//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Lepasnya TIMTIM dari sudut pandang seorang wartawan (forward dari milis)  (Read 8094 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline sl99

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 409
  • Reputasi: 33
  • Gender: Male
Subject: [Professional-Indonesia] Fw: [Innova] OOT: Menit-menit
terakhir TimTim
Date: Tue, 21 May 2013 13:22:32 +0000
From: Afriansyah

From: Trisna Hermana
Sender: Innova milis
To: Innova milis
ReplyTo: Innova milis
Subject: [Innova] OOT: Menit-menit terakhir TimTim
Sent: May 21, 2013 11:00

Tulisan seorang kawan wartawan yg meliput jajak pendapat di Dili.
Selamat hari Kebangkitan Nasional...
Tulisan berikut ini sungguh luar biasa, namun sekaligus membuat dada
sesak. Tentang sebuah perampokan dan penipuan yang dilakukan oleh IMF,
PBB, dan negara-negara kapitalis. Tentang sebuah kebodohan besar yang
dilakukan para pejabat Indonesia. Poor Timor Timur, poor Indonesia...
Ditulis oleh Kafil Yamin, wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific,
Bangkok, yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk
meliput 'Jajak Pendapat Timor-Timur' yang diselenggarakan UNAMET [United
Nations Mission in East Timor], 30 Agustus 1999. ------

Menit-Menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia Oleh: Kafil Yamin
Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah referendum,
adalah buah dari berbagai tekanan internasioal kepada Indonesia yang
sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1991. Belakangan tekanan
itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia. Ketika krisis moneter
menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia
terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas
politik; dan terjadilah jajak pendapat itu. Kebangkrutan ekonomi
Indonesia dimanfaatkan oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia,
untuk menekan Indonesia supaya melepas Timor Timur. IMF dan Bank

Dunia bersedia membantu Indonesia lewat paket yang disebut bailout,
sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas Timtim. Apa artinya ini?
Artinya keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat itu dilaksanakan.
Artinya bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas. Namun meski itu
formalitas, toh keadaan di kota Dili sejak menjelang pelaksanan jajak
pendapat itu sudah ramai nian. Panita jajak pendapat didominasi bule
Australia dan Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para pegiat LSM
pemantau jajak pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula - untuk
sebuah sandiwara besar. Hebat bukan?

Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999, saya mendarat di Dili.
Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan barang-barang di
penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia, milik orang
Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana ketika
itu, akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum
pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya
wawancarai, tak semudah mencari orang yang pro-integrasi.
Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota Dili, sampai ke Ainaro dan
Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama: lebih banyak
orang-orang pro-integrasi. Di banyak tempat, banyak para pemuda-pemudi
Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi Integrasi],
Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih],
Aitarak [Duri].

Setelah seharian berkeliling, saya berkesimpulan Timor Timur akan tetap
bersama Indonesia. Bukan hanya dalam potensi suara, tapi dalam hal
budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan Timor Timur bisa
benar-benar terpisah dari Indonesia. Semua orang Timtim kebanyakan
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Para penyedia barang-barang
kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia. Banyak pemuda-pemudi
Timtim yang belajar di sekolah dan universitas Indonesia, hampir
semuanya dibiayai pemerintah Indonesia. Guru-guru di sekolah-sekolah
Timtim pun kebanyakan orang Indonesia, demikian juga para petugas
kesehatan, dokter, mantri.

Selepas magrib, 28 Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di
lobi penginapan, minum kopi dan merokok. Tak lama kemudian, seorang
lelaki berusia 50an, tapi masih terlihat gagah, berambut gondrong,
berbadan atletis, berjalan ke arah tempat duduk saya; duduk dekat saya
dan mengeluarkan rokok . Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.
Dia menyapa duluan: "Dari mana?" sapanya. "Dari Jakarta," jawabku,
sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat.
Entah kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu
mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan pro-integrasi,
yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin [organisasi
pro-kemerdekaan], "karena bersama Portugis, mereka membantai keluarga
saya," katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yg terkendali.
Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam garam
kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan
kematangan itu. "Panggil saja saya Laffae," katanya. "Itu nama Timor
atau Portugis?" Saya penasaran. "Timor. Itu julukan dari kawan maupun
lawan. Artinya 'buaya'," jelasnya lagi.

Julukan itu muncul karena sebagai komandan milisi, dia dan pasukannya
sering tak terdeteksi lawan. Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia
bisa muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di
situ. Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu
dimiliki buaya. Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan,
tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan
berorganisasi. "Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat," katanya.
Dia pun menyebut sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang
sering berhubungan dengannya. Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat
dari tongkrongannya, tampak sekali dia seorang petempur senior. Saya
teringat tokoh pejuang Kuba, Che Guevara. Hanya saja ukuran badannya
lebih kecil.
"Kalau dengan Eurico Guterres? Sering berhubungan?" saya penasaran. "Dia
keponakan saya," jawab Laffae. "Kalau ketemu, salam saja dari saya."

Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai betul sejarah dan politik
Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena kantuk kian
menyerang. Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya. Sebagai
wartawan, saya telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari
pedagang kaki lima sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan
sudah lupa. Tapi orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas.
Sambil berjalan menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang
tokoh, kenapa saya tak pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti
saya mengenal Eurico Gueterres, Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan
lain-lain? Tapi sudahlah.

(2) Pagi tanggal 29 Agustus 1999. Saya keluar penginapan hendak memantau
situasi. Hari itu saya harus kirim laporan ke Bangkok. Namun sebelum
keliling saya mencari rumah makan untuk sarapan. Kebetulan lewat satu
rumah makan yang cukup nyaman. Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja
sana saya melihat Laffae sedang dikelilingi 4-5 orang, semuanya
berseragam Pemda setempat. Saya tambah yakin dia memang orang penting -
tapi misterius. Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa orang-orang itu.
"Yang satu Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua lagi
pejabat kejaksaan," katanya. "Mereka minta nasihat saya soal keadaan
sekarang ini," tambahnya.

Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan melihatnya 'bukan
siapa-siapa'. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai tak
terurus. Dan kalau kita belum 'masuk', dia nampak pendiam.
Saya lanjut keliling. Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang
asing. Terlihat polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut
kota. Saya pun mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di
tempat yang berbeda. Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang
teman wartawan dari majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah laporan dan kejadian
tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu UNAMET. Yang paling
banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut orang-orang
pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya mengunjungi
hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi yang dilibatkan.

Yang bikin suasana panas di kota yang sudah panas itu adalah sikap
polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan pemantau dan pengawas dari
kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat. Paling dekat dari
jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke sektratriat.
Bahkan ikut mengetik!
Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran mental orang-orang LSM dari
Indonesia, yang kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim karena didanai
asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru ditunjuk
polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat
Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani
melawan polisi . Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander
betulan. Tambah kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak
terdaftar sebagai pemilih. Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah
tentang ungkapan soal ini. Bahkan anak-anak Mahidi mengangkut
segerombolan orang tua yang ditolak mendaftar pemilih karena dikenal
sebagai pendukung integrasi. Saya pun harus mengungkapkan ukuran mental
wartawan-wartawan Indonesia di sini. Siang menjelang sore, UNAMET
menyelenggarakan konferensi pers di Dili tentang rencana penyelenggaraan
jajak pendapat besok. Saya tentu hadir. Lebih banyak wartawan asing
daripada wartawan Indonesia. Saya yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu
kecurangan-kecurangan itu.

Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal
praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya
yang bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi
wartawan-wartawan bule.
Tapi saya ingat betapa galaknya wartawan-wartawan Indonesia kalau
mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan HAM atau praktik-praktik
kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan karena cukup banyak
wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira sebab utamanya
rendah diri, seperti sikap para aktifis LSM lokal tadi.

Setelah konferensi pers usai, sekitar 2 jam saya habiskan untuk menulis
laporan. Isi utamanya tentang praktik-praktik kecurangan itu. Selain
wawancara, saya juga melengkapinya dengan pemantauan langsung.
Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya
masih ingat persis dialognya: "Kafil, we can't run the story," katanya.
"What do you mean? You send me here. I do the job, and you don't run the
story?" saya berreaksi. "We can't say the UNAMET is
cheating..." katanya. "That's what I saw. That's the fact. You want me
to lie?" saya agak emosi. "Do they [pro-integrasi] say all this thing
because they know they are going to loose?" "Well, that's your
interpretation. I'll make it simple. I wrote what I had to and it's up
to you," "I think we still can run the story but we should change it."
" I leave it to you," saya menutup pembicaraan. Saya merasa tak nyaman.
Namun saya kemudian bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific
itu antara lain didanai PBB.

(3) Pagi 30 Agustus 1999. Saya keliling Dili ke tempat-tempat pemungutan
suara. Di tiap TPS, para pemilih antri berjajar. Saya bisa berdiri dekat
dengan antrean-antrean itu. Para 'pemantau' tak berani mendekat karena
diusir polisi UNAMET.
Karena dekat, saya bisa melihat dan mendengar bule-bule Australia yang
sepertinya sedang mengatur barisan padahal sedang kampanya kasar.
Kebetulan mereka bisa bahasa Indonesia: "Ingat, pilih kemerdekaan ya!"
teriak seorang cewek bule kepada sekelompok orang tua yang sedang antre.
Bule-bule yang lain juga melakukan hal yang sama.
Sejenak saya heran dengan kelakuan mereka. Yang sering mengampanyekan
kejujuran, hak menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir saya. Mereka
cukup tak tahu malu.
Setelah memantau 4-5 TPS saya segera mencari tempat untuk menulis. Saya
harus kirim laporan. Setelah mengirim laporan. Saya manfaat waktu untuk
rileks, mencari tempat yang nyaman, melonggarkan otot. Toh kerja hari
itu sudah selesai.

Sampailah saya di pantai agak ke Timur, di mana patung Bunda Maria
berdiri menghadap laut, seperti sedang mendaulat ombak samudra. Patung
itu bediri di puncak bukit. Sangat besar. Dikelilingi taman dan bangunan
indah. Untuk mencapai patung itu, anda akan melewati trap tembok yang
cukup landai dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan berombongan sekali
pun. Sepanjang trap didindingi bukit yang dilapisi batu pualam. Di
setiap kira jarak 10 meter, di dinding terpajang relief dari tembaga
tentang Yesus, Bunda Maria, murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat
bermutu tinggi. Indah. Sangat indah. Patung dan semua fasilitasnya ini
dibangun pemerintah Indonesia. Pasti dengan biaya sangat mahal. Ya,
itulah biaya politik.
Tak terasa hari mulai redup. Saya harus pulang.

Selepas magrib, 30 September 1999. Kembali ke penginapan, saya bertemu
lagi dengan Laffae. Kali ini dia mendahului saya. Dia sudah duluan
mengepulkan baris demi baris asap rokok dari hidung dan mulutnya. Kami
ngobrol lagi sambil menikmati kopi.
Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena banyak tamu yang menemui
Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi pro-integrasi. Ditambah
penginapan kian sesak. Beberapa pemantau nginap di situ. Ada juga polisi
UNAMET perwakilan dari Pakistan.
Ada seorang perempuan keluar kamar, melihat dengan pandangan 'meminta'
ke arah saya dan Laffae. Kami tidak mengerti maksudnya. Baru tau setelah
lelaki pendampingnya bilang dia tak kuat asap rokok. Laffae lantas
bilang ke orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak kuat asap rokok.
Kami berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu. Beberapa menit
kemudian cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.
Saya masuk kamar lebih cepat. Tidur.
Vaya dhamma sankhara, appamadena sampadetha

Offline sl99

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 409
  • Reputasi: 33
  • Gender: Male
Pagi, 4 September 1999. Pengumuman hasil jajak pendapat di hotel Turismo
Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508 suara untuk
kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5persen berbanding
21,5persen. Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan penuh senyum,
seakan baru dapat rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah itu.
Saya pun segera berlari mencari tempat untuk menulis laporan. Setelah
selesai, saya balik ke penginapan.
Di lobi, Laffae sedang menonton teve yang menyiarkan hasil jajak
pendapat. Sendirian. Saat saya mendekat, wajahnya berurai air mata.
"Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Mereka curang.." katanya tersedu. Dia
merangkul saya. Lelaki pejuang, segar, matang ini mendadak luluh. Saya
tak punya kata apapun untuk menghiburnya. Lagi pula, mata saya saya
malah berkaca-kaca, terharu membayangkan apa yang dirasakan lelaki ini.
Perjuangan keras sepanjang hidupnya berakhir dengan kekalahan.
Saya hanya bisa diam. Dan Laffae pun nampaknya tak mau kesedihannya
terlihat orang lain. Setelah beberapa jenak ia berhasil bersikap normal.
"Kota Dili ini akan kosong.." katanya. Pelan tapi dalam. "Setelah
kosong, UNAMET mau apa."

Telepon berbunyi, dari Prabandari Tempo. Dia memberi tahu semua wartawan
Indonesia segera dievakuasi pakai pesawat militer Hercules, karena akan
ada penyisiran terhadap semua wartawan Indonesia. Saya diminta segera ke
bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer tidak bertanggung jawab.
Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara, tinggal saya. Hanya
butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut. Saya bilang ke
Prabandari: "Saya bertahan. Tinggalkan saja saya."
Laffae menguping pembicaraan. Dia menimpali: "Kenapa wartawan kesini
kalau ada kejadian malah lari?" katanya. Saya kira lebih benar dia
mikirnya. Saya lantas keluar, melakukan berbagai wawancara, menghadiri
konferensi pers, kebanyakan tentang kemarahan atas kecurangan UNAMET.
"Anggota Mahidi saja ada 50 ribu; belum Gardapaksi, belum BMP, belum
Halilintar, belum masyarakat yang tak ikut organisasi," kata Nemecio
Lopez, komandan milisi Mahidi.

Kembali ke penginapan sore, Laffae sedang menghadapi tamu 4-5 orang
pentolan pro-integrasi. Dia menengok ke arah saya: "Kafil! Mari sini,"
mengajak saya bergabung. "Sebentar!" saya bersemangat. Saya tak boleh
lewatkan ini. Setelah menyimpan barang-barang di kamar, mandi kilat.
Saya bergabung. Di situ saya hanya mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan.
"Paling-paling kita bisa siapkan seribuan orang," kata ketua Armindo
Soares, saya bertemu dengannya berkali-kali selama peliputan. "Saya
perlu lima ribu," kata Laffae. "Ya, lima ribu baru cukup untuk
mengguncangkan kota Dili," katanya, sambil menengok ke arah saya. "Kita
akan usahakan," kata Armindo.

Saya belum bisa menangkap jelas pembicaraan mereka ketika seorang kawan
memberitahu ada konferensi pers di kediaman Gubernur Abilio Soares. Saya
segera siap-siap berangkat ke sana. Sekitar jam 7 malam, saya sampai di
rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu. Soares
berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak
pendapat karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi. Setelah
ikut makan enak, saya pulang ke penginapan sekitar jam 8:30 malam. Sudah
rindu bersantai dengan Laffae sambil ditemani nikotin dan kafein. Tapi
Laffae tidak ada. Anehnya, penginapan jadi agak sepi. Para pemantau
sudah check-out, juga polisi-polisi UNAMET dari Pakistan itu. Tak banyak
yang bisa dilakukan kecuali tidur.
Namun saat rebah, kantuk susah datang karena terdengar suara-suara
tembakan. Mula-mula terdengar jauh. Tapi makin lama makin terdengar
lebih dekat dan frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena perut
kenyang dan badan capek, saya tertidur juga.
(4) Tanggal 5 September pagi, sekitar jam 09:00, saya keluar penginapan.
Kota Dili jauh lebi lengang. Hanya terlihat kendaran-kendaraan UNAMET
melintas di jalan. Tak ada lagi kendaraan umum. Tapi saya harus keluar.
Apa boleh buat - jalan kaki. Makin jauh berjalan makin sepi, tapi
tembakan nyaris terdengar dari segala arah. Sesiang ini, Dili sudah
mencekam.
Tidak ada warung atau toko buka. Perut sudah menagih keras. Apa boleh
buat saya berjalan menuju hotel Turismo, hanya di hotel besar ada
makanan. Tapi segera setelah itu saya kembali ke penginapan. Tidak
banyak yang bisa dikerjakan hari itu.

Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya sendirian di penginapan. Lapar.
Tidak ada makanan. Dili sudah seratus persen mencekam. Bunyi tembakan
tak henti-henti. Terdorong rasa lapar yang sangat, saya keluar penginapan.
Selain mencekam. Gelap pula. Hanya di tempat-tempat tertentu lampu
menyala. Baru kira-kira 20 meter berjalan, gelegar tembakan dari arah
kanan. Berhenti. Jalan lagi. Tembakan lagi dari arah kiri. Tiap berhenti
ada tarikan dua arah dari dalam diri: kembali atau terus. Entah kenapa,
saya selalu memilih terus, karena untuk balik sudah terlanjur jauh. Saya
berjalan sendirian; dalam gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi
adonan tiga unsur: lapar, takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut.
Lagi pula, saya tak tau ke arah mana saya berjalan. Kepalang basah,
pokoknya jalan terus.

Sekitar jam 11 malam, tanpa disengaja, kaki sampai di pelabuhan Dili.
Lumayan terang oleh lampu pelabuhan. Segera rasa takut hilang karena di
sana banyak sekali orang. Mereka duduk, bergeletak di atas aspal atau
tanah pelabuhan. Rupanya, mereka hendak mengungsi via kapal laut.
Banyak di antara mereka yang sedang makan nasi bungkus bersama. Dalam
suasa begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut. Saya minta
makan! "Ikut makan ya?" kata saya kepada serombongan keluarga yang
sedang makan bersama. "Silahkan bang!.. silahkan!.." si bapak tampak
senang. Tunggu apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya.
Cepat sekali saya makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang
ajar lebih jauh: sekalian minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.
Sekitar jam 3 malam saya berhasil kembali ke penginapan.

Pagi menjelang siang, tanggal 6 September 1999. Saya hanya duduk di lobi
penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada warung dan toko yang
buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak berpenghuni -
kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili mengungsi,
sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua.

Orang-orang pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi.
Markas dan sekretariat dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa
kalinya. Sekarang, saya jadi teringat kata-kata Laffae sehabis
menyaksikan pengumuman hasil jajak pedapat kemarin: "Dili ini akan
kosong.." Saya pun teringat kata-kata dia: "Saya perlu lima ribu orang
untuk mengguncang kota Dili.." Ya, sekarang saya berkesimpulan ini aksi
dia. Aksi pejuang pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya,
hanya saya yang tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara
teve-teve hanya memberitakan penyerangan mililis pro-integrasi terhadap
kaum pro-kemerdekaan.

Tentu, orang-orang pro-integrasi pun mengungsi. Laffae dan pasukannya
ingin semua orang Timtim bernasib sama: kalau ada satu pihak yang tak
mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka semua orang timtim harus keluar
dari sana. Itu pernah diucapkannya kepada saya. Inilah hasil langsung
jajak pendapat yang dipaksakan harus dimenangkan. Hukum perhubungan
antar manusia saat itu sepasti hukum kimia: tindakan lancung dan curang
pasti berbuah bencana. ***
Saya harus pulang, karena tidak banyak yang bisa dilihat dan ditemui.
Untung masih ada omprengan yang mau mengantara ke bandara. Sekitar jam
11 pagi saya sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di bandara sedang
darurat. Semua orang panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan tempat
duduk pada jam penerbangan yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati
bandara. Lagi pula penerbangan jam itu adalah yang satu-satunya dan
terakhir.

Bule-bule yang biasanya tertib kini saling sikut, saling dorong sampai
ke depan komputer penjaga kounter. Ada bule yang stres saking tegangnya
sampai-sampai minta rokok kepada saya yg berdiri di belakang
tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang beriman.
Banyak yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar saja.
Masuk ke ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri
dia, saya bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan
salam untuknya. Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya
menyebut nama Laffae itu.

Sore, 7 November, 1999, saya mendarat di Jakarta. (5) Penduduk Timtim
mengungsi ke Atambua, NTT. Sungguh tidak mudah mereka mengungsi. Polisi
UNAMET berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun
hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili. Di kamp-kamp pengungsian
Atambua, keadaan sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk
mecakung; anak-anak muda gelisah ditelikung rasa takut; sebagian
digerayangi rasa marah dan dendam; anak-anak diliputi kecemasan. Mereka
adalah yang memilih hidup bersama Indonesia. Dan pilihan itu
mengharuskan mereka terpisah dari keluarga.
Pemerintah negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari
menyantuni mereka. Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan
hukum atas 'kejahatan terhadap kemanusiaan', dan Indonesia, boro-boro
membela mereka, malah ikut mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih
merah putih itu. Eurico Guterres dan Abilio Soares diadili dan dihukum
di negara yang dicintai dan dibelanya.

Jendral-jendral yang dulu menikmati kekuasaan di Timtim, sekarang pada
sembunyi. Tak ada yang punya cukup nyali untuk bersikap tegas, misalnya:
"Kami melindungi rakyat Timtim yang memilih bergabung dengan Indonesia."
Padahal, mereka yang selalu mengajarkan berkorban untuk negara; menjadi
tumbal untuk kehormatan pertiwi, dengan nyawa sekalipun.

Sementara itu, para pengungsi ditelantarkan. Tak ada solidaritas
kebangsaan yang ditunjukkan pemerintah dan militer Indonesia. Inilah
tragedi kemanusiaan. Melihat begini, jargon-jargon negara-negara Barat,
media asing, tentang 'self determination', tak lebih dari sekedar ironi
pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktifis kemanusiaan
internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi terlihat
absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan tak
lebih tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi,
yang kini mereka hisap habis-habisan.

Pernah Laffae menelepon saya dari Jakarta, kira-kira 3 bulan setelah
malapetaka itu. Ketika itu saya tinggal di Bandung. Dia bilang ingin
ketemu saya dan akan datang ke Bandung. Saya sangat senang. Tapi dia tak
pernah datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.

(6-akhir) 12 tahun beralu sudah. Apa kabar bailout IMF yang 43 milyar
dolar itu? Sampai detik ini, uang itu entah di mana. Ada beberapa percik
dicairkan tahun 1999-2000, tak sampai seperempatnya. Dan tidak menolong
apa-apa. Yang terbukti bukan mencairkan dana yang dijanjikan, tapi
meminta pemerintah Indonesia supaya mencabut subsidi BBM, subsidi
pangan, subsidi listrik, yang membuat rakyat Indonesia tambah miskin dan
sengsara. Anehnya, semua sarannya itu diturut oleh pemerintah rendah
diri bin inlander ini.
Yang paling dibutuhkan adalah menutupi defisit anggaran. Untuk itulah
dana pinjaman [bukan bantuan] diperlukan. Namun IMF mengatasi defisit
angaran dengan akal bulus: mencabut semua subsidi untuk kebutuhan rakyat
sehingga defisit tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh. Perkara rakyat
ngamuk dan makin sengsara, peduli amat.

Melengkapi akal bulusnya itu IMF meminta pemerintah Indonesia
menswastakan semua perusahaan negara, seperti Bank Niaga, BCA, Telkom,
Indosat. Pernah IMF mengeluarkan dana cadangan sebesar 9 milyar dolar.
Tapi, seperti dikeluhkan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu,
seperak pun dana itu tidak bisa dipakai karena hanya berfungsi sebagai
pengaman. Apa bedanya dengan dana fiktif?
Lagi pula, kenapa ketika itu pemerintah Indonesia seperti tak punya
cadangan otak, yang paling sederhana sekalipun. Kenapa mau melepas
Timtim dengan imbalan utang? Bukankan semestinya kompensasi? Adakah di
dunia ini orang yang hartanya di beli dengan utang? Nih saya bayar
barangmu. Barangmu saya ambil, tapi kau harus tetap mengembalikan uang
itu. Bukankah ini sama persis dengan memberi gratis? Dan dalam kasus
ini, yang dikasih adalah negara? Ya , Indonesia memberi negara kepada
IMF secara cuma-cuma.
Kalau saya jadi wakil pemerintah Indonesia waktu itu, saya akan
menawarkan 'deal' yang paling masuk akal: "Baik, Timor Timur kami lepas
tanpa syarat. Ganti saja dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun
Timtim selama 24 tahun." Dengan demikian, tidak ada utang piutang.
Sampai hari ini Indonesia masih menyicil utang kepada IMF, untuk sesuatu
yang tak pernah ia dapatkan. Saya harap generasi muda Indonesia tidak
sebodoh para pemimpin sekarang. (27 Januari 2011).
Vaya dhamma sankhara, appamadena sampadetha

Offline Forte

  • Sebelumnya FoxRockman
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 16.577
  • Reputasi: 458
  • Gender: Male
  • not mine - not me - not myself
Timtim lebih tepatnya sekarang Timor Leste.. ;D

Sekedar share, tahun lalu saya pernah mengajar / memberi training kepada orang IT Timor Leste, dan hari terakhir pada saat training selesai, kebetulan saya orangnya suka banget ngobrol jadi iseng tanya2 mengenai kehidupan sana dan problem seputar tahun 99. Ini cerita agak sepenggal2 karena udah 1 tahun yang lalu.. jadi saya cerita apa yang masih teringat :))

Singkat cerita, menurut versinya, penjajah yang pertama menginjakkan kakinya di Timtim bukanlah Portugal, melainkan Belanda. Lalu setelah itu Portugal mendarat juga di sana di tempat yang berbeda. Awalnya sempat bersitegang antara Portugal Belanda, akhirnya mereka pun berdamai dengan "menukar daerah jajahan". Dan resmilah Timtim dikuasai oleh Portugal.

Saya masih ingat dulu, guru sejarah selalu bercerita mengenai Timtim yang miskin, tanah gersang, dan bersyukur Indonesia mau menjadikan provinsi ke 27. Ternyata semua itu tidak benar menurut versi client saya. Timtim daerah yang sangat KAYA sekali, daerah tersebut kaya dengan minyak dan emas. Makanya pada saat tahun 1999, banyak pihak yang berusaha membantu Timtim untuk lepas dari Indonesia dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan juga. Salah satunya adalah Australia yang berambisi untuk mengeruk minyak di sana.


Mengenai tahun 99 sendiri, pada saat Timtim diberlakukan DOM, sangat sengsara, jika ada kegiatan yang mencurigakan langsung ditangkap dan disiksa, dan katanya Wiranto dan Prabowo yang menjadi biang kerok pelanggaran HAM terbesar di sana.
Dan sempat juga pecah menjadi 2 kubu antara kubu pro dan kubu separatis yang saling bentrok.

Timor Leste katanya sedang berkembang, jadi lagi banyak mengexploitasi sumber daya yang ada, seperti minyak. Pembangunan infrastruktur di sana sedang dilakukan. Banyak prospek bisnis yang cukup menggiurkan di sana karena daerah yang sedang berkembang. Mereka juga karena kaya minyak, jadi banyak mengexpor SDM nya untuk belajar ke luar negri agar nantinya bisa berperan banyak di daerahnya sendiri. Namun sayangnya korupsi di sana juga merajalela..

Biaya hidup sana memang mahal, dan banyak barang didatangkan dari Kupang, dan tidak sedikit yang mengadu nasib di Timtim karena sedang berkembang. Bahasa mereka ada 3 : Portugal, Inggris, Indonesia dan mata uang yang sering digunakan adalah US Dollar. Dan sebagai kenangan2, saya diberi uang 1 USD :))
« Last Edit: 23 May 2013, 08:28:15 PM by Forte »
Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku
6 kelompok 6 - Chachakka Sutta MN 148

Offline allthingmustpass

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 144
  • Reputasi: 11
  • Gender: Male
  • life is suffering
Re: Lepasnya TIMTIM dari sudut pandang seorang wartawan (forward dari milis)
« Reply #3 on: 19 November 2013, 05:34:18 AM »
FYI maupun keadaan timor timur masih "miskin", tapi GDP per capitanya di tahun ini sudah lebih besar dari indonesia, dan ruang berkembangnya masih jauh... ;D
Do not pursue the past. Do not lose yourself in the future. The past no longer is. The future has not yet come. Looking deeply at life as it is. In the very here and now

Offline allthingmustpass

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 144
  • Reputasi: 11
  • Gender: Male
  • life is suffering
Re: Lepasnya TIMTIM dari sudut pandang seorang wartawan (forward dari milis)
« Reply #4 on: 19 November 2013, 06:09:08 AM »
komen lagi ah... hehe

tanpa mengurangi rasa hormat pada negara tempat saya lahir dan berkembang ini, dan juga pengetahuan dasar saya yang sangat terbatas. saya setuju timor leste (timor timur) lepas dari indonesia.

kenapa? karena mereka dulunya bukan wilayah majapahit, bukan jajahan belanda, tidak ikut sumpah pemuda, tidak masuk dalam wilayah konferensi meja bundar, tidak masuk wilayah dalam kesepakatan new york, berbeda agama dengan mayoritas di indonesia (99 persen kr****n)..... dan yang paling terutama sejarah berdarah pengambilalihan nya dari portugal ke indonesia....



Do not pursue the past. Do not lose yourself in the future. The past no longer is. The future has not yet come. Looking deeply at life as it is. In the very here and now

Offline Shasika

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.152
  • Reputasi: 101
  • Gender: Female
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Lepasnya TIMTIM dari sudut pandang seorang wartawan (forward dari milis)
« Reply #5 on: 19 November 2013, 12:12:30 PM »
Saya sangat senang baca ini akhirnya ada yang berani mengungkapkan ke permukaan ttg kecurangan, kebodohan, kelicikan, akal muslihat negara kita selama ini kepada Timtim, yang jelas2 dari awal dia BUKAN milik Indonesia. Ngapain ngurusin yang bukan miliknya tapi mengabaikan yang jadi miliknya dan menelantarkan, sampai berujung lepasnya pulau2 Indonesia jadi milik Malaysia. +1 dah utk TS nya. nice post.
I'm an ordinary human only

Offline Mokau Kaucu

  • Sebelumnya: dtgvajra
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.293
  • Reputasi: 81
Re: Lepasnya TIMTIM dari sudut pandang seorang wartawan (forward dari milis)
« Reply #6 on: 21 November 2013, 08:51:47 PM »
Pada bulan Mei yg lalu saya berkesempatan mengunjungi Dili, Timor Leste (TL)
Memang Timor Leste sangat kaya akan bahan tambang, selain granit, marmer, bijih besi, bijih tembaga , bahkan emas (dan mungkin Uranium, karena ada bukit yg sama sekali tidak ada tumbuhan maupun hewan, ayam yg dilepas disitu, dalam 15 menit akan mati).
Timor Leste sangat kaya akan minyak, menurut rekan saya yg tinggal disana, di provinsi Sula (di bagian Barat), ada daerah yg deposit minyak bumi sangat dekat dengan permukaan, cukup dgn menancapkan pipa 3 sampai 4 meter, minyak sudah keluar.
Dan Presiden yg sekarang Xanana Gusmao, melarang semua perusahaan asing utk beroperasi disana, dia menunggu para mahasiswa yg sekarang sedang kuliah perminyakan di berbagai negara, dan sdh pernah bekerja di perusahaan minyak, untuk kembali dan mengerjakannya.


Mata uang yg dipakai andalah US$.
Bahasa yang dipakai dgn urutan dari yg paling banyak dipakai:  Indonesia, Tetum, Porto dan sedikit yg mengerti bhs Inggris.Ti
Tidak semua orang Timor Leste berkulit hitam dengan profil wajah saudara kita di Indonesia Timur;  banyak yg sudah bercampur dgn Portugis dan memiliki wajah seperti bintang film Italy, terutama yg dari provinsi Los Palos, mereka tidak berkulit hitam, cenderung putih, seperti Tionghoa di Indonesia, tetapi profil wajah seperti Eropa.  Lihat saja Raoul suami Krisdayanti; yg seperti dia, banyak banget. ;D


Saya sempat ketemu dengan seorang pejabat dari menteri dalam negeri, dia bilang "yg lalu biarlah berlalu, mari kita melupakan sejarah yg kelam dan pedih".  Dia membicarakan bahwa pemerintah TL balik mengacu pada administrasi negara Indonesia, dengan mengirimkan pemuda ataupun pegawai pemerintah untuk menempuh pendidikan administrasi negara di Indonesia. begitu pula di bidang teknik yg lain, mereka mengirimkan mahasiswa ke Indonesia.


Saya tanyakan mengapa tidak ke Australia?  Jawabnya, masalah bahasa Inggris yg tidak dikuasai mayoritas disana, dan yg lebih penting lagi, Australia sdh terlalu maju, sudah komputerisasi semua, sedangkan di TL, yg melek komputer masih kurang dari 1%.  Karena itu mereka putar haluan ke Indonesia. Pilihan yg bijak juga.


Sdh menjadi rahasia umum disana , perjanjian penambangan minyak di Celah Timor dengan Australia, sangat merugikan Timor Leste, tetapi mereka tidak bisa apa apa , mesti menunggu masa konsesi habis.  Bahkan hasil profit sharing utk Timor Leste, tidak bisa dipakai langsung oleh pemerintah Timor Leste, semuanya di simpan di bank di luar negeri dan pencairannya diawasi oleh PBB, sesuai dengan anggaran kebutuhan pemerintah.


Karena itu pemerintah TL sangat mendorong investasi dari luar untuk masuk ke TL.


Kondisi geografi, banyak sekali gunung batu disekitar Dili, sangat gersang karena curah hujan yg minim, tetapi tidak semua Timor Leste spt itu, di bagian Utara ada pegunungan yg lebat, dengan sebuah danau yg besar yg sekarang sedang dibuat bendungan yg jika sudah selesai, dapat mencukupi kebutuhan listrik seluruh rakyat Timor Leste secara gratis.
Begitu banyaknya pasir dan batu di Timor Leste, sehingga disana tidak ada yg menjual pasir atau batu untuk pembangunan.  Kontraktor dipersilahkan ambil sendiri di sungai ,  dengan mengajukan permintaan kepada departemen pengairan untuk mendapatkan area yang diijinkan untuk diambil batu dan pasirnya.


Karena belum ada industri sama sekali, semua kebutuhan diimport.  Bahan pangan biasanya dari Indonesia, lewat Kupang/Atambua.  Bahkan sayur pun tidak ada yg menanam, hanya beberapa keluarga dari RRT yg mengadu nasib disana, saya lihat yg wanita sedang berkebun sayur, kacang panjang, pare , tomat dll.


Perusahaan konstruksi yg beroperasi disana, rata rata dari Indonesia, 7 kontraktor BUMN Indonesia mempunyai perwakilan disana, dan ada 4 yg swasta.
Pekerja konstruksi, masih sangat tergantung dari Indonesia; karena ada jumlah pembatasan karyawan yg diijinkan masuk dari Indonesia, maka pekerjaan konstruksi disana berjalan dengan sangat lambat, kekurangan tenaga kerja.


Tenaga lokal disana, selain kurang terampil, juga punya masalah sikap, kurang disiplin, lamban, dan malas.  Mungkin karena pemerintah memberikan uang tunai setiap minggu pada setiap keluarga yg dianggap tidak mampu (dan ditiru oleh pemerintah kita), maka mereka menjadi sangat tergantung pada pemberian.
Yg menyedihkan adalah segera setelah menerima uang bantuan, sebagian besar dari mereka langsung ke supermarket, membeli alkohol lalu 'pigi bapesta'.


Ada sedikit koreksi thd tulisan pak Kaffii yg wartawan,  patung yg berada diatas bukit adalah patung Kristus Raja bukan Bunda Maria, sangat besar 37 meter dari atas pijakan yang berupa bola dunia. Dan ini adalah pemberian dari Pemerintah RI.  Jalan salib yg dibuat sangat lebar, kurang lebih 4 meter, terus mendaki bukit.  Pemandangan dari atas bukit sangat indah, karena berada di semenanjung, 3 sisi di kelilingi oleh laut.


Dalam menilai apa yg terjadi, kita tidak boleh hanya melihat pada sesaat yg terjadi menjelang Timor Leste merdeka.
Jaman Orde Lama adalah jaman represif, dan ini sangat dirasakan di TL, walaupun kehidupan ratarata masyarakat menjadi lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan Portugal.
Pertikaian antara yg ingin merdeka dengan TNI, tetap menyisakan bayang bayang kelam.
Bahkan ada kekejaman yg sangat diluar peri kemanusiaan yg dilakukan kepada wanita Timor Leste ; yg paling keterlaluan adalah perkosaan sampai ibu hamil melahirkan sebelum waktunya; seluruh desa tsb tewas dibantai, hanya beberapa orang yg sempat sembunyi dan memotret kejadian tsb.


Pada saat rekan saya mendapat pekerjaan membuat air mancur di kota Dili,  air mancur tidak terlalu besar sekitar 500 meter persegi, ditemukan lebih dari 300 kerangka manusia, bertumpuk tumpuk, yg jelas merupakan korban pembantaian.
Sebuah bangunan kuno milik keuskupan yg merupakan peringatan kedatangan kapal portugis pertama ke Timor, sekarang hanya tinggal kerangkanya karena dibakar pada saat kerusuhan Dili, berikut wanita dan anak anak yang berlindung di dalamnya.


Maka dari itu, tidak bisa disalahkan pula jika ada warga negara negara yg menjunjung tinggi perikemanusiaan sangat marah, berusaha sekuat tenaga, dengan cara apapun agar TL bisa lepas dari Indonesia; termasuk dengan cara curang.


Biarlah sejarah yg kelam berlalu,  kita lihat hari esok yg lebih baik. 

Apa yg menarik disana?


Harga mobil sangat murah, apalagi yg second.  Pajero ex UN, hanya 100 juta.


Bagi pencinta makan,  BB ala Porto dan BB Asap ala Timor sangat enak.


Yg paling berkesan bagi saya adalah makan ikan Napoleon, 2 kg harganya cuma Rp 80.000,- beli dipinggir pantai dan minta restoran untuk memasakkan.  Katanya ikan ini di restoran di Hongkong, bisa mencapai Rp 10 juta per kilo. 
Jadi kitta ber empat menghabiskan ikan senilai Rp 20 juta (kalau di hongkong).


Daging sapi dan kambing sangat mahal, tukang sate menjual sate kambing 10 tusuk Rp 75.000,- pakai ngotot lagi mengunyahnya karena liat.


Mutu kopi di Timor LEste sangat baik, yg premium grade semua di export ke Eropa, yg second pun masih sangat enak.  Mutu kopi Ameriicano/Long black di gerai franchise spt Cafe ****buck dll, lewat dah, ngga ada apa apanya.


Dan secangkir kopi di hotel yg paling mahal di Dili, dihargai 1,5 USD termasuk pajak dan service.


Kalau beli di warung/resto, cuma sekitar Rp 3.000,- secangkir dgn kualitas yg sama bagusnya, cuma beda penampilan saja dan tanpa AC.


Roti/bakery yg saya makan utk breakfast di hotel, berkualitas sangat bagus, seperti di Eropa.


Bagi yg senang Wine,  disana murah sekali, teman teman saya yg hobby dan tidak pantang, mengatakan kualitas Red Wine yg mereka minum (beli dgn harga US$ 8 di Supermarket) kalau di Jkt harganya bisa sejuta rupiah.


Artis pujaan merekan masih artis Indonesia, tetapi yg sdh lebih dari 20 thn yg lalu mengalami keemasan di Indonesia , bahkan acara hiburan dgn artis senior spt Grace Simon, masih dipenuhi penggemar, maklum radio swasta hanya memiliki kaset lagu lagu lama.
Artis Indonesia yg dipuja puja oleh masyarakat sana adalah Krisdayanti.




Nah, ayo siapa yg berniat bertualang ke sana, silahkan berangkat dan bayar sendiri.
 Cuma 1 jam 40 menit dari Ngurah Rai, Bali.






« Last Edit: 21 November 2013, 09:18:17 PM by Mokau Kaucu »
~Life is suffering, why should we make it more?~

Offline The Ronald

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.231
  • Reputasi: 89
  • Gender: Male
Re: Lepasnya TIMTIM dari sudut pandang seorang wartawan (forward dari milis)
« Reply #7 on: 21 November 2013, 11:09:49 PM »
menarik...masalah keamanan bagi mana? trus masalah seperti sara..dll..
...

Offline Mokau Kaucu

  • Sebelumnya: dtgvajra
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.293
  • Reputasi: 81
Re: Lepasnya TIMTIM dari sudut pandang seorang wartawan (forward dari milis)
« Reply #8 on: 21 November 2013, 11:32:49 PM »
menarik...masalah keamanan bagi mana? trus masalah seperti sara..dll..


Saya merasa lebih aman jalan di Dili, daripada di Priok.
~Life is suffering, why should we make it more?~

Offline Mas Tidar

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.262
  • Reputasi: 82
  • Gender: Male
Re: Lepasnya TIMTIM dari sudut pandang seorang wartawan (forward dari milis)
« Reply #9 on: 22 November 2013, 09:49:52 AM »
yg digarisbawahi spertinya pendapat pribadi, bukan pendapat umum.
klo parameter itu digunakan maka akan banyak provinsi di NKRI mengadakan referendum.

komen lagi ah... hehe

tanpa mengurangi rasa hormat pada negara tempat saya lahir dan berkembang ini, dan juga pengetahuan dasar saya yang sangat terbatas. saya setuju timor leste (timor timur) lepas dari indonesia.

kenapa? karena mereka dulunya bukan wilayah majapahit, bukan jajahan belanda, tidak ikut sumpah pemuda, tidak masuk dalam wilayah konferensi meja bundar, tidak masuk wilayah dalam kesepakatan new york, berbeda agama dengan mayoritas di indonesia (99 persen kr****n)..... dan yang paling terutama sejarah berdarah pengambilalihan nya dari portugal ke indonesia....
Saccena me samo natthi, Esa me saccaparamiti

"One who sees the Dhamma sees me. One who sees me sees the Dhamma." Buddha

Offline Mas Tidar

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.262
  • Reputasi: 82
  • Gender: Male
Re: Lepasnya TIMTIM dari sudut pandang seorang wartawan (forward dari milis)
« Reply #10 on: 22 November 2013, 09:50:53 AM »
soal cakap bahasa, bagaimana om ?  ;D

Spoiler: ShowHide
Pada bulan Mei yg lalu saya berkesempatan mengunjungi Dili, Timor Leste (TL)
Memang Timor Leste sangat kaya akan bahan tambang, selain granit, marmer, bijih besi, bijih tembaga , bahkan emas (dan mungkin Uranium, karena ada bukit yg sama sekali tidak ada tumbuhan maupun hewan, ayam yg dilepas disitu, dalam 15 menit akan mati).
Timor Leste sangat kaya akan minyak, menurut rekan saya yg tinggal disana, di provinsi Sula (di bagian Barat), ada daerah yg deposit minyak bumi sangat dekat dengan permukaan, cukup dgn menancapkan pipa 3 sampai 4 meter, minyak sudah keluar.
Dan Presiden yg sekarang Xanana Gusmao, melarang semua perusahaan asing utk beroperasi disana, dia menunggu para mahasiswa yg sekarang sedang kuliah perminyakan di berbagai negara, dan sdh pernah bekerja di perusahaan minyak, untuk kembali dan mengerjakannya.


Mata uang yg dipakai andalah US$.
Bahasa yang dipakai dgn urutan dari yg paling banyak dipakai:  Indonesia, Tetum, Porto dan sedikit yg mengerti bhs Inggris.Ti
Tidak semua orang Timor Leste berkulit hitam dengan profil wajah saudara kita di Indonesia Timur;  banyak yg sudah bercampur dgn Portugis dan memiliki wajah seperti bintang film Italy, terutama yg dari provinsi Los Palos, mereka tidak berkulit hitam, cenderung putih, seperti Tionghoa di Indonesia, tetapi profil wajah seperti Eropa.  Lihat saja Raoul suami Krisdayanti; yg seperti dia, banyak banget. ;D


Saya sempat ketemu dengan seorang pejabat dari menteri dalam negeri, dia bilang "yg lalu biarlah berlalu, mari kita melupakan sejarah yg kelam dan pedih".  Dia membicarakan bahwa pemerintah TL balik mengacu pada administrasi negara Indonesia, dengan mengirimkan pemuda ataupun pegawai pemerintah untuk menempuh pendidikan administrasi negara di Indonesia. begitu pula di bidang teknik yg lain, mereka mengirimkan mahasiswa ke Indonesia.


Saya tanyakan mengapa tidak ke Australia?  Jawabnya, masalah bahasa Inggris yg tidak dikuasai mayoritas disana, dan yg lebih penting lagi, Australia sdh terlalu maju, sudah komputerisasi semua, sedangkan di TL, yg melek komputer masih kurang dari 1%.  Karena itu mereka putar haluan ke Indonesia. Pilihan yg bijak juga.


Sdh menjadi rahasia umum disana , perjanjian penambangan minyak di Celah Timor dengan Australia, sangat merugikan Timor Leste, tetapi mereka tidak bisa apa apa , mesti menunggu masa konsesi habis.  Bahkan hasil profit sharing utk Timor Leste, tidak bisa dipakai langsung oleh pemerintah Timor Leste, semuanya di simpan di bank di luar negeri dan pencairannya diawasi oleh PBB, sesuai dengan anggaran kebutuhan pemerintah.


Karena itu pemerintah TL sangat mendorong investasi dari luar untuk masuk ke TL.


Kondisi geografi, banyak sekali gunung batu disekitar Dili, sangat gersang karena curah hujan yg minim, tetapi tidak semua Timor Leste spt itu, di bagian Utara ada pegunungan yg lebat, dengan sebuah danau yg besar yg sekarang sedang dibuat bendungan yg jika sudah selesai, dapat mencukupi kebutuhan listrik seluruh rakyat Timor Leste secara gratis.
Begitu banyaknya pasir dan batu di Timor Leste, sehingga disana tidak ada yg menjual pasir atau batu untuk pembangunan.  Kontraktor dipersilahkan ambil sendiri di sungai ,  dengan mengajukan permintaan kepada departemen pengairan untuk mendapatkan area yang diijinkan untuk diambil batu dan pasirnya.


Karena belum ada industri sama sekali, semua kebutuhan diimport.  Bahan pangan biasanya dari Indonesia, lewat Kupang/Atambua.  Bahkan sayur pun tidak ada yg menanam, hanya beberapa keluarga dari RRT yg mengadu nasib disana, saya lihat yg wanita sedang berkebun sayur, kacang panjang, pare , tomat dll.


Perusahaan konstruksi yg beroperasi disana, rata rata dari Indonesia, 7 kontraktor BUMN Indonesia mempunyai perwakilan disana, dan ada 4 yg swasta.
Pekerja konstruksi, masih sangat tergantung dari Indonesia; karena ada jumlah pembatasan karyawan yg diijinkan masuk dari Indonesia, maka pekerjaan konstruksi disana berjalan dengan sangat lambat, kekurangan tenaga kerja.


Tenaga lokal disana, selain kurang terampil, juga punya masalah sikap, kurang disiplin, lamban, dan malas.  Mungkin karena pemerintah memberikan uang tunai setiap minggu pada setiap keluarga yg dianggap tidak mampu (dan ditiru oleh pemerintah kita), maka mereka menjadi sangat tergantung pada pemberian.
Yg menyedihkan adalah segera setelah menerima uang bantuan, sebagian besar dari mereka langsung ke supermarket, membeli alkohol lalu 'pigi bapesta'.


Ada sedikit koreksi thd tulisan pak Kaffii yg wartawan,  patung yg berada diatas bukit adalah patung Kristus Raja bukan Bunda Maria, sangat besar 37 meter dari atas pijakan yang berupa bola dunia. Dan ini adalah pemberian dari Pemerintah RI.  Jalan salib yg dibuat sangat lebar, kurang lebih 4 meter, terus mendaki bukit.  Pemandangan dari atas bukit sangat indah, karena berada di semenanjung, 3 sisi di kelilingi oleh laut.


Dalam menilai apa yg terjadi, kita tidak boleh hanya melihat pada sesaat yg terjadi menjelang Timor Leste merdeka.
Jaman Orde Lama adalah jaman represif, dan ini sangat dirasakan di TL, walaupun kehidupan ratarata masyarakat menjadi lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan Portugal.
Pertikaian antara yg ingin merdeka dengan TNI, tetap menyisakan bayang bayang kelam.
Bahkan ada kekejaman yg sangat diluar peri kemanusiaan yg dilakukan kepada wanita Timor Leste ; yg paling keterlaluan adalah perkosaan sampai ibu hamil melahirkan sebelum waktunya; seluruh desa tsb tewas dibantai, hanya beberapa orang yg sempat sembunyi dan memotret kejadian tsb.


Pada saat rekan saya mendapat pekerjaan membuat air mancur di kota Dili,  air mancur tidak terlalu besar sekitar 500 meter persegi, ditemukan lebih dari 300 kerangka manusia, bertumpuk tumpuk, yg jelas merupakan korban pembantaian.
Sebuah bangunan kuno milik keuskupan yg merupakan peringatan kedatangan kapal portugis pertama ke Timor, sekarang hanya tinggal kerangkanya karena dibakar pada saat kerusuhan Dili, berikut wanita dan anak anak yang berlindung di dalamnya.


Maka dari itu, tidak bisa disalahkan pula jika ada warga negara negara yg menjunjung tinggi perikemanusiaan sangat marah, berusaha sekuat tenaga, dengan cara apapun agar TL bisa lepas dari Indonesia; termasuk dengan cara curang.


Biarlah sejarah yg kelam berlalu,  kita lihat hari esok yg lebih baik. 

Apa yg menarik disana?


Harga mobil sangat murah, apalagi yg second.  Pajero ex UN, hanya 100 juta.


Bagi pencinta makan,  BB ala Porto dan BB Asap ala Timor sangat enak.


Yg paling berkesan bagi saya adalah makan ikan Napoleon, 2 kg harganya cuma Rp 80.000,- beli dipinggir pantai dan minta restoran untuk memasakkan.  Katanya ikan ini di restoran di Hongkong, bisa mencapai Rp 10 juta per kilo. 
Jadi kitta ber empat menghabiskan ikan senilai Rp 20 juta (kalau di hongkong).


Daging sapi dan kambing sangat mahal, tukang sate menjual sate kambing 10 tusuk Rp 75.000,- pakai ngotot lagi mengunyahnya karena liat.


Mutu kopi di Timor LEste sangat baik, yg premium grade semua di export ke Eropa, yg second pun masih sangat enak.  Mutu kopi Ameriicano/Long black di gerai franchise spt Cafe ****buck dll, lewat dah, ngga ada apa apanya.


Dan secangkir kopi di hotel yg paling mahal di Dili, dihargai 1,5 USD termasuk pajak dan service.


Kalau beli di warung/resto, cuma sekitar Rp 3.000,- secangkir dgn kualitas yg sama bagusnya, cuma beda penampilan saja dan tanpa AC.


Roti/bakery yg saya makan utk breakfast di hotel, berkualitas sangat bagus, seperti di Eropa.


Bagi yg senang Wine,  disana murah sekali, teman teman saya yg hobby dan tidak pantang, mengatakan kualitas Red Wine yg mereka minum (beli dgn harga US$ 8 di Supermarket) kalau di Jkt harganya bisa sejuta rupiah.


Artis pujaan merekan masih artis Indonesia, tetapi yg sdh lebih dari 20 thn yg lalu mengalami keemasan di Indonesia , bahkan acara hiburan dgn artis senior spt Grace Simon, masih dipenuhi penggemar, maklum radio swasta hanya memiliki kaset lagu lagu lama.
Artis Indonesia yg dipuja puja oleh masyarakat sana adalah Krisdayanti.




Nah, ayo siapa yg berniat bertualang ke sana, silahkan berangkat dan bayar sendiri.
 Cuma 1 jam 40 menit dari Ngurah Rai, Bali.

Saccena me samo natthi, Esa me saccaparamiti

"One who sees the Dhamma sees me. One who sees me sees the Dhamma." Buddha

Offline Mokau Kaucu

  • Sebelumnya: dtgvajra
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.293
  • Reputasi: 81
Re: Lepasnya TIMTIM dari sudut pandang seorang wartawan (forward dari milis)
« Reply #11 on: 22 November 2013, 03:12:17 PM »
soal cakap bahasa, bagaimana om ?  ;D


Bahasa sehari - hari Bahasa Indonesia,  dan Tetum, bahasa salah satu etnis terbesar disana.
~Life is suffering, why should we make it more?~

 

anything