Copas dari tetangga
Advanced
CINTA LAKI-LAKI BIASA (True Story) Message List
Reply | Forward Message #46957 of 46962 < Prev | Next >
Re: CINTA LAKI-LAKI BIASA (True Story)
Aku biasanya males baca cerita panjang2 begini...
tapi kali ini ada rekomended dari Bro Markos...
Ternyata ceritanya memang bagus...
kalo dihubungkan dengan Buddhism: ...Pedulilah dengan orang2 yg
berada disekitarmu setiap saat, cintailah orang2 dekatmu,
bahagiakanlah mereka, soalnya hari esok belum tentu akan datang...
Metta,
Willibordus
--- In samaggiphala [at] yahoogroups.com, "markos
prawira" <markosprawira [at] ...> wrote:
>
> sangat bagus untuk dibaca
>
> ---------- Forwarded message ----------
> From: sulistiyo sulis <ayahnyatasya [at] ...>
> Date: Apr 7, 2008 4:36 PM
> Subject: [panther-mania] CINTA LAKI-LAKI BIASA (True Story)
> To: IListeners [at] yahoogroups.com,
cibuburmoge_community [at] yahoogroups.com,
> panther-mania [at] yahoogroups.com
>
>
> Dari milist tetangga ......semoga bermanfaat
>
> CINTA LAKI-LAKI BIASA (True Story)
>
>
> Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan
> kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu.
> Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
> gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata
miliknya,
> melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak,
tetangga,
> dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.
>
> Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
>
> Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati
hari-hari
> sidang
> yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.
> Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
>
> Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah,
> lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt.
> Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak
melebihi
> kapasitas.
> Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang
keluar dari
> sana.
> Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya
> kata-kata!
>
> Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan
detil dan
> spesifik,
> kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu.
> Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar
berbicara
> mendadak gagap.
> Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan
keinginan Rafli
>
> untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat
karena
> semua berkumpul,
> bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya
> yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
>
> Kamu pasti bercanda!
>
> Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak
tertua,
> disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari
Papa
> dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira
Nania
> bercanda.
>
> Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania
yang
> balita melongo
> dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
>
> Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli
memang
> melamarnya.
>
> Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira
Rafli berani
> melamar
> anak Papa yang paling cantik!
>
> Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah
pertanda
> baik.
> Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-
pasang
> mata
> kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi
ruang
> pengadilan
> pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
>
> Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif
bicara,
> masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa,
> maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun,
> tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
>
> Nania terkesima.
>
> Kenapa?
>
> Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
>
> Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang
busana,
> sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara
baca
> puisi seprovinsi.
> Suaramu bagus!
>
> Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.
> Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang,
> kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
>
> Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa,
> kakak-kakak,
> dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka
> atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
>
> Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di
kelopak.
>
> Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka,
> melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai
stadium
> empat. Parah.
>
> Tapi kenapa?
>
> Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan
pendidikan
> biasa,
> berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
>
> Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
>
> Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!
>
> Cukup!
>
> Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi
> menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia.
> Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa
depan
> seseorang
> dengan melihat pencapaiannya hari ini?
>
> Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli.
> Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus
membelanya.
> Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli
tampak
> 'luar biasa'.
> Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun
Nania
> menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima
Rafli.
> Di sampingnya Nania bahagia.
>
> Mereka akhirnya menikah.
>
> ***
>
> Setahun pernikahan.
>
> Orang-orang masih sering menanyakan hal itu,
> masih sering berbisik-bisik di belakang Nania,
> apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli.
> Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-
kelebihan Rafli
>
> agar tampak di mata mereka.
>
> Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli,
> begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan
tangan,
> tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania.
> Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
>
> Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
>
> Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
>
> Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak
> percaya.
>
> Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami
yang tak
> hanya cantik,
> tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan
punya
> kehidupan sukses!
>
> Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes.
> Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh
meremehkan
> Rafli.
>
> Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
>
> Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
> Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
>
> Rafli juga pintar!
> Tidak sepintarmu, Nania.
>
> Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania.
Bukan sukses.
>
> Tidak sepertimu.
>
> Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya,
> bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-
lagi
> percuma.
>
> Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli!
> Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk
menghidupimu.
>
> Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua.
> Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
>
> Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti.
> Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki
dan satu
> perempuan.
> Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka
memiliki
> anak-anak.
> Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk
hidup
> senang.
> Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak
terlalu
> memforsir diri.
> Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
>
> Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu.
> Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya
> yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
>
> Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga.
> Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut.
> Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan
membuat
> pikiran Nania cerah.
>
> Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
>
> Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
> dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa,
> dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa,
> tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia,
> alasan-alasan menjadi tidak penting.
>
> Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin
gemilang,
>
> uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan
lucu,
> an Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu
berada di
> puncak!
>
> Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan
> bergandengan mesra.
> Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik
> saudara-saudara Nania,
> bisik Papa dan Mama.
>
> Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
> Cantik ya? dan kaya!
>
> Tak imbang!
>
> Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih,
> tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli.
> Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari
ke hari.
>
> Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari
puncak.
> Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun
waktu
> itu,
> tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
>
> ***
>
> Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua
minggu dari
> waktunya.
>
> Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera
> dikeluarkan!
>
> Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat
ke dalam
> rahim Nania.
> Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu
merasakan
> sakit
> yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam,
> mereka akan segera melihat si kecil.
>
> Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit.
> Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke
kamar mandi,
>
> dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur.
> Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang
datang.
>
> Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat
> pertama,
> Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan.
> Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu
tiga
> menit.
> Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
>
> Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah
sedikit,
> kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
>
> Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan.
> Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of
humor yang
> tinggi.
>
> Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan
pecah,
> didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu
> kelahiran
> akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
>
> Masih pembukaan dua, Pak! Rafli tercengang. Cemas.
> Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup
lagi
> ditanggungnya.
> Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun
bisa
> ditelannya.
>
> Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan
dua
> kehidupan.
>
> Dokter?
>
> Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
>
> Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau
begitu?
> Bagaimana jika terlambat?
>
> Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran.
> Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga
ke pintu
> kamar operasi.
> Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
>
> Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih.
> Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan
> ketrampilan dokter-dokter
> itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang
diguncang
> ombak.
> Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir,
> telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di
sekitarnya,
> dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak
sadarkan
> diri.
>
> Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya.
> Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
>
> Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
>
> Pendarahan hebat!
>
> Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.
> Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah
bagaimana pecah!
> Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
>
> Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.
> Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua
mereka.
>
> Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda.
> Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di
> pembuluh-pembuluh
> darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti
kanker.
>
> Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
>
> ***
>
> Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari
> kediamannya
> ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-
anak.
> Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh
> menakjubkan,
> fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari,
> mereka sudah boleh membawanya pulang.
>
> Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania
di rumah
> sakit,
> sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau
tak
> banyak,
> mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
>
> Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan
rumah
> sakit,
> kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak
perusahaan tempat
> Rafli bekerja
> mengerti dan memberikan izin penuh.
> oh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
>
> Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah
Quran kecil,
>
> dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU.
Kadang perawat
>
> dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka,
> melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan
bercanda
> mesra..
>
> Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan
kehadirannya.
>
> Nania, bangun, Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang
sambil
> mencium tangan,
> pipi dan kening istrinya yang cantik.
>
> Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan
berfikir
> untuk pasrah,
> Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit,
> mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra.
> Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah
sakit dan
> membacanya
> dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu.
> Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
>
> Nania, bangun, Cinta? Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam
sujud dan
> permohonan.
> Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal.
> Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di
bibir
> Nania,
> semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya,
bagi
> Rafli.
>
> Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan
ibunya.
> Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang
lama tak
> bercukur,
> atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
>
> Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di
mata, gerak
> bibir,
> kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang
cantik.
> Nania sudah tidur terlalu lama.
>
> Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab.
> Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap
matanya.
>
> Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania
> dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang
dengan
> airmata
> yang meleleh.
>
> Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
>
> Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam
doa.
> Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun
> terakhir.
> Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah
satu per
> satu.
> Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju
rumah
> dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil
memangku Nania
> seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
>
> Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur.
> Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun
tidur.
> Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania
mengatakan itu
> tak perlu.
> Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
>
> Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah
selalu
> meyakinkan Nania,
> membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik
dan
> sempurna di dunia.
> Setidaknya di mata Rafli.
>
> Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan
keluar.
> Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di
restoran,
> nonton bioskop,
> rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli,
> melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-
tahun.
>
> Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-
orang di
> sekitarnya.
> Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli
> yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari.
> Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik
keringat.
>
> Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya
di
> jalan,
> juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas
hanya
> memberi pandangan iba,
> namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
>
> Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan
kedua!
>
> Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa
adanya.
>
> Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana
suaminya
> memandang
> penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
>
> Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa
dan Mama.
>
> Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin
frustrasi,
> merasa tak berani, merasa?
>
> Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian.
> Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik,
> barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja,
> bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
>
> Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah
> mereka..
> Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
>
> Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua,
> anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati,
> kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak
> berfungsi sempurna.
> Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia,
> meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
>
> Waktu telah membuktikan segalanya.
> Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah,
untuk Nania
>
> ayahnyatasya
> palingkerendimilis
>
> .
>
>
>
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>