tanpa melalui pemaknaan dari kitab suci. Juga bila muncul pikiran-pikiran
tentang ajaran kitab suci, itu harus dilihat sebagai sekadar buah pikiran,
sehingga berakhir dengan sendirinya.

Juga kepada pemeditasi yang non-Buddhis, saya selalu menekankan perbedaan
antara konsep-konsep dari kitab suci mereka dan kebenaran hakiki di balik
konsep-konsep itu, termasuk konsep/pikiran tentang 'Tuhan' dan kebenaran
hakiki dari keilahian. Kebenaran bukanlah pikiran yang menggambarkannya.
Untuk sampai kepada kebenaran yang hakiki, pikiran harus berakhir.

***
Demikianlah perbedaan antara pendekatan meditasi vipassana yang diajarkan
oleh Bhante Gunaratana dan pendekatan MMD yang saya ajarkan. Di samping
perbedaannya, yang lebih penting adalah kesamaannya, yakni yang tercantum
dalam butir [1] dan [6] dalam uraian di atas.

Perlu saya kemukakan bahwa pendekatan MMD ini saya pelajari dari J
Krishnamurti, yang menurut hemat saya adalah seorang yang telah mencapai
pencerahan & pembebasan sempurna dalam hidupnya di abad ke-20 lalu--entah
apa pun namanya: arahat, buddha, insan kamil, hidup di dalam Allah, apa pun.

Salam,
Hudoyo