Saya ingin tanya,
Jika kita mempermasalahkan media-nya dalam melakukan dana dhamma, bukankah kata-kata dan bahasa yang kita gunakan saat kita memberikan nasihat juga merupakan suatu bentuk media komunikasi?
Memang bukan medianya yang dipermasalahkan.
Orang tidak mengerti dhamma, tidak memahami orang yang mendengar, lalu baca Tipitaka untuk didengarkan banyak orang secara langsung (bukan lewat buku), tetap saja namanya bukan dana dhamma. Ia tidak membantu orang lain mengerti. Hal ini sama dengan spamming e-mail tipitaka.txt atau pakai megaphone tengah jalan baca tipitaka. Jika membuat orang lain membaca/mendengar dhamma bisa disebut dana dhamma, maka beo pun bisa berdana-dhamma.
Di sisi lain, ada juga orang yang bisa memahami/merealisasi dhamma tanpa bantuan orang lain. Ia merealisasi dhamma tentu merefleksikan pada satu fenomena, dan kita mungkin adalah bagian dari kenyataan tersebut tanpa disadari. Misalnya dalam dhammapada ada kisah bhikkhu yang melihat kebakaran hutan sehingga mengembangkan perhatian dan mencapai Arahatta. Dalam hal ini, si penyebab kebakaran hutan tentulah tidak berdana dhamma pada si bhikkhu, walaupun ia adalah bagian dari fenomena tersebut.
Kalau saya sementara menyimpulkan, orang berdana dhamma itu harus terlebih dulu mengerti dhamma. Lalu dia mengetahui kecenderungan si penerima dana, mengetahui cara-cara yang sesuai untuk menyampaikannya, melakukan penyampaian itu, dan si penerima-dana memahami dhamma tersebut dengan benar.