//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng  (Read 16815 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline kakao

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.197
  • Reputasi: 15
  • Gender: Male
  • life is never sure, but die is certain
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #30 on: 21 May 2011, 03:10:53 PM »
Saya rasa maksud yang ingin disampaikan itu," Batu besar tidak akan membuat kita jatuh tersandung. Tapi batu kecil yang membuat kita jatuh tersandung."

Spoiler: ShowHide
kumat mode on

kurang lebih begitu KK,  buddha mengajarkan kita menjaga kesadaran dan selalu berhati-hati,..kalau kita diberi kesadaran, tapi tdk hati2,..kita bisa terpeleset, semua juga bisa membuat kita tersandung cuma kadang kita meremehkan hal kecil yang kadang bisa membuat kita dipukul olehnya...  ;D
"jika kau senang hati pegang jari, jika kau senang hati pegang jari dan masukan kehidungmu !!"
[img]http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/c/c3/Sailor_moon_ani.gif[img]

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #31 on: 21 May 2011, 03:24:53 PM »
bhikkhu cacad dg pemikir cacad apa beda yang bisa dibandingkan? semuanya sama2 nggak sempurna, setau ane,..dalam vinaya ada syarat seorang bhikkhu tdk boleh cacad fisik, karena ditakutkan akan menyusahkan diri sendiri dalam membina diri. lain ceritanya dg kalau dia sdh menjadi bhikkhu lalu tiba2 harus cacad.
he he he,.ente masih kurang senang dg biku bergitar nih? kenapa masih membawa beban pemikiran,..aku aj udah tinggal kan biku bergitar itu dipostingan lampau,..anda masih membawanya sampai saat ini,..kakao tau betapa sulitnya membawa beban itu,.iklashlah, buang beban itu,..letakkan,..tinggalkan masalalu menuju masa depan. ;D
bhikkhu itu adalah manusia, pelanggaran sila masih banyak dilakukan oleh manusia, kita doakan aja semoga para sangha semakin baik dan semakin bijaksana.. lepaskan ya bro,.itu beban u,.tinggalkan sekarang _/\_ jangan mendendam, buddha nggak mengajarkan kita memusuhi, buddha mengajarkan kita kenalkan dhamma pada yang mereka memiliki sedikit debu dimata mereka(permintaan brahma sahampati) ;D ;D
oh tidak, aye justru senang kok dengan adanya biku bergitar, aye serasa tercerahkan oleh master djoe, kita harus belajar dari penjahat, siapa tahu kita bisa mengikuti cara2nya, jangan pernah lepaskan hal2 yang berbau kejahatan, karena kita bisa belajar dari sana =))

kalau anda mau lepaskan ya silahkan, doakan saja semoga tuhan mau menyadarkan biku itu sehingga bisa mengenal tuhan lebih dalam lagi =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #32 on: 21 May 2011, 03:30:39 PM »
sama seperti kasus yg pernah terjadi ketika ada artis lokal yg jadi buddhis, sampe banyak diadakan seminar2 yg mendatangkan artis tsb sbg pembicara padahal mrk blm ngerti buddhis.

dan kabarnya sekarang artis tersebut sudah pindah keyakinan lagi
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #33 on: 21 May 2011, 03:41:28 PM »
dan kabarnya sekarang artis tersebut sudah pindah keyakinan lagi
begitulah kalau umat budis di bangun berdasarkan kepercayaan semata, dan dibangun oleh tokoh2 terkenal.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline wang ai lie

  • Sebelumnya: anggia.gunawan
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.204
  • Reputasi: 72
  • Gender: Male
  • Terpujilah Sang Bhagava,Guru para Dewa dan Manusia
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #34 on: 21 May 2011, 03:56:03 PM »
bhikkhu cacad dg pemikir cacad apa beda yang bisa dibandingkan? semuanya sama2 nggak sempurna, setau ane,..dalam vinaya ada syarat seorang bhikkhu tdk boleh cacad fisik, karena ditakutkan akan menyusahkan diri sendiri dalam membina diri. lain ceritanya dg kalau dia sdh menjadi bhikkhu lalu tiba2 harus cacad.
he he he,.ente masih kurang senang dg biku bergitar nih? kenapa masih membawa beban pemikiran,..aku aj udah tinggal kan biku bergitar itu dipostingan lampau,..anda masih membawanya sampai saat ini,..kakao tau betapa sulitnya membawa beban itu,.iklashlah, buang beban itu,..letakkan,..tinggalkan masalalu menuju masa depan. ;D
bhikkhu itu adalah manusia, pelanggaran sila masih banyak dilakukan oleh manusia, kita doakan aja semoga para sangha semakin baik dan semakin bijaksana.. lepaskan ya bro,.itu beban u,.tinggalkan sekarang _/\_ jangan mendendam, buddha nggak mengajarkan kita memusuhi, buddha mengajarkan kita kenalkan dhamma pada yang mereka memiliki sedikit debu dimata mereka(permintaan brahma sahampati) ;D ;D

apakah memang diatur dalam vinaya jika bhikku tidak boleh cacat fisik, mohon share nya? apakah sosok bhikku hanya untuk orang2 normal? _/\_
Namo Mahakarunikaya Avalokitesvaraya, Semoga dengan cepat saya mengetahui semua ajaran Dharma,berada dalam perahu Prajna,mencapai Sila, Samadhi, dan Prajna,berada dalam kediaman tanpa perbuatan,bersatu dengan Tubuh Agung Dharma

Offline Landy Chua

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 678
  • Reputasi: 29
  • Gender: Female
  • Berkelana untuk belajar Dhamma ^^
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #35 on: 21 May 2011, 04:09:41 PM »
saya percaya.. surga itu.. tidak ada...~  ;D

Offline wang ai lie

  • Sebelumnya: anggia.gunawan
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.204
  • Reputasi: 72
  • Gender: Male
  • Terpujilah Sang Bhagava,Guru para Dewa dan Manusia
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #36 on: 21 May 2011, 04:28:29 PM »
Spoiler: ShowHide
Vinaya Pitaka adalah bagian kitab suci Tipitaka yang membahas
mengenai aturan-aturan kebhikkhuan termasuk syarat-syarat serta
proses pentahbisan atau upasampada seorang bhikkhu. Sebagai umat awam
tidak ada salahnya kita juga mengetahui isi Vinaya Pitaka. Pada
kesempatan kali ini, kita akan mengulas mengenai seluk beluk
upasampada seorang bhikkhu menurut Vinaya Pitaka Pali.

1.Tiga jenis metode upasampada dalam sejarah Buddhadhamma

a.Ehi-bhikkhu upasampada

Pentahbisan oleh Buddha dengan ucapan, "Ehi bhikkhu, svakkhato dhammo
caro brahmacariyam samma dukkhasa antakiriyaya" - "Marilah bhikkhu,
Dhamma telah dibabarkan dengan baik, hiduplah sebagai brahmacariya
untuk mengakhiri dukkha ini selamanya." Setelah ucapan itu
diperdengarkan, orang yang berminat menjadi bhikkhu itu diterima dan
bergabung dengan Sangha. Pentahbisan ini dikenal sebagai Ehi-bhikkhu
upasampada yang berarti "Pentahbisan dengan Ucapan Marilah Bhikkhu!"

b.Tisaranagamanupasampada

Pentahbisan dilakukan di hadapan para siswa utama Buddha. Para calon
bhikkhu diharuskan mencukur terlebih dahulu rambut dan janggut mereka
serta mengenakan jubah kasaya (berwarna kuning) sebagai pertanda niat
mereka untuk bergabung dengan Sangha. Selanjutnya, mereka mengucapkan
dengan tulus rumusan Berlindung Pada Tiga Permata dengan sikap
hormat. Setelah melakukan tatacara ini, calon bhikkhu diterima dan
bergabung dengan Sangha sebagai bhikkhu seutuhnya. Oleh karena itu,
pentahbisan semacam ini disebut Tisaranagamanupasampada, yang berarti
Pentahbisan dengan Berlindung pada Tiga Permata.

c Natti-catutthakamma-upasampada

Pentahbisan dilakukan di hadapan anggota Sangha, dimana kumpulan
sejumlah bhikkhu yang jumlahnya ditentukan berdasarkan tugasnya
berkumpul dalam sebuah sima (yakni suatu tempat dengan batasan-
batasan tertentu). Mereka memaklumkan penerimaan calon bhikkhu ke
dalam anggota Sangha yang kemudian disetujui oleh para bhikkhu
lainnya.

Berdasarkan ketiga metode di atas, kita mengenal tiga jenis bhikkhu
berdasarkan metode pentahbisannya; yakni bhikkhu yang diupasampadakan
dengan metode pertama, kedua, dan ketiga.

2.Empat syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat
diupasampadakan (sampatti)

(1) Orang yang berhasrat untuk menerima upasampada haruslah pria.

(2) Ia harus mencapai usia 20 tahun sebagaimana yang disyaratkan,
dimana usia ini dihitung semenjak mulainya pembuahan (dengan
menganggap bahwa janin berada dalam kandungan ibunya selama 6 bulan
menurut penanggalan lunar).

(3) Tubuh orang itu hendaknya mencerminkan seorang pria yang
sempurna. Seorang kasim dengan demikian tidak diizinkan menjadi
bhikkhu. Selain itu, organ-organ tubuh lainnya harus sempurna dan
lengkap. Inilah yang dimaksud dengan terbebas dari kecacatan.

(4) Ia hendaknya tidak pernah melakukan kejahatan-kejahatan sangat
berat, seperti membunuh ibu, membunuh ayah, dan lain sebagainya.

(5) Ia hendaknya tidak pernah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang
dianggap berat oleh Buddhasasana, seperti melanggar aturan-aturan
parajika sebelum ditahbiskan sebagai bhikkhu. Atau, kendati ia
sebelumnya pernah menjadi bhikkhu, tetapi memiliki pandangan salah
dan menganut keyakinan lainnya.

3.Langkah-langkah menuju kesempurnaan upasampada

Agar upasampada seorang bhikkhu dapat dikatakan sempurna masih ada
beberapa hal lagi yang harus dipertimbangkan

a. Vatthu-sampati

Jika seseorang pernah melakukan pelanggaran serius atau terlahir
sebagai seorang wanita, maka orang itu tidak dapat menerima
upasampada dan pentahbisan mereka disebut sebagai vatthu-vipatti,
yang secara harafiah berarti "tidak sempurna atau rusak secara
materiil." Apabila sangha dengan sadar atau atau tidak sadar
mentahbiskan orang-orang yang tidak memenuhi kelima kriteria di atas
secara sempurna, maka penerima upasampada itu tidak akan menjadi
bhikkhu yang sesuai dengan aturan yang ditetapkan Sang Buddha. Begitu
sangha mengetahui adanya pelanggaran terhadap kriteria di atas, orang
yang telah "ditahbiskan" tersebut harus diusir dari sangha.
Sebaliknya, orang yang memenuhi kelima kriteria di atas disebut
vatthu-sampatti (sempurnanya seluruh kriteria) dan boleh diupasampada
oleh sangha. Meskipun demikian, seseorang telah memenuhi kriteria di
atas tetap harus diuji lebih lanjut secara seksama oleh sangha
sebelum upasampada diberikan, demi menghindari ditahbiskannya para
pencuri, penjahat, atau orang-orang yang bereputasi buruk di tengah-
tengah masyarakat. Selanjutnya, yang perlu pula dihindari adalah
orang-orang yang memiliki rajah-rajah (tatto) pada tubuhnya (sebagai
tanda hukuman di zaman dahulu) sesuai dengan kejahatan yang telah
mereka lakukan, atau memiliki luka-luka akibat cambukan pada
punggungnya, dan begitu pula dengan orang yang menderita cacat fisik
atau penyakit kronis sehingga tidak dapat mengemban tugas mereka
sebagai bhikkhu. Orang yang memiliki penyakit menular atau berada di
bawah perlindungan dan kekuasaan orang lain, seperti orang tua,
pemerintah, pejabat, majikan, dan pemberi hutang, juga tidak dapat
menerima upasampada. Namun, bila mereka diberi izin oleh pemberi
perlindungan atau orang yang berkuasa atas mereka, barulah upasampada
dapat diberikan. Sebagai contoh adalah seorang anak yang telah
mendapat restu orang tuanya, pejabat pemerintah yang berwenang
memberikan izin baginya, sang majikan membebas-tugaskannya, atau
orang itu telah melunasi segenap hutang-hutangnya. Orang-orang
semacam ini tidaklah tertutup sama sekali kemungkinannya untuk
ditahbiskan sebagai bhikkhu (berbeda dengan orang yang tidak memenuhi
kelima kriteria wajib di atas), dan bila sangha secara tidak sadar
telah mentahbiskan orang-orang semacam itu, maka upasampadanya tetap
sah dan mereka tidak perlu diusir dari sangha.

b.Parisa-sampatti

Bila sangha hendak memberikan upasampada-nya, para bhikkhu yang telah
ditetapkan jumlahnya haruslah hadir, inilah yang disebut parisa-
sampatti (sempurnanya jumlah bhikkhu yang diperlukan). Tetapi, bila
jumlah bhikkhu yang hadir kurang dari yang seharusnya, hal ini
disebut parisa-vipatti (ketidak-sempurnaan dalam hal jumlah), dan
konsekuensinya upasampada juga tidak dapat dilangsungkan.

c.Sima-sampatti

Upasampada adalah suatu kegiatan dimana seluruh bhikkhu harus
berperan serta di dalamnya. Apabila di dalam suatu daerah yang telah
ditentukan batas-batasnya (sima), terdapat bhikkhu-bhikkhu dengan
jumlah lebih banyak dibandingkan dengan yang telah ditetapkan, tetapi
mereka tidak seluruhnya mengikuti acara upasampada itu dan tidak pula
peduli dengannya, maka meskipun jumlah bhikkhu telah memadai,
upasampada tetap tidak dapat diberikan. Inilah yang disebut denga
sima-vipatti (ketidak sempurnaan dalam hal sima). Karenanya, anggota
sangha dengan jumlah yang sesuai dengan ketentuan haruslah berkumpul
dalam suatu tempat yang telah ditetapkan batas-batasnya pula. Dengan
demikian barulah upasampada akan menjadi sah, dimana hal ini disebut
sebagai sima-sampatti (sempurnanya sima).

d. Kammavaca-sampatti

Sebelum upasampada dapat dilangsungkan, masih ada lagi langkah
pendahuluan yang perlu diambil. Orang yang berniat menjadi bhikkhu
harus diuji terlebih dahulu kualitas pribadinya (dimana dalam
pengujian ini sangha harus disertai oleh satu atau acariya, yakni
guru yang membacakan pertanyaannya). Pertanyaan yang ditanyakan oleh
guru itu meliputi satu kelompok pelanggaran-pelanggaran saja. Mungkin
juga pertanyaan-pertanyaan [mengenai pelanggaran] paling serius telah
dipilih (untuk ditanyakan di hadapan sangha). Barangkali pada masa
awal perkembangannya, hanya pelanggaran-pelanggaran sangat berat
semacam ini sajalah yang ditanyakan pada calon bhikkhu, sedangkan
pelanggaran lain yang lebih ringan ditambahkan kemudian. Seorang
calon penerima upasampada memerlukan seorang bhikkhu untuk
merekomendasikan dan membawa dirinya ke hadapan sangha, dimana
bhikkhu ini disebut upajjhaya. Seorang upajjhaya hendaknya seorang
bhikkhu senior yang mumpuni, sehingga dapat mengajar bhikkhu baru
tersebut setelah ia diupasampadakan. Selain itu, ia juga harus
menanyakan apakah kebutuhan-kebutuhan wajib atau parikkhara sang
calon, seperti jubah dan mangkuk, telah tersedia. Jika belum, ia
harus mengusahakannya. Sangha harus memerintahkan seorang bhikkhu
untuk menanyakan pada calon bhikkhu mengenai barang-barang keperluan
ini. Upasampada hanya boleh diberikan bila orang itu memang bersedia
menerimanya dan tidak dapat dipaksakan. Sudah menjadi tradisi bahwa
seorang calon bhikkhu mengutarakan permohonannya agar diterima
sebagai anggota sangha. Semua ini adalah langkah-langkah pendahuluan
sebelum upasampada dapat dilangsungkan. Jika syarat-syarat pendahuan
ini ada yang kurang sempurna, tetapi calon tidak pernah melakukan
pelanggaran-pelanggaran serius, upasampada-nya tetap dianggap sah,
hanya saja tidak sesuai dengan tradisi.
Ketika segala sesuatunya telah sempurna (sampatti), tibalah saatnya
untuk mengumumkan penerimaan calon bhikkhu ke dalam komunitas sangha.
Seorang bhikkhu yang memiliki pengetahuan memadai ditugaskan untuk
membacakan pernyataan itu di hadapan sangha. Pernyataan itu sendiri
dibagi menjadi empat tahap. Pertama-tama disampaikan pemberitahuan
(natti) bagi sangha serta permohonan agar calon diterima. Ketiga
pernyataan berikutnya disebut dengan anusavana, yang berisikan hasil
perundingan antar anggota sangha, dimana masing-masing anggota berhak
untuk berbicara. Apabila ada salah seorang bhikkhu yang menentang
permohonan itu, penerimaan akan dibatalkan; tetapi bila seluruh
anggota sangha berdiam diri, hal itu dapat diartikan bahwa mereka
semua telah sepakat menerima sang calon ke dalam komunitas sangha.
Jika seluruh anggota telah sepakat, pernyataan penerimaan oleh sangha
diumumkan dan seorang guru (atau dua orang guru bila kedua acariya
yang membacakannya) mengatakan bahwa ia akan mengingat hal ini. Pada
kesempatan tersebut, nama calon bhikkhu serta upajjhaya yang
merekomendasikannya kepada sangha, dan juga sangha itu sendiri tidak
boleh lupa disebutkan. Ini merupakan suatu keharusan dan bukan
sebaliknya. Bila segenap hal ini telah dilakukan dengan benar dan
sempurna, barulah dapat disebut sebagai Kammavaca-sampatti
(sempurnanya segenap pernyataan). Sangha yang hendak memberikan
upasampada haruslah melaksanakannya berdasarkan kelima sampatti ini,
sehingga tatacara pentahbisan tersebut selaras dengan apa yang telah
ditetapkan oleh Sang Buddha.

Rangkuman Empat Kondisi yang Harus Dipenuhi

1.Vatthu-sampatti - berkenaan dengan kualitas pribadi calon bhikkhu
2.Parisa-sampatti - berkenaan dengan jumlah para bhikkhunya
3.Sima-sampatti - berkenaan dengan tempat pentahbisan yang telah
ditetapkan batasannya (sima)
4.Kammavaca-sampatti - berkenaan dengan pernyataan penerimaan

Sementara itu butir terakhir dapat dibagi menjadi dua, sehingga
secara keseluruhan terdapat lima sampatti:

4.Natti-sampatti - berkenaan dengan permohonan
5.Anusavana-sampatti - berkenaan dengan penerimaan calon bhikkhu
tersebut

Disarikan dari buku The Entrance to The Vinaya (Vinayamukha) jilid 1
oleh Somdetch Phra Maha Samana Chao Krom Phraya Vajirananavarorasa.


(3) Tubuh orang itu hendaknya mencerminkan seorang pria yang
sempurna. Seorang kasim dengan demikian tidak diizinkan menjadi
bhikkhu. Selain itu, organ-organ tubuh lainnya harus sempurna dan
lengkap. Inilah yang dimaksud dengan terbebas dari kecacatan.


ternyata ada, tapi kenapa ya ?
Namo Mahakarunikaya Avalokitesvaraya, Semoga dengan cepat saya mengetahui semua ajaran Dharma,berada dalam perahu Prajna,mencapai Sila, Samadhi, dan Prajna,berada dalam kediaman tanpa perbuatan,bersatu dengan Tubuh Agung Dharma

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #37 on: 21 May 2011, 06:33:05 PM »
Spoiler: ShowHide
Vinaya Pitaka adalah bagian kitab suci Tipitaka yang membahas
mengenai aturan-aturan kebhikkhuan termasuk syarat-syarat serta
proses pentahbisan atau upasampada seorang bhikkhu. Sebagai umat awam
tidak ada salahnya kita juga mengetahui isi Vinaya Pitaka. Pada
kesempatan kali ini, kita akan mengulas mengenai seluk beluk
upasampada seorang bhikkhu menurut Vinaya Pitaka Pali.

1.Tiga jenis metode upasampada dalam sejarah Buddhadhamma

a.Ehi-bhikkhu upasampada

Pentahbisan oleh Buddha dengan ucapan, "Ehi bhikkhu, svakkhato dhammo
caro brahmacariyam samma dukkhasa antakiriyaya" - "Marilah bhikkhu,
Dhamma telah dibabarkan dengan baik, hiduplah sebagai brahmacariya
untuk mengakhiri dukkha ini selamanya." Setelah ucapan itu
diperdengarkan, orang yang berminat menjadi bhikkhu itu diterima dan
bergabung dengan Sangha. Pentahbisan ini dikenal sebagai Ehi-bhikkhu
upasampada yang berarti "Pentahbisan dengan Ucapan Marilah Bhikkhu!"

b.Tisaranagamanupasampada

Pentahbisan dilakukan di hadapan para siswa utama Buddha. Para calon
bhikkhu diharuskan mencukur terlebih dahulu rambut dan janggut mereka
serta mengenakan jubah kasaya (berwarna kuning) sebagai pertanda niat
mereka untuk bergabung dengan Sangha. Selanjutnya, mereka mengucapkan
dengan tulus rumusan Berlindung Pada Tiga Permata dengan sikap
hormat. Setelah melakukan tatacara ini, calon bhikkhu diterima dan
bergabung dengan Sangha sebagai bhikkhu seutuhnya. Oleh karena itu,
pentahbisan semacam ini disebut Tisaranagamanupasampada, yang berarti
Pentahbisan dengan Berlindung pada Tiga Permata.

c Natti-catutthakamma-upasampada

Pentahbisan dilakukan di hadapan anggota Sangha, dimana kumpulan
sejumlah bhikkhu yang jumlahnya ditentukan berdasarkan tugasnya
berkumpul dalam sebuah sima (yakni suatu tempat dengan batasan-
batasan tertentu). Mereka memaklumkan penerimaan calon bhikkhu ke
dalam anggota Sangha yang kemudian disetujui oleh para bhikkhu
lainnya.

Berdasarkan ketiga metode di atas, kita mengenal tiga jenis bhikkhu
berdasarkan metode pentahbisannya; yakni bhikkhu yang diupasampadakan
dengan metode pertama, kedua, dan ketiga.

2.Empat syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat
diupasampadakan (sampatti)

(1) Orang yang berhasrat untuk menerima upasampada haruslah pria.

(2) Ia harus mencapai usia 20 tahun sebagaimana yang disyaratkan,
dimana usia ini dihitung semenjak mulainya pembuahan (dengan
menganggap bahwa janin berada dalam kandungan ibunya selama 6 bulan
menurut penanggalan lunar).

(3) Tubuh orang itu hendaknya mencerminkan seorang pria yang
sempurna. Seorang kasim dengan demikian tidak diizinkan menjadi
bhikkhu. Selain itu, organ-organ tubuh lainnya harus sempurna dan
lengkap. Inilah yang dimaksud dengan terbebas dari kecacatan.

(4) Ia hendaknya tidak pernah melakukan kejahatan-kejahatan sangat
berat, seperti membunuh ibu, membunuh ayah, dan lain sebagainya.

(5) Ia hendaknya tidak pernah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang
dianggap berat oleh Buddhasasana, seperti melanggar aturan-aturan
parajika sebelum ditahbiskan sebagai bhikkhu. Atau, kendati ia
sebelumnya pernah menjadi bhikkhu, tetapi memiliki pandangan salah
dan menganut keyakinan lainnya.

3.Langkah-langkah menuju kesempurnaan upasampada

Agar upasampada seorang bhikkhu dapat dikatakan sempurna masih ada
beberapa hal lagi yang harus dipertimbangkan

a. Vatthu-sampati

Jika seseorang pernah melakukan pelanggaran serius atau terlahir
sebagai seorang wanita, maka orang itu tidak dapat menerima
upasampada dan pentahbisan mereka disebut sebagai vatthu-vipatti,
yang secara harafiah berarti "tidak sempurna atau rusak secara
materiil." Apabila sangha dengan sadar atau atau tidak sadar
mentahbiskan orang-orang yang tidak memenuhi kelima kriteria di atas
secara sempurna, maka penerima upasampada itu tidak akan menjadi
bhikkhu yang sesuai dengan aturan yang ditetapkan Sang Buddha. Begitu
sangha mengetahui adanya pelanggaran terhadap kriteria di atas, orang
yang telah "ditahbiskan" tersebut harus diusir dari sangha.
Sebaliknya, orang yang memenuhi kelima kriteria di atas disebut
vatthu-sampatti (sempurnanya seluruh kriteria) dan boleh diupasampada
oleh sangha. Meskipun demikian, seseorang telah memenuhi kriteria di
atas tetap harus diuji lebih lanjut secara seksama oleh sangha
sebelum upasampada diberikan, demi menghindari ditahbiskannya para
pencuri, penjahat, atau orang-orang yang bereputasi buruk di tengah-
tengah masyarakat. Selanjutnya, yang perlu pula dihindari adalah
orang-orang yang memiliki rajah-rajah (tatto) pada tubuhnya (sebagai
tanda hukuman di zaman dahulu) sesuai dengan kejahatan yang telah
mereka lakukan, atau memiliki luka-luka akibat cambukan pada
punggungnya, dan begitu pula dengan orang yang menderita cacat fisik
atau penyakit kronis sehingga tidak dapat mengemban tugas mereka
sebagai bhikkhu. Orang yang memiliki penyakit menular atau berada di
bawah perlindungan dan kekuasaan orang lain, seperti orang tua,
pemerintah, pejabat, majikan, dan pemberi hutang, juga tidak dapat
menerima upasampada. Namun, bila mereka diberi izin oleh pemberi
perlindungan atau orang yang berkuasa atas mereka, barulah upasampada
dapat diberikan. Sebagai contoh adalah seorang anak yang telah
mendapat restu orang tuanya, pejabat pemerintah yang berwenang
memberikan izin baginya, sang majikan membebas-tugaskannya, atau
orang itu telah melunasi segenap hutang-hutangnya. Orang-orang
semacam ini tidaklah tertutup sama sekali kemungkinannya untuk
ditahbiskan sebagai bhikkhu (berbeda dengan orang yang tidak memenuhi
kelima kriteria wajib di atas), dan bila sangha secara tidak sadar
telah mentahbiskan orang-orang semacam itu, maka upasampadanya tetap
sah dan mereka tidak perlu diusir dari sangha.

b.Parisa-sampatti

Bila sangha hendak memberikan upasampada-nya, para bhikkhu yang telah
ditetapkan jumlahnya haruslah hadir, inilah yang disebut parisa-
sampatti (sempurnanya jumlah bhikkhu yang diperlukan). Tetapi, bila
jumlah bhikkhu yang hadir kurang dari yang seharusnya, hal ini
disebut parisa-vipatti (ketidak-sempurnaan dalam hal jumlah), dan
konsekuensinya upasampada juga tidak dapat dilangsungkan.

c.Sima-sampatti

Upasampada adalah suatu kegiatan dimana seluruh bhikkhu harus
berperan serta di dalamnya. Apabila di dalam suatu daerah yang telah
ditentukan batas-batasnya (sima), terdapat bhikkhu-bhikkhu dengan
jumlah lebih banyak dibandingkan dengan yang telah ditetapkan, tetapi
mereka tidak seluruhnya mengikuti acara upasampada itu dan tidak pula
peduli dengannya, maka meskipun jumlah bhikkhu telah memadai,
upasampada tetap tidak dapat diberikan. Inilah yang disebut denga
sima-vipatti (ketidak sempurnaan dalam hal sima). Karenanya, anggota
sangha dengan jumlah yang sesuai dengan ketentuan haruslah berkumpul
dalam suatu tempat yang telah ditetapkan batas-batasnya pula. Dengan
demikian barulah upasampada akan menjadi sah, dimana hal ini disebut
sebagai sima-sampatti (sempurnanya sima).

d. Kammavaca-sampatti

Sebelum upasampada dapat dilangsungkan, masih ada lagi langkah
pendahuluan yang perlu diambil. Orang yang berniat menjadi bhikkhu
harus diuji terlebih dahulu kualitas pribadinya (dimana dalam
pengujian ini sangha harus disertai oleh satu atau acariya, yakni
guru yang membacakan pertanyaannya). Pertanyaan yang ditanyakan oleh
guru itu meliputi satu kelompok pelanggaran-pelanggaran saja. Mungkin
juga pertanyaan-pertanyaan [mengenai pelanggaran] paling serius telah
dipilih (untuk ditanyakan di hadapan sangha). Barangkali pada masa
awal perkembangannya, hanya pelanggaran-pelanggaran sangat berat
semacam ini sajalah yang ditanyakan pada calon bhikkhu, sedangkan
pelanggaran lain yang lebih ringan ditambahkan kemudian. Seorang
calon penerima upasampada memerlukan seorang bhikkhu untuk
merekomendasikan dan membawa dirinya ke hadapan sangha, dimana
bhikkhu ini disebut upajjhaya. Seorang upajjhaya hendaknya seorang
bhikkhu senior yang mumpuni, sehingga dapat mengajar bhikkhu baru
tersebut setelah ia diupasampadakan. Selain itu, ia juga harus
menanyakan apakah kebutuhan-kebutuhan wajib atau parikkhara sang
calon, seperti jubah dan mangkuk, telah tersedia. Jika belum, ia
harus mengusahakannya. Sangha harus memerintahkan seorang bhikkhu
untuk menanyakan pada calon bhikkhu mengenai barang-barang keperluan
ini. Upasampada hanya boleh diberikan bila orang itu memang bersedia
menerimanya dan tidak dapat dipaksakan. Sudah menjadi tradisi bahwa
seorang calon bhikkhu mengutarakan permohonannya agar diterima
sebagai anggota sangha. Semua ini adalah langkah-langkah pendahuluan
sebelum upasampada dapat dilangsungkan. Jika syarat-syarat pendahuan
ini ada yang kurang sempurna, tetapi calon tidak pernah melakukan
pelanggaran-pelanggaran serius, upasampada-nya tetap dianggap sah,
hanya saja tidak sesuai dengan tradisi.
Ketika segala sesuatunya telah sempurna (sampatti), tibalah saatnya
untuk mengumumkan penerimaan calon bhikkhu ke dalam komunitas sangha.
Seorang bhikkhu yang memiliki pengetahuan memadai ditugaskan untuk
membacakan pernyataan itu di hadapan sangha. Pernyataan itu sendiri
dibagi menjadi empat tahap. Pertama-tama disampaikan pemberitahuan
(natti) bagi sangha serta permohonan agar calon diterima. Ketiga
pernyataan berikutnya disebut dengan anusavana, yang berisikan hasil
perundingan antar anggota sangha, dimana masing-masing anggota berhak
untuk berbicara. Apabila ada salah seorang bhikkhu yang menentang
permohonan itu, penerimaan akan dibatalkan; tetapi bila seluruh
anggota sangha berdiam diri, hal itu dapat diartikan bahwa mereka
semua telah sepakat menerima sang calon ke dalam komunitas sangha.
Jika seluruh anggota telah sepakat, pernyataan penerimaan oleh sangha
diumumkan dan seorang guru (atau dua orang guru bila kedua acariya
yang membacakannya) mengatakan bahwa ia akan mengingat hal ini. Pada
kesempatan tersebut, nama calon bhikkhu serta upajjhaya yang
merekomendasikannya kepada sangha, dan juga sangha itu sendiri tidak
boleh lupa disebutkan. Ini merupakan suatu keharusan dan bukan
sebaliknya. Bila segenap hal ini telah dilakukan dengan benar dan
sempurna, barulah dapat disebut sebagai Kammavaca-sampatti
(sempurnanya segenap pernyataan). Sangha yang hendak memberikan
upasampada haruslah melaksanakannya berdasarkan kelima sampatti ini,
sehingga tatacara pentahbisan tersebut selaras dengan apa yang telah
ditetapkan oleh Sang Buddha.

Rangkuman Empat Kondisi yang Harus Dipenuhi

1.Vatthu-sampatti - berkenaan dengan kualitas pribadi calon bhikkhu
2.Parisa-sampatti - berkenaan dengan jumlah para bhikkhunya
3.Sima-sampatti - berkenaan dengan tempat pentahbisan yang telah
ditetapkan batasannya (sima)
4.Kammavaca-sampatti - berkenaan dengan pernyataan penerimaan

Sementara itu butir terakhir dapat dibagi menjadi dua, sehingga
secara keseluruhan terdapat lima sampatti:

4.Natti-sampatti - berkenaan dengan permohonan
5.Anusavana-sampatti - berkenaan dengan penerimaan calon bhikkhu
tersebut

Disarikan dari buku The Entrance to The Vinaya (Vinayamukha) jilid 1
oleh Somdetch Phra Maha Samana Chao Krom Phraya Vajirananavarorasa.


(3) Tubuh orang itu hendaknya mencerminkan seorang pria yang
sempurna. Seorang kasim dengan demikian tidak diizinkan menjadi
bhikkhu. Selain itu, organ-organ tubuh lainnya harus sempurna dan
lengkap. Inilah yang dimaksud dengan terbebas dari kecacatan.


ternyata ada, tapi kenapa ya ?
biar ga dibilang biku cacad, khan nama buda tercemar nanti =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #38 on: 23 May 2011, 09:44:28 AM »
PAYASI SUTTA

Sumber: Aneka Sutta – Penyusun : Maha Pandita Sumedha Widyadharma
Diterbitkan oleh Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda 1992

Pada suatu Ketika, Ayasma Kumara Kassapa Sedang mengembara dari kota ke kota di negara Kosala, dengan diiringi lima ratus orang bhikkhu, dan tibalah mereka di sebuah hutan dekat kota Setavya. Di kota Setavya juga bertempat tinggal seorang raja muda, panglima perang, yang bernama Payasi. Payasi ini menganut pandangan (keliru) sebagai berikut :
“Tidak ada dunia lain (halus), tidak ada tumimbal lahir secara spontan (opapatiko), tidak ada penanaman bibit dan pemetikan buah (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk.”

Ketika mendengar bahwa Ayasma Kassapa berdiam di hutan dekat kota Setavya, Payasi memutuskan untuk pergi menjumpainya. Setelah memberi hormat sebagaimana layaknya, Payasi lalu memberitahukan Ayasma Kassapa tentang pandangannya yang sudah dikenal oleh khalayak ramai.

Ayasma Kassapa menjawab : “Akupun sudah mendengar tentang hal itu. Tetapi bagaimanakah orang dapat mempunyai pandangan seperti itu? Apakah anda mungkin mempunyai alasan-alasan tertentu?”

“Memang demikian halnya,” jawab Payasi, dan kemudian melanjutkan : “Kawan-kawanku, keluargaku dan saudara-saudaraku yang biasa membunuh, mengambil barang-barang yang tidak diberikan (mencuri), pikirannya penuh keserakahan, kebencian dan kegelapan batin, pada suatu hari sakit payah dan sangat menderita. Ketika aku mendengar ajalnya akan segera tiba, aku memerlukan menjenguknya untuk menitipkan pesan : ‘Saudaraku yang tercinta. Para pertapa dan bhikkhu percaya bahwa siapa yang suka membunuh, mencuri, melakukan perbuatan asusila, berdusta, memfitnah, suka bertengkar dan berbicara hal-hal yang tidak berguna, pikirannya penuh keserakahan, kebencian dan kegelapan batin; kalau kelak mereka meninggal dunia dan badan jasmaninya hancur, roh mereka akan melalui sebuah lorong gelap masuk ke dalam neraka. Dan begitu pulalah kehidupan saudaraku. Kalau sekiranya ucapan para pertapa dan bhikkhu itu benar dan saudaraku betul-betul masuk ke dalam neraka, aku mohon dengan sangat agar saudaraku mau kembali lagi ke dunia untuk memberi kabar kepadaku : ‘Memang benar ada dunia lain,…’

Saudaraku yang tercinta. Aku percaya penuh kepada Anda; apa yang Anda lihat sama juga seperti aku melihatnya sendiri. Mohon dengan sangat agar harapanku tidak sia-sia hendaknya. Dengan kata-kata : ‘Tentu saja tidak’, ia dengan khikmat berjanji kepadaku. Tetapi kenyataannya tidak seorangpun pernah kembali untuk memberi kabar kepadaku. Inilah salah satu sebab yang memperkuat pandanganku.”

Setelah mendengar uraian tersebut, Ayasma Kassapa lalu menceritakan satu perumpamaan tentang penjahat dan algojonya.

“O, Payasi, andaikata pada suatu hari seorang penjahat dibawa kehadapan Anda dan Anda diminta untuk mengadilinya; dan Anda memerintahkan agar penjahat itu dipenggal lehernya sekarang juga. Andaikata penjahat itu memohon kepada algojo agar pelaksanaan hukuman ditunda dulu hingga ia sempat memberi kabar kepada kawan-kawannya dan keluarganya. Apakah menurut pendapat Anda, algojo itu mau menunda pelaksanaan hukuman orang itu ataukah ia segera melaksanakan hukuman mati tersebut?”

Payasi harus mengakui bahwa algojo pasti tidak mau meluluskan permohonan penjahat itu.

“Nah, Payasi yang terhormat. Kalau seorang penjahat tidak diberi ampun oleh algojo di dunia ini, apakah Anda mengira bahwa kawan-kawan Anda yang terdiri dari pembunuh, pencuri, orang cabul, pendusta, pemfitnah dan yang suka omong kosong, pikirannya penuh dengan keserakahan, kebencian dan kegelapan batin dapat diberi ampun?
Setelah meninggal dunia, roh (? – red) mereka akan melalui sebuah lorong gelap masuk ke dalam neraka. Di neraka mereka memohon kepada para algojo dengan kata : ‘Mohon dengan hormat kepada Bapak Algojo agar sudi menunda dulu pelaksanaan hukuman kami hingga kami dapat memberi kabar kepada raja muda Payasi di dunia, bahwa setelah mati memang ada dunia lain (halus).’ Apakah Anda berpendapat bahwa para algojo mau meluluskan permintaan mereka?”

Karena Payasi rupa-rupanya masih belum dapat diyakinkan, maka Ayasma Kassapa lalu menanyakan tentang kemungkinan masih ada sebab-sebab lain.

Atas pertanyaan ini Payasi menceritakan, bahwa iapun mempunyai kawan dan sanak-keluarga yang belum pernah membunuh makhluk-makhluk hidup dan selalu melaksanakan tata hidup yang saleh dan terpuji.

Kepada merekapun diminta untuk memberi kabar setelah mereka mati dan kelak masuk sorga. Tetapi mereka tidak pernah kembali atau kirim berita.
“Baiklah, Panglima yang terhormat. Sekarang aku ingin menceritakan sebuah perumpamaan, yang dari padanya banyak orang pintar dapat menangkap arti yang sesungguhnya dari suatu kotbah.

Andaikata ada orang yang terjatuh ke dalam jamban dan Anda memerintahkan budak Anda untuk menariknya keluar dari jamban tersebut. Lalu orang itu disikat dan dicuci bersih, kemudian disiram tiga kali dengan minyak wangi, rambut serta janggutnya disisir rapi, diberi pakaian bagus dan dibawa ke sebuah istana di mana ia dapat menikmati kesenangan dari kelima indriyanya.

Sekarang aku ingin bertanya : Apakah orang itu ingin kembali ke dalam jamban? Mengapa tidak? Jamban adalah kotor dan berbau busuk, memualkan, mengerikan dan memperlihatkan perbedaan seorang manusia biasa dari seorang dewa.

O, Payasi yang baik. Dari jarak seratus mil bau seorang manusia dapat mengusir para dewa. Bagaimana mungkin sahabat-sahabat Anda yang menyukai kehidupan saleh dan sekarang masuk ke sorga, ingin kembali ke dunia untuk memberi kabar kepada Anda : ‘Memang benar terdapat suatu dunia lain (halus), memang benar terdapat tumimbal lahir spontan ….”

“Selain dari itu”, Ayasma Kassapa melanjutkan : “kalau kita di dunia ini satu abad, di alam sorga dari Tigapuluh Tiga Dewa berarti satu hari satu malam. Tiga puluh malam demikian itu merupakan satu bulan, dua belas bulan merupakan satu tahun; dan kehidupan di alam Tigapuluh Tiga Dewa tersebut berlangsung selama seribu tahun yang demikian itu.

Nah, kawan-kawan serta sanak keluarga Anda yang tidak pernah membunuh makhluk hidup, tidak pernah berdusta, … setelah badan jasmani mereka hancur pasti masuk ke alam sorga.

Andaikata mereka berpikir : ‘Setelah kami berdiam di alam sorga ini untuk dua atau tiga hari dan menikmati dulu kesenangan kelima indriya kami, maka kami baru kembali ke dunia untuk memberitahukan Payasi bahwa memang benar terdapat sebuah dunia lain (halus), bahwa tumimbal lahir spontan memang benar adanya dan menanam bibit serta memetik buahnya (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruknya merupakan kenyataan.’ Apakah mereka dapat melaksanakan apa yang mereka pikir?”

“Tentu saja tidak”, jawab Payasi, “sebab kami semua pasti sudah meninggal dunia. Tetapi, Ayasma Kassapa, siapakah yang memberitahukan Anda tentang adanya alam dari Tigapuluh Tiga Dewa dan bahwa mereka dapat hidup sampai sekian lama? Aku menyesal harus tidak percaya apa yang Anda katakan.”

Ayasma Kassapa lalu menjawab ; “O, Payasi, Anda mirip dengan seorang yang sejak lahir buta matanya, seorang yang tidak dapat melihat benda-benda yang berwarna hitam, putih, biru, kuning, merah atau hijau; tidak dapat melihat apa yang sama dan apa yang tidak sama; tidak dapat melihat bintang-bintang, bulan dan matahari. Orang itu kemudian berkata :’Aku tidak tahu tentang hal itu; aku tidak melihat apa-apa, karena itu benda-benda tersebut tidak mungkin ada.’
Cobalah Anda pikir, apakah orang buta yang mengucapkan kata-kata tersebut di atas, mengatakan sesuatu yang benar?”

“Tentu saja tidak”, jawab Payasi.

“Nah, demikianlah sebenarnya keadaan Anda, Payasi yang terhormat. Anda mirip dengan seorang yang sejak dilahirkan buta matanya. Ketahuilah bahwa alam halus tidak dapat dilihat dengan mata biasa.

Para pertapa dan bhikkhu yang hidup menyepi dan melakukan meditasi untuk waktu yang lama, telah melatih mata batin mereka sehingga dapat melihat hal-hal yang tidak terlihat dengan mata biasa. Dengan mata batin mereka dapat melihat dunia ini dan juga alam halus dan mereka yang bertumimbal lahir secara spontan.

Payasi masih saja belum dapat diyakinkan dan memberi bantahan baru, bahwa melihat para pertapa dan bhikkhu yang saleh dan selalu mempunyai itikad baik; tetapi mereka memilih untuk tetap hidup dan tidak ingin cepat-cepat mati. Mereka tetap ingin menikmati hidup dan membenci kematian. Karena itu aku berkata kepada diriku : “Kalau saja para pertapa dan para bhikkhu yang terhormat itu benar-benar tahu bahwa keadaan mereka setelah mati akan menjadi lebih baik, maka pastilah sekarang juga mereka akan minum racun atau membunuh diri dengan menggunakan senjata tajam atau menggantung diri atau menjatuhkan diri mereka dari atas batu karang yang tinggi. Tetapi justru karena sangsi, apakah mereka kelak setelah mati dapat masuk sorga, maka mereka memilih untuk hidup lebih lama dalam dunia ini dan tidak ingin cepat mati; mereka memilih hidup senang dan mengelakkan penderitaan.”
Inilah sebab lain lagi, sehingga aku percaya bahwa dunia halus tidak ada dan tumimbal lahir secara spontan tidak ada,…”

Ayasma Kassapa kemudian menceritakan sebuah perumpamaan dari seorang yang mempunyai dua orang istri. Istri pertama mempunyai anak laki-laki berumur duabelas tahun, sedang istri kedua sedang hamil ketika suaminya meninggal dunia.
Setelah ayahnya meninggal dunia, anak laki-laki itu menagih warisan kepada istri kedua dari mendiang ayahnya. Atas tagihan ini istri kedua mohon ditunda dulu sampai bayi yang sedang dikandungnya itu lahir. Kalau bayi itu seorang anak laki-laki, maka bayi laki-laki itu berhak atas sebagian warisan ayahnya. Kalau bayi itu perempuan, maka warisan itu seluruhnya akan menjadi milik si anak laki-laki dari istri pertama.
Tetapi si anak laki-laki itu tak sabar menanti dan terus-menerus mendesak. Karena kesal, istri kedua itu lalu masuk ke kamarnya dan membedah perutnya sendiri untuk melihat apakah bayi yang sedang dikandungnya itu laki-laki atau perempuan. Dengan demikian tentu saja ia kehilangan nyawa bayinya, kehilangan nyawanya sendiri dan kehilangan bagian dari warisan mendiang suaminya.

Dengan cara yang sama, Payasi yang terhormat, Anda akan mengalami malapetaka hanya karena keingintahuan Anda tentang alam halus. Para pertapa dan bhikkhu yang saleh dan mempunyai itikad baik tidak akan memetik buah yang belum matang. Lagi pula, lebih lama mereka hidup di dunia ini, lebih banyak dapat mereka manfaatkan hidup mereka untuk kepentingan para manusia dan para dewa. Ini merupakan bukti pula, Payasi, bahwa memang terdapat dunia lain…”

Namun Payasi masih mempunyai alasan lain untuk membela pendiriannya. Ia mengatakan bahwa ia pernah menyuruh membakar seorang penjahat sampai mati dalam sebuah tempayan besar yang ditutup rapat dan disegel. Sesudah itu dengan hati-hati ia menyuruh buka tempayan itu, tetapi tidak ada roh yang tampak keluar dari tempayan tersebut.

Ayasma Kassapa lalu bertanya kepada Payasi apakah ia pernah mimpi waktu tidur.

“Sering”, jawab Payasi. “Siang hari ini aku mimpi tentang sebuah taman yang indah, juga sebuah hutan dengan pemandangan alam yang menarik dan laut yang tenang.”

“Akan tetapi”, Ayasma Kassapa bertanya : “Apakah Anda ketika itu dijaga oleh badut-badut istana, orang-orang kerdil istana, dayang-dayang yang ditugaskan untuk mengipas dan gadis-gadis lain? Apakah mereka tidak melihat roh Anda keluar dari badan Anda? Demikian pula, mana mungkin Anda dapat melihat roh yang masuk dan keluar dari orang yang sudah mati?”

Tetapi Payasi masih memiliki alasan lain untuk membenarkan pandangannya. Ia pernah menyuruh untuk menimbang seorang penjahat ketika masih hidup dan kemudian memerintahkan para algojo untuk menjirat leher penjahat itu sampai mati. Setelah mati mayatnya kembali ditimbang. Dan ternyata bahwa ketika masih hidup timbangannya lebih ringan dibandingkan dengan ketika sudah menjadi mayat. Karena itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa tidak ada sesuatu yang hilang, bahkan rohpun tidak.

Ayasma Kassapa lalu membuktikan, bahwa jalan pikiran yang demikian itu salah dengan menuturkan cerita tentang sebuah bola besi.

“Bila sebuah bola besi dibakar sampai membara, maka timbangannya akan berkurang dibandingkan ketika masih belum dibakar. Begitu pula bila seorang manusia masih hidup, masih berhawa panas dan memiliki kesadaran, ia akan lemas dan lebih ringan daripada sesosok tubuh manusia yang mati, dingin dan tidak memiliki kesadaran lagi. Tubuh ini akan menjadi kaku dan berat.”

Payasi lalu bercerita tentang suatu percobaan lain.

Seorang penjahat dihukum mati tanpa merusak kulit, daging dan tulang atau sumsum. Setelah orang itu mati, Payasi memerintahkan orang-orangnya untuk membaringkan mayat itu terlentang lalu menelungkup, miring, dan ditaruh dengan kepala di bawah. Setelah itu digosok-gosok, dipukul dengan batu, disikat dengan kayu lalu dengan pisau. Namun yang hadir tak dapat melihat ada roh yang keluar dari mayat itu.

Ayasma Kassapa lalu menceritakan sebuah kisah dari seorang peniup suling keong yang mengembara ke suatu negara asing, di mana para penduduknya belum pernah melihat orang meniup suling keong. Ia meniup tiga kali lalu meletakkan keong itu disampingnya. Penduduk setempat berduyun-duyun datang untuk melihat keong tersebut. Mereka miringkan keong itu ke kiri, kemudian ke kanan; mereka menggosok-gosok, menekan-nekan dan mengocok-ngocok, tetapi tidak ada suara yang keluar dari keong tersebut.
Akhirnya dengan tertawa peniup suling itu mengambil keong tersebut dan meniup tiga kali. Para penduduk setempat sekarang tahu bahwa hanya dengan ditiup keong itu dapat mengeluarkan suara.
Demikian pula halnya dengan tubuh manusia. Digabung dengan kehidupan, digabung dengan hawa panas, digabung dengan kesadaran, tubuh seorang manusia dapat berjalan, berdiri, duduk, berbaring, melihat bentuk-bentuk dengan mata, mendengar suara dengan telinga, mencium wewangian dengan hidung, menyentuh dengan jari tangan serta merasakan benda-benda dengan badan dan dapat mengerti paham dengan pikiran. Tetapi kalau tubuh kosong dari kehidupan, hawanya tidak lagi panas dan tidak lagi bergabung dengan kesadaran, maka tubuh itu tidak lagi dapat berjalan, berdiri…. Ini merupakan bukti pula untuk Anda, bahwa seyogyanya Anda harus percaya bahwa ada dunia lain…

Sekali lagi Payasi menceritakan Ayasma Kassapa tentang percobaan lain yang ia lakukan untuk menemukan roh manusia.
Ia memerintahkan membedah seorang penjahat dengan cara memotong kulitnya, dagingnya, tulangnya dan sumsumnya, tetapi lagi-lagi tidak dapat ditemukan roh yang dicari.

Dalam hubungan ini Ayasma Kassapa menceritakan sebuah perumpamaan tentang seorang pemuja api yang telah memungut seorang anak yatim piatu yang ditinggal dari sebuah kafilah. Ketika anak itu berumur duabelas tahun, pemuja api itu (yang juga seorang pertapa) ingin berkelana untuk beberapa waktu lamanya.
Ia memesan kepada anak itu untuk menjaga api baik-baik dan jangan sampai padam. Tetapi kalau padam ia harus menyalakan kembali dengan menggosok-gosok dua batang kayu terus-menerus hingga keluar api.
Ketika pertapa itu sudah pergi, anak itu sepanjang hari terus-menerus bermain, sehingga api pujaan benar-benar padam. Anak itu ingat apa yang dikatakan ayah angkatnya, tetapi lupa cara menggunakan alat pembangkit api tersebut. Batang kayu itu dipotong-potong menjadi potongan-potongan kecil dan kemudian ditumbuk dalam sebuah lumpang. Tentu saja dengan cara itu ia tidak dapat menyalakan api. Ketika ayah angkatnya pulang dan melihat api pemujaan padam, ia lalu mengambil dua batang kayu dan digosok-gosok terus-menerus hingga panas dan akhirnya keluar api.

“O, Payasi, dalam hal yang sama adalah bodoh untuk mencari dunia halus dengan memakai cara yang salah seperti yang Anda lakukan hingga kini. O, Payasi, lepaskanlah pandangan keliru Anda agar Anda tidak tertimpa malapetaka dan penderitaan.”

“Meskipun Ayasma Kassapa berkata demikian, namun aku tetap tidak dapat melepaskan pandangan tersebut. Raja Pasenadi dari Kosala dan semua raja tahu, bahwa Payasi memiliki pandangan tersebut. Yaitu, bahwa tidak ada dunia lain (halus), tidak ada tumimbal lahir dengan spontan dan tidak ada penanaman bibit dan pemetikan buah (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk. Kalau sekarang aku melepaskan pandangan tersebut, tentu saja mereka akan berkata : ‘Sungguh bodoh Payasi itu dan ia sangat bebal untuk diberi pengertian. Untuk mencegah cemoohan orang, untuk menjaga kewibawaan (gengsi) dan sebagai tipu daya aku akan terus menerus menganut pandanganku tersebut.”

“Kalau demikian halnya”, berkata Ayasma Kassapa, “aku akan menceritakan lagi sebuah perumpamaan, yang dari padanya banyak orang pintar dengan jelas dapat melihat arti dari suatu persoalan.
Pada suatu ketika sebuah kafilah yang terdiri dari seribu kereta melakukan perjalanan dari negara Timur ke negara Barat. Dimanapun mereka tiba, biasanya rumput, air, rumput kering dan makanan habis terkuras. Karena itu mereka memutuskan untuk memecah kafilah mereka menjadi dua rombongan dari lima ratus buah kereta yang masing-masing dikepalai seorang kepala rombongan.
Kafilah pertama berangkat lebih dulu dengan membawa cukup bekal rumput, air, rumput kering dan makanan. Baru saja berjalan beberapa hari lamanya mereka bertemu dengan hantu jahat yang menyamar sebagai manusia. Kulitnya hitam, matanya merah, rambutnya awut-awutan dan dihias dengan bunga lotus. Pakaiannya basah dan ia mengendarai sebuah kereta bagus yang roda-rodanya basah dan penuh lumpur. Ketika ditanya dari mana ia datang, ia menjawab dalam perjalanan dilanda hujan lebat. Jalanan menjadi berlumpur dan rumput, kayu serta air dapat dijumpai dalam jumlah yang berlimpah-limpah. Pemimpin kafilah itu lalu memerintahkan untuk membuang semua persediaan rumput, kayu dan air, agar dapat berjalan lebih cepat karena lebih ringan. Mereka melanjutkan perjalanan satu hari, dua hari … hingga enam hari. Tetapi mereka gagal menemui rumput, kayu atau air, sehingga pada hari ketujuh semuanya mati karena kehausan. Hantu jahat lalu datang makan daging mereka, sehingga dari mayat-mayat orang dan binatang yang tertinggal hanya tulang-belulang saja.


VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #39 on: 23 May 2011, 09:44:41 AM »
Beberapa hari kemudian, kafilah kedua berangkat dengan membawa bekal rumput, kayu dan rumput kering dengan cukup. Baru berjalan beberapa hari, hantu jahat yang sama, dengan menyamar sebagai manusia, kembali mencegat perjalanan kafilah yang kedua dan menuturkan kisah yang sama. Kemudian ia membujuk agar semua persediaan rumput, kayu dan air dibuang saja. Tetapi pemimpin rombongan kafilah kedua ini adalah seorang cerdas dan berpengetahuan luas yang tidak begitu saja mau percaya omongan orang yang tidak dikenal. Ia memerintahkan melanjutkan perjalanan dan jangan membuang persediaan kayu, rumput dan air. Pada hari ketujuh mereka menjumpai reruntuk serta tulang-belulang dari kafilah yang pertama. Pemimpin rombongan lalu berkata : ‘Kafilah ini telah musnah, karena kebodohan dari pemimpinnya. Sekarang tukarlah barang-barang yang kurang berharga dari keretamu dengan barang-barang yang lebih berharga yang dapat diketemukan dari kafilah pertama dan kemudian marilah kita lanjutkan perjalanan kita.’

Akhirnya tibalah mereka dengan selamat di tempat tujuan berkat pemimpin mereka yang pintar dan berpengetahuan luas. Begitu pulalah, Payasi, sebagaimana juga pemimpin rombongan kafilah pertama Anda akan hancur dengan mencari dunia lain (halus) dengan memakai cara yang salah. Lepaskanlah pandangan keliru Anda agar Anda kelak tidak mengalami celaka.”

“Meskipun Ayasma Kassapa berkata demikian, namun aku tetap tidak mau melepaskan pandanganku tersebut untuk menjaga kewibawaan dan mencegah cemooh orang dan sebagai tipu daya”, jawab Payasi.

Lalu Ayasma Kassapa menceritakan lagi sebuah perumpamaan dari seorang peternak babi yang dalam perjalanan pulang ke rumah dari sebuah kampung lain melihat timbunan besar kotoran yang sudah kering. Ia berpikir : “Kotoran ini merupakan makanan yang baik untuk babi-babiku.” Kemudian ia membuat bungkusan besar dari kotoran kering tersebut dan dipikul di pundak untuk dibawa pulang. Tetapi dalam perjalanan pulang ia ditimpa hujan lebat, sehingga ketika tiba di rumah pakaian dan badannya basah kuyup dan berlumuran kotoran. Orang kampung yang melihat kejadian tersebut mentertawakan peternak itu atas ketololannya.
Peternak babi itu dengan marah menjawab : “Kamu sendiri yang tolol. Kotoran itu merupakan makanan baik untuk babiku!”

“Dalam hal yang sama Anda mirip dengan orang yang memikul kotoran itu, Payasi.”

Tetapi Payasi tetap tidak mau melepaskan pandangannya yang keliru untuk mencegah cemoohan orang, untuk menjaga kewibawaannya dan sebagai tipu daya.

Ayasma Kassapa kemudian menceritakan sebuah kisah tentang dua orang pemain dadu. Salah seorang pemain setiap kali sebelum bermain memasukkan biji dadu ke dalam mulutnya dan ia selalu menang. Karena itu pemain kedua berkata kepadanya : “Kamu selalu menang. Marilah sekarang kita saling tukar biji dadu dulu.”
Biji-biji dadu mereka ditukar. Pemain kedua lalu mengoleskan racun pada biji dadu tersebut. Kemudian mengajak mengajak pemain pertama untuk bermain dadu lagi. Biji-biji dadu mereka kembali ditukar. Seperti biasa ia memasukkan biji dadu itu sebelum bermain ke dalam mulutnya; dan tentu saja ia mati keracunan.

“Nah, Anda mirip dengan pemain dadu tersebut. Lepaskanlah pandangan keliru Anda, sehingga Anda kelak tidak mengalami celaka.”

Tetapi Payasi tetap kukuh pada pendiriannya, sehingga Ayasma Kassapa terpaksa menuturkan sebuah perumpamaan lagi.

Karena sesuatu sebab, pada suatu hari seluruh penduduk dari sebuah kampung pergi mengungsi. Seorang penduduk kampung lain berkata kepada kawannya : “Hai kawan, mari kita mengunjungi kampung tersebut. Barangkali saja kita akan menemukan sesuatu yang berharga tertinggal di sana.” Berangkatlah kedua kawan tersebut ke kampung yang telah kosong itu. Di sana mereka menemukan setumpuk rami. Mereka masing-masing lalu membuat dua ikatan besar, masing-masing memikul sebuah ikatan dan kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Tidak lama kemudian mereka menemukan tumpukan kulit kayu. Orang yang pertama mengatakan kepada kawannya : “Hai, kawan, lebih baik kita buang saja ikatan rami yang kita bawa sekarang dan menukarnya dengan kulit kayu ini yang lebih berharga.” Tetapi kawannya menjawab, bahwa ia sudah puas dengan ikatan rami dan tidak ingin menukarnya dengan kulit kayu.
Setelah itu mereka menemukan kemeja-kemeja berbulu, kemudia kain linnen. Seterusnya mereka menemukan timah putih, tembaga, perak dan akhirnya emas. Setiap kali orang yang pertama menukar bawaannya dengan yang lebih berharga, hanya kawannya dengan kukuh tetap saja memikul ikatan rami.

Akhirnya mereka tiba kembali di kampung tempat tinggal mereka. Orang yang memikul rami tidak disambut oleh istri, anak-anak dan kawan-kawan sekampung. Sebaliknya kawannya yang membawa pulang emas disambut dengan meriah oleh istrinya, anak-anaknya dan kawan-kawan sekampung, sehingga ia merasa bahagia sekali.

“O, Payasi, Anda mirip dengan si keras kepala yang memikul terus ikatan rami. Lepaskanlah pandangan Anda yang keliru dan janganlah menunggu ia kelak mengakibatkan Anda celaka!”

Akhirnya Payasi mengaku, bahwa sejak mendengar perumpamaan pertama ia sudah merasa gembira dan mengerti, namun ia ingin mendengar lebih banyak penjelasan dan keterangan. Karena itulah ia bersikeras dan tetap ingin berdebat dengan Ayasma Kassapa.

“Mengagumkan, Bhante, mengagumkan sekali! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, atau memperlihatkan apa yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan lampu di waktu gelap gulita, sambil berkata : ‘Siapa yang punya mata, silakan melihat.’ Demikianlah Dhamma telah dibabarkan dalam berbagai cara oleh Bhante. Karena itu aku ingin mencari perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Mohon Bhante berkenan menerima diriku sebagai siswa mulai hari ini hingga meninggal dunia. Mohon dengan hormat Bhante memberikan petunjuk kepadaku yang dapat digunakan untuk kesejahteraan dan keselamatanku.”

Ayasma Kassapa lalu meberikan petunjuknya.

“Apabila persembahan (dana) diberikan dengan jalan membunuh sapi, kambing, babi dan mahkluk-mahkluk lain, dan para pemberi dana masih dihinggapi pandangan salah dan pikiran salah, mengucapkan kata-kata salah, melakukan perbuatan dan mempunyai mata pencaharian salah, maka dana itu tidak bernilai tinggi, tak dapat membawa kemajuan apa-apa, tidak cemerlang dan tidak bercahaya. Seperti juga halnya seorang petani, dengan membawa bibit dan luku, ingin menanam sesuatu di tanah buruk yang belum dibersihkan dari belukar berduri dan akar-akar. Kalau bibit itu kelak menjadi kering oleh hembusan angin dan teriknya sinar matahari, sedang hujan tidak kunjung turun untuk menyiram tanah yang kering itu. Apakah mungkin bibit itu dapat bersemi dan menjadi besar?”

“Tidak mungkin, Bhante.”

“Sebaliknya, Payasi. Apabila persembahan (dana) diberikan dengan tidak membunuh binatang-binatang dan para pemberi dana memiliki pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, daya upaya benar, perhatian benar dan konsentrasi benar; persembahan (dana) demikian itu membawa pahala besar sekali, bercahaya, cemerlang dan bersinar hingga jauh. Kalau seorang petani menanam bibit di tanah subur dan hujan sewaktu-waktu turun, apakah bibit itu akan bersemi dan dapat menjadi besar kelak? Dan apakah Pak Tani itu tidak akan mendapat panen yang baik?”

Payasi, setelah pandangan kelirunya diluruskan oleh Ayasma Kassapa, setelah wafat masuk dalam alam sorga dari Empat Raja Dewa.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline wang ai lie

  • Sebelumnya: anggia.gunawan
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.204
  • Reputasi: 72
  • Gender: Male
  • Terpujilah Sang Bhagava,Guru para Dewa dan Manusia
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #40 on: 23 May 2011, 09:59:32 AM »
 kalau melihat sutta yang di posting bro dilbert ,jika alam neraka ada , alam dewa/surga juga ada dong nah kalau minta pembuktian, bagaimana ngebuktiin nya, apa dengan meditasi bisa? _/\_
Namo Mahakarunikaya Avalokitesvaraya, Semoga dengan cepat saya mengetahui semua ajaran Dharma,berada dalam perahu Prajna,mencapai Sila, Samadhi, dan Prajna,berada dalam kediaman tanpa perbuatan,bersatu dengan Tubuh Agung Dharma

Offline M14ka

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.821
  • Reputasi: 94
  • Gender: Female
  • Live your best life!! ^^
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #41 on: 23 May 2011, 10:11:54 AM »
belum pernah lah kk kan kakao bukan orang yang sdh mati ;D
bukankah syarat untuk masuk surga itu seseorang harus mati dulu? kakao nggak mau mati duluan ;D
sebenarnya untuk mengetahuinya suasananya aja sdh bisa kita gambarkan,..surga itu dimana sdh tiada lagi kejahatan, anak berbakti kepada orang tua, kakak adik rukun selalu, memeluk mama selagi masih ada, membahagiakan papa ketika beliau masih ada, senyum sapa bersahabat dimana2, berpergian kemanapun tampa kenal takut, melihat org lain bahagia kita bahagia, tiada dendam dihati, hidup bebas tampa beban pikiran, melepaskan ego, merasa cukup dg yang didapat, menumbuhkan sikap membantu sesama, selalu bergotong royong, itulah surga,..
kalau mau keneraka kit bisa liat suasananya kayak gini, melawan orang tua, suka berantem, mau menang sendiri, menyakiti org lain, mabuk2kan, main wanita, judi, cekcok dg tetangga, nggak pernah puas dikalahkan ego, curigaan,..mendendam sampai lama,.bahkan sampai tak mau memaafkan, bicara kasar,..hati sering dongkol,..itulah kita sdh sampai digerbang neraka.
dulu seorang guru zen pernah menyadarkanseorang jendral besar, dia bertanya "guru, taukah dimana letaknya surga dan neraka itu?" guru zen diam saja, ditanya lagi "woii guru,..tahukah kau letak surga dan neraka ?"teriak sedikit kesal jendral itu. guru zen malah membuang mukanya " huh",.makin kesal jendral itu berteriak kencang " guru apa kau budek masa kau nggak bisa menjawab dimana letak surga dan neraka ?" teriaknya mulai kesal. guru menjawab :" memangnya siapa kau,.kau nggak lebih rendah dari seekor anjing pemerintah !"  kemarahan jendral itu memuncak, seketika ia menghunus pedang dan mengancam leher guru zen." katakan sekali lagi maka kutebas lehermu !" lalu guru zen beranjali dan berkata " selamat anda sdh mencapai gerbang neraka !",..seketika jendral itu sadar akan kata2 guru zen dan meletakan pedangnya dan meminta maaf . guru zen berkata sambil beranjali " anda akan memasuki gerbang surga ".semoga bisa mengena makna ceritanya. _/\_
Kalau dari cerita ini sptnya marah berarti neraka dan bahagia itu berarti surga?

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #42 on: 23 May 2011, 10:16:00 AM »
kalau melihat sutta yang di posting bro dilbert ,jika alam neraka ada , alam dewa/surga juga ada dong nah kalau minta pembuktian, bagaimana ngebuktiin nya, apa dengan meditasi bisa? _/\_

Dengan mencapai jhana, kemudian mengembangkan kemampuan bathin Dibbacakkhu (mata dewa), bisa melihat alam-alam dewa maupun alam lainnya.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline Wijayananda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 532
  • Reputasi: 69
  • Gender: Male
  • Semua akan berlalu...
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #43 on: 23 May 2011, 10:22:18 AM »
Kalau dari cerita ini sptnya marah berarti neraka dan bahagia itu berarti surga?
Kalau menilik 'suasana' batin dan pikiran,kira2 seperti itulah suasana neraka dan surga..namun 'suasana' ini pun akan berubah,seperti halnya neraka dan surga yg ngak ada yg abadi.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Ilmuwan Klaim Surga Hanyalah Dongeng
« Reply #44 on: 23 May 2011, 10:31:06 AM »
 [at]  dilbert

Kumara Kassapa dalam Payasi Sutta pun tidak dapat membuktikan bahwa sorga itu ada, namun menunjukkan bahwa cara Payasi membuktikan dan menarik kesimpulan (bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian) adalah salah.

 

anything