Dhutanga yang dilatih berdasarkan statusSendirian, seorang bhikkhu dapat melatih 13 dhutanga. Bhikkhuni hanya dapat berlatih 8 di antaranya, samanera hanya dapat berlatih 12, samaneri hanya dapat berlatih 7, dan umat awam hanya dapat berlatih 2, bahkan 9, karena status atau kedisiplinan mereka tidak memungkinkan mereka untuk melaksanakan yang lain.
BhikkhuSeorang bhikkhu dapat melaksanakan yang mana pun dari ketiga belas dhutanga tersebut. Bahkan jika seorang bhikkhu menghendakinya, ia dapat berlatih keseluruhan 13 dhutanga tersebut sekaligus. Untuk hal tersebut, yang terbaik adalah menempati kuburan secara sendirian yang mana pada saat yang sama juga memiliki karakteristik tempat hutan—jauh dari daerah yang dihuni—dan dari tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan. Meskipun demikian, ia juga dapat tinggal di hutan selama tiga malam pertama, di suatu tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan selama tiga malam ke dua, dan di kuburan yang tanpa karakteristik khusus untuk tempat hutan dan tanpa tempat berlindung selama tiga malam terakhir.
Kita mungkin bertanya-tanya bagaimana melatih di saat bersamaan dhutanga yang mengharuskan tinggal di bawah sebuah pohon (rukkhamula) dan dhutanga yang mengharuskan tinggal di tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan (abbhokasika). Meskipun penerjemahan kata-kata "berdiam di bawah sebuah pohon", ide utama dhutanga rukkhamula adalah tidak mengambil sebuah pohon, namun lebih pada meninggalkan kenyamanan materi—yang mungkin menimbulkan kemalasan—dan terhadap segala kewajiban pemeliharaan yang harus dilakukan karena berada di dalam kompleks bangunan. Jadi, dhutanga abbhokasika termasuk dhutanga rukkhamula. Pada hari yang sama, dhutanga yang terdiri dari menjauhi bertempat tinggal dalam sebuah kompleks bangunan (rukkhamula) dan dhutanga yang terdiri dari meninggalkan tempat-tempat yang tersedia dengan tumbuh-tumbuhan dan tempat berlindung (abbhokasika) tidak mencegah seseorang dari berlatih dhutanga yang berbaring menempati "di dalam hutan" (araññika), karena hal ini lalu tidak mengadopsi sebuah biara yang terletak di dalam hutan. Maksud sebenarnya hanya memang terletak pada menempati tempat yang jauh dari daerah yang berpenghuni, tempat tinggal seorang petapa, tempat terisolasi. Sebaliknya, adalah memungkinkan untuk mempraktikkan dhutanga abbhokásika atau dhutanga rukkhamúla tanpa mempraktikkan dhutanga áraññika, misalnya, dengan tinggal di bawah sebuah pohon yang terletak di daerah yang berpenghuni.
BhikkhuniKedelapan dhutanga yang dapat dilatih oleh bhikkhuni adalah: pamsukula, tecivarika, pindapatta, sapadanacari, ekasanika, pattapinika, yathasantatika, dan nesajjika.
Dhutanga khalupacchabhattika tidak terpakai lagi bagi para bhikkhuni, karena vinaya mereka melarang mereka untuk menolak makanan yang sedang disajikan kepada mereka, bahkan setelah memulai untuk makan (berdasarkan pavarito, lihat pacittiya 35). Mereka tidak dapat melatih dhutanga arannika karena vinaya mereka melarang mereka untuk berdiam di tempat yang terisolasi, tanpa seorang bhikkhu biara yang dekat lokasinya (berdasarkan peraturan ohiyana). Berkenaan dengan dhutanga rukkhamula, abbhokasika, dan susanika, Buddha tidak memberikan otorisasi pada mereka untuk mengambilnya, karena sebagai wanita, latihan-latihan ini terlalu sulit dan berbahaya. Lagipula, seorang bhikkhuni tidak dapat berjalan sendirian di luar kompleks kebiaraan. Seandainya bahwa hal tersebut diizinkan bagi seorang bhikkhuni untuk mendiami suatu tempat yang jauh dari bhikkhu biara, ditemani oleh bhikkhuni lainnya, ia akan kesulitan dalam menemukan bhikkhuni lainnya yang setuju untuk melatih dhutanga yang sama bersama-sama dengannya, tanpa menunjuk pada kenyataan bahwa tujuan utama dhutanga terletak pada melatihnya dalam kesendirian.
SamaneraSamanera dapat berlatih 12 dhutanga; semua dengan mengesampingkan praktik yang terletak pada membatasi diri pada tiga jubah (tecívarika), sebagaimana, berbanding terbalik dengan para bhikkhu dan bhikkhuní, mereka tidak memiliki jubah ganda pemberian. Memang, tidak ada sesuatu hal apa pun yang mencegah samanera dari pelatihan hingga pemanfaatan jumlah yang sangat terbatas dalam hal jubah, selendang (syal), atau selimut. Namun, ini tidak akan menjadi objek dari tecívarika dhutanga.
Sikkhamana dan SamaneriKetujuh dhutanga yang dapat dilatih oleh sikkhamana dan samaneri adalah: pamsukula, pindapatta, sapadanacari, ekasanika, pattapinika, yathasantatika, dan nesajjika.
Mereka tidak dapat melatih khalupacchabhattika, áraññika, rukkhamula, abbhokasika, dan susanika dhutanga, dan untuk alasan yang sama sebagaimana bhikkhuní tidak dapat melatihnya, dan berkenaan dengan dhutanga tecívarika, untuk alasan yang sama sebagaimana sámanera tidak dapat melatihnya.
Umat awamKedua dhutanga yang kaum awam—termasuk biarawati—mampu melatihnya adalah: ekásanika (makan sekali sehari) dan pattapinika (mengambil makanan seseorang dengan alat penerima tunggal). Namun, seorang umat awam yang benar-benar cenderung kepada praktik penolakan, kemurnian pikiran, dan pada keyakinan yang besar ke dalam Dhamma, dapat, mengikuti contoh para bhikkhu, melaksanakan dua dhutanga ekstra yang disebutkan di atas, dhutanga khalupacchábhattika, áraññika, rukkhamúla, abbhokásika, susánika, yathásantatika, dan nesajjika, yang meningkatkan jumlah dhutanga hingga sembilan.
Namun, umat awam tidak bisa mempraktikkan empat dhutanga pertama, karena mereka tidak memakai jubah monastik apa pun dan tidak mendapatkan makanan mereka melalui sebuah mangkuk.
Para Ariya dan dhutangaPara Ariya adalah makhluk yang pasti berlatih dhutanga dalam kehidupan ini atau dalam kelahiran kembali sebelumnya. Agar memiliki páramí yang cukup matang untuk realisasi Dhamma, pelatihan dhutanga adalah tidak terelakan. Untuk alasan ini, kita dapat mengatakan bahwa "praktik dhutanga adalah jalan para Ariyá". Dhutanga bahkan termasuk sebuah latihan yang secara khusus menguntungkan untuk perealisasian Nibbana, mengingat fakta bahwa mereka menawarkan kondisi terbaik untuk pelatihan ke dalam delapan magganga—dasar dari satipathana (jalan yang memimpin pada Nibbana)—di satu sisi, dan untuk pelepasan dari seluruh rintangan untuk latihan ini di sisi lain.
Memang terdapat banyak bhikkhu yang terkenal untuk praktik dhutanga mereka. Di antara lainnya, pada masa Buddha, berkenaan dengan praktik dhutanga áraññika dan pamsukula, Yang Mulia Maha Kassapa yang secara khusus terkenal (disamping diakui oleh Buddha sebagai pelaksana terbaik dari 13 dhutanga dari sasana-Nya); kemudian yang terkenal khususnya untuk ketaatan pelaksanaan dhutanga áraññika: Yang Mulia Revata (di hutan Khariravaniya), Yang Mulia Tissa, dan Yang Mulia Nágita; yang terkenal karena ketaatan dhutanga yang dihubungkan dengan abstensi dan konsumsi makanan: Yang Mulia Mitta; yang secara khusus terkenal karena ketaatan dari dhutanga nesajjika: Yang Mulia Sáriputtará, Yang Mulia Moggalána, Yang Mulia Cakkhupála, dll.
Para Arahat ini—seperti semua Arahat yang mempraktikkan dhutanga—tidak melalui kesulitan dalam praktik tersebut demi kepentingan mereka sendiri, karena mereka tidak lagi memiliki apa pun untuk diperoleh bagi diri mereka sendiri (seorang arahat memiliki, menurut definisi, tidak ada lagi ambisi, maupun motivasi). Mereka telah mempraktikkan dhutanga dengan satu-satunya tujuan positif membuat contoh, mendorong untuk ketaatan terhadap praktik mulia ini bagi para bhikkhu lain yang melihat mereka atau akan datang untuk mendengarkan tentang mereka.
Semua Buddha juga telah mempraktikkan dhutanga dalam cara yang luar biasa, pada satu atau beberapa momen keberadaan terakhir mereka. Dengan demikian, orang bijaksana, meniru Buddha, mempraktikkan satu atau beberapa dhutanga ini.