Konsep hadayavatthu ditemukan belakangan. Namun, untuk bisa menambahkan sesuatu ke dalam Tipitaka dibutuhkan yutti dan āgama. Yutti adalah alasan. Āgama adalah dasar atau hint dalam Tipitaka yang dapat dipergunakan untuk menambahkan ide baru tersebut. Mengenai Hadayavatthu, konsep hadayavatthu ditambahkan karena para Abhidhammika tidak melihat adalah physical basis untuk pikiran. Sementara semua indera yang lain memiliki physical basis dan juga pikiran sebagai pikiran sebagai pasangannya. Contohnya, cakkhuviññāṇa memiliki basis pada mata, sotaviññāṇa memiliki basis pada telingan. Lalu di manakah physical basis untuk pikiran? Semua fakta yang ada dalam Tipitaka menunjukkan bahwa physical basis bagi pikiran tidak ada. Jika memang physical basis bagi pikiran tidak ada, hal ini akan menimbulkan inkonsistensi pada konsep indera karena pikiran tak akan pernah bisa berdiri sendiri. Dalam Saṃyutta Nikāya:
“Seperti dua ikat bambu yang berdiri saling menopang satu sama lain, demikian pula dengan nāmarūpa sebagai kondisi, muncullah viññāṇa. Dengan kesadaran (viññāṇa sebagai kondisi, muncullah batin dan materi (nāmarūpa). ... Jika ada yang memindahkan salah satu ikatan di antara keduanya, ikatan lainnya akan jatuh, dan jika ada yang memindahkan yang lainnya, ikatan yang pertama akan jatuh. Begitu juga, dengan berhentinya nāmarūpa, berhentilah viññāṇa. Dengan berhentinya kesadaran (viññāṇa), berhentilah batin dan jasmani (nāmarūpa).”
Dengan konsep ini, mano harus mempunyai landasan yang jelas. Karena itulah, hadayavatthu dimasukkan oleh para Abhidhammika. Hanya saja, kalau kita melihat kasus seperti yang Jerry tampilkan, akan menimbulkan kontradiksi. Karena itu, saya pikir langkah Sang Buddha untuk tidak menunjukkan physical basis bagi mano adalah langkah yang tepat demi menghindari konflik dengan fakta semacam ini.