//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - K.K.

Pages: 1 2 3 4 5 6 7 [8] 9 10 11 12 13 14 15 ... 569
106
Buddhisme Awal / Re: Aneka Mitos Pengukuhan Sekte-sekte Buddhisme
« on: 30 June 2014, 09:01:38 AM »
http://www.sacred-texts.com/bud/lob/lob54.htm

kemungkinan besar sumbernya dari lokotaravada..turunan mahasangika...

btw mengenai "turunan" ini kadang turunannya bisa beda jauh dgn induknya..semisal theravada di thai..salah 1 turunannya dhammakaya...
Ya, Mahasangika bukan tidak mengenal sosok Devadatta ini tapi kisah-kisah dan "komentar" tidak dimasukkan ke dalam kumpulan kitab suci mereka. Kisah ini ada beredar dan dicatat dalam sekte turunannya.

Mahasangika -berlawanan dengan rumor yang beredar- adalah yang paling konservatif dalam mempertahankan kitab sucinya. Bisa dilihat mereka (dan turunannya) tidak meng-kanon-kan Abhidharma mereka. Juga dalam studi vinaya menjadi perhatian karena disetujui merupakan bentuk paling tua.

Spoiler: ShowHide
Wikipedia

Scholars have generally agreed that the matter of dispute was indeed a matter of vinaya, and have noted that the account of the Mahāsāṃghikas is bolstered by the vinaya texts themselves, as vinayas associated with the Sthaviras do contain more rules than those of the Mahāsāṃghika Vinaya.[8] Modern scholarship therefore generally agrees that the Mahāsāṃghika Vinaya is the oldest.[8] According to Skilton, future scholars may determine that a study of the Mahāsāṃghika school will contribute to a better understanding of the early Dharma-Vinaya than the Theravāda school.[9]

8. Skilton, Andrew. A Concise History of Buddhism. 2004. p. 48
9. Skilton, Andrew. A Concise History of Buddhism. 2004. p. 64


Kalau masalah 'turunan' memang bisa saja beda jauh sih. Kadang doktrinnya sama, tapi praktiknya beda-beda. Dhammakaya juga sepertinya begitu, secara doktrin dasar masih pakai turunan Mahavihara, tapi kemudian sudah berbelok mengikuti ajaran tokoh mereka yang dikultuskan.

108
Bantuan Teknis, kritik dan saran. / Re: Ganti display name
« on: 20 June 2014, 02:49:06 PM »
Request dong...
Kainyn_Kutho -> K.K.

109
Theravada / Re: my random questions
« on: 17 May 2014, 09:53:46 AM »
Sebetulnya, apa yang dimaksud dengan persepsi (sanna)? Dalam hal, persepsi sebagai salah satu pancakhanda.

1. Apakah persepsi adalah proses mencerap?

"Dan mengapakah, para bhikkhu, engkau menyebutnya persepsi?

'Karena ia mencerap,' para bhikkhu, oleh karena itu disebut persepsi.

Dan apakah yang dicerap? Ia mencerap kuning, ia mencerap merah, ia mencerap putih. 'Ia mencerap', para bhikkhu, oleh karena itu disebut persepsi."

Setahu saya, ketika objek indriah bertemu dengan landasan indriah & kesadaran indriah disebut phassa dan muncul perasaan. Kemudian proses ini dikenali lagi oleh indera pikiran (menurut Abhidhamma, semua kesadaran jasmani ini berhubungan dengan pikiran lewat 5 pintu [pancadvaravajjana] sedangkan objek pikiran lewat pintu pikiran [manodvaravajjana]) dan inilah yang disebut sanna. 


Quote
2. Ataukah persepsi adalah semacam objek pikiran yg merupakan hasil dari proses mencerap? Dalam hal ini, Persepsi = Ingatan? Misalnya, objek pikiran yg muncul-lenyap secara acak, dari apa yang saya cerap seharian atau sebelumnya? Misalnya saya liat orang di jalan, lalu waktu sudah sampai di rumah, ingatan itu muncul sekilas. Bergantian muncul lenyap acak dengan ingatan yang lain.

____________________
3. Apakah Pandangan adalah bentuk Persepsi juga? Misalnya saya baca buku, lalu terbentuk suatu Pandangan tentang sesuatu. Apakah Pandangan = Persepsi?

Misalnya "segala sesuatu yang terkondisi adalah tidak kekal". Apakah ini adalah suatu Persepsi?

_____________
4. Atau yg mirip dengan no.3, pandangan tentang "Tuhan ada" atau "Tuhan tidak ada", dst. Apakah ini juga adalah bentuk Persepsi?
Hasil dari pencerapan ini adalah berupa objek pikiran juga, yang kemudian bisa dicerap kembali oleh indera pikiran. Ingatan, pandangan, ide, gagasan, adalah hasil dari persepsi juga. Proses pembentukan dan pencerapan kembali yang dipengaruhi oleh kemelekatan dan kebodohan, disebut proliferasi pikiran (papanca).


110
Theravada / Re: Acintita Sutta
« on: 16 May 2014, 10:12:58 AM »
Kalau tidak pernah dikatakan letak memori itu ada di mana, apakah itu bisa juga berarti memori itu tidak ada, yang selama ini dianggap sebagai memori sebenarnya hanyalah persepsi-persepsi terhadap objek-objek yang telah lampau?
Memori bukan persepsi terhadap objek lampau seperti direkam lalu diputar kembali, namun sesuatu yang dibangun kembali ketika diingat. Itu sebabnya ketika orang mengulang ingatannya bisa menceritakan hal-hal yang berbeda dengan kenyataan. Bukan karena bohong, tapi ingatan memang sangat rentan dan penuh bias.

Masalah ada atau tidak, serta di mana, entahlah. Ini sama juga seperti kamma itu yang sudah dilakukan adanya di mana? Kalau tidak 'tersimpan' di satu tempat, bagaimana "catatan" kamma itu bisa mengikuti pancakkhanda yang senantiasa berubah tersebut, bahkan melewati banyak kehancuran jasmani? Karena itulah aneka abhidhamma berkembang.


111
Theravada / Re: Acintita Sutta
« on: 14 May 2014, 09:37:37 AM »
Setahu saya yang disebut memori di arus kesadaran ada pada kesadaran registrasi (taddharamana), nah kalau memang demikian maka kemungkinan ada yang tidak terjangkau, misalnya kalau kita mencari awal mula alam semesta, maka ada kemungkinan awal mulanya tidak tahu karena sudah tidak terlihat lagi, waktu muncul kesadaran pertama kali alam semesta sudah ada sehingga diluar jangkauan memori. CMIIW.  ;D
Kalau tidak salah, tadarammana hanyalah penetapan objek pikiran dan setelah itu lenyap, dan kembali lagi ke bhavanga. Pengenalan objek berdasar persepsi ada pada saat persepsi diselidiki (santirana). Tapi letak memori itu sendiri tidak dikatakan di mana.


112
IC.
Menurut saya begini, Sdr. Kainyn. Ketika kita mengatakan keempat suku itu adalah naga di alam deva yang merupakan pelindung (lokapala), kita tahu kan bahwa arti dari naga itu adalah ular (jenis kobra)? Kita bisa cari di kamus Pali maupun Sanskerta. Dan jika kita pernah nonton film India berjudul “Nagin” (dari kata naga) juga bercerita mengenai wanita ular. Naga dalam kebudayaan India bukan makhluk seperti liong di budaya Tionghoa. Contoh , Mucalinda itu adalah ular kobra, dalam teks ia disebut naga dan ia memiliki tudung.  Jadi naga itu adalah ular, dan sah-sah saja jika ada di alam dewa dan menjadi pelindung dan namanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tradisi India, ular memiliki peran yang cukup penting dan dijadikan dewa.

Kedua, seperti yang saya sampaikan bahwa kadang orang memberikan nama atau julukan pada sesuatu karena berdasarkan ciri atau sifat sesuatu itu. Contoh , Virupakkha (Pali) = Virupaksha (Sankserta) = mata yang berbeda / mata dengan bentuk yang tidak sesuai. Dalam agama Hindu,  Virupaksha adalah salah satu julukan bagi Dewa Shiva karena ia memiliki 3 mata, satu matanya ada di kening dalam posisi vertikal.
Keluarga ular Virupakkha, kemungkinan jenis ular yang memiliki mata yang tidak seperti biasanya. Demikian seterusnya.
Sekali lagi, yang jadi perbedaan sebelumnya di sini adalah anggapan bahwa nama-nama itu hanya seperti klasifikasi dalam biologi saja, tidak ada hubungannya dengan sosok lokapala dari catummaharajika, yang mana tentu saja tidak bisa dilanjutkan diskusinya.

Jika dikatakan itu adalah seperti dalam legenda (baik India maupun China) yang melibatkan makhluk supranatural, saya sepaham. Dan memang tampaknya masuk akal logikanya jika kita mengarahkan metta pada mereka, maka lokapala dan para pengikutnya akan membalas sikap tanpa permusuhan itu dan melindungi kita dari binatang-binatang (yang mereka kuasai tersebut).


Quote
Mengingat bahasa Pali adalah sekeluarga dengan bahasa Sanskerta, saya memperluas artinya dalam pengertian bahasa Sanskerta-nya ”gautama”. Jadi kata gotama atau gautama bisa bermacam-macam artinya. Salah satunya berarti racun atau sejenis racun.

http://spokensanskrit.de/index.php?tinput=gautama&direction=SE&script=HK&link=yes&beginning=0

Hanya itu yang bisa saya sampaikan.
Memang itu yang saya perlukan. Thanks buat infonya. :)

113
Gotama = Pawang Kerbau
Go = Kerbau, Tama = Pawang
kebetulan dapat terjemahan dari seorangh Bhikkhu STI yang fasih di bahasa Pali  :)
OK, masukan baru lagi. Thanks buat infonya. :)

114
Jika permasalahan yang dimaksud dalam AN 4.67 Ahi Sutta hanya rajanya yang dipancarkan metta atau seluruh keluarga/sukunya maka penjelasannya ada dalam bahasa Palinya.
 
Sace hi so bhikkhave bhikkhu cattāri ahirājakulāni mettena cittena phareyya, na hi so bhikkhave bhikkhu ahinā daṭṭho kālaṃ kareyya. Katamāni cattāri ahirājakulāni?

Pasti, para bhikkhu, bhikkhu itu tidak meliputi keempat keluarga kerajaan ular dengan pikiran cinta kasih. Karena jika ia melakukan demikian, maka ia tidak akan digigit ular dan tewas. Apa saja keempat suku/keluarga (Pali: kulā) raja ular tersebut?

Jika kita bisa terjemahkan secara harfiah nama-nama keluarga ular tersebut, mungkin kita bisa tahu jenis ular seperti apa, dan mengingat bahwa tidak menutup kemungkinan seseorang memberi nama pada sesuatu berdasarkan ciri atau sifat sesuatu tersebut. Misalnya kaṇhāgotamaka, maka artinya adalah hitam (kanha) yang beracun (gotamaka), jadi keluarga ular hitam beracun.
Di sini bukan masalah hanya rajanya atau tidak. Di sini "kula" sudah berarti "keluarga/suku" yang berarti bukan satu pribadi. Perbedaan pendapat di sini adalah saya dari berbagai rujukan mengatakan keempat suku itu adalah naga di alam deva yang merupakan pelindung (lokapala), sedangkan ada pendapat lain bahwa itu hanyalah murni ular sebagai hewan semata. Karena pihak yang berbeda pendapat tidak memberikan referensi pendukung untuk saya pelajari, maka saya tidak lanjutkan.

OOT dikit, mengenai "gotamaka" = "beracun", boleh dijelaskan detailnya? Sebab setahu saya "racun" adalah "visa" (asal kata "bisa"), dan selama ini belum menemukan arti "Gotama" secara pasti. Dari beberapa sumber hanya mengatakan nama suku keturunan Okkaka, sedangkan ada juga yang menjelaskan sebagai  "गो" (go/gau = kerbau) + "तम" (tama = terbaik). Thanks.

115
Iya benar, namun tanpa Buddha sebagai penunjuk jalan, lebih sulit kita mengetahui ada jalan tersebut. Sudah ditunjukkan saja, belum tentu mau mengikuti secara benar, apalagi tanpa petunjuk.
Kalau dari konteks sulit atau mudah, saya pikir akan subjektif. Bagi seorang Bakal-Pacceka-Buddha, misalnya, ketiadaan penunjuk jalan bukanlah halangan, sementara bagi Bakal-Savaka, seorang penunjuk jalan adalah hal yang mutlak bagi pencapaiannya. 

Quote
Jadi, secara tidak langsung penunjuk jalan itulah penolong kita, bukan karena Buddha sumber keselamatan, tetapi karena Buddha muncul demi kebahagiaan dan kesejahteraan semua makhluk melalui Dhamma yang ditunjukkan-Nya.
Sepertinya memang definisi "menolong" itu yang harus disamakan dulu. Kalau dari pengalaman saya pribadi, kebanyakan maksud dari umat lain adalah Buddhis percaya kamma, tapi Buddha sendiri tidak bisa mengubahnya. Jadi jika kita telah melakukan kesalahan, lewat juru-selamat bisa diubah nasibnya, namun lewat Buddha, tetap saja tidak terhindar dari buah kammanya.
Selain itu, dalam hal keselamatan, ibaratnya di agama lain untuk mencapai pantai seberang ada sosok yang memberi tumpangan kapal asalkan kita mau terima tawarannya maka akan sampai ke seberang; sementara Buddha sendiri hanya bisa sebatas mengajarkan kita membuat rakit dan berusaha sendiri mencapai pantai seberang.

116
Buddhisme untuk Pemula / Re: Nibbana, Dukha dan Rajin Bekerja
« on: 28 April 2014, 09:39:16 AM »
Teman-teman sekalian, mohon masukan untuk saya yang bingung:
Dalam ajaran Budha, tujuan akhir dari hidup ini seharusnya adalah Nibbana, keadaan ketika kita sudah bebas dari kemelekatan dan segala hal yang bersifat sementara (CMMIW).
Tujuan akhir dalam Buddhisme memang Nibbana/Nirvana, tapi tidak selalu ditargetkan ataupun otomatis tercapai dalam hidup ini.

Quote
Lalu mengapa Budha mengajarkan kita juga untuk hal bersifat duniawi, seperti yang saya baca id Anguttara Nikaya II 285 paragraph ke 1:
UTTHANASAMPADA: Rajin dan bersemangat dalam bekerja?
Biasanya penghidupan dipisahkan menjadi 2 jenis: perumah-tangga yang masih menikmati kenikmatan indriah dan petapa yang telah meninggalkan keduniawian.
Sutta ini diberikan bagi mereka yang menjalani penghidupan sebagai perumah-tangga agar bisa menikmati keduniawian dengan cara yang benar dan tidak membawa pada penderitaan di masa depan.

Quote
Kalau kelahiran saja sudah dianggap Dukha, mengapa juga kita harus rajin bekerja?
Kelahiran sebagai dukkha adalah satu hal, tidak berhubungan dengan seseorang rajin/malas bekerja. Konteks di sini adalah agar seseorang bisa hidup di dunia dengan bahagia, maka kualitas kerajinan ini dibutuhkan.

Quote
mengapa tidak 'bekerjalah alakadarnya saja, sebatas agar kita dapat menghindari penderitaan kelaparan?
"Ala kadarnya" setiap orang itu berbeda. Tidak semua orang hidup hanya berfokus pada 'cukup makan'. Ada juga yang bekerja giat demi keluarga, demi membantu orang lain, atau memenuhi ambisi, dll. Jadi kembali lagi ini kembali pada pola pikir masing-masing saja, seberapa definisi "cukup" bagi dirinya sendiri.
Dan terlepas dari motivasinya, tetap kerajinan adalah kualitas yang baik.


117
Up... up... up...

Pandangan umum dalam Buddhisme bahwa Buddha bukan juru selamat karena Beliau hanyalah penunjuk jalan, dst. Ini menyebabkan pandangan keliru bahwa Buddha hanyalah guru biasa, tidak bisa menolong/membantu kita. Nah, dalam Mahayana dikatakan bahwa sesungguhnya Buddha itu penyelamat/penolong bagi semua makhluk; hanya karena Beliau tidak menyatakan diri sebagai penyelamat bukan berarti Beliau tidak menolong kita (karena melalui Dhamma yang diajarkan itu, kita dapat mencapai pembebasan dari samsara, inilah keselamatan dalam Buddhisme).

Ibarat seorang dokter yang menyembuhkan pasiennya, sang pasien merasa sang dokter adalah penyelamat hidupnya dan berterima kasih kepadanya, tetapi sang dokter yang rendah hati itu hanya mengatakan: "Bukan aku yang menyelamatkan hidup kamu, tetapi karena kamu mengikuti anjuran dokter, meminum obat secara teratur, dan menjalankan pola hidup sehat, maka kamu bisa sembuh dengan total." Dokter itu adalah Buddha dan pasien tak lain adalah para makhluk yang tertolong karena Dhamma Beliau. Maka tidak ada salahnya menganggap Buddha sebagai penolong semua makhluk melalui Dhamma yang diajarkan-Nya karena tanpa kemunculan Buddha di dunia ini, bagaimana kita bisa mengetahui jalan menuju pembebasan dari samsara, inilah jasa besar sang dokter.

Bagaimana menurut pendapat teman-teman sekalian mengenai pandangan bahwa Buddha adalah (bukan) juru selamat ini?
Perbedaannya gini:
-Dalam agama lain, tanpa juru selamat, manusia akan binasa. Karena ada juru selamat, manusia bisa memperoleh keselamatan. Maka tidak ada keselamatan di luar juru selamat tersebut.

-Dalam Buddhisme, apakah Buddha muncul atau tidak, dhamma begitu adanya. Orang bisa saja mencapai kesucian tanpa bantuan seorang Buddha selama mampu menghilangkan lobha, dosa, dan moha. Jadi di sini Buddha hanyalah penunjuk jalan dan tidak punya kuasa menyelamatkan/meng-arahant-kan orang lain.

Spoiler: ShowHide
“Demikian pula, Brahmana, Nibbāna ada, dan jalan menuju Nibbāna ada dan Aku juga ada sebagai penuntun. Namun ketika para siswaku telah dinasihati dan diberikan instruksi demikian, beberapa di antara mereka mencapai Nibbāna, tujuan Tertinggi, dan beberapa lainnya tidak mencapainya. Apakah yang dapat kulakukan sehubungan dengan hal itu, Brahmana? Sang Tathāgata hanyalah seorang yang menunjukkan jalan.”
MN 107 Ganakamoggallanasutta


118
Jurnal Pribadi / [Note] "Sammasambuddho Bhagava"
« on: 26 April 2014, 10:14:58 AM »
[...]‘‘So evaṃ pabbajito samāno bhikkhūnaṃ sikkhāsājīvasamāpanno pāṇātipātaṃ ... adinnādānaṃ ... abrahmacariyaṃ ... musāvādaṃ ... pisuṇaṃ vācaṃ ... pharusaṃ vācaṃ ... samphappalāpaṃ pahāya samphappalāpā paṭivirato hoti ...
“Setelah meninggalkan keduniawian dan memiliki latihan dan gaya hidup kebhikkhuan, meninggalkan, menghindari pembunuhan ... perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan ... kehidupan tidak-selibat ... ucapan salah ... ucapan jahat ... ucapan kasar ... gosip ...

‘‘So bījagāmabhūtagāmasamārambhā ... vikālabhojanā, naccagītavāditavisūkadassanā ... mālāgandhavilepanadhāraṇamaṇḍanavibhūsanaṭṭhānā ... uccāsayanamahāsayanā ... jātarūparajatapaṭiggahaṇā ... āmakadhaññapaṭiggahaṇā ... āmakamaṃsapaṭiggahaṇā ...
itthikumārikapaṭiggahaṇā ... dāsidāsapaṭiggahaṇā ... ajeḷakapaṭiggahaṇā ... kukkuṭasūkarapaṭiggahaṇā ... hatthigavāssavaḷavāpaṭiggahaṇā ... khettavatthupaṭiggahaṇā ... dūteyyapahiṇagamanānuyogā ... kayavikkayā ... tulākūṭakaṃsakūṭamānakūṭā ... ukkoṭanavañcananikatisāciyogā ... chedanavadhabandhanaviparāmosaālopasahasākārā paṭivirato hoti ...

“Ia menghindari merusak benih dan tanaman ... makan di luar waktu yang selayaknya ... tarian, nyanyian, musik, dan pertunjukan hiburan ... kalung bunga, wewangian, dan menghias dirinya dengan salep ... dipan yang tinggi dan besar ... emas dan perak ... beras mentah ... daging mentah... menerima perempuan-perempuan dan gadis-gadis ... menerima budak laki-laki dan perempuan ... menerima kambing dan domba ... menerima unggas dan babi ... gajah, sapi, kuda jantan, dan kuda betina ... menerima ladang dan tanah ... menjadi pesuruh dan penyampai pesan ... membeli dan menjual ... timbangan salah, logam palsu, dan ukuran salah ... kecurangan, penipuan, penggelapan, dan muslihat ... melukai, membunuh, mengikat, merampok, menjarah, dan kekerasan.
[...]
‘‘So ime pañca nīvaraṇe pahāya cetaso upakkilese paññāya dubbalīkaraṇe, vivicceva kāmehi
vivicca akusalehi dhammehi savitakkaṃ savicāraṃ vivekajaṃ pītisukhaṃ paṭhamaṃ jhānaṃ upasampajja
viharati. Idampi vuccati, brāhmaṇa, tathāgatapadaṃ itipi, tathāgatanisevitaṃ itipi, tathāgatārañjitaṃ
itipi. Na tveva tāva ariyasāvako niṭṭhaṃ gacchati – ‘sammāsambuddho bhagavā,
svākkhāto bhagavatā dhammo, suppaṭipanno bhagavato sāvakasaṅgho’ti
.

“Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidak-murnian pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang digoreskan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata, tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’

‘‘Puna caparaṃ, brāhmaṇa, bhikkhu ... dutiyaṃ ... tatiyaṃ ... catutthaṃ jhānaṃ upasampajja viharati. Idampi vuccati, brāhmaṇa, tathāgatapadaṃ itipi, tathāgatanisevitaṃ itipi, tathāgatārañjitaṃ itipi. Na tveva tāva ariyasāvako niṭṭhaṃ gacchati – ‘sammāsambuddho bhagavā, svākkhāto bhagavatā dhammo, suppaṭipanno bhagavato sāvakasaṅgho’ti.
“Kemudian ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... jhāna ke tiga ... jhāna ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kenikmatan dan memiliki kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang digoreskan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata, tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’


‘‘So evaṃ samāhite citte parisuddhe pariyodāte anaṅgaṇe vigatūpakkilese mudubhūte kammaniye ṭhite āneñjappatte pubbenivāsānussatiñāṇāya ... sattānaṃ cutūpapātañāṇāya ... āsavānaṃ khayañāṇāya cittaṃ abhininnāmeti ... Idampi vuccati, brāhmaṇa, tathāgatapadaṃ itipi, tathāgatanisevitaṃ itipi, tathāgatārañjitaṃ itipi. Na tveva tāva ariyasāvako niṭṭhaṃ gato hoti, api ca kho niṭṭhaṃ gacchati – ‘sammāsambuddho bhagavā, svākkhāto bhagavatā dhammo, suppaṭipanno bhagavato sāvakasaṅgho’ti
“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau ... pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk ... pengetahuan hancurnya noda-noda ... Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang digoreskan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata, tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan, masih dalam proses menuju kesimpulan ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’

‘‘Tassa evaṃ jānato evaṃ passato kāmāsavāpi cittaṃ vimuccati, bhavāsavāpi cittaṃ vimuccati,
avijjāsavāpi cittaṃ vimuccati. Vimuttasmiṃ vimuttamiti ñāṇaṃ hoti. ‘Khīṇā jāti, vusitaṃ brahmacariyaṃ,
kataṃ karaṇīyaṃ, nāparaṃ itthattāyā’ti pajānāti. Idampi vuccati, brāhmaṇa, tathāgatapadaṃ
itipi, tathāgatanisevitaṃ itipi, tathāgatārañjitaṃ itipi. Ettāvatā kho, brāhmaṇa, ariyasāvako
niṭṭhaṃ gato hoti – ‘sammāsambuddho bhagavā, svākkhāto bhagavatā dhammo, suppaṭipanno bhagavato
sāvakasaṅgho’ti.

“Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, batinnya terbebas dari noda keinginan indria, bebas dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang digoreskan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata. Pada titik ini seorang siswa mulia telah sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’
[...]
Majjhimanikāya, Cūḷahatthipadopamasuttaṃ


-------
"If you could reason with religious people, there'd be no religious people"
-Gregory House-

119
Diskusi Umum / Re: Niyata-Micchaditthi & Prinsip Moral
« on: 25 April 2014, 05:12:28 PM »
Berarti kembali lagi ke kutipan MN 60 tadi bahwa pandangan salah tersebut memang berkecenderungan pada perbuatan, ucapan dan pikiran yang salah sehingga lebih berpotensi pada kelahiran kembali di alam rendah. IMO, utk orang atheis yang tidak pernah pada kehidupan setelah kematian ataupun kelahiran kembali, jika mereka memiliki perilaku, ucapan dan pikiran yang baik, maka bisa terhindar dari kelahiran kembali di alam rendah (tentunya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku spt dlm MN 136).

Btw, bagaimana dengan pendapat om KK sendiri? Kita belum tahu pandangan anda ttg hal ini... ;D
Pandangan hidup memang pasti mempengaruhi kecenderungan pribadi seseorang, tapi jika sifat pandangan masih terlalu general, maka arahnya juga belum bisa dipastikan. Saya sering dengar generalisasi begini: "kalau orang tidak percaya sosok Tuhan yang selalu mengawasi perbuatan, maka akan cenderung tidak bermoral, berbuat semaunya, free sex, korupsi, dll. karena tidak ada yang mandorin." Saya pikir kebanyakan member di sini tidak akan kesulitan memahami bagaimana bodohnya pernyataan itu.

Untuk 3 pandangan salah Ajivaka tersebut, memang benar jika orang menganut tidak ada karma, maka bisa tidak takut berbuat jahat dan tidak bersemangat dalam kebaikan, namun itu satu sisi. Di sisi lain, orang berbuat jahat dan baik pertimbangannya bukan melulu hanya dari takut balasan karma dan serakah pahala, tapi bisa dari faktor lain-lain seperti misalnya belas kasih atau konsekwensi hukum. Ini hal alami yang umum yang bisa dialami semua orang terlepas dari agama dan kepercayaannya.

Jadi IMO, saya setuju dengan MN 60 yang menjelaskan pengaruh logis namun tidak bersifat absolut.
Tidak percaya perbuatan baik/buruk, dapat diharapkan tidak menghindari yang buruk dan tidak melakukan yang baik. Sama juga sebaliknya percaya pada perbuatan baik/buruk, dapat diharapkan menghindari yang buruk, dan melakukan yang baik. Namun itu hanya probabilitas. Mudah ditemui orang tidak percaya kamma tapi berbuat baik dan orang memuja-muja kamma tapi tetap melakukan kejahatan.

Di samping itu saya juga lebih cocok dengan "kelahiran akibat perbuatan" ketimbang "kelahiran akibat pandangan". Karena menarik sekali jika tujuan kelahiran berikut bisa ditentukan semata-mata oleh pandangan, maka secara logis menganut pandangan X, tanpa perbuatan apapun, bisa terlahir di alam Y. Kok jadi mirip dengan menganut pandangan sosok X, tanpa perbuatan, bisa terlahir di alam Y? Maka dari itu, saya pribadi tidak cocok dengan konsep niyata-micchaditthi dari patisambhidamagga tersebut.


Quote
Saya rasa tidak mengherankan jika kekerasan terhadap non-Buddhis (bahkan sesama Buddhis tetapi berbeda pandangan) mendapatkan pembenaran dari teks-teks yang bersifat sektarian. Mungkin alasannya adalah mereka ingin menunjukkan bahwa tanpa kekerasan yang dibenarkan dan didukung oleh pihak yang berkuasa, Buddhisme tidak dapat bertahan lama.

Namun soal penganiayaan terhadap para Ajivaka (dan Nigantha) oleh Asoka masih meragukan kebenarannya karena menurut catatan sejarah Asoka pernah mendanakan beberapa gua kepada para Ajivaka. Tetapi lagi-lagi ini tidak bisa dipastikan juga kebenarannya.
Oh, ada juga kisah Asoka berdana ke Ajivaka yah? Sip. Memang ada baiknya menampung info berbagai sumber berbeda.

120
Diskusi Umum / Re: Niyata-Micchaditthi & Prinsip Moral
« on: 25 April 2014, 09:53:30 AM »
IMO, saya lebih sepaham dengan pola MN 60 bahwa berpandangan salah cenderung juga akan berperilaku, ucapan dan pikiran salah. Hal ini juga sejalan dengan MN 117 bahwa pandangan benar adalah yang mengawali keseluruhan faktor JMB8 lainnya (dengan demikian, pandangan salah akan mengarah pada faktor-faktor JMB8 yang salah).
MN 117 membahas konteks berbeda karena membandingkan "pandangan benar vs salah" dalam konteks "nibbana vs samsara". Dalam konteks ini, bhikkhu puthujjana dengan jhana 4 dan penghuni Avici adalah dalam kelompok yang sama, yaitu yang berpandangan salah sehingga terlahir kembali. (Ini juga serupa dengan konteks Brahmajalasutta.) Saya tidak bahas dalam konteks lokuttara ini.

Yang saya bahas di sini masih seputar samsara/kelahiran kembali, dan sesuai pandangan moralitas: jika seseorang berbuat yang bermanfaat maka akan terlahir di alam bahagia, dan sebaliknya. Tapi ada muncul prinsip yang mengatakan orang berpandangan "sesat" tertentu, pasti bertujuan neraka/binatang.

Jadi saya beri contoh nyata yang simple saja seperti dalam cuplikan di atas, seseorang yang berpandangan "sesat", yang dari pandangan "sesat"-nya itu ia berpikiran untuk menghargai hidup satu-satunya dan meningkatkan kualitasnya. Apakah menurut bro Shinichi dan member lain, sesuai dengan prinsip niyatamicchaditthi, orang berpandangan seperti Richard Dawkins itu akan terlahir di neraka/alam binatang?

-------

sungguh buas ya perilaku mereka demi memberantas ajaran sesat...
Di mana ada fundamentalis, kebuasan adalah hal wajar.

Quote
Asokavadana adalah teks Sarvastivada yang belakangan dan cenderung menggambarkan Asoka sekejam mungkin, misalnya dikatakan Raja Asoka memiliki tempat penahanan para penjahat/orang-orang yang menentangnya di mana siksaannya dibuat seperti di neraka, padahal menurut prasasti peninggalan sejarahnya Raja Asoka malah mengizinkan para tahanan dibebaskan sementara agar dapat bertemu dengan keluarganya. Sama halnya Mahavamsa, teks Pali yang belakangan, yang menggambarkan Raja Asoka dengan kejam membunuh semua saudaranya untuk mendapatkan tahta, namun berdasarkan prasastinya Raja Asoka memiliki saudara-saudara kandung maupun tiri yang masih hidup sewaktu ia berkuasa. Jadi, masih agak diragukan kebenaran kisah-kisah kekejaman tersebut, walaupun bukan berarti tidak mungkin.
Ya, teks ini juga merupakan literatur sektarian dari Mula-sarvastivada. Saya pikir selain catatan di mana Arahant menganggap non-Buddhis sama seperti binatang, tidak ada salahnya melihat-lihat catatan lain. Tentu saja dengan catatan tidak mengambil kesimpulan terlalu cepat bahwa literatur yang manapun adalah yang benar. 

Saya menyinggung teks ini juga untuk memberikan gambaran bagaimana kelompok Ajivaka yang malang ini tidak punya catatan sejarah sendiri dan hanya dikenal dari teks-teks kelompok lain yang cenderung antipati terhadap mereka. Betul ada beberapa tulisan yang mencurigakan dari teks ini yang berbau sektarian, namun untuk penganiayaan terhadap Jain dan Ajivaka oleh Ashoka yang notabene Buddhis, saya bertanya-tanya untuk apa dikarang? Di sini Mula-sarvastivada sendiri yang juga Buddhis tentu ikut dirugikan. Jika tujuannya adalah sektarian, saya tidak/belum menemukan teks itu mengasosiasikan Ashoka ke dalam sekte tertentu. Mungkin kalau ada infonya, bisa dibantu post.


Pages: 1 2 3 4 5 6 7 [8] 9 10 11 12 13 14 15 ... 569
anything