Tapi dalam kasus keteledoran, sama sekali tidak ada ide-ide pikiran bahwa perbuatan yang dilakukannya bisa membahayakan atau menciderai makhluk lain.
Apakah ini tidak menimbulkan karma (buruk)?
Contoh: Menyiram api dengan bensin, sehingga mengakibatkan orang kehilangan rumah dan harta benda. Dalam kepanikan, bisa saja orang teledor mengambil bensin atau minyak tanah yang disangka adalah air. Apa tindakan seperti ini tidak membuahkan karma buruk?
Juga contoh kabel dan guru yang menabrak murid, niat si subyek sesungguhnya relatif baik, yakni mau memudahkan pihak lain. Tapi karena teledor (lalai), lalu berbuah jadi bencana (malapetaka).
rekan Sunya...
Harapan = suatu kondisi yg kita inginkan. Harapan bersifat
PASIFsedangkan
Kamma = perbuatan yg didahului oleh cetana. Kamma~Cetana bersifat
AKTIFSelanjutnya kita bahas KETELEDORAN
Contohnya adalah: memasang kabel yg tidak benar sehingga orang lain celaka.
Pertanyaannya:
Apakah Keteledoran = kamma atau bukanSebenarnya pembahasan ini sudah lumayan detil dan memasuki ranah Abhidhamma dengan tabel citta-cetasika (tabel faktor2 batin).. Untuk sampai disini mungkin masih bisa, namun jika terus dilanjutkan akan makin sangat detil nanti bisa2 sampai ke bulatan2 citta tiap milidetik itu... klu itu sy sudah angkat tangan.. Bro mesti baca sendiri buku2 Abhdihamma mulai dari yg simple hingga ke yg ribet
Memasang kabel tidak dengan benar, mengerjakan ujian dengan terburu-buru, meletakkan barang sembarangan, mengemudi dengan tidak hati2... semua ini dalam bahasa sehari2 kita sebut keteledoran atau kecerobohan. Namun dalam Buddhisme, kita perlu melihat sedikit lebih detil, faktor batin apakah yg terjadi saat kita melilitkan kabel tsb sehingga hasilnya bisa tidak bagus begitu, apakah mungkin:
- batin tidak konsentrasi ?
- batin gelisah ?
- batin malas (memeriksa kembali hasil pekerjaan) ?
- ketidakpahaman ?
Semua
batin2 yg tidak bermanfaat ini tergolong dalam kelompok
batin Akusala-Kamma.
Lawannya adalah batin2 yg bermanfaat (Kusala-kamma) mis: konsentrasi, mahir, tenang, dstnya..
Ini kita lihat dari kamma yg dibuat oleh si pelilit kabel atau si supir yg lalai menabrak orang. Si Subjek tidak ada niat untuk membunuh, sehingga tentu saja
mereka tidak menanam kamma-pembunuhan. Tapi
tetap saja mereka menanam kamma-buruk dlm format lain (lihat salah satu yg diatas tsb, atau gabungannya: tidak-konsen, gelisah, ketidakpahaman, dstnya...), dan
menuai vipaka-buruk akibat kamma-buruk tsb.
Dan kemudian, dari sisi si orang yg terpegang kabel jelek tsb, sehingga terluka atau terbunuh. Kenyataannya adalah orang ini memegang kabel yg terbuka. Terbukanya kabel mungkin saja krn digigit tikus, kena panas matahari, atau pemasangan yg ceroboh tadi. Jadi, bukan berarti si tikus menjadi pembunuh, atau matahari yg menjadi pembunuh, ataupun si pemasang kabel yg menjadi pembunuh. Ini adalah kecerobohan si pemegang kabel dari sisi lain lagi. Ia sedang mendapatkan kondisi tertentu...
Mungkin mudah memahami untuk orang2 yg ceroboh memegang kabel sehingga terluka, atau ceroboh menyeberang sehingga tertabrak truk. Kita akan mudah menerima penjelasan bahwa si supir truk melakukan kamma-tidak waspada dan si penyeberang melakukan kamma-tidak waspada juga sehingga masing2 menerima vipaka-buruk akibat kamma-buruk mereka masing2.... Memahami kamma-vipaka akan mejadi lebih sulit jika kasusnya seperti ini, misalnya:
- menunggu di halte bus, tiba2 mobil nyelonong dan orang tsb ketabrak
(logikanya, dia tidak melakukan kamma jelek apapun, hanya sedang menunggu bus. Hal yg wajar toh?)
- orang2 dan bayi yg sedang berada di aceh, tiba2 kena tsunami
(mereka tidak sedang melakukan kamma jelek apapun saat itu, kok bisa ketimpa vipaka jelek?)
Buddha telah menjelaskan bahwa mengetahui persis penyebab suatu vipaka (kamma-vipaka), adalah acinteyya. Pertanyaan yg sangat sulit bagi kondisi pikiran kita sekarang. Oleh krn itu untuk contoh2 kasus gak-jelas diatas tsb, sy cenderung berpikiran bahwa:
- ada penyebab lampau kamma mereka2 tsb yg tidak kita ketahui
- juga, segala sesuatu yg menimpa kita adalah KONDISI, sy sering tidak melihatnya sebagai baik atau buruk. Saya cenderung melihatnya sebagai kondisi saja. Dan bagaimana sy menanggapi kondisi ini, itulah yg akan menjadi kamma baik atau buruk sy selanjutnya.
Jadi, ambil contoh kasus tsunami aceh tadi.
Saya cendrung berpikir bahwa tsunami aceh tidak dilihat dari vipaka buruk yg menimpa mereka, tapi dilihat hanya sebagai kondisi saja, sebab akibat biasa saja. Ada hukum alam, pergerakan lempeng, mengakibatkan ombak besar meluber, menghatam rumah2, subjek memilih untuk ke aceh, dstnya... bertemunya kondisi2 dan pilihan2. Nah, pointnya adalah di masing2 individu yg menanggapi kondisi tsb: Apakah tidak bisa menerima, hingga stress gila? Apakah bisa menerima dan berusaha bangkit? Apakah berkeluh kesah terus tiada habisnya, menyalahkan tuhan? Apakah menerima sebagai hukuman dari tuhan? Yah bermacam2 kamma baru yg terbentuk dari kondisi yg sesungguhnya netral tsb.
Sama seperti kasus orang yg kena kabel yg dipasang teledor tsb. Sy cenderung menganggap kena sengatan kabel tsb sebagai kondisi saja (tidak baik-tidak buruk), Sy lebih fokus ke bagaimana si korban menanggapi kondisinya tsb: Apakah marah2 (yg menambah penderitaannya)? Ataukah berusaha tenang dan konsen ke penyembuhannya? Atau lebih bagus lagi mulai memikirkan untuk memeriksa kelayakan kabel2 lainnya? Atau dendam berat dan mencari kambing hitam?...
Demikian renungan saya atas pertanyaan rekan Sunya...
Anumodana,
::