janganlah kita terkurung di dalam kata-kata. tetapi, kita harus melihat kepada makna dibalik kata-kata tersebut. bisa jadi, kita membuat pernyataan yang bertentangan pada lahirnya, tetapi hakikatnya tidak bertentangan. sang budha mengatakan bahwa yang menjadi sumber dari perselisihan para cendikian adalah "keterikatan pada konsepsi". jadi, sesuatu tidak harus dikatakan dengan cara yang sama.
selama anda belum terbebas dari "konsep" maka semuanya harus dijelaskan melalui konsep,jangan merasa anda telah terlepas dari "konsep" itu namanya "membohongi" diri sendiri,kecuali anda sudah arahatta yang terbebas dari segala konsepsi..yang menjadi masalah bagi para cendikiawan adalah "melekat" pada konsep,bukan menjelaskan lewat konsep..kita bisa menjelaskan lewat konsep,karena memang begitu adanya,tetapi lewat konsep2 tersebut,kita tidak boleh memunculkan kalimat multitafsir,kayak bersatu dengan TUHAN dan lain lain,mungkin dalam pandangan tertentu itu adalah benar adanya,tetapi melihat lebih jauh itu adalah tindakan kurang bijak...
jika saya membawa seekor kucing kepada orang ke rumah kerabat saya yang orang sunda dan saya mengatakan bahwa yang saya bawa itu adalah seekor kucing, tapi kerabt saya membantah, "itu bukan kucing, tapi emeng". karena dlam bahasa sunda, kucing itu ya emeng. adlaah bodoh bila saya bersitegang dengan dia, karena merasa telah dibantah. tapi, saya dapat memahami bahwa dia membantah hanya karena tidak tahu bahwa hewan itu dalam bahasa indonesia disebut kucing. maka baiklah saya gunakan istilah yang dia mengerti saya, yaitu Emeng. toh yang penting, maksudnya sama.
Apakah tulisan saya kurang jelas?saya rasa tulisan saya tidak ada hubungan dengan pernyataan yang sedang anda tuliskan itu..Apple=apel=peng kuo,ya sama aja kalau itu 1 objek dengan sebutan berbeda..intinya menuju pada "1 objek"..sedangkan yang menjadi permasalahan adalah :
"ketenangan adalah sumber masalah" sangat berbeda arti dengan
"keinginan adalah sumber masalah"Mengapa saya berkata demikian?yang namanya ketenangan itu netral,dia menjadi salah ketika muncul "keinginan",jadi jelas kesalahan muncul,saat adanya "keinginan"..kalau "keinginan" tidak muncul maka "ketenangan" ya "ketenangan",,jadi sumber sebabnya itu "keinginan" bukan "ketenangan"..kayak orang sakit perut,penyebab sakit perut adalah makanan,bukan "perut" tersebut..jangan salahkan "perut" ketika anda sakit perut,karena yang menjadi sumber masalahnya adalah "makanan" bukan "perutnya"..
demikian saya dengan anda. "kesenangan sebagai masalah" dan "tanha sebagai masalah". tapi anda membantah istilah yang saya gunakan, tak dapat memahami artinya. dan arti yang anda fahami dari isitilah yang saya gunakan telah menjadi salah, maka marilah kalau begitu, kita berbicara dengan bahasa yang dapat anda mengerti, yakni "tanha sebagai masalah", yang penting maksudnya sama.
Anda mau memutar balikkan fakta ya? anda tidak pernah menulis
"kesenangan sebagai masalah" dan "tanha sebagai masalah" yang anda tuliskan adalah
"ketenangan sebagai masalah", tentu saja masalah sebenarnya adalah "keinginan yang berlebihan" seperti yang anda katakan tadi. tapi bila ketenangan itulah yang menjadi pemicu munculnya "keinginan berlebihan" tersebut, maka pantas atau tidak pantaskah jika dikatakan "ketenangan sebagai masalah" ?disana jelas bahwa anda hendak menyamakan antara "keinginan berlebihan" = "ketenangan sebagai masalah"..
bahkan untuk berbicara dengn umat budhis di sini, saya telah mengkonversi banyak sekali bahasa agar umat budhis memahaminya. tempo lalu saya pernah membuat artikel yang di dlaamnya banyak membahas tentang dosa. sampai akhirnya saya sadar bahwa istilah dosa itu dimaknai lain oleh kawan-kawan di sini, shingga jadi agak membingungkan. kawan-kawan di sini memaknai dosa itu sebagai "kebencian", smentara saya memaknainya sebagai "kamma buruk". akhirnya, saya sadar bahwa saya harus mengkonversi istilah "dosa" ke kamma buruk, agar tidak membingungkan kawan-kawan di sini. dan lebih banyak lagi istilah yang tlah saya konversi.
saya telah banyak berbicara dengan meditator yang bahkan sama sekali tidak tahu soal Ajaran Buddha,mereka sama sekali tidak mengerti tentang sutta Buddha,apa yang mereka sampaikan sampai saat ini selalu selaras dengan sutta yang saya baca,selalu mereka berkata A,maka saya mengatakan kepada mereka bahwa dalam sutta ini tercantum A,mereka berkata B saya berkata dalam sutta ini tercantum B,malah mereka berkata bahwa pengetahuan Dhamma saya sangat kokoh...saya katakan kepada anda,pengetahuan dhamma saya sangat lemah[saya belum membaca Visudhi Magga,kalau saya punya waktu saya akan membacanya,untuk melihat korelasi pernyataan anda yang agak saya ragukan,terlepas pernyataan anda soal anda telah mencapai jhana atau tidak..]
demikian juga istilah "kesnangan sebagai masalah", mungkin tidak cocok dan tidak dapat difahami oleh anda, maka marilah kita gunkan yang cocok dan dapat difahami artinya oleh anda. "tanha sebagai masalah".
Sekali lagi saya tekankah saya mengatakan sumbernya adalah "keinginan" sedangkan anda mengatakan sumbernya adalah "ketenangan"..itu adalah KESALAHAN FATAL menurut saya,meditasi SAMATHA bhavana MEMBAWA pada KETENANGAN,dan selama saya BERMEDITASI,saya tidak pernah tahu bahwa KETENANGAN yang dicapai membawa DAMPAK NEGATIF..kalau ada dampak NEGATIVE,buat apa Buddha mengajari hal tersebut?Buddha sudah wanti2 dalam suttanya bagi para meditator samatha untuk tidak lengah didalam jhana,dan melatih vipasana setelah mencapai jhana 1..berati anda yang "bandel",nah rasain deh
Anumodana