"Menyerang" di sini tentu dalam arti positif, yaitu menguji, menyelidiki, menyanggah, atau membantah argumen lawan dengan benar, bukan dengan cara-cara kotor seperti penggunaan aneka 'fallacy'. Jadi bukan menyerang dalam artian menghina individunya.
kalau semuanya dilakukan dengan argumen yang logis dan santun, sebenarnya tidak masalah. Soal 'logic fallacy', sebenarnya kadang-kadang tidak terjadi karena kesengajaan, bisa jadi kemampuan bernalar lawan bicara kita yang memang kurang logis. Dalam hal ini, kita dapat menunjukkan kesalahan logis tersebut secara argumentatif dan jelas, Kalau yang bersangkutan masih juga menyanggah, maka kita bisa mencoba untuk mendengar dengan seksama apa yang hendak disampaikan , mencoba klarifikasi pemahaman kita, menyatakan perbedaan pendapat kita, dst. Dalam hal ini sebenarnya seseorang juga belajar untuk menerima argumen lawan bicara secara gentle tatkala menemukan kebenaran kata-kata pada lawan bicaranya, bukan hanya membantah terus karena yakin bahwa posisi dirinya dan lawan bicara pasti berseberangan. Seandainya, kemudian tidak ada kata sepakat, maka seseorang bisa memutuskan meninggalkan diskusi dengan baik-baik. Dalam hal ini pergi bukan berarti "kalah", karena diskusi bukan soal kalah atau menang.
Oleh karena itu, diskusi yang baik membutuhkan kesabaran yang tinggi, bukan kepribadian yang temperamental, yang sedikit2 mengancam lawan bicaranya sambil memaksakan pendapatnya agar diterima.
Dalam diskusi yang baik, kedua pihak pasti adalah pemenang, di mana keduanya belajar dan mendapatkan suatu manfaat dari diskusi tersebut, terlepas argumennya bertahan ataukah dipatahkan. Pecundang adalah orang yang tidak mampu menjalankan diskusi dengan baik, tidak memberikan manfaat bagi siapapun, pun terlalu congkak untuk mengakui kesalahan, berkelit, putar-putar dengan berbagai alasan. Itulah yang saya sebut pecundang. Janganlah bela pecundang seperti ini.
Hal demikian sangat subyektif dalam diskusi. Kita menganggap lawan bicara kita berkelit-kelit dan congkak, padahal sebenarnya lawan bicara kita juga melihat kita demikian. Jika seseorang sedang berkelit, maka sebenarnya itulah saatnya kita belajar untuk 'mendengar' daripada berbicara. Setiap kita berpikir negatif tentang lawan bicara kita, sebenarnya lebih besar kecenderungan kita untuk menjadi marah dan emosional, sehingga akhirnya kita terpancing pada konflik tak berujung. Saya sendiri seringkali juga terjebak pada pandangan negatif terhadap lawan bicara, mencurigai motifnya dan kemudian menjadikannya sebagai alasan untuk mengkritiknya dengan pedas. Dalam pengalaman saya, ketika kita membangun pikiran negatif mengenai lawan bicara kita, sebenarnya kita sedang mencari pembenaran bagi kita sendiri untuk bertidak agresif. Dalam hal ini, terlepas dari benar atau tidaknya pikiran negatif tersebut, seharusnya semua kata-kata agresif, kalau memungkinkan sebaiknya dihindari. caranya adalah dengan menghindari pikiran negatif terhadap lawan bicara kita, coba tanamkan pemahaman (understanding) yang seluas-luasnya dan sikap menerima segalanya dengan apa adanya (imparsial dan tanpa bias).
Perihal 'hati-hati', tentu semua orang harus bersikap demikian.
Kalau saya pribadi, untuk orang tertentu saya melontarkan kata-kata kasar, bukan untuk menyakiti atau apa, tapi karena orang tertentu terlalu bebal untuk mencerna kata-kata yang normal. Dan biasanya kalau tidak mempan juga, saya akan mundur dari diskusi.
Sebenarnya tanpa kata-kata kasar kita pun bisa mundur dari diskusi. Dari pengalamanku, tidak pernah ada orang yang dapat diubah pandangannya hanya dengan kata-kata kasar. Mengubah pandangan seseorang, apalagi perilaku seseorang, jauh lebih sulit dari membengkokkan besi. Butuh kesabaran dan upaya yang kreatif