III. URUVELĀ
21 (1) Uruvelā (1) <649>
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”
“Yang Mulia!” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Para bhikkhu, pada suatu ketika Aku sedang menetap di Uruvelā, di bawah pohon banyan penggembala di tepi Sungai Neranjarā, tidak lama setelah Aku mencapai Pencerahan Sempurna. Kemudian, sewaktu Aku sedang sendirian dalam keterasingan, suatu pemikiran muncul dalam pikiranku sebagai berikut: ‘Sungguh menyakitkan berdiam tanpa penghormatan dan penghargaan. Sekarang petapa atau brahmana manakah yang dapat Kuhormati, Kuhargai, dan berdiam dengan bergantung padanya?’
“Kemudian Aku berpikir: (1) ‘Jika kelompok perilaku bermoralKu belum sempurna, maka demi untuk menyempurnakannya Aku akan menghormati, menghargai, dan berdiam dengan brgantung pada petapa atau brahmana lain. Akan tetapi, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Aku tidak melihat petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam hal perilaku bermoral daripada diriKu sendiri kepada siapa Aku dapat menghormat, menghargai, dan berdiam dengan bergantung padanya.
(2) “Jika kelompok konsentrasiKu belum sempurna, maka demi untuk menyempurnakannya Aku akan menghormati, menghargai, dan berdiam dengan brgantung pada petapa atau brahmana lain. Akan tetapi … Aku tidak melihat petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam hal konsentrasi daripada diriKu sendiri …
(3) “Jika kelompok kebijaksanaanKu belum sempurna, maka demi untuk menyempurnakannya Aku akan menghormati, menghargai, dan berdiam dengan brgantung pada petapa atau brahmana lain. Akan tetapi … Aku tidak melihat petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam hal kebijaksanaan daripada diriKu sendiri …
(4) “Jika kelompok kebebasanKu belum sempurna, maka demi untuk menyempurnakannya Aku akan menghormati, menghargai, dan berdiam dengan brgantung pada petapa atau brahmana lain. Akan tetapi, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Aku tidak melihat petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam hal kebebasan daripada diriKu sendiri kepada siapa Aku dapat menghormat, menghargai, dan berdiam dengan bergantung padanya.
“Aku berpikir: ‘Biarlah Aku menghormati, menghargai, dan berdiam dengan bergantung pada Dhamma ini yang karenanya Aku telah menjadi tercerahkan sempurna.’
“Kemudian Brahmā Sahampati, [21] setelah mengetahui refleksi pikiranKu dengan pikirannya sendiri, lenyap dari alam Brahmā dan muncul kembali di hadapanKu seperti halnya seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang. Ia merapikan jubahnya di satu bahunya, membungkuk dengan lutut kanannya di tanah, memberi hormat kepadaKu, dan berkata: ‘Betulah, Bhagavā! Begitulah Yang Berbahagia! Bhante, mereka yang telah menjadi para Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna di masa lampau – para Bhagavā itu, juga, menghormati, menghargai, dan berdiam dengan bergantung hanya pada Dhamma. mereka yang akan menjadi para Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna di masa depan – para Bhagavā itu, juga, akan menghormati, menghargai, dan berdiam dengan bergantung hanya pada Dhamma. Biarlah Sang Bhagavā, juga, yang sekarang ini menjadi seorang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, menghormati, menghargai, dan berdiam dengan bergantung hanya pada Dhamma.’
“Ini adalah apa yang dikatakan oleh Brahmā Sahampati. Setelah mengatakan ini, ia berkata lebih lanjut sebagai berikut:
“Para Buddha yang sempurna di masa lampau,
Para Buddha di masa depan
Dan Sang Buddha di masa sekarang
Yang telah melenyapkan dukacita banyak makhluk:
Mereka semua telah berdiam, sekarang berdiam,
Dan [di masa depan] akan berdiam
Dengan menghormati Dhamma sejati.
Ini adalah ciri para Buddha.
“Oleh karena itu seseorang yang menginginkan kebaikan,<650>
Bercita-cita untuk mencapai kebesaran,
Harus menghormati Dhamma sejati,
Merenungkan ajaran para Buddha.’
“Ini adalah apa yang dikatakan oleh Brahmā Sahampati. Kemudian ia memberi hormat kepadaKu, dan dengan Aku tetap berada di sisi kanannya, ia lenyap dari sana. Kemudian, setelah menerima permohonan Brahmā dan apa yang sesuai bagi diriKu sendiri, maka Aku menghormati, menghargai, dan berdiam dengan bergantung hanya pada Dhamma yang karenanya Aku telah menjadi tercerahkan sempurna. Dan sekarang bahwa Saṅgha telah mencapai kebesaran, maka Aku juga menghormati Saṅgha.” [22]
22 (2) Uruvela (2)
“Para bhikkhu, pada suatu ketika Aku sedang menetap di Uruvelā, di bawah pohon banyan penggembala di tepi Sungai Neranjarā, tidak lama setelah Aku mencapai Pencerahan Sempurna. Kemudian sejumlah para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir, mendatangiKu dan saling bertukar sapa denganKu. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepadaKu:
“Kami telah mendengar, Guru Gotama: ‘Petapa Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka dan menawarkan tempat duduk kepada mereka.’ Hal ini sesungguhnya benar, karena Guru Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka dan menawarkan tempat duduk kepada mereka. Hal ini tidak selayaknya, Guru Gotama.”<651>
“Kemudian Aku berpikir: Para mulia ini tidak mengetahui apa itu sepuh dan kualitas-kualitas apa yang membuat seseorang menjadi sepuh. Walaupun seseorang berusia tua – delapan puluh, sembilan puluh, atau seratus tahun sejak lahir – jika ia berbicara pada waktu yang tidak tepat, berbohong, mengatakan apa yang tidak bermanfaat, mengatakan apa yang berlawanan dengan Dhamma dan displin, jika pada waktu yang tidak tepat ia mengucapkan kata-kata yang tidak berguna, tidak masuk akal, berbicara tanpa tujuan, dan tidak bermanfaat, maka ia dianggap sebagai seorang sepuh yang dungu [yang kekanak-kanakan].
“Tetapi walaupun seseorang berusia muda, seorang pemuda berambut hitam, memiliki berkah kemudaan, pada masa utama kehidupannya, jika ia berbicara pada waktu yang tepat, jujur, mengatakan apa yang bermanfaat, mengatakan apa yang sesuai dengan Dhamma dan displin, dan jika pada waktu yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang tidak layak diingat, masuk akal, ringkas, dan bermanfaat, maka ia dianggap sebagai sesepuh bijaksana.
“Ada, para bhikkhu, keempat kualitas ini yang membuat seseorang menjadi sesepuh. Apakah empat ini?
(1) “Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam terkendali oleh Pārimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya.
(2) “Ia telah banyak belajar, [23] mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang menyatakan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, diulangi secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan.
(3) “Ia adalah seorang yang memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan merupakan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini.
(4) “Dengan hancurnya noda-noda, ia telah mencapai untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.
“Ini adalah keempat kualitas yang membuat seseorang menjadi sesepuh.”
Si dungu dengan pikiran resah<652>
Yang banyak membicarakan ucapan-ucapan tanpa tujuan,
Pikirannya kacau,
Bersenang dalam ajaran yang buruk,
Menganut pandangan sesat, tidak sopan,
Adalah jauh dari status seorang sesepuh
Tetapi seorang yang sempurna dalam moralitas,
Terpelajar dan melihat,
Terkendali oleh diri sendiri dalam faktor-faktor kekokohan,
Yang dengan jelas melihat makna dengan kebijaksanaan;
Telah melampaui segala fenomena,
Tidak mandul, melihat;<653>
Yang telah meninggalkan kelahiran dan kematian,
Sempurna dalam kehidupan spiritual,
Padanya tidak ada noda-noda –
Ia adalah seorang yang Kusebut sesepuh.
Dengan hancurnya noda-noda
Seorang bhikkhu disebut sesepuh.
23 (3) Dunia <654>
“Para bhikkhu, Sang Tathāgata telah tercerahkan sepenuhnya pada dunia.<655> Sang Tathāgata terlepas dari dunia. Sang Tathāgata telah tercerahkan sepenuhnya pada asal-mula dunia. Sang Tathāgata telah meninggalkan asal-mula dunia. Sang Tathāgata telah tercerahkan sepenuhnya pada lenyapnya dunia. Sang Tathāgata telah merealisasi lenyapnya dunia. Sang Tathāgata telah tercerahkan sepenuhnya pada jalan menuju lenyapnya dunia. Sang Tathāgata telah mengembangkan jalan menuju lenyapnya dunia.
(1) “Para bhikkhu, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva, dan manusia, apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dicapai, dicari, [24] diperiksa oleh pikiran – Sang Tathāgata telah tercerahkan pada semuanya; oleh karena itu Beliau disebut Sang Tathāgata.<656>
(2) “Para bhikkhu, apa pun yang dibicarakan, diucapkan, atau dibabarkan oleh Sang Tathāgata selama interval antara malam ketika Beliau tercerahkan pada pencerahan sempurna yang tidak terlampaui hingga malam ketika Beliau mencapai nibbāna akhir.<657> Semuanya adalah persis seperti itu dan bukan sebaliknya; oleh karena itu Beliau disebut Sang Tathāgata.<658>
(3) “Para bhikkhu, sebagaimana yang dikatakan oleh Sang Tathāgata, demikianlah Beliau melakukan; sebagaimana Beliau melakukan, demikianlah Beliau mengatakannya. Karena Beliau melakukan apa yang Beliau katakan dan mengatakan apa yang Beliau lakukan, oleh karena itu Beliau disebut Sang Tathāgata.<659>
(4) “Para bhikkhu, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva, dan manusia, Sang Tathāgata adalah Sang Penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, pemegang kekuasaan; oleh karena itu Beliau disebut Sang Tathāgata.”
Setelah secara langsung mengetahui dunia –
Semua di dunia hanyalah demikian –
Beliau terpisah dari seluruh dunia,
Terlepas dari seluruh dunia.
Beliau adalah penakluk segalanya,
Sang Bijaksana yang telah melepas segala ikatan
Beliau telah mencapai kedamaian tertinggi,
Nibbāna, yang tidak terjangkau oleh ketakutan.
Beliau adalah Sang Buddha, noda-nodaNya telah dihancurkan,
Tidak terganggu, semua keragu-raguan terpotong;
Setelah mencapai hancurnya semua kamma,
Beliau terbebaskan dalam padamnya perolehan.
Beliau adalah Sang Bhagavā, Sang Buddha,
Beliau adalah singa yang tidak tertandingi;
Di dunia ini bersama dengan para devanya,
Beliau memutar roda Brahmā.
Demikianlah para deva dan manusia itu
Yang telah berlindung pada Sang Buddha
Berkumpul dan memberi hormat padaNya,
Yang agung bebas dari ketiadaan kepercayaan-diri
“Jinak, Beliau adalah penjinak terbaik;
Damai, Beliau adalah sang bijaksana di antara para pembawa kedamaian;
Bebas, Beliau adalah pemimpin di antara para pembebas;
Menyeberang, Beliau adalah penuntun terbaik ke seberang.”
Demikianlah sesungguhnya mereka memberi hormat kepadaNya,
Yang agung bebas dari ketiadaan kepercayaan-diri
Di dunia ini bersama dengan para devanya,
Tidak ada yang mampu menandingiMu.
24 (4) Kāḷaka
[Demikianlah yang kudengar.]<660> Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāketa, di Taman Kāḷaka.<661> Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”
“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: [25]
“Para bhikkhu, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dicapai, dicari, diperiksa oleh pikiran – Aku mengetahuinya.
“Para bhikkhu, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dicapai, dicari, diperiksa oleh pikiran – telah Kuketahui secara langsung. Hal ini telah diketahui oleh Sang Tathāgata,<662> tetapi Sang Tathāgata tidak tunduk padanya.<663>
“Para bhikkhu, jika Aku mengatakan, ‘Di dunia ini bersama dengan para deva … , apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dicapai, dicari, diperiksa oleh pikir – Aku tidak mengetahuinya,’ maka itu adalah kebohongan dipihakKu.
“Para bhikkhu, jika Aku mengatakan, ‘Di dunia ini bersama dengan para deva … , apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dicapai, dicari, diperiksa oleh pikir – Aku mengetahui sekaligus tidak mengetahuinya,’ maka itu juga sama.<664>
“Para bhikkhu, jika Aku mengatakan, ‘Di dunia ini bersama dengan para deva … , apa pun yang dilihat, didengar, diindera, dikenali, dicapai, dicari, diperiksa oleh pikir – Aku bukan mengetahui juga bukan tidak mengetahuinya.’ Maka itu adalah pelanggaran di pihakku.<665>
(1) “Jadi, setelah melihat apa yang dapat dilihat, Sang Tathāgata tidak salah memahami apa yang terlihat, tidak salah memahami apa yang tidak terlihat, tidak salah memahami apa yang dapat dilihat, tidak salah memahami orang yang melihat.<666> (2) Setelah mendengar apa yang dapat didengar, Beliau tidak salah memahami apa yang terdengar, tidak salah memahami apa yang tidak terdengar, tidak salah memahami apa yang dapat didengar, tidak salah memahami orang yang mendengar. (3) Setelah mengindera apa yang dapat diindera Beliau tidak salah memahami apa yang terindera, tidak salah memahami apa yang tidak diindera, tidak salah memahami apa yang dapat diindera, tidak salah memahami orang yang mengindera. (4) Setelah mengenali apa yang dapat dikenali Beliau tidak salah memahami apa yang dikenali, tidak salah memahami apa yang tidak dikenali, tidak salah memahami apa yang dapat dikenali, tidak salah memahami orang yang mengenali.
“Demikianlah, para bhikkhu, dengan senantiasa stabil di antara hal-hal yang dilihat, didengar, diindera, dan dikenali, maka Sang Tathāgaat adalah Seorang yang stabil.<667> Dan, Aku katakan, tidak ada orang stabil yang lebih baik atau lebih luhur daripada Yang Stabil itu.”
Di tengah-tengah mereka yang dibatasi oleh diri sendiri, Yang Stabil
Tidak akan menyatakan secara tegas benar atau salah
Apa pun yang dilihat, didengar, atau diindera,
Dilekati dan dianggap sebagai kebenaran oleh orang lain.<668>
Karena mereka telah melihat anak panah ini<669>
Yang padanya orang-orang melekat dan bergantung, [26]
[Dengan mengatakan] “Aku mengetahui, aku melihat, demikianlah adanya,”
Sang Tathāgata tidak melekat pada apa pun.
25 (5) Kehidupan Spiritual
“Para bhikkhu, kehidupan spiritual bukan dijalani untuk menipu orang-orang dan membujuk mereka; juga bukan untuk kepentingan perolehan, kehormatan, dan pujian; juga bukan untuk tujuan memenangkan perdebatan; juga bukan dengan pikiran: ‘Semoga orang-orang mengenalku seperti demikian.’ Melainkan, kehidupan spiritual ini dijalani untuk mengendalikan, meninggalkan, demi kebosanan, dan lenyapnya.”<670>
Sang Bhagavā mengajarkan kehidupan spiritual,
Bukan berdasarkan pada tradisi, yang memuncak dalam nibbāna,
Yang dijalani untuk
Mengendalikan dan meninggalkan.<671>
Ini adalah jalan makhluk-makhluk agung,<672>
Jalan yang diikuti oleh para bijaksana agung.
Mereka yang mempraktikkannya
Seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha,
Bertindak menurut bimbingan Sang Guru,
Akan mengakhiri penderitaan.