Anda sedang berkomentar dengan netral? Bagaimana mungkin anda di satu pihak memberikan hak bagi seseorang berargumen dengan logical fallacy -walaupun tidak sengaja- dan kewajiban bagi pihak lain untuk mendengarkan logical fallacy tanpa membantah?
Logica fallacy bukan "hak", tapi kadang-kadang bisa terjadi karena insiden, sedangkan "mendengarkan" bukan kewajiban dapi merupakan bagian dari praktik memahami orang lain. Jika saya adalah anda, maka solusi inilah yang akan kulakukan: mendengarkan. Saya tidak sedang menuntut siapapun untuk "mendengarkan" lawan bicaranya. Menurut saya cara demikian, setidaknya, lebih sesuai dengan jalan Buddhadharma (minimal Buddhadharma seperti yang kupahami), dibandingkan mengeluarkan kata-kata kasar karena keidaksenangan. Apakah kata-kata kasar diizinkan dalam Buddhdharma? Minimal, menurut agama buddha yang kupelajari tidaklah sesuai. Entah bagaimana dengan Buddhadharma yang bro pelajari? kalaupun bro melihat mendengar lawan bicara dan memahami itu adalah "kewajiban" dan "paksaan", saya hanya bisa katakan setidaknya ini adalah kewajibanku yang kutanamkan pada diriku serta praktikku untuk mendalami Buddhadharma, dan kutawarkan kepada bro sebagai cara untuk memperbaiki kualitas diskusi. Kalau bro keberatan, ya tidak masalah
Iya, saya juga setuju kok pandangan anda ini. Hanya saja tidak semua orang memang berniat diskusi, ada yang memang ingin mengacau. Menghina yang memang semata-mata menghina juga saya tidak setuju, namun kalau kita menyerang berdasarkan fakta yang nyata, saya lihat tidak ada masalah dengan hal itu, walaupun tentu saja sebisa mungkin jangan sampai dikuasai kebencian.
Itulah yang berat bro, tidak dikuasai oleh kebencian. Saya lebih suka tersenyum pada diri saya kala diriku dipenuhi ketidaksetujuan, dorongan membantah, membalas balik serangan seseorang yang saya nilai secara negatif. Setelah menenangkan diri, biasanya saya berusaha untuk memahami orang tersebut, alasan di balik tindakannya, membayangkan andaikan saya berada di posisi orang tersebut, setelah itu baru saya memutuskan untuk mencari solusi. Saya percaya pada win-win solution (untung sama untung), ketimbang win-lose solution (aku harus menang tanpa peduli apapun akibatnya bagi orang lain). Dan selama saya melaksanakan solusi saya tersebut, saya masih terus mengoreksi langkah-langkah saya apakah memang ada landasan "kebencian" di baliknya atau tidak. Jika ya, berarti saya harus mengoreksi ulang tindakan saya, demikian terus menerus, sampai saya belajar untuk bisa berdamai dengan amarah dan rasa benci saya. Selama ini saya berusaha untuk behati-hati dengan rasionalisasi di dalam pikiran pribadi yang menutupi-tutupi dorongan kebencian di balik tindakan dengan berbagai dalih: jangan sampai pikiran saya menipu diriku sendiri. Jadi refleksi terus menerus, memeriksa batin yang menjadi alasan sebenarnya dari tindakan itu sangat penting. Saya tidak mudah puas dengan jawaban "saya tidak benci dia kok, saya hanya ingin membantu dia berubah." Jika jawaban demikian muncul dalam pikiran saya, maka saya akan bertanya dengan tegas pada diri saya, "Benarkan demikian?
jika benar demikian, mengapa kamu berbuat X, mengapa kamu masih merasakan perasaan tidak nyaman demikian, perasaan apa di balik semua ini. Jujurlah pada diri sendiri, dst" Jadi saya tidak hanya rajin mengkritis orang lain, tapi berusaha untuk kritis dengan diri sendiri. Apabila ada yang mengatakan "mulutmu adalah harimaumu," maka saya ingin menambahkannya dengan "pikiranmu adalah musangmu." Pikiran seringkali mengibuli kita dengan menampilkan apa yang kita harapkan darinya, menyesatkan kita, sehingga kita terjebak pada langkah yang salah. Pikiran bisa jadi tidak semengerikan harimau, tapi dapat menjadi selicik musang.
Kalau kebencian dan amarahnya memang terlalu besar, maka saya memutuskan untuk menghentikan semua tidakan dan menjauh hingga berhasil meredakannya. Butuh waktu yang sangat lama untuk menghapuskan sebuah rasa tidak senang, bisa berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. sampai sekarangpun saya masih memiliki rasa benci pada seseorang yang belum berhasil kutangani
==> Dan orang itu sudah pasti tidak bukan member DC
Dan, sekali lagi, ini cara yang biasanya saya usahakan dalam menangani perbedaan pendapat dan pertikaian demgan orang lain yang menimbulkan kebencian ataupun sekadar rasa tidak senang. Tidak ada "kewajiban" untuk dijalankan oleh orang lain.
Betulkah? Saya punya pengalaman yang berbeda, dan bukan hanya 1-2 kali. Tapi memang betul kata-kata kasar itu bukan yang sekadar emosi dan penghinaan, tapi penekanan dan penggunaan gaya bahasa yang berbeda saja agar meredakan kepercayaan diri seseorang yang berlebihan. Dan betul, memang tidak semua orang bisa diubah dengan gaya kasar, ada tipe-tipe orang keras dan defensif, namun bisa dibimbing dengan pendekatannya yang halus, sabar, dan nyaman.
Singkat kata, saya tidak menggunakan satu tolok ukur yang sama terhadap semua jenis orang. Tapi kalau ada yang protes dengan cara bicara saya, tentu kapanpun boleh mengemukakan pendapatnya, beri masukan, atau minta klarifikasi. Lewat PM juga tidak masalah.
Kalau tiada kesalahpahaman saya akan maksud dari kata-kata bro (smoga demikian), maka dari sepintas kalimat di atas, saya kira sebenarnya bro termasuk yang bijak dalam hal ini