//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Mengunjungi Para Biksu Asal Indonesia di Myanmar  (Read 4555 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline andrew

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 568
  • Reputasi: 22
Mengunjungi Para Biksu Asal Indonesia di Myanmar
« on: 27 November 2008, 10:30:59 AM »
Mengunjungi Para Biksu Asal Indonesia di Myanmar


http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?id=6363&ses=

Sehari, Betah Meditasi Hingga 19 Jam
Sejumlah biksu dan calon biksu asal Indonesia saat ini berada di Myanmar. Mereka sedang mengikuti program meditasi. Ketika negeri yang dikuasai junta militer itu bergolak, mereka tak pulang ke tanah air.
Suasana hening begitu terasa ketika memasuki pusat meditasi Panditarama di Golden Hill Bahan, Yangon, siang itu. Sejumlah biksu terlihat duduk bersila di lantai hall yang terbuat dari kayu. Sesekali seorang biksu tampak beranjak dan berjalan dengan perlahan mengitari hall dengan konsentrasi batin yang penuh.
Di Panditarama terdapat hall dua lantai, berukuran 30 m x 10 m. Lantai bawah khusus digunakan untuk meditasi para biksuni (biksu perempuan) dan yogi (peserta meditasi) perempuan. Sedangkan lantai atas khusus untuk biksu dan yogi pria. Tidak semua peserta meditasi beragama Buddha. Mereka menerima siapa pun, pemeluk agama apa pun untuk bermeditasi.
Kilatan flash kamera Jawa Pos (Grup Cenderawasih Pos) sempat membuyarkan konsentrasi biksu U Nyanasiri, biksu asal Indonesia yang sedang bermeditasi di hall tersebut. Dia langsung beranjak dari tempat duduknya dan mengambil kain merah (pakaian biksu) untuk menutup pakaian kuning (baju bagian dalam biksu) yang digunakan untuk meditasi. “Maaf, bagi biksu, pakaian kuning ini tidak sopan kalau difoto,” kata Nyanasiri, yang sudah setahun tinggal di Yangon tersebut.
Di Panditarama Meditation Center terdapat dua biksu asal Indonesia. Sebenarnya ada tujuh yogi. Tapi, sebagian berada di hutan dan sebagian lagi pulang ke Indonesia. Selain Nyanasiri, terdapat seorang biksu lagi bernama U Gunasiri. Setahun lalu keduanya resmi menjadi biksu atau banthe dan diberi gelar ashin (yang dimuliakan).
Panggilan resminya Ashin Nyanasiri dan Ashin Gunasiri.
Nyanasiri memiliki nama asli Muis Leo. Sebelum ke Myanmar, pria berusia 36 tahun itu lama tinggal di Surabaya. Tepatnya di Griya Mapan, Juanda. Dia sempat bekerja di perusahaan lakban di Surabaya. Saat itulah, dia mendalami agama Buddha di bawah bimbingan Dharmasurya Bhumi, seorang biksu di Trawas.
Tiga tahun mendalami Buddha, Muis tertarik menjadi biksu. Dia pun memohon kepada gurunya untuk diangkat menjadi biksu. “Tapi, tidak langsung dikabulkan. Saya disuruh belajar dulu meditasi di Myanmar,” kata pria kelahiran Medan itu.
Ada dua negara yang dijadikan rujukan para yogi dan biksu untuk bermeditasi. Yakni, Myanmar dan Thailand. Tapi, Myanmar diyakini lebih kondusif untuk bermeditasi. Di negeri yang mayoritas penduduknya menganut ajaran Buddha itu berdiri ribuan pusat meditasi.
Meditasi di Myanmar dikembangkan kali pertama oleh U Narada. Dia menerapkan prinsip-prinsip satipatthana (landasan perhatian murni) secara disiplin. Metode itu dikenal sebagai metode satipatthana Myanmar. Bukan berarti ini temuan Myanmar, melainkan karena di Myanmar-lah praktik jalan kuna tersebut dibangkitkan kembali dengan mapan dan energetik.
Banyak orang meyakini U Narada yang dikenal dengan nama Sayadaw Jetavan telah mencapai pembebasan akhir atau arahat, tingkatan paling atas untuk biksu.
November nanti Nyanasiri mengakhiri meditasi di Myanmar. Dia berencana mendirikan pusat meditasi di Surabaya. “Belum tahu di mana, tapi ada keinginan untuk itu,” kata alumnus Universitas Tarumanegara Jakarta itu.
Lain halnya dengan Gunasiri. Pria 48 tahun itu sudah lima tahun berada di Yangon. Tepatnya sejak November 2002. Pemilik nama asli Bambang Lawijaya itu mengawali meditasi di sebuah hutan di Myanmar selama dua bulan. Setelah itu diteruskan di Yangon, hingga sekarang.
Sebelum berangkat ke Myanmar, Bambang adalah pedagang pakaian di Pasar Pagi, Mangga Dua, Jakarta. Pria yang tinggal di Kapuk Mas, Jakarta, itu awalnya ikut meditasi di Jakarta. Dari sanalah dia mengetahui ada pusat meditasi yang terkenal di Myanmar. “Saat berangkat saya belum berniat menjadi biksu, sekadar ikut meditasi,” katanya.
Baru setahun lalu dia dilantik menjadi biksu di Sima Hall, tempat penahbisan biksu di Myanmar. Untuk menjadi biksu memang tidak mudah. Dia harus mempelajari dulu 227 sila dalam ajaran Buddha. Di Panditarama, Bambang dilatih khusus oleh guru senior berusia 83 tahun, Chau Tan Sayadaw.
Selain itu, seorang biksu harus menaati Winaya, peraturan biksu. Ada banyak Winaya, tapi yang utama ada empat. Yakni, tidak melakukan hubungan seksual, tidak mencuri, tidak berbohong, dan tidak membunuh (binatang maupun manusia). “Kalau itu dilanggar, pakaian biksu harus dilepas,” katanya.
Selama bermeditasi, para biksu dan yogi diwajibkan menjalankan delapan sila atau atthanga sila. Yakni, tidak membunuh atau menganiaya, tidak mengambil yang tidak diberikan, tidak melakukan hubungan seksual, tidak berdusta dan berkata kasar, serta tidak mengonsumsi zat yang memabukkan.
Selain itu, peserta meditasi tidak makan setelah tengah hari sampai fajar berikutnya. Juga tidak menyanyi, menari, menonton hiburan, mengenakan kosmetik, dan memakai parfum. Para yogi juga tidak boleh duduk atau tidur di tempat yang tinggi dan mewah.
Setiap hari Bambang bermeditasi pukul 03.00 hingga pukul 21.00. Itu normalnya. Bambang sering menjalaninya mulai pukul 01.45 hingga pukul 21.00. Apa perubahan yang didapat? “Sebaiknya Anda coba dulu sepuluh hari, nanti tahu manfaatnya. Bagaimana tahu cabe pedas kalau tidak mencicipi,” katanya.
Bambang juga mengaku tidak tahu tingkatan apa yang sudah diraihnya. Ada bebarapa tingkatan yang dilalui para biksu, mulai arya hingga arahat. “Biksu tidak berhak menilai diri sendiri, karena itu mendekati kesombongan. Kalau mau tahu seorang biksu berada di tingkatan apa, jadilah muridnya atau tinggal bersama biksu tersebut,” ujarnya.
Baik Bambang maupun Muis sama-sama tidak tahu bahwa ratusan ribu biksu berunjuk rasa pada 24-27 September 2007 di Yangon. Maklum, mereka sama sekali tidak menonton televisi, mendengar radio, atau membaca koran. Mereka juga tidak mendengar ketika tentara Myanmar menembaki para biksu yang berunjuk rasa di Pagoda Sule.
Bambang dan Muis hanya bengong saat para biksu dan yogi dari Singapura tiba-tiba dijemput kedutaan besarnya untuk dipulangkan. Beberapa biksu dan yogi asal Malaysia dan Thailand juga melakukan hal yang sama. “Kedutaan Besar Indonesia memang datang, tapi hanya mendata para yogi dan menawarkan bantuan jika sewaktu-waktu kondisi di Myanmar tidak kondusif,” ujarnya.
Bambang dan Muis tidak khawatir sama sekali dengan kondisi politik Myanmar yang memanas. Justru keluarga mereka yang khawatir. Keluarga dan rekan-rekan biksu di Indonesia menelepon dan mengirim e-mail melalui sekretaris pusat pengembangan batin Indonesia di Myanmar. Setiap hari telepon dan e-mail masuk dari Indonesia menanyakan kabar para biksu.
“Para biksu dan yogi Indonesia malah telepon ke KBRI, bertanya ada apa sebenarnya, kenapa keluarga mereka di Indonesia khawatir?” kata Adi Kuntarto, sekretaris Protokol dan Konsuler KBRI di Yangon.
Bambang menyesalkan penembakan dan penganiayaan yang dilakukan tentara Myanmar terhadap para biksu di Yangon. Para biksu, kata Bambang, hanya melakukan doa bersama di Pagoda Sule tanpa kekerasan dan tanpa kemauan politik. “Kalau di Indonesia seperti istighatsah,” jelasnya.
Selain di Panditarama, biksu dan yogi Indonesia tersebar di sejumlah kuil meditasi. Salah satunya di Chanmyay Yeiktha, Jalan Pagoda Kaba Aye, Yangon. Di Chanmyay, terdapat 16 yogi Indonesia. Tapi, semuanya tinggal di Mawbe, sebuah daerah hutan di luar Yangon. Untuk ke tempat tersebut butuh waktu dua jam perjalanan dengan kendaraan pribadi.
Sebagian lain tersebar di pusat meditasi lain, seperti Mogok Vipassana Yeiktha, Kyaswa Monastery, dan Dhamma Jati Vipassana. Di antara puluhan yogi, yang sudah ditahbiskan menjadi biksu ada delapan orang.
Saat ini seharusnya saat yang tepat untuk bermeditasi. Di Myanmar ada tiga musim, yakni Maret-Mei musim panas, Juni-September musim hujan, dan Oktober-Februari musim sejuk. Waktu terbaik untuk meditasi adalah musim sejuk dan musim hujan.
Namun, karena situasi politik memanas, Kedutaan Besar Myanmar di berbagai negara untuk sementara tidak mengeluarkan visa meditasi. Apalagi untuk bermeditasi, mereka akan menemui para biksu, yang saat ini menjadi musuh politik pemerintah Myanmar.(*)


http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?id=6363&ses=