Dalam kajian teks kuno. Tidak heran jika suatu teks disalin berulang-ulang, karena pada masa lampau tidak ada yang namanya percetakan. Karena meliputi rentang waktu yang panjang, diwariskan dari satu generasi ke generasi selama berabad-abad, tidak jarang sebuah teks sudah mengalami salinan ulang berkali-kali. Dalam hal ini, jika ada sekelompok penyalin yang berkepentingan tertentu ia dapat saja menyelipkan satu dua kalimat atau beberapa bagian yang mewakili kepentingannya atau menghapus bagian-bagian yang dianggap tidak sesuai dengan pandangan pribadinya. Parahnya, di jaman lalu tidak ada yang namanya penyebutan nama penulis atau berapa kali suatu teks mengalami salin ulang.
Konon, nasib semua teks kuno tidak lah berbeda. Misalnya, untuk sutra yang usianya lebih muda dari Vajracheddika PrajnaParamita Sutra, seperti T'an Ching (Sutra Altar) ditemukan ada beberapa versi. Yang saya ingat ada dua versi. Versi pertama, adalah sutra altar yang disalin pada masa dinasti Song; dikenal dan beredar secara umum. Sedangkan versi kedua, ditemukan akhir-akhir ini di situs Tun Huang yang diperkirakan disalin pada jaman Dinasti Tang. Kedua versi tersebut menunjukkan ada beberapa perbedaan. Namun, hingga kini tidak ada yang tahu versi asli dari Sutra Altar, karena versi Tun Huang juga adalah versi salinan.
Nah, hal ini tidak berlaku untuk sutra-sutra Mahayana belaka. Beberapa ahli meyakini salinan versi Tipitaka yang tersimpan dalam Sri Lanka yang menjadi prototipe bagi teks Theravada modern tidak luput dari modifikasi. Tipitaka Sri Lanka disalin pada masa Raja Ashoka, yang berarti telah terjadi perpecahan sangha pula. Beberapa ahli memperkirakan bahwa penyalin Tipitaka Pali menghapus bagian-bagian yang berkaitan dengan Mahasanghika meski tidak terlalu berhasil. Misalnya seperti yang disebutkan di diskusi di atas, dalam Jataka muncul tentang 10 parami. Selain itu, istilah Bodhisatta juga dikenal dalam Theravada, meski ditafsir ulang dengan cara yang berbeda.
Di luar semuanya, kondisi di mana semua teks kuno mengalami banyak perubahan akibat proses salin ulang bukan hanya pada teks-teks Buddhis belaka. Alkitab, Al Quran, Taoisme, bahkan hingga teks-teks lain yang kurang penting. Oleh karena itu, jika menemukan kejanggalan dalam teks kuno yang kita baca jangan tergesa-gesa mengasumsikan sebuah teks adalah palsu terlebih dahulu. Memang tidak tertutup kemungkinan terjadi pemalsuan sebuah teks dengan mengkreasi sebuah dokumen yang sama sekali baru untuk mencapai suatu tujuan, meski hal tersebut sangat sulit diungkap kebenarannya. Dengan demikian, dalam mempelajari suatu teks kuno setiap orang memang harus berhati-hati. Ia perlu mencari tahu beberapa hal untuk melengkapi pengetahuannya, antara lain:
1. Apakah teks yang ada di tangannya adalah Bahasa Asli atau terjemahan. Jika terjemahan, perlu ditanya lagi, sudah berapa kali teks tersebut mengalami penerjemahan?
2. Adakah versi lain dari teks yang ada di tangan Anda? Bagaimana sejarah penemuan teks kuno yang ada di tangan ada? Biasanya teks yang diterima sebagai model generik seringkali disalin berulang-ulang dan berpindah dari satu tangan ke tangan lain sehingga tingkat modifikasinya lebih tinggi ketimbang teks yang ditemukan dalam suatu reruntuhan kuno. Meski tidak ada jaminan mana teks yang lebih asli dari yang lain, adanya perbandingan beberapa versi membantu kita mengenali bagian-bagian yang konsisten dan berubah dari teks dalam suatu periode.
3. Bersikap kritis dalam mengenali isi teks. Jika tidak isi yang menyimpang atau menyesatkan secara umum, meski ada beberapa bagian yang janggal atau tidak sesuai dengan jamannya, bukanlah alasan untuk mengganggap seluruh teks tidak bermanfaat. Dalam hal ini pembaca harus mampu memilah mana pesan yang benar dan mana pesan yang salah. Jika yang penting bagi bagi seseorang adalah mempelajari Buddha Dharma misalnya, yang penting adalah isi pesan yang ingin disampaikan oleh teks tersebut, bukan tingkat keasliannya.