hari ini aku bersedih, mengingat selama ini aku telah terbuai dalam ketenangan-ketenangan meditatif. Sepertinya aku mempersalahkan cara hidupku sendiri. Dan aku merasa menyesal.
Aku telah menyelami filsafat, ilmu kebatinan, beragam jenis meditasi, tetapi hidupku kacau, karena aku tidak berhasil menjaga kejujuran. Aku telah berani berbuat karma buruk. Kini aku seakan-akan sedang menghadapi hukuman mati. Tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan.
Saat ini, aku bisa saja menenangkan diri dengan cara bermeditasi, tetapi apa gunanya? Ketenangan tersebut akan membuatku memiliki semangat untuk melanjutkan hidup dan juga berani melakukan banyak kesalahan. Aku lihat, seakan-akan keterampilanku dalam meditasi ketenangan dan seni-seni meditasi lainnya seakan sia-sia. Seakan-akan aku kehilangan pegangan.
Sungguh aku telah bersalah, dan tak ada jalan untuk mengulangi waktu. Kini serasa aku akan mati dan tak menemukan jalan keluar. Sungguh aku mengharapkan sebuah mukjizat, tetapi bagaimana mungkin itu bisa muncul? Akankah masa-masa sulit ini berlalu?
Lalu aku bermeditasi sejenak. Sungguh merupakan suatu keajaiban. Dengan cepat aku menjadi tenang. Lalu aku merenung, bagaimana bisa aku setenang ini, padahal besok aku menghadapi hukuman mati?
Saat ini, aku bebas memilih, apakah tetap tenang ataukah menjalani hidup yang gelisah. Masalahnya sungguh aku tak tahu, mana yang lebih baik bagiku, ketenangan ataukah kegelisahan. Memang ketenangan dapat melepaskanku dari "sakitnya" kehidupan, tetapi itupun membuat aku menjadi lupa diri. Memang kegelisahan merupakan sesuatu yang menyakitkan, tetapi itu menjadi cambuk kehidupan.
Bila aku tenggelam dalam meditasi vipassana, aku berhenti berpikir, berhenti mengejar sesuatu, berhenti mengembangkan dan menghancurkan sesuatu. Tetapi meditasi ini, sudah sejak lama aku lakukan, dan hidupku masih tetap kacau begini.
Saat aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, saat hatiku kesakitan, memang pilihan apa yang bisa aku lakukan? Aku tidak punya pilihan lain, Aku tidak tahu hal lain yang bisa aku lakukan, kecuali berusaha menenangkan diri agar aku bisa berpikir jernih. Tetapi setelah aku mencapai ketenangan, aku tenggelam dalam pengetahuan-pengetahuan meditatif. Padahal banyak masalah kehidupan yang harus aku pikirkan, tetapi aku justru sibuk memikirkan pengetahuan-pengetahuan meditatif yang kurasa sangat menarik dan menyenangkan untuk dipikirkan. Keadaanku tak ubahnya seperti lepas dari mulut harimau dan masuk ke dalam mulut buaya. Apakah benar perumpaan ini? Aku tak tahu.
Aku ingat, pagi ini aku harus pergi, berangkat kerja. Tetapi, apakah aku akan pergi dalam keadaan hati yang gelisah ataukah aku akan pergi dalam keadaan hati yang tenang? Bagi orang lain, mungkin tak ada pilihan lain kecuali pergi dalam keadaan gelisah, karena mereka tidak punya keterampilan untuk menenangkan diri. Sedangkan aku, cukup terampil menenangkan diri. Dalam sejenak, hatiku bisa tenang dengan suatu trik meditasi. Tetapi, efek samping dari ketenangan itu membuatku mampu melihat fenomena-fenomena spiritual yang akan menahanku untuk pergi bekerja. Aku akan mencerap semua fenomena spiritual tersebut sampai hatiku merasa terpuaskan dan itu mungkin butuh waktu berjam-jam lamanya sehingga akan membuatku terlambat pergi bekerja.
Jika aku pergi bekerja dalam keadaan gelisah, diperjalanan atau ditempat pekerjaan, aku bisa saja menenangkan diri sambil bekerja. Tetapi masalahnya, aku tidak tahu, apakah itu cara terbaik? Kenapa aku tidak menenangkan diri saja dulu sebelum melakukan segala sesuatunya?
Selama duduk meditasi di sini, ada pikiran yang selalu menggangguku, "aku harus segera pergi, aku harus segera pergi." pikiran ini melahirkan energi yang mendesak tubuhku untuk segera berangkat, melakukan perintah pikiran. Tetapi, aku lebih suka untuk melihat semua itu lebih dalam. Aku bisa melihat bahwa perintah dari pikiran tersebut menimbulkan tekanan-tekanan, ketegangan yang tidak menyenangkan pada otot-otot. Dan bila aku memustakan perhatian pada pikiran yang memerintah tersebut, pikiran tersebut menjadi lenyap, niat dan kehendak untuk pergi bekerjapun lenyap. Karena kini aku bisa melihat muncul dan lenyapnya segala sesuatu dengan sangat cepat. Karena kemampuan melihat hal tersebut, maka lenyaplah keinginan untuk melakukan apapun. Stimulus mental yang tadi bersifat mendorong tubuh untuk berbuat sesuatu kini memudar dan tak muncul lagi. Kalau begitu, kini bagaimana bisa aku akan pergi bekerja?
Tetapi kini aku jadi sadar sepenuhnya, bahwa yang harus aku lakukan adalah segera berhenti bermeditasi dan pergi bekerja. Aku harus berhenti memperhatikan keluar masuk nafas. Dan aku harus berhenti merenungkan segala sesuatu. Aku harus menggerakan tubuhku. Dan aku sadar bahwa usaha merenung-renung hanyalah usaha untuk mencari kesenangan saja. Apa yang harus aku renungkan telah aku renungkan, sudah cukup dan tak perlu ditambah lagi. Dan konsentrasiku kini sudah memadai sebagai bekal menjalani hidup hari ini dengan tenang.
Tadi aku berpikir, "aku malas melakukan segala sesuatu, percuma aku melakuan segala sesuatu, tak ada gunanya semua itu, karena besok aku akan menghadapi hukuman mati. Aku larut dalam kesedihan dan kegelisahan"
tetapi saat ini aku berpikir, "walaupun besok aku akan menghadapi hukuman mati, biarlah itu terjadi besok. Biarkan aku bergembira hari ini, aku akan pergi bekerja, sebagai guru mengajar di sekolah, menikmati hidup untuk yang terakhir kali nya. Jika hidupku harus berakhir hari ini, aku tak ingin berakhir dengan kesedihan dan kegelisahan, biarkan aku mencapai akhir yang bahagia."