Memang betul bahwa dalam ajaran Sang Buddha tidak ada sosok Pribadi Pencipta alam semesta. Awal mula alam semesta 'tidak seharusnya dipikir-pikir' (acinteyya), kata Sang Buddha.
Namun, membahas masalah "Tuhan" di Indonesia ini sangat penting, karena umat Buddha tidak bisa berada seperti katak di bawah tempurung, tanpa berinteraksi dengan teman-teman non-Buddhis sesama warga negara ini dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu umat Buddha harus belajar bagaimana bicara tentang "Tuhan" dengan umat agama lain.
Nah, di dalam wacana lintas-iman (lintas-agama), masalah "Tuhan" dibahas di seputar dua topik metafisikal khusus:
(1) Penciptaan alam semesta;
(2) Nasib & tujuan akhir manusia.
Bagi umat Buddha, topik #1 sudah out, karena Sang Buddha sudah menegaskan bahwa "asal mula alam semesta tidak seharusnya dipikir-pikir." Ini bisa kita katakan secara tegas kepada umat agama lain, agar pembicaraan tentang "Tuhan" tidak bertele-tele di seputar topik #1 ini.
Tentang topik #2, nasib & tujuan akhir manusia, Dhamma yang diajarkan Sang Buddha justru berpusat di seputar topik ini. Oleh karena itu, umat Buddha harus & dapat berdialog dengan umat agama lain tentang "Tuhan" dari aspek topik #2 ini.
Harap diingat, pembicaraan tentang "Tuhan" secara lintas-agama bukanlah bermaksud untuk mencari-cari dan memaksakan satu konsep "Tuhan" yang bisa diterima oleh semua pihak--yang adalah mustahil. Pembicaraan tentang "Tuhan" secara lintas-agama dimaksudkan untuk saling mengenal kepercayaan/iman masing-masing pihak, tanpa niat menyalahkan dan melecehkan satu sama lain--ini yang sayang sekali sering dilakukan oleh semua pihak di internet--tidak terkecuali oleh umat Buddha sendiri--sesuatu yang mereka sendiri tidak berani melakukannya secara nyata dengan tetangganya yang berbeda agama.
Nah, sebelum membahas "Tuhan" dari aspek topik #2 di atas, mari kita menjelajahi sebentar bagaimana pengertian "Tuhan" di berbagai agama:
* di agama-agama monoteistik, "Tuhan" adalah sosok PRIBADI yang sekaligus Pencipta alam semesta dan Penguasa nasib manusia.
* di agama Hindu situasinya agak rumit, karena agama Hindu terdiri dari berlapis-lapis kepercayaan, pemahaman dan perilaku keagamaan. Yang paling dalam disebut paham Advaita (monisme, bukan-serba-dua); di sini prinsip yang terdalam dari eksistensi ini disebut Brahman, yang tunggal tapi tak terkatakan. Brahman ini ada di alam semesta; dan Brahman ini ada pula di dasar batin manusia (disebut Atman). Apabila manusia menembus kenyataan bahwa Atman di dasar batinnya itu IDENTIK dengan Brahman, maka orang tersebut dikatakan mencapai 'moksha' (musnah, yang musnah adalah dirinya/ahamkara); ini paralel dengan pengertian 'mencapai nibbana' dalam Buddhisme; 'nibbana' = padam, yang padam adalah aku/atta.
Dalam masyarakat Hindu ada pengertian keagamaan yang lain dengan pengertian 'Brahman/Atman" di atas; yaitu pengertian adanya banyak dewa, seperti Brahma, Wisnu, Syiwa dst. Biasanya setiap keluarga Hindu mempunyai satu dewa (di antara dewa yang banyak itu) yang dipuja sebagai pelindung keluarga; dewa seperti itu dinamakan 'ishta-devata' (dewa pribadi) - jadi keluarga A bisa memuja Syiwa saja, keluarga B bisa memuja Wisnu saja, dst.
Nah, mengingat beraneka ragamnya konsep-konsep tentang "Tuhan", khususnya dalam kaitan dengan topik #2 (nasib & tujuan akhir manusia), di dalam berbagai agama, maka dalam pembahasan tentang "Tuhan" secara lintas agama, ada satu pengertian filosofis yang sering kali digunakan sebagai titik tolak pembandingan (komparasi). Pengertian filosofis itu adalah SUMMUM BONUM (The Highest Good). Pengertian inilah yang dipakai untuk mengkaji dan membandingkan: apakah Summum Bonum di agama-agama monoteistik, apakah Summum Bonum di agama Hindu, apakah Summum Bonum di agama Buddha, dst. Jelas Summum Bonum satu agama tidak boleh ditabrakkan dengan Summum Bonum agama lain; bukan itu maksud wacana lintas-agama.
Bahkan di dalam satu agama pun, Summum Bonum satu kelompok umat mungkin berbeda sedikit atau banyak dari Summum Bonum kelompok lain dalam agama yang sama. Misalnya, Summum Bonum kebanyakan umat Islam & Keristen adalah "NAIK KE SORGA, duduk di sebelah kanan Allah." Tetapi di kalangan mistikal kedua agama itu, Summum Bonum para pertapa/pemeditasinya adalah "MENYATU dengan Tuhan". Tidak sama, kan.
Bagaimana dengan Summum Bonum umat Buddha? Di sini pun kita melihat beberapa pemahaman yang berbeda. Di kalangan Theravada, Summum Bonum-nya adalah "mencapai nibbana, menjadi arahat". Di kalangan Mahayana, Summum Bonum-nya adalah "menjadi Bodhisattva". Di kalangan Vajrayana, Summum Bonum-nya adalah "mencapai Kebuddhaan dalam hidup ini juga". Di kalangan Zen, Summum Bonum-nya adalah "mencapai satori, melihat apa adanya." Di kalangan aliran Sukhavati, Summum Bonum-nya adalah "lahir di alam Sukhavati bersama Buddha Amitabha (dan mencapai pembebasan di situ)."
Yang menarik dari aliran Sukhavati adalah paralelismenya dengan Agama Katholik Roma. Mohon diingat, 'paralel' bukan berarti 'sama' atau 'identik', melainkan kemiripan fungsi. Misalnya Buddha Amitabha paralel dengan Allah Bapa; Bodhisattva Avalokitesvara paralel dengan Yesus Kristus. Keparalelan yang besar ini telah memicu suatu dialog yang panjang di beberapa situs di internet. Para bhiksu aliran Sukhavati berdialog dengan para Romo Katholik dengan sangat menarik. Situs-situs internet itu bukan milis di mana setiap orang boleh bicara semaunya, melainkan forum-forum diskusi, seminar dsb yang diadakan oleh beberapa universitas di California, Hawai dan Jepang. Jadi di situ tidak ada saling menghujat dan saling melecehkan, sebagaimana sering kita baca di berbagai milis Budhhis dan Keristen.
Nah, kembali kepada masalah Summum Bonum (saya tidak menyebut "Tuhan" karena istilah "Tuhan" itu sudah memihak kepada salah satu pihak dan membuat pihak lain terpaksa menolaknya), saya ingin mengemukakan pendapat pribadi sebagai seorang yang dibesarkan dalam tradisi Theravada. Di atas telah saya katakan, Summum Bonum dalam aliran Theravada adalah "mencapai nibbana". Kata 'nibbana' itu menunjukkan peristiwanya atau keadaannya. Tapi dari segi ontologi (menjawab pertanyaan "apa yang ada di situ?"), saya melihat bahwa sabda Sang Buddha dalam Udana 8.3, menunjukkan ontologi dari peristiwa atau keadaan 'nibbana'. Di situ Sang Buddha berkata: "Para bhikkhu, ada yang tak dilahirkan, tak tercipta, tak terbuat, tak terbentuk ("Atthi, bhikkhave, ajatam akatam abhutam asankhatam ..."); kalau [itu] tidak ada, maka tidak mungkin orang bebas dari yang dilahirkan, tercipta, terbuat, terbentuk ..." -- Menurut hemat saya, kata 'atthi' ('ada') menunjukkan ontologi dari nibbana (apa yang ada/tersisa ketika tercapai pemadaman). Itulah Summum Bonum agama Buddha.
Salam,
hudoyo