//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - SUGI THEN

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 ... 21
46
wow ! ternyata mahluk penghuni neraka bisa mendengar Dhammadesana yg dialam lain.

sesuai sutta, sepertinya pelimpahan jasa hanya utk mahluk peta.
sedangkan mahluk peta beda dengan penghuni neraka.

memang suatu karangan cerita yang 'baik' banyak mempengaruhi orang yang baca.

Bukan mendengarkan dhammadesana tetapi teringat oleh nilai2 luhur dharma sehingga mereka menyadari kesalahan atas perbuatannya

Pelimpahan saja dalam pandangan mahayana tidak hanya sebatas alam preta saja tetapi ditiga alam rendah pun juga bisa dari alam neraka, preta, dan hewan sungguh kasihan kalau hanya khusus dialam preta saja yang dapat keistimewaan

47
^^
makanya gue ndak percaya adanya sitigarba
bagaimana cara bodhisatwa bisa tolong manusia dari alam neraka ? dengan bim salabim atau...  ???
bagaimana pula ada bhikkhu yg bisa khotbah di alam neraka  ???
bukannya mahluk neraka sangat tersiksa dan kesakitan, karena kesakitan bagaimana bisa konsentrasi mendengar Dhammadesana ? ???
ceritanya terlalu berlebihan ah tuh !

Bukannya kotbah panjang lebar seperti dialam manusia atau dialam dewa tetapi hanya membangkitkan kesadaran dalam dharma sehingga mahluk tersebut yang terlahir dialam neraka dapat segera sadar akan perbuatannya dan tidak mengulanginya kembali setelah tumimba lahir kembali kealam yang lebih baik dengan terbangkitkan kesadarannya maka mahluk tersebut akan lebih tenang menjalani hukumannya dialam neraka apalagi kalau ditambah adanya pelimpahan jasa maka mahluk tersebut akan lebih baik dan bahagia karena merasa ada yang memperhatikannya dan karma baiknya bisa segera matang sehingga mahluk tersebut dapat segera keluar dari alam neraka tersebut

48
ini kok mirip legenda lokal indonesia ya??  :-? :-?

Legenda apa emangnya???

49
Mahayana / "SEKILAS SEJARAH SESEPUH KE ENAM ZEN MASTER HUI NENG"
« on: 13 May 2012, 04:46:59 AM »
{Jasad Master Hui Neng Yang Tidak Hancur Dimakan Oleh Waktu}


"SEKILAS SEJARAH SESEPUH KE ENAM ZEN MASTER HUI NENG"


Dajian Huineng (Hanzi tradisional : 大 鉴 惠 能; Hanyu Pinyin: Dàjiàn Huìnéng; Bahasa Jepang: Eno Daikan; Bahasa Korea: Hyeneung, 638-713) adalah seorang China monastic Zen (Chan) yang merupakan salah satu tokoh paling penting dalam seluruh tradisi. Huineng adalah Patriark keenam dan Terakhir dalam tradisi Buddhisme Zen.

Beliau dikatakan telah menyarankan pendekatan langsung kepada praktik Buddhis dan pencerahan, dan dalam hal ini, dianggap sebagai pendiri "Pencerahan Seketika” (Sudden Enlightenment ; (顿 教) ) Sekolah Buddhisme Zen Selatan. Siswa-siswa utama Beliau adalah Nanyue Huairang, Qingyuan Xingsi, Nanyang Huizhong, Yongia Xuanjue dan Heze Shenhui.

Dua sumber utama untuk kehidupan Huineng merupakan kata pengantar untuk Platform Sutra dan Transmission Of The Lamp

Huineng lahir dalam keluarga Lu pada tahun 638 M di kota Xing di provinsi Guangdong. Ayahnya meninggal ketika ia masih muda dan hidup dalam keluarga miskin, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk belajar membaca ataupun menulis. Ketika ia mengantarkan kayu bakar ke penginapan, ia mendengar seorang tamu membacakan Sutra Intan dan ia mengalami kesadaran. Dia segera memutuskan untuk mencari jalan kebuddhaan. Tamu tersebut memberinya sepuluh keping perak untuk kebutuhan bagi ibunya, dan Huineng memulai perjalanannya. Setelah melakukan perjalanan selama tiga puluh hari dengan berjalan kaki, Huineng tiba di Gunung Huang Mei , di mana Patriark Kelima Hongren tinggal.

Dari bab pertama dari Platform Sutra:

Saya pergi untuk menemui Patriark, dan kemudian patriark bertanya darimana aku datang dan apa yang saya harapkan darinya. Saya menjawab, "Saya orang biasa dari Hsin Chou, Kwangtung. Saya telah melakukan perjalanan jauh untuk berjumpa dengan anda, dan saya tidak meminta apapun selain mencapai kebuddahan." "Anda berasal dari Kwangtung, seorang barbar. Bagaimana Anda mengharapkan akan dapat menjadi seorang Buddha?" tanya Patriark. Saya menjawab, "Meskipun ada laki-laki dari utara dan laki-laki dari selatan, utara dan selatan tidak mempunyai perbedaan sifat kebuddhaan mereka. Seorang barbar secara fisik memang berbeda, tetapi tidak untuk perbedaan sifat kebuddhaan."

Hongren segera memintanya untuk melakukan pekerjaan di penggilingan beras. Huineng tinggal untuk memotong kayu dan menggiling beras selama delapan bulan.

Suatu hari, Hongren mengumumkan Pertanyaan tentang kelahiran kembali yang berulang-ulang adalah satu hal penting. Hari demi hari, seharusnya kamu berusaha untuk membebaskan diri dari samudera kehidupan dan kematian, dan untuk dapat melanjutkannya hanya dengan karma. (contoh : karma yang menyebabkan kelahiran kembali). Namun karma tidak akan membantu jika kamu tidak mengerti esensi dari pikiran. Pergi dan carilah Prajna (kebijaksanaan) dalam pikiran anda sendiri dan kemudian tuliskan hal itu kedalam sebuah bait (gatha). Dia yang mengerti apa yang dimaksud dengan Esensi dari Pikiran, dia yang akan diberikan jubah (lambang dari ke-patriak-an) dan Dharma (ajaran utama sekolah Chan), dan aku akan membuatnya menjadi seorang Patriak Keenam.

Pergilah cepat, Janganlah menunda menuliskan bait-bait, karena perundingan sangatlah tidak diperlukan dan tidak berguna. Orang yang telah menyadari Esensi dari Pikiran dapat berbicara tentang hal itu sekaligus, segera setelah ia berbicara tentang hal itu; dan dia tidak bisa melupakan, bahkan ketika terlibat dalam suatu pertempuran.

Namun, para murid berkata satu sama lain bahwa mereka tidak perlu menuliskan gatha, dan yang pasti guru dan kepala bhikhu, yang mulia Shenxiu, akan menjadi Patriak Keenam. Jadi hanya Shenxiu yang menulis gatha untuk Hongren. Sebagai bhikhu kepala, Shenxiu sangat dihormati dan di bawah tekanan besar untuk menghasilkan sebuah gatha yang akan memenuhi syarat dia sebagai patriak berikutnya. Akan tetapi, ia tidak yakin tentang pemahamannya sendiri, dan akhirnya memutuskan untuk menulis puisi secara anonim di dinding pada tengah malam, dan mengumumkan kepemilikannya hanya jika disetujui Hongren. Puisi itu berbunyi:

Tubuh ini adalah Pohon Bodhi,
Batin ibarat cermin yg ditopang berdiri dengan cemerlang.
Gosoklah cermin itu dengan rajin sepanjang waktu,
Janganlah biarkan debu kilesa menempel."

Ketika para murid melihat gatha tersebut di dinding, ada sebuah kehebohan besar. Ketika Hongren melihat hal itu, dia mengatakan kepada mereka, "praktik menurut gatha ini, kamu tidak akan jatuh ke dalam alam yang jahat, dan kamu akan menerima manfaat besar. Nyalakan dupa dan hormati gatha ini, lafalkan dan kamu akan melihat sifat dasar dirimu sendiri. Semua murid memuji dan menghafalkan gatha tersebut.

Namun, secara diam-diam, Hongren berkata kepada Shenxiu, "kamu telah tiba di pintu gerbang, tetapi belum masuki gerbang itu. Dengan tingkat pemahamanmu, kamu masih tidak tahu apa itu pikiran pencerahan tertinggi. Setelah mendengar kata-kata saya, kamu harus segera mengenali pikiran murni, sifat dasarnya, yang belum lahir dan yang terus menerus. Setiap saat, lihatlah dengan jelas dalam setiap pemikiran, dengan pikiran yang bebas dari segala rintangan. Dalam Satu Realita, semuanya adalah nyata, dan semua fenomena yang ada adalah sama adanya."

Hongren bertanya kepada Shenxiu untuk membuat gatha lain yang menunjukkan tentang pemahaman yang sesungguhnya. Shenxiu berusaha keras tetapi tidak mampu membuat dengan ayat lain.

Ketika seorang bhikhu muda melewati penggilingan padi dan menyanyikan gatha Shenxiu, Huineng segera mengetahui bahwa ayat tersebut tidak memiliki pemahaman yang benar. Ia pergi ke dinding, dan bertanya kepada seorang petugas di sana untuk menulis puisi baginya. Petugas itu terkejut, "Bagaimana mungkin! Kamu buta huruf, dan kamu ingin menulis puisi?" Huineng lalu berkata, "Jika kamu mencari pencerahan tertinggi, jangan pernah meremehkan orang lain. Orang kelas terendah mungkin memiliki wawasan yang besar, dan kelas tertinggi dapat melakukan tindakan bodoh." Dengan perasaan memuja, petugas itu menulis gatha Huineng di dinding, di samping gatha Shenxiu, yang menyatakan:

Pohon bodhi sebenarnya bukanlah pohon.
Cermin juga bukanlah sebuah cermin.
Pada dasarnya semua itu kosong.
Di mana debu itu akan melekat?

菩提本無樹,
明鏡亦非台;
本來無一物,
何處惹塵埃?

Huineng lalu kembali menumbuk padi. Namun, gatha ini membuat kehebohan yang lebih besar; semua orang berkata, "Luar biasa! Kamu tidak boleh menilai orang hanya dari tampangnya! Mungkin dia akan menjadi bodhisattva hidup segera!" Namun, ketika Hongren yang terkejut keluar, ia hanya santai berkata, "gatha ini juga belum mampu menjelaskan esensi murni yang sesungguhnya," lalu melanjutkan menghapus gatha dengan sepatunya.

Suatu malam, Hongren menerima Huineng di kediamannya, dan menguraikan Sutra Intan kepadanya. Ketika ia sampai pada bagian, "untuk menggunakan pikiran namun terbebas dari keterikatan," Huineng sampai kepada pencerahan besar-bahwa semua dharma tidak bisa dipisahkan dari sifatnya. Dia berseru, "Betapa menakjubkan bahwa sifat diri awalnya murni! Betapa menakjubkan bahwa sifat diri tidak dilahirkan dan tidak mati! Betapa menakjubkan bahwa sifat diri secara inheren lengkap! Betapa menakjubkan bahwa sifat diri tidak bergerak maupun tidak diam! Betapa menakjubkan bahwa semua dharma berasal dari sifat ini sendiri!"

Meskipun kisah ini disampaikan sejelas mungkin, namun perlu diketahui bahwa Huineng tidak diizinkan untuk menyandang gelar Patriark Keenam hingga kemudian hari. Hal ini disebabkan oleh ketakutan bahwa sesama biarawan mungkin akan marah bahwa Hongren telah menobatkan Patriark Keenam tetapi bukan Shenxiu atau salah satu dari biarawan lain yang lebih senior di atasnya.

Tubuh mumi dari Huineng disimpan di Kuil Nan hua di perfektur Shaoguan (Guangdong utara).

Master Hui Neng adalah patriat ke 6 dari generasi Master Zen. Beliau memilih jalan pencerahan tertinggi dengan duduk bermeditasi selamanya. "Jasad" beliau tidak membusuk serta fisik/badan masih seperti orang hidup padahal beliau sudah duduk 1300 tahun lebih. Relik tubuh ini kini tersimpan di Vihara Nan Hua - China.

50

"Sejarah Singkat Guru Zen Master Sheng Yen Pendiri Dharma Drum Mountain"


MASTER ZEN SHENG YEN lahir pada tahun 1930, ditahun kuda, tanggal 4 bulan 12 penanggalan Imlek, Master Sheng Yen terlahir kurus dan sakit-sakitan dari keluarga miskin di sebuah desa dekat Shanghai. Menurut ibunya, ia kecil seperti anak kucing, tapi banyak orang menganggap ia lebih mirip tikus. Sehingga ia diberi nama Zhang Bao Kang (senantiasa sehat). Semasa kecil, bungsu dari 6 bersaudara ini setiap paginya bekerja menyerok kotoran ternak untuk pupuk. Kemudian sarapan paginya jagung atau gandum. Acapkali tanpa garam karena tak sanggup membeli.

Diusia 13 tahun, Master Sheng Yen telah menjadi seorang biarawan di vihara Gunung Srigala. "Biara lokal yang saya masuki, seperti kebanyakan biara lain di China disebut kuil Chan/Zen. Tapi kenyataannya, teori dan praktek hampir tak pernah dibahas. Latihan kami hanyalah terdiri dari disiplin ketat dan menghafal Sutra."
"Saya saat itu tidak tahu apa-apa tentang Buddhisme, namun saya merasa bahwa Buddhisme sedang menuju kepunahan. Kebanyakan orang China mempunyai sedikit saja pengertian tentang Dharma. Guru jarang terdapat, dan apa yang saya ketahui hanyalah berasal dari menghafal kitab-kitab suci. Saya berikrar untuk belajar lebih banyak tentang Buddha Dharma sehingga suatu hari saya dapat mengajarkannya kepada orang lain."

"Karena tentangan kaum Komunis, para rahib kami pindah ke Vihara Dasheng, Shanghai. Disana kehidupan kami hanya bergantung pada sumbangan dari penyelenggaraan upacara kematian." Merasa tidak cocok dengan situasi Vihara Dasheng yang boleh menghidangkan masakan daging dan alkohol untuk umat yang memesannya, serta adanya sebagian rahib yang menyukai narkoba, tahun 1947 Master Sheng Yen minta ijin pindah ke Biara Jing An yang mendidiknya lebih baik. Karena invasi Komunis ke Shanghai, tahun 1949 Master pindah ke Taiwan dan menjadi perwira. (Ketika kembali tahun 1988, Biara Dasheng telah menjadi pabrik). Meskipun bergabung dengan para perwira, Master Sheng Yen tetap vegetarian. Ketika sayuran dimasak dengan daging (termasuk daging anjing), Master hanya makan sayurannya saja. Bhiksu China adalah vegetarian tulen karena memakan daging baginya tidaklah welas asih.

Saat cuti militer, Master Sheng Yen selalu menyempatkan diri mengunjungi vihara. Kemudian dia bertemu dengan Master Ling Yuan (1902-1988) yang membuat hidupnya berubah. 1960, dengan susah payah dan dibantu oleh Master Dongchu dan istri atasannya, Master Sheng Yen berhasil keluar dari kemiliteran. Master Dongchu mencukur kepalanya dan memberinya nama Huikong Sheng Yan. Master Dongchu adalah pewaris tradisi Chan Lin-chi maupun Tsao-tung. "Masa tinggal saya bersama Master Dhongchu ternyata merupakan salah satu periode paling berat dalam hidup saya. Ia terus menerus mengerjai saya. Ini mengingatkan saya pada perlakuan yang diterima Milarepa (1025-1135) dari gurunya Marpa. Contohnya, ia selalu saja menyuruh saya pindah-pindah kamar, atau menyuruh saya menutup pintu lalu membuka pintu lain. Mengangkat bata dari pembakaran dengan berjalan kaki. Memotong kayu bakar meskipun punya kompor. Kayu dipotong kecil salah, dipotong besar salah. Dalam berpraktek juga salah terus. Bermeditasi salah. "Kamu tidak dapat membuat cermin dengan menggosok bata, dan kamu tidak dapat menjadi Buddha dengan duduk." Lalu ia menyuruh saya menjalankan namaskara (sujud). Kemudian setelah beberapa hari, ia akan mengatakan, "Ini gombal, cuma seperti anjing makan tahi di lantai. Ayo baca Sutra!". Setelah beberapa minggu, ia mencela lagi dengan mengatakan bahwa para Patriakh menganggap Sutra hanya bagus untuk membersihkan koreng. Lalu menyuruh saya membuat esai. Setelah selesai, ia merobek-robeknya, "Ini semua ide-ide colongan!" Kemudian ia menantang saya untuk menggunakan kebijaksanaan saya sendiri dan menyatakan hal-hal yang orisinil. Semua hal yang sewenang-wenang ini (memakai selimut juga tidak boleh), sesungguhnya adalah cara beliau melatih saya.

Walaupun sulit untuk menganggap perlakuan ini sebagai welas asih, namun sesungguhnya memang demikianlah adanya. Jika saya tidak dilatih dengan disiplin seperti ini, saya tidak akan mencapai banyak kemajuan. Dari dia saya juga diinsyafkan bahwa belajar Buddha Dharma adalah sebuah aktivitas yang keras, dan bahwa orang harus mengendalikan diri sendiri dalam berpraktek." Dua tahun bersama Master Dongchu, kemudian Master Sheng Yen pergi mengasingkan diri ke pegunungan selama 6 tahun. Ia makan 1 hari sekali dengan daun-daunan dari kentang liar. Disana Master Sheng Yen banyak banyak membaca buku-buku Nikaya, Sutra-sutra Buddhisme awal, sekaligus Sutra-sutra Mahayana yang muncul belakangan. Juga membaca 450 buku Vinaya, 300 buku Agama Sutra. Membaca karya-karya tulis yang sangat luas tentang Chan dan 8 macam mazhab dalam Buddhisme China serta membaca 600 buku sejarah dan biografi Buddhisme.

Diusia 39 tahun Master Sheng Yen pergi ke Jepang. 6 tahun kemudian ia mendapat gelar doktor dalam literatur Buddhist. Masa 6 tahun itu Master mengalami kesulitan keuangan. Dosen pembimbingnya mengatakan, "Didalam sandang dan pangan, tiada pikiran untuk jalan; Tetapi dengan pikiran dan jalan, bakalan selalu ada pangan dan sandang." Setelah mendengar ini, Master Sheng Yen melakukan namaskara harian. Cukup aneh, tak lama kemudian ia mulai menerima sumbangan tahunan dari seseorang di Swiss yang lumayan untuk menutup ongkos kuliah serta biaya penerbitan disertasinya. Namun hingga kini, ia tak tahu siapa sebenarnya penyumbang itu. "Selama periode ini, saya banyak mengunjungi berbagai Master Zen dan Buddhisme esoteris. Saya menerima pengaruh paling besar dari Bantetsugu Roshi, seorang murid dari Harada Roshi. Saya menghadiri beberapa retret sepanjang musim dingin di kuilnya di Tohoku. Berada di Jepang utara, kuil tersebut mempunyai lingkungan yang sangat keras. Terlebih lagi, sang Master nampaknya cenderung memberi saya masa-masa yang sangat sulit dan terus menerus menyuruh para asistennya memukul saya dengan tongkat hsiang-pan.

Dari orang-orang disana, sayalah yang sejauh ini mempunyai pendidikan tertinggi, dan ia mengatakan, "Kamu para cendikiawan punya banyak kekesalan serta kemelekatan mementingkan diri sendiri. Hambatan kalian sungguh berat." Takala akhirnya saya meninggalkannya, ia berkata, "Pergilah ke Amerika, dan mengajarlah disana." "Tapi Master, saya tidak bisa bahasa Inggris." Kata saya. Ia berkata, "Zen tidak bersandar pada kata-kata. Mengapa kuatir tentang kata-kata?" 1975, Master Sheng Yen tiba di New york. Altar pertama mereka dibuat disebuah apartemen di Woodside, Queens, dengan biaya sewa $350 sebulan. Setelah muridnya bertambah banyak, mereka mampu membeli sebuah bekas pabrik di Corona Avenue dan membangun Pusat Budaya Buddhist Chung Hua. Setelah organisasinya mantap, Master Sheng Yen mulai menawarkan kelas dan retret meditasi Chan dengan gayanya sendiri.

Tahun 1995, Dharma Drum Retret Centre didirikan di Pine Bush, tempat yang sungguh indah, punya danau, hutan maple serta jalan setapak sendiri. Ditinggali banyak hewan termasuk burung, marmot tanah, rusa, dan beruang hitam. Sungguh merupakan tempat yang cocok dengan jarak hanya 2 jam dari New york. Setelah itu, Master Sheng Yen mendirikan Dharma Drum Mountain (DDM) di Taiwan. "Upaya-upaya kami telah membuat DDM menjadi satu dari empat organisasi Buddhis terbesar di Taiwan. Yang terbesar adalah Tzu-Chi, yang kedua adalah Foguang Shan, ketiga DDM dan keempat Zhongtai Shan. Empat organisasi ini sering dijuluki empat gunung Buddhisme di Taiwan, tapi mereka tidak berselisih satu sama lain. Malahan kami saling berinteraksi. Pendiri Zhongtai Shan, Master Weijue, dan saya mempunyai guru yang sama, Master Lingyuan. Master Xingyun, pendiri Foguang Shan, adalah murid Master Dongchu, jadi kami juga merupakan saudara Dharma dan sahabat yang sangat baik. Master Cheng Yen, pendiri Tzu-Chi adalah murid Yinshun, yang merupakan murid dari Taixu. Almarhum guru saya Master Dongchu adalah saudara Dharma Master Yinshun, jadi kami juga bagian dari silsilah keturunan yang sama.

Sumber : Jejak Langkah di Atas Salju, Otobiografi Chan Master Sheng Yen, penerbit Suwung, Jogja.

51
Mahayana / "Sekilas Sejarah Ksitigarbha Bodhisattva Mahasattva"
« on: 13 May 2012, 04:20:01 AM »

"Sekilas Sejarah Ksitigarbha Bodhisattva Mahasattva"

Ksitigarbha (Sanskerta: क्षितिगर्भ Kṣitigarbha) dikenal dalam Buddhisme di Asia Timur sebagai seorang Bodhisattva Mahasattva, biasanya merupakan seorang Bhikkhu. Namanya dapat diartikan sebagai "Bendahara Bumi", "Simpanan Bumi", "Rahim Bumi" atau " Bumi Yang Tenang". Ksitigarbha terkenal dengan sumpahnya guna mengambil alih tanggung jawab atas perintah kepada seluruh mahluk di enam dunia, pada masa antara kematian Buddha Gautama (Sakyamuni) dan kebangkitan Buddha Maitreya, juga akan sumpahnya untuk tidak mencapai pencerahan hingga seluruh neraka menjadi kosong. Oleh karena itu ia seringkali dianggap sebagai Bodhisattva akan mahluk-mahluk neraka. Biasanya ia digambarkan sebagai seorang bhiksu dengan lingkaran cahaya mengelilingi kepalanya yang tercukur bersih, ia membawa tongkat untuk membuka paksa gerbang neraka dan permata pengabul permohonan untuk menerangi kegelapan.

Ksitigarbha adalah salah satu dari 4 bodhisattva utama dalam Buddhisme Mahayana di Asia Timur. 3 bodhisattva lainnya adalah Samantabhadra, Manjusri, dan Avalokitesvara Bodhisattva.

Dalam beberapa gua di Dunhuang dan longmen sebelum era Dinasti Tang, Ia digambarkan dalam bentuk Bodhisattva yang terbaik dan terindah. Setelah Dinasti Tang, penggambarannya meningkat menjadi seorang bhikkhu, membawa tasbih dan sebuah tongkat.

Dizang, diucapkan sebagai Dayuan Dizang Pusa dalam bahasa Mandarin, Daigan Jizō Bosatsu dalam bahasa Jepang, Chijang Posal dalam bahasa Korea.
Ini adalah sebuah acuan akan janjinya, yang tercatat di dalam beberapa sutra, bertanggungjawab untuk mengajar semua makhluk di enam alam, pada masa antara parinirvana Buddha Gautama dan kelahiran Buddha Maitreya. Karena peran penting ini, tempat suci Ksitigarbha sering kali memiliki peran utama dalam vihara-vihara Mahayana ketimuran.


Di China

Gunung Jiuhua di Anhui dianggap sebagai tempat Ksitigarbha. Merupakan salah satu dari empat gunung besar umat Buddha di China, dan ditempati lebih dari 300 vihara. Sekarang ini, 95 vihara dari 300 vihara tersebut terbuka untuk umum. Pegunungan ini merupakan tempat tujuan yang terkenal bagi para peziarah yang memberikan persembahan kepada Ksitigarbha.

Diantara para Bodhisattva yang dipuja oleh kaum Mahayana, Ksitigarbha Bodhisattva satu-satunya yang terlihat dalam wujud sebagai seorang bhiksu lengkap dengan jubahnya. Menurut pandangan orang Tionghoa, beliau dikatakan sebagai seorang Bodhisattva yang penuh dengan maitri karuna dan bercita-cita untuk membantu mereka yang terlahir di alam yang menderita agar dapat meringankan karma-karma buruk mereka. Sering juga ia dikaitkan dengan sepuluh raja akhirat (she tien yan wang).

Kesepuluh raja akhirat itu adalah bawahanya langsung, sebab itu ia diberi gelar you ming jiao chu atau pemuka agama diakhirat. Ia menjadi pelindung para arwah, membimbing mereka agar insaf dari perbuatannya yang sudah-sudah, dan tidak akan mengulangi perbuatan tercela itu lagi, agar bisa terbebas dari karma buruk pada penitisan yang akan datang. Di kalangan rakyat, banyak beredar kisah-kisah yang ada hubungannya dengan Di Zang Wang. Diantara kisah-kisah itu ada banyak juga yang menyamakan Di Zang Wang dengan Mu Lien. Kisah Mu Lien banyak mengharukan orang, tentang bagaimana ia menolong ibunya dari siksaan di neraka. Mu lien oleh sementara orang dianggap sebagai ti cang wang. Sesungguhnya kalau kita meneliti kitab-kitab suci, mu lien adalah murid Buddha dan masuk jalur ah luo han atau arahat dan bukannya Di Zang Wang yang berada dalam tingkatan Bodhisattva.

Tentang Di Zang Wang, dalam kitab Suci tercatat sebagai berikut, ketika Buddha Sakyamuni telah menyelesaikan tugasnya dan masuk nirvana 1500 tahun kemudian ia menitis kembali ke dunia di Korea, sebagai seorang pangeran dari keluarga raja negeri Sinlo. Namanya, Jin Qiao Jue (金喬覺) (Kim Kiauw Kak-Hokkian). Sebab itu setelah orang tahu bahwa ia adalah penitisan Buddha, maka mereka memanggilnya Jin Di Zang. Konon wataknya sederhana, tidak kemeruk pangkat dan kemewahan, tapi sangat berbudi, welas asih. Ia sangat gemar mendalami ajaran Kong-Zi dan Buddha. Pada masa pemerintahan kaisar tang Gao Cong, tahun Yong Yong We keempat (arti harafiahnya pandai mendengar) belajar menyeberangi lautan, kemudian sampai dipegunungan Jiu Hua San di propinsi An Hui. Gunung Jiu Hua Shan sebenarnya adalah miliki Meng Kung. Meng Kung ini sangat berbudi, suka menolong orang-orang yang tertimpa kemalangan. Ia berjanji untuk menyediakan makanan vegetarian untuk 100 orang Bhiksu.

Tapi, tiap kali ia hanya dapat mengumpulkan 99 orang, tidak pernah berhasil memenuhi jumlah yang diinginkannya. Oleh karena itu, kali ini ia pergi sendiri ke gunung untuk mencari pendeta yang ke seratus. Ketika ia melihat Jin Qiao Jue sedang bersemedi disebuah gubuk, ia segera menghampirinya dan mengundangnya datang ke rumah untuk bersantap-santap bersama. Jin Qiao Jue yang melihat Meng Kung kelihatannya ada karma dengannya, lalu mengabulkan undangannya, tapi dengan mengajukan satu permintaan. Permintaannya tidak banyak, ia hanya menginginkan sebidang tanah di Jiu Hua Shan itu, seluas baju Kasaya/Jivara/Jubah, melihat permintaan yang hanya sepele itu Meng Kung langsung menyetujuinya.

Tapi keanehan lalu terjadi. Ternyata ketika Jin Qiao menebarkan baju Kasaya ke udara, seketika itu juga, jubah kasa itu berubah menjadi sangat besar sekali sehingga menutupi seluruh pegunungan itu. Begitulah Meng Kung lalu menyerahkan Jiu Hua Shan kepada Jin Qiao Jue yang digunakan untuk mendirikan tempat ibadah dan mengajarkan Dharma. Meng Kung bahkan menyuruh anak laki-lakinya ikut menemani Jin Qiao Jue menjadi Bhiksu. Putra Meng Kung ini kemudian disebut Tao Ming He Sang (To Beng Hwee Shio-Hokkian). Selanjutnya Meng Kung pun meninggalkan semua kehidupannya yang penuh kemewahan ikut menjadi pengikut Jin Qiao Jue dan mengangkat Tao Ming He Sang dan Meng Kung. Jin Qiao Jue Di Zang Phu Sa bertapa di gunung Jiu Hua Shan selama 75 tahun lamanya, dengan ditemani oleh anjingnya yang setia.

Pada usia 99 tahun beliau meninggal tepat pada tanggal 30 bulan 7 menurut penanggalan Imlek. Ada juga yang mengatakan bahwa pada waktu itu Di Zang telah berusia lanjut. Seorang cendikiawan kenamaan yang bernama Zhu ge Jie bersama temannya sedang bertamasya ke gunung untuk mencari udara segar. Sampai di atas, Qing Qi Yan melihat Di Zhang Wang sedang bersamadi dengan tekun, makannya hanya nasi putih yang dimasak encer diatas tungku dari tanah. Diam-diam timbul rasa hormatnya ia lalu mendirikan kuil diatas gunung Jiu Hua Shan. Sejak itu para Bhiksu dari berbagai tempat mendatangi Di Zhang Wang untuk menerima ajarannya. Jin Qiao Jue meninggal pada tahun pemerintahan Kaisar Xuan Cong dari dinasti Tang (728 M) tanggal 30 bulan 7 Imlek.

Inilah sebabnya mengapa setiap jatuh tanggal tersebut masyarakat banyak membakar hio/dupa yang disebut Di Zang Xiang atau dupa Di Zang. Jenasah Jin Qiao Jue ditempatkan pada sebuah batu kecil, sampai pada suatu ketika jenasah hendak dikeluarkan, terjadi keajaiban, dimana jenasah tersebut masih dalam keadaan baik dan tidak membusuk, wajahnya hanya seperti orang tidur. Pada masa pemerintahan kaisar Xiao Cong, para penganutnya membangun sebuah pagoda di Nan-Tai (salah satu puncak di Jiu Hua Shan) dan menempatkan abunya disitu. Tatkala pagoda itu sudah selesai dibangun dan abu telah ditempatkan, ternyata pagoda itu telah mengeluarkan sinar yang gilang gemilang, sehingga mengherankan orang yang ada di situ. Tempat itu kemudian diubah namanya menjadi Shen Kuang Ling yang berarti bukit Cahaya Dewa. Sejak itu Jiu Hua Shan menjadi salah satu gunung suci umat Buddha Mahayana.


Di Jepang

Di Jepang, Ksitigarbha, dikenal dengan nama Jizō, atau Ojizō-sama. Ia juga dihormati sebagai salah satu dari seluruh dewa dewi orang Jepang. Patungnya terletak di daerah yang mudah terlihat, terutama di pinggir jalan dan di kuburan. Menurut adat istiadat, ia terlihat sebagai wali anak-anak, terutama anak-anak yang meninggal mendahului orangtuanya. Sejak tahun 1980, ia dipuja sebagai pelindung jiwa mizuko, jiwa yang mati sewaktu dilahirkan, keguguran atau aborsi janin, dalam ritual mizuko kuyō (水子供養). Dalam dongeng masyarakat Jepang, dikatakan bahwa jiwa para anak-anak yang meninggal mendahului orangtuanya tidak dapat menyeberangi Sungai Sanzu mistis seorang diri kehidupan berikutnya karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengumpulkan perbuatan baik yang cukup banyak karena mereka telah membuat orangtuanya menderita diyakini bahwa Jizō menyelamatkan jiwa-jiwa mereka dari menjadi batu abadi di tepi sungai sebagai penebusan dosa mereka, dengan menyembunyikan mereka dari para roh jahat dalam jubahnya, dan membiarkan mereka mendengarkan mantra-mantra suci.

Kadang kala, patung Jizō diletakkan oleh masyarakat disertai oleh bebatuan dan kerikil-kerikil kecil, dengan harapan agar dapat mempersingkat waktu penderitaan anak-anak di dunia bawah (tindakan tersebut berasal dari tradisi membangun stupa sebagai tindakan membuat kebajikan). Kadang-kadang, patung tersebut terlihat memakai pakaian anak-anak atau oto, atau dengan mainan, yang diletakkan disana sebagai tanda kedukaan para orangtua agar membantu anak mereka yang telah meninggal dan berharap agar Jizō secara khusus melindungi mereka. Kadangkala, persembahan diberikan oleh para orangtua sebagai tanda terimakasih kepada Jizō karena menyelamatkan anak mereka dari penyakit serius. Wajah Jizō umumnya dibuat lebih seperti muka bayi agar menyerupai anak-anak yang ia lindungi.

Karena ia terlihat seperti penyelamat jiwa yang menderita di dunia bawah, biasanya patungnya terletak di kuburan. Ia juga dipercaya sebagai dewa pelindung wisatawan, dan di Jepang, patung Jizō diletakan di pinggir jalan sehingga mudah terlihat. Para petugas pemadam kebakaran juga dipercaya berada di bawah lindungan Jizō.


Kisah tentang Ksitigarbha diceritakan dalam Sutra Tekad Agung Bodhisattva Ksitigarbha, salah satu sutra Buddhis aliran Mahayana yang paling terkenal. Sutra ini dikatakan telah diucapkan oleh Buddha menjelang akhir hidupnya dihadapan para makhluk di alam surga Trayastrimsa sebagai tanda syukur dan peringatan kepada ibunya yang tercinta, Māyādevī.

Sang Bodhisattva ini dikenal secara populer dilingkungan rakyat berbagai bangsa di dunia, karena beliau telah menyeberangkan atau menyelamatkan makhluk-makhluk yang menderita hingga tiba di pantai seberang, sesuai dengan sumpah maha suci beliau yang berbunyi sebagai berikut:

“kalau bukan Aku yang pergi ke neraka untuk menolong mahluk-mahluk yang tersiksa disana, siapa yang akan pergi?......, kalau neraka belum kosong dari mahluk-mahluk yang tersiksa, Aku tidak akan menjadi seorang Buddha. Hanya bila semua makhluk telah di selamatkan, barulah Aku mencapai tingkat kebuddhaan”.

Bodhisattva Ksitigarbha sering dilukiskan dalam keadaan berdiri, tangannya memegang Cintamani (permata kebijaksanaan) atau Tongkat Bergemerincing, tongkat pemberi peringatan (disebut Khakkara). Wajahnya menunjukkan kebajikan. Banyak pula Bodhisattva Ksitigarbha yang dilukiskan dalam posisi duduk diatas teratai, tangannya memegang permata menyala yang dianggap berkekuatan dahsyat. Di kepalanya terdapat mahkota dengan lima lembar kelopak teratai, setiap kelopak terdapat lukisan Panca Dhayani Buddha. Dengan tongkatnya Ksitigarbha dapat membuka pintu neraka, sedangkan permata di tangannya dapat menerangi kegelapan neraka. Kadang kala kita temui Bodhisattva Ksitigarbha berdiri dan tangan kirinya memegang mangkok sedekah (patta) dan tangan kanannya membentuk mudra, sebagai tanda “Jangan takut” dan memberikan kedamaian semua makhluk.

Penampakan dari manifestasinya Bodhisattva Ksitigarbha, dalam kehidupan dengan cara meninggalkan kehidupan berumah tangga, Bodhisattva Ksitigarbha menyelamatkan makhluk-makhluk yang masuk ke alam neraka, dan mengajarkan kepada makhluk-makhluk hidup untuk menghargai Triratna dan mempercayai hukum sebab akibat, sehingga mereka tidak akan jatuh ke dalam tiga jalan kejahatan. Beliau juga menasihatkan agar orang menghormati nenek moyangnya, dan tidak melupakannya.

Ksitigarbha Biodhisattva pernah berjanji kepada Sakyamuni Buddha; “Saya akan mematuhi ajaranmu untuk melepaskan makhluk-makhluk dari penderitaan, dan membimbing mereka untuk mencapai kebebasan. Saya akan bekerja keras hingga Buddha Maitreya datang ke dunia ini”.
Buddha Sakyamuni memberikan nasihat; “Dengarkan baik-baik, jika seseorang pada waktu akan datang melihat lukisan/pratima Bodhisattva Ksitigarbha; mendengar sutra Ksitigarbha dan menghafalkannya, memberi persembahan dan menghormati Bodhisattva Ksitigarbha, mereka akan memperoleh keuntungan selama hidupnya dan kelak akhirnya akan mencapai kebuddhaan.

Dalam ajaran tradisi Buddha Theravada, kisah tentang seorang bhikkhu yang bernama Phra Malai, yang memiliki kualitas yang sama dengan Ksitigarbha, dikenal di seluruh Asia Tenggara, terutama di Thailand dan Laos. Legenda mengatakan bahwa ia adalah seorang arahat dari Sri Lanka, yang mencapai kekuatan luar biasa melalui kebajikannya dan hasil dari meditasi. Ia juga dihormati sebagai pengganti Maudgalyayana, murid utama Buddha yang memiliki pencapaian luar biasa.

Dalam cerita ini, bhikkhu yang saleh dan penuh kasih sayang ini turun ke Neraka untuk memberikan ajaran-ajaran dan memberikan kenyamanan bagi para makhluk neraka yang menderita di sana. Ia juga mempelajari bagaimana para makhluk neraka dihukum berdasarkan karma buruk mereka di alam neraka yang berbeda-beda.

52
Seremonial / Re: Selamat Vesak 2556 / 2012
« on: 08 May 2012, 10:52:14 PM »
SAYA MENGUCAPKAN KEPADA SEMUA MEMBER DHAMMACITTA

SELAMAT HARI WAISAK SEMOGA KUALITAS BATIN KITA MAKIN BAIK DARI TAHUN KE TAHUN

SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITHATA

SADHU...SADHU...SADHU....  _/\_

53
Diskusi Umum / Re: KONDISI AGAMA BUDDHA DIBERBAGAI BELAHAN DUNIA
« on: 01 May 2012, 05:43:31 AM »
Agama Buddha Mahayana Asia Tengah

Orang Tibet dalam Pengasingan

Di antara seluruh aliran Tibet di Asia Tengah, yang terkuat adalah yang bersama masyarakat pengungsi Tibet di sekitar Yang Mulia Dalai Lama dalam pengasingan di India sejak kebangkitan rakyat melawan pendudukan militer China di Tibet pada 1959. Mereka telah membuka kembali sebagian besar wihara utama Tibet, dan mereka memiliki program pelatihan penuh bagi para biksu sarjana, dan ahli dan guru meditasi. Terdapat juga sarana pendidikan, penelitian, dan penerbitan untuk melestarikan seluruh unsur dari tiap aliran agama Buddha Tibet.

Orang-orang Tibet dalam pengasingan telah membantu mendayakan kembali agama Buddha di daerah Himalaya di India, Nepal, dan Butan, termasuk Ladakh dan Sikkim dengan mengirimkan para pengajar dan meneruskan kembali silsilahnya. Banyak biksu dan biksuni dari daerah-daerah ini menerima pendidikan dan pelatihan mereka di wihara-wihara para pengungsi Tibet.

Nepal

Walau aliran Buddha Tibet dianut oleh masyarakat Sherpa di Nepal timur dan oleh para pengungsi Tibet di bagian tengah negara tersebut, bentuk tradisional dari Buddha Nepal, sampai pada batasan tertentu, masih dianut oleh orang-orang Newari yang tinggal di Lembah Kathmandu. Mereka, mengikuti campuran bentuk akhir India Mahayana dan Hindu, adalah satu-satunya masyarakat Buddha yang mempertahankan pembedaan kasta di dalam wihara. Sejak abad ke-16, para biksu diizinkan untuk menikah dan terdapat sebuah kasta keturunan di antara mereka: penjaga wihara dan pemimpin upacara agama. Mereka yang menyelenggarakan acara-acara ini harus berasal dari kasta-kasta ini.

Tibet

Keadaan agama Buddha di Tibet sendiri, yang oleh Republik Rakyat China telah dibagi ke dalam lima provinsi, yaitu Tibet, Qinghai, Gansu, Sichuan, dan Yunnan, masih suram. Dari 6.500 wihara yang ada sebelum 1959, hanya tinggal 150 yang tidak dihancurkan, sebagian besar sebelum Revolusi Kebudayaan. Sebagian besar biksu terdidik dihukum mati atau tewas di kamp konsentrasi, dan kebanyakan biksu pada umumnya dipaksa menanggalkan jubah mereka. Mulai tahun 1979, China mengizinkan Tibet membangun kembali wihara-wihara mereka, dan saat ini banyak yang sudah dibangun ulang. Pemerintah China membantu pembangunan beberapa dari wihara tersebut, tapi kebanyakan wihara dibangun atas usaha dan pendanaan para biksu, penduduk setempat, dan orang-orang Tibet yang berada di pengasingan. Ribuan orang muda menjadi biksu dan biksuni, tapi kini pemerintah China sekali lagi memberlakukan batasan dan larangan yang sangat merugikan. Banyak mata-mata polisi dan pemerintah menyamar sebagai biksu dan tetap dengan ketat mengawasi wihara. Biksu dan biksuni sering memimpin protes melawan kebijakan-kebijakan Cina yang menekan hak asasi manusia, menuntut otonomi sejati dan kebebasan beragama.

Usaha otoritas komunis China untuk mengendalikan agama Buddha di Tibet telah mengemuka dengan tujuan utama menemukan reinkarnasi Panchen Lama. Panchen Lama pertama, hidup di abad ke-17, adalah pembimbing Dalai Lama Kelima dan dianggap sebagai pemimpin iman tertinggi kedua setelah Dalai Lama di antara orang Tibet. Setelah kematian seorang Dalai Lama atau Panchen Lama, penerus dipilih ketika seorang anak dikenali sebagai reinkarnasi pendahulunya. Anak ini dicari dengan mencari keterangan dari ahli nujum dan diuji secara menyeluruh ketepatan ingatannya atas orang dan hal-hal dari kehidupan lampaunya.

Walau para Dalai Lama, sejak yang Kelima, telah menjadi pemimpin iman dan pemimpin sementara Tibet, para Panchen Lama tidak pernah memegang jabatan politis. Akan tetapi, sejak awal abad ke-20 China telah mencoba, walau gagal, untuk membagi dua masyarakat Tibet dengan mendukung Panchen Lama sebagai lawan politis bagi Dalai Lama.

Kaum Manchu, masyarakat China non-Han dari Asia barat daya, memerintah China dari pertengahan abad ke-17 sampai awal abad ke-20. Mereka mencoba merebut kesetiaan rakyat Mongol dan Tibet terhadap ruang pengaruh kekaisaran mereka dengan memberi dukungan kulit-luar pada agama Buddha Tibet, walau selalu mencoba mengakali dan mengendalikan lembaga-lembaga agama Buddha dan mengubah pusat bobot lembaga tersebut dari Lhasa ke Beijing. Pada pertengahan abad ke-18, mereka menyatakan bahwa hanya kaisar Manchu yang memiliki wewenang untuk memilih dan mengakui reinkarnasi Dalai Lama dan Panchen Lama dengan cara menarik undi dari sebuah guci emas. Rakyat Tibet mengabaikan pendakuan mereka ini; pilihan Panchen Lama selalu dikukuhkan oleh Dalai Lama.

Pemerintah komunis China secara terang jelas bersifat ateistis, seharusnya tidak mencampuri urusan agama dan telah mencela sepenuhnya seluruh kebijakan dinasti-dinasti kekaisaran yang pernah memerintah China. Namun pada 1995, pemerintah yang sama ini menyerukan sendiri bahwa pewaris sah kaisar Manchu memiliki wewenang untuk mencari dan mengenali reinkarnasi Panchen Lama Kesepuluh yang telah meninggal pada 1989. Ini terjadi segera setelah biksu kepala wihara Panchen Lama menemukan reinkarnasi tersebut dan Dalai Lama secara resmi memberi pengakuan pada anak laki-laki itu. Kemudian, anak itu beserta keluarganya dibawa ke Beijing dan tak ada kabar tentang mereka setelah itu; biksu kepala tadi dipenjara, dan wihara Panchen Lama kemudian berada di bawah kendali ketat pemerintah komunis. Otoritas China lalu memerintahkan seluruh guru Lama tinggi untuk berkumpul di sebuah upacara untuk memilih reinkarnasi Panchen Lama mereka sendiri. Kemudian, Presiden China bertemu dengan anak laki-laki berumur enam tahun itu dan memerintahkannya untuk setia pada partai komunis China.

Selain campur tangan pemerintah China, masalah utama yang dihadapi umat Buddha di Tibet adalah kurangnya guru yang memadai. Hanya sedikit sekali jumlah guru tua yang selamat dari masa penganiayaan komunis dan beberapa guru yang tersedia hanya menerima pelatihan selama dua atau maksimal empat tahun dengan kurikulum yang sangat terbatas di perguruan tinggi agama Buddha milik pemerintah yang dibangun lewat usaha mendiang Panchen Lama. Walau secara umum terdapat lebih banyak pembelajaran yang dilakukan dibanding di China Dalam, banyak wihara di Tibet yang dibuka sebagai objek wisata dan para biksu harus bekerja sebagai pemungut tiket dan penghuni wihara. Penduduk awam umumnya memiliki iman yang kuat, namun sebagian besar muda-mudi merosot akhlaknya oleh parahnya pengangguran karena perpindahan besar penduduk China Han dan melejitnya pasokan minuman keras murah, heroin, pornografi, dan meja biliar untuk judi dari China Dalam.

Turkistan Timur (Xinjiang)

Sebagian besar wihara milik rakyat Mongol Kalmyk yang tinggal di Turkistan Timur (Xinjiang) dihancurkan selama Revolusi Kebudayaan. Beberapa di antaranya kini telah dibangun kembali, namun keadaan kekurangan guru di sana bahkan lebih parah daripada di Tibet. Banyak biksu muda baru yang menurun semangatnya karena kurangnya sarana belajar dan banyak dari mereka pergi meninggalkan wihara.

Mongolia Dalam

Bagaimanapun juga, keadaan terburuk bagi umat Buddha Tibet di bawah kendali Republik Rakyat China terjadi di Mongolia Dalam. Sebagian besar wihara di belahan barat dihancurkan selama masa Revolusi kebudayaan. Di belahan timur, yang dulu merupakan bagian dari Manchuria, banyak wihara dihancurkan oleh serdadu Stalin di akhir Perang Dunia Kedua saat Rusia membantu membebaskan China Utara dari Jepang. Revolusi Kebudayaan memberi sentuhan akhir bagi peluluh-lantakan itu. Dari 700 wihara yang dulu ada di Mongolia Dalam, hanya 27 yang tersisa. Akan tetapi, tidak seperti di Tibet dan Xinjiang, hampir tidak ada usaha untuk membangun-ulang wihara-wihara tersebut. Ada arus deras masuknya pemukim China Han dan juga pernikahan silang yang menyebabkan banyak penduduk Mongol, khususnya di kota, tipis minatnya terhadap bahasa, budaya leluhur, dan ajaran Buddha mereka. Beberapa wihara dibuka sebagai objek wisata dan terdapat segelintir biksu muda, tapi mereka hampir tidak menerima pelatihan. Di wilayah yang teramat terpencil di gurun Gobi, satu atau dua wihara ada tersisa, dengan para biksunya yang masih menyelenggarakan upacara tradisional. Tapi tidak ada yang berumur di bawah tujuh puluh tahun. Tidak seperti di daerah-daerah Tibet, yang padang rumputnya kaya dan kaum nomad memiliki sumber daya untuk mendukung pembangunan-ulang wihara dan menafkahi biksu-biksu baru, kaum nomad gurun Gobi di Mongolia Dalam yang masih beriman adalah orang-orang yang teramat sangat miskin.

Mongolia

Di Mongolia sendiri (Mongolia Luar), dulu terdapat ribuan wihara. Seluruhnya dihancurkan sebagian atau seluruhnya pada tahun 1937 atas perintah Stalin. Pada 1946, satu wihara dibuka kembali sebagai wihara boneka di Ulaan Baatar, ibukota, dan pada awal 1970-an perguruan tinggi tempat pelatihan lima-tahun bagi para biksu dimulai di sana. Perguruan tinggi tersebut menerapkan kurikulum yang sangat ringkas, dengan penekanan berat pada kajian Marxis. Para biksu diizinkan menyelenggarakan upacara dalam jumlah yang terbatas bagi masyarakat yang dengan teliti dipertanyakan oleh otoritas pemerintah. Dengan jatuhnya komunisme pada 1990, ada usaha pemulihan yang gencar dilakukan terhadap agama Buddha dengan bantuan dari orang Tibet di pengasingan di India. Banyak biksu baru dikirim ke India untuk mendapatkan pelatihan dan 150 wihara telah dibuka atau dibangun kembali dengan skala yang sedang, dengan beberapa guru yang berasal dari orang Tibet di India. Tidak seperti di Tibet dimana biksu tua yang telah ditanggalkan jubahya tidak bergabung kembali ke wihara, dan hanya bekerja untuk membangun ulang dan mendukung wihara-wihara tersebut, banyak biksu tua di Mongolia yang bergabung kembali. Karena sebagian besar dari mereka belum berhenti tinggal di rumah dengan istri mereka saat malam hari dan minum vodka, ada masalah besar terkait aturan-aturan kedisiplinan para biksu.

Akan tetapi, masalah paling pelik yang dihadapi agama Buddha di Mongolia kini adalah gesitnya siar agama oleh para misionaris Gereja Mormon Amerika dan Gereja kr****n Pembabtis. Awalnya datang untuk mengajar bahasa Inggris, mereka menawarkan uang dan bantuan bagi anak-anak masyarakat di sana untuk belajar di Amerika jika mereka pindah agama. Mereka membagikan secara gratis buku kecil tentang Yesus yang dicetak bagus dan ditulis dengan bahasa Mongol sehari-hari; mereka juga mempertontonkan film. Kaum Buddha tak mampu menyainginya. Belum ada buku tentang ajaran Buddha yang ditulis dalam bahasa sehari-hari, hanya yang klasik, hampir tak ada orang yang mampu membuat terjemahannya, dan tak ada pula uang untuk mencetak seandainya pun buku-buku itu bisa dibuat. Maka orang-orang dan kaum cendikiawan muda semakin terseret menjauh dari agama Buddha, menuju kr****n.

Rusia

Ada tiga daerah Buddha Tibet tradisional di Rusia: Buryatia di Siberia dekat Danau Baikal, Tuva juga di Siberia utara dari Mongolia barat, dan Kalmykia ke arah barat laut Laut Kaspia. Orang-orang Buryatia dan Kalmykia adalah orang Mongol, sementara orang Tuva adalah orang Turki. Seluruh wihara di tiap tiga wilayah ini, kecuali tiga yang hanya dirusak di Buryatia, dihancurkan sepenuhnya oleh Stalin pada tahun 1930an akhir. Pada 1940-an akhir, Stalin membuka kembali dua wihara boneka di Buryatia di bawah pengawasan ketat KGB. Para biksu yang telah dipaksa menanggalkan jubahnya mengenakan kembali jubah mereka sebagai seragam selama siang hari dan melaksanakan beberapa upacara. Beberapa dari mereka pergi belajar ke perguruan tinggi pelatihan di Mongolia. Setelah komunisme jatuh pada 1990, ada pemulihan besar terhadap agama Buddha di seluruh tiga daerah ini. Orang-orang Tibet di pengasingan mengirim para guru dan biksu muda yang baru mendapat pelatihan di wihara-wihara Tibet di India. Kini terdapat tujuh belas wihara yang dibangun kembali di Buryatia. Seperti di Mongolia, ada juga masalah terkait minuman keras dan para biksu yang dulu merupakan biksu yang beristri. Tapi tidak seperti di Mongolia, para biksu ini tidak mendaku diri sebagai biksu yang hidup membujang. Sedang berjalan pula rencana untuk membuka wihara-wihara di Kalmykia dan Tuva. Para misionaris kr****n juga giat di tiga daerah ini, tapi tidak sekuat di Mongolia.

Minat yang besar terhadap ajaran Buddha Tibet juga tumbuh di antara orang Asia penganut Buddha dari aliran lain. Banyak guru Tibet diundang dari masyarakat di pengasingan di India untuk mengajar di Asia Tenggara, Taiwan, Hong Kong, Jepang, dan Korea. Orang-orang mendapati penjelasan yang jernih dari ajaran Buddha yang ditemukan pada aliran Tibet merupakan asupan berguna bagi pemahaman akan aliran mereka sendiri. Orang-orang juga tertarik pada upacara Tibet yang rinci untuk kemakmuran dan kesehatan.

Negara-Negara yang Secara Tradisional Bukan Penganut Buddha

Seluruh bentuk aliran Buddha juga ditemukan di negara-negara yang secara tradisional bukan penganut Buddha di seantero dunia. Ada dua kelompok besar yang terlibat: para imigran Asia dan para pelaku non-Asia. Imigran Asia, khususnya di Amerika Serikat dan Australia, memiliki banyak wihara etnis. Hal ini juga terjadi pada skala yang lebih kecil di Kanada, Brazil Peru, dan beberapa negara Eropa Barat lain, khususnya Prancis. Titik berat utamanya ada pada praktik kebaktian dan penyediaan pusat masyarakat untuk membantu masyarakat imigran memelihara jati diri budayawi dan kenegaraan mereka.

“Pusat Dharma” Buddha dari seluruh aliran kini dapat dijumpai di lebih dari delapan puluh negara di sekeliling dunia di setiap benua. Pusat Dharma ini kerap dikunjungi oleh orang-orang non-Asia dan laku yang ditekankan di sana adalah meditasi, pembelajaran dan praktik upacara. Sebagian besar pusat ini berasal dari aliran Tibet, Zen, dan Theravada. Para guru di pusat-pusat ini merupakan orang-orang Barat dan juga penganut Buddha dari Asia. Jumlah terbesar dijumpai di Amerika Serikat, Prancis, dan Jerman. Para murid yang serius sering mengunjungi Asia untuk mendapatkan pelatihan yang lebih mendalam. Lebih jauh, terdapat program studi agama Buddha di berbagai perguruan tinggi di seluruh dunia dan tumbuh pesat pula percakapan dan pertukaran gagasan di antara agama Buddha dan agama lain, ilmu pengetahuan, ilmu kejiwaan, dan ilmu kedokteran. Yang Mulia Dalai Lama berperan amat penting dalam hal ini.

54
Diskusi Umum / KONDISI AGAMA BUDDHA DIBERBAGAI BELAHAN DUNIA
« on: 01 May 2012, 05:41:43 AM »

KONDISI AGAMA BUDDHA DIBERBAGAI BELAHAN DUNIA


Alexander Berzin
Kairo, Mesir, Juni 1996.

Awalnya diterbitkan sebagai bagian dari:
Berzin, Alexander. Buddhism and Its Impact on Asia.
Asian Monographs, no. 8.
Cairo: Cairo University, Center for Asian Studies, June 1996.
Agama Buddha Theravada Asia Selatan dan Tenggara
Sri Lanka

Saat ini, agama Buddha tumbuh mekar di beberapa negara dan menghadapi kesukaran di negara lainnya. Theravada, contohnya, merupakan yang terkuat di Sri Lanka, Thailand, dan Burma (Myanmar), tapi melemah parah di Laos, Kamboja, dan Vietnam. Dari abad ke-16 sampai ke-19, agama Buddha mengalami kemunduran di Sri Lanka karena penganiayaan, pertama oleh Inkuisisi dan kemudian oleh para misionaris dari negara penjajahnya yang kr****n. Agama Buddha dipulihkan di akhir abad ke-19 dengan bantuan para cendekiawan dan ahli teosufi Britania. Hasilnya, agama Buddha Sri Lanka kadang dicirikan sebagai Buddha “Protestan”, dengan penekanan pada kajian cendekia, kegiatan pelayanan oleh para biksu bagi masyarakat awam, dan laku meditasi langsung bagi orang awam, tidak cuma bagi mereka yang berjubah. Umat awam memiliki iman yang luar biasa, tapi kadangkala mengeluhkan samarnya keseimbangan antara kajian dan praktik yang dilakukan oleh para biksu.

Indonesia dan Malaysia

Para biksu Sri Lanka telah membantu memulihkan agama Buddha Theravada di Bali, beberapa wilayah lain di Indonesia, dan Malaysia, tempat agama tersebut perlahan mati-lemas di akhir abad ke-15. Ini dilakukan pada skala yang sangat terbatas. Di Bali, mereka yang berminat adalah para pengikut campuran tradisional agama Hindu, Buddha, dan aliran kepercayaan setempat, sementara di wilayah lain di Indonesia dan Malaysia, peminatnya merupakan masyarakat China pendatang yang menganut Buddha Mahayana. Ada juga beberapa aliran kecil penganut Buddha di Indonesia yang merupakan percampuran unsur-unsur Theravada, China, dan Tibet.

Menurut kebijakan “Pancasila” pemerintah Indonesia, semua agama harus meyakini adanya Tuhan. Walau tidak menyatakan Tuhan sebagai sosok berwujud dan, karenanya, kadang dicirikan sebagai agama ateistis, agama Buddha diakui secara resmi di Indonesia karena penegasannya akan Adi buddha; yang secara harfiah bermakna “Buddha Pertama”, dan dibahas di dalam Tantra Kalacakra, yang berkembang di Indonesia seribu tahun yang lalu. Adi Buddha adalah pencipta maha tahu dari segala yang nampak, melampaui waktu, kata, dan batas lainnya. Walau dilambangkan dengan sosok simbolis, Adi Buddha sendiri sebetulnya bukanlah sosok. Ia lebih diwujudkan dan ditemukan dalam diri semua makhluk sebagai sifat cita bercahaya jernih. Atas landasan ini, agama Buddha diterima, bersama dengan Islam, Hindu, dan kr****n ka****k dan Protestan, sebagai lima agama negara Indonesia.

India

Agama Buddha perlahan memudar di wilayah India sub-Himalaya kira-kira sejak abad ke-17. Akan tetapi, pada akhir abad ke-19, orang Sri Lanka, dengan bantuan para cendekiawan Britania, mendirikan Masyarakat Maha Bodhi untuk memulihkan situs-situs perziarahan suci umat Buddha di India. Mereka sangat berhasil dan kini memiliki banyak wihara dengan para biksu di tiap situs itu, sebagaimana beberapa aliran Buddha lainnya.

Pada 1950-an, Ambedkar memulai sebuah gerakan Buddha-baru di antara kaum tak-tersentuh di India bagian selatan. Ratusan ribu orang bergabung, kebanyakan untuk menghindari cap buruk golongan kasta terendah. Gerakan ini menekankan pada pemerolehan hak-hak politik dan sosial bagi kaum tersebut. Ambedkar meninggal tak lama setelah mendirikan gerakan pemulihan ini. Sejak saat itu, gerakan ini dikepalai oleh Sangharakshita, seorang laki-laki Inggris yang mendirikan Mitra dari Ordo Buddha Barat (Friends of the Western Buddhist Order) sebagai bentuk baru agama Buddha, yang secara khusus dirancang bagi pelaku ajaran Buddha dari Barat.

Thailand

Di Thailand, karena dipengaruhi oleh model kerajaan Thai, masyarakat wihara Buddha memiliki seorang Bapa Agung dan sebuah Dewan Tetua yang bertanggung jawab menjaga kemurnian tata-cara. Ada dua jenis masyarakat wihara: mereka yang bermukim di hutan dan mereka yang tinggal di desa. Keduanya sangat dihormati dan didukung oleh masyarakat awam. Aliran hutan biksu fakir yang kental hidup di rimba terpencil dan meresapi meditasi yang sarat. Aliran ini mengikuti kepatuhan yang ketat terhadap aturan-aturan disiplin kewiharaan, yang membentuk pusat perhatian dari program belajarnya. Para biksu desa menyelenggarakan berbagai upacara bagi kesejahteraan penduduk setempat. Akan tetapi, pembelajaran mereka utamanya terdiri dari penghafalan naskah-naskah. Untuk tetap sejalan dengan kepercayaan budaya Thai terhadap roh, para biksu ini juga menyediakan jimat bagi para penduduk awam untuk perlindungan. Terdapat sebuah perguruan tinggi Buddha bagi para biksu, utamanya untuk melatih para biksu menerjemahkan kitab-kitab Buddha dari bahasa kuno Pali ke bahasa Thai modern.

Myanmar (Burma)

Di Myanmar (Burma), rezim militer mengambil alih kendali yang ketat atas agama Buddha di bawah Kementerian Agama. Rezim ini secara membabibuta telah menghancurkan wihara-wihara tempat para pembelot berdiam, khususnya di bagian utara negara tersebut. Kini pemerintah memberikan sejumlah besar uang kepada para biksu yang tersisa sebagai usaha untuk memenangkan dukungan mereka dan membukam segala bentuk kecaman. Burma memiliki tradisi panjang pada penekanan yang seimbang dan setara pada meditasi dan pembelajaran, khususnya sistem “abhidharma” dari ilmu kejiwaan, metafisika, dan budi pekerti Buddha. Banyak wihara yang menganut pendekatan ini masih buka, dan penduduk awam mempertahankan iman mereka yang luar biasa. Sejak akhir abad ke-19, kemungkinan dipengaruhi oleh jajahan Britania, terdapat banyak pusat meditasi tempat biksu dan guru awam mengarahkan orang awam Burma ke dalam latihan meditasi untuk mengembangkan kewaspadaan.

Bangladesh

Di Bangladesh selatan, di bukit-bukit di sepanjang perbatasan Burma, terdapat banyak desa terpencil yang secara tradisional mengikuti aliran agama Buddha Burma. Akan tetapi, terlepas dari Burma, tingkat pemahaman dan praktik mereka agak rendah.

Laos

Di Laos, agama Buddha masih diajarkan dan dipraktikkan di wilayah pinggiran dengan sikap tradisional, tapi wihara-wihara berada dalam keadaan memprihatinkan akibat Perang Amerika-Vietnam. Orang Laos awam masih menawarkan makanan kepada para biksu saat berkeliling meminta sedekah dan mereka pergi ke wihara pada hari-hari purnama. Akan tetapi, tradisi meditasi teramat sangat lemah. Mulanya, para biksu harus belajar dan mengajarkan Marxisme, tapi kini tidak lagi. Orang-orang kini memihak komunisme hanya di bibir saja dan sekarang lebih mudah untuk menjadi seorang biksu.

Kamboja

Di Kamboja, agama Buddha sedang dipulihkan setelah penghancuran dan penganiayaan yang dilakukan oleh rezim Pol Pot, dan khususnya dengan Pangeran Sihanouk kini sebagai raja, pelarangan-pelarangan perlahan mulai dilonggarkan. Akan tetapi, orang harus berumur di atas 30 atau 40 tahun untuk bisa ditahbiskan karena negara membutuhkan sumber daya manusia. Biksu Khmer kepala, Maha Ghosananda, belajar meditasi di Thailand karena praktik tersebut hampir-hampir hilang di Kamboja, dan ia sedang mencoba memulihkan praktik meditasi di sana. Aliran wihara hutan apa pun yang masih tersisa di negara tersebut cenderung lebih berkenaan dengan pencarian ilmu kanuragan, dan bukan meditasi.

Vietnam

Walau tak pernah ada penyeimbang Revolusi Kebudayaan di Vietnam, agama Buddha masih dianggap sebagai musuh negara di sana, dengan para biksu yang masih terus menentang otoritas dan kendali negara. Penahbisan adalah hal yang sukar dan banyak biksu masih dikurung di penjara. Hanya wihara-wihara boneka yang masih buka, kebanyakan untuk tujuan propaganda. Rezim pemerintah lebih longgar dengan para biksu di utara, tempat lembaga kewiharaan ada berdampingan dengan kaum komunis selama Perang Vietnam. Rezim jauh lebih curiga dan keras terhadap para biksu di selatan.

Agama Buddha Mahayana Asia Timur

Taiwan, Hong Kong, dan Wilayah China di Luar Negeri

Aliran Buddha Mahayana Asia Timur yang berasal dari Cina merupakan yang terkuat di Taiwan, Hong Kong, dan Korea Selatan. Taiwan memiliki masyarakat kewiharaan biksu dan biksuni yang dengan sangat baik hati didukung oleh masyarakat awam. Terdapat berbagai perguruan tinggi dan program Buddha untuk kesejahteraan sosial. Hong Kong juga memiliki masyarakat kewiharaan yang tumbuh-mekar. Pusat perhatian masyarakat Cina pendatang penganut Buddha di Malaysia, Singapura, Indonesia, Thailand, dan Filipina ada pada upacara-upacara untuk kesejahteraan para leluhur, dan untuk kemakmuran dan kekayaan bagi mereka yang masih hidup. Ada banyak medium yang melalui ini para ahli nujum Buddha berbicara dalam keadaan kesurupan dan yang menjadi tempat masyarakat awam bertanya tentang masalah kesehatan dan kejiwaan. Para pengusaha Cina yang merupakan daya dorong utama di balik ekonomi “ Macan Asia” ini kerap memberikan sumbangan pada para biksu untuk menyelenggarakan upacara bagi keberhasilan keuangan mereka.

Korea

Agama Buddha di Korea Selatan masih kuat, walaupun menghadapi tantangan yang terus berbiak dari gerakan-gerakan kr****n Evangelis. Terdapat banyak masyarakat biksu dan biksuni yang memiliki dukungan besar dari masyarakat. Secara khusus, tradisi meditasi tumbuh-mekar, khususnya Son, bentuk Zen di Korea. Sebaliknya, di Korea Utara, kecuali bagi wihara boneka yang dibuka untuk tujuan propaganda, agama Buddha mengalami penekanan yang gawat.

Jepang

Jepang memiliki banyak wihara yang keindahannya dipelihara bagi para wisatawan dan pengunjung, tapi banyak yang dikomersialkan. Walau ada juga beberapa pelaku yang serius, kebanyakan tradisi diformalkan secara ekstrem dan lemah. Dari abad ke-13, orang Jepang memiliki tradisi pendeta wihara yang menikah, dan tidak ada larangan minum tuak. Pendeta-pendeta seperti ini perlahan menggantikan tradisi biksu yang hidup membujang. Sebagian besar orang Jepang mengikuti gabungan agama Buddha dan Shinto. Mereka memiliki pendeta yang menyelenggarakan upacara dan adat Shinto untuk kelahiran dan pernikahan, dan upacara Buddha untuk pemakaman, dengan pemahaman yang tipis atas keduanya. Terdapat beberapa gerakan untuk mengadopsi cara-cara agama Buddha untuk mengurangi tekanan kerja di perusahaan-perusahaan besar, dan ada satu aliran Buddha Jepang memiliki program yang gencar membangun Pagoda Kedamaian di seluruh dunia. Ada juga sejumlah praktik pemujaan kiamat yang fanatik yang menyebut diri sebagai penganut Buddha, namun sesungguhnya sedikit sekali berkaitan dengan ajaran-ajaran Buddha Shakyamuni. Secara sejarah, beberapa aliran Buddha Jepang menganut sifat nasionalis yang ekstrem berdasarkan kepercayaan terhadap Jepang sebagai surga Buddha. Ini berasal dari pemujaan Shinto terhadap kaisar dan pentingnya rasa memiliki terhadap negara Jepang. Aliran-aliran semacam ini menetaskan partai-partai politik Buddha yang secara ekstrem memiliki sifat nasionalis dan fundamentalis.

Republik Rakyat China

Di China Dalam, yaitu di wilayah China Han dari Republik Rakyat China, sebagian besar wihara Buddha dihancurkan dan kebanyakan biksu, biksuni, dan guru terlatih dihukum mati atau dipenjara selama masa Revolusi Kebudayaan di tahun 1960-an dan 1970-an. Akan tetapi, di daerah-daerah non-Han, yaitu Tibet, Mongolia Dalam, dan Xinjiang, hal separah ini tidak terjadi. Sekarang, sejumlah besar orang China Han dari segala umur di China Dalam menaruh minat pada agama Buddha, tapi masalah utamanya terletak pada kurangnya guru. Banyak orang muda China menerima penahbisan kewiharaan, namun mutu mereka rendah. Kebanyakan pemuda yang berpendidikan perguruan tinggi lebih suka bekerja dan mencari uang, sementara mereka yang bergabung dengan wihara sebagian besar berasal dari keluarga miskin dan/atau tak terdidik, terutama dari daerah pedesaan. Hanya ada sedikit biksu dan biksuni lansia yang masih mumpuni, yang selamat dari penganiayaan komunis dan masih dapat mengajar; tapi tidak ada di antara mereka yang berusia paruh baya yang memperoleh pelatihan. Ada juga perguruan tinggi Buddha milik pemerintah dengan program dua sampai empat tahun di berbagai kota besar di China Dalam dan di situs perziarahan, dengan pendidikan politik sebagai bagian dari kurikulumnya. Secara nisbi, hanya sedikit sekali orang China Han yang baru ditahbiskan yang mengikuti pendidikan ini.

Secara umum, tingkat pendidikan agama Buddha sangat rendah di wihara-wihara China Han. Saat ini, orang memusatkan perhatian terutama pada pembangunan-ulang fisik—wihara, pagoda, patung, dan seterusnya—dan ini membutuhkan curahan waktu dan tenaga bagi penggalangan dana dan gedung. Dalam beberapa hal, pemerintah China membantu mendanai pembangunan. Hasilnya, banyak wihara Buddha kini dibuka sebagai museum atau daya tarik bagi wisatawan, dengan para biksu menjadi pemungut tiket dan penghuni wihara. Hal ini menciptakan topeng “kebebasan agama”, sebuah citra yang dicari oleh pemerintah Beijing. Akan tetapi, sebagian besar pembangunan dibiayai oleh penduduk setempat, terkadang dengan bantuan dermawan asing, dan sering juga oleh para biksu sendiri. Beberapa praktik pemujaan leluhur yang dilakukan di wihara sebelum penganiayaan komunis kini dipulihkan kembali. Akan tetapi, ada beberapa wihara China di beragam bagian di China Dalam yang aktif dan memiliki tingkat belajar dan praktik yang lumayan.

55
Ini adalah Foto dimana para umat Katho*ik di Tiongkok mengarak tandu Yesus seperti mengarak tandu para Dewa dan dibuatkan altar seperti altar para Dewa tiongkok dan gerejanya dibuat seperti nuansa kelenteng!


56
Ini adalah Foto dimana seorang Uskup Agung Kardinal berdoa kepada Bunda Maria menggunakan dupa atau hio!


57
Ulasan Buku, Majalah, Musik atau Film / Re: Film Da lai lama
« on: 28 April 2012, 02:11:22 AM »
Beli saja Filmnya dengan judul "KUNDUN" ini film tentang dalai lama dari lahir sampai pergi ke india tempat pengasingan beliau!

58
Mahayana / Re: Raja Yama dan Raja Sahka
« on: 18 April 2012, 07:38:21 PM »
dalam Mahayana Raja Yama dan Raja Sahka di sebut apakah..?? _/\_

Dewa Yama ya disebut Dewa Yama juga kalau Dewa Sakkha disebut Sakhra Devanam Indra

59
Mahayana / Re: 7 Buddha masa lampau
« on: 18 April 2012, 11:52:36 AM »
Kelana ANDA BENAR  8) semoga admin/moderator segera ambil tindakan sebelum wabah penyakit ini menyebar kemana-mana "WASPADALAH!"

60
Mahayana / Re: Berbagai Macam Versi 10 Tingkatan Bodhisattva
« on: 18 April 2012, 12:18:53 AM »
{TINGKATAN SEORANG BODHISATTVA DALAM PANDANGAN MAHAYANA}

Dasabhumi merupakan tingkatan-tingkatan yang ditempuh oleh Bodhisatva melalui paramita menuju Samyak Sambodhi. Kesepuluh tingkat dasabhumi ini adalah:

1. Pramudita (kebahagiaan)
Ketika seorang Bodhisatva menyadari bahwa ia telah melaksanakan dana paramita dan juga telah menyadari kekosongan dari Sang Aku (pudgala nairatmya) dan juga kekosongan dari setiap dharma (dharma nairatmya).

2. Vimala (murni bersih)
Ketika seorang Bodhisatva telah terbebas dari karma-karma buruk dengan melaksanakan sila paramita dan telah mengukuhkan kusala-mula (akar baik). Pikirannya telah terbebas dari segala kemelekatan. Dengan giat melaksanakan dhyana samadhi.

3. Prabhakari (cemerlang)
Seorang Bodhisatva memancarkan cahaya di dalam ksanti paramita karena ia telah tidak memiliki rasa marah dan dendam. Ia juga telah melaksanakan keempat dhyana dan hasilnya serta memperoleh Panca Abhijna. Ia telah terlepas dari raga, dvesa dan moha.

4. Arismati (menyala berkobar-kobar)
Seorang Bodhisatva dengan melaksanakan virya paramita akan banyak membantu ia dalam kemajuan batin menuju bodhi (37 bodhipaksiya dharma).

5. Sudurjaya (tak terkalahkan)
Seorang Bodhisatva dengan melaksanakan dhyana paramita mengembangkan prajna dan merealisasikan aryasatya dan menembusi hakekat samvrti satya dan paramartha satya.

6. Abhimukti (menuju bodhi)
Seorang Bodhisatva pada tingkat tersebut menyelami arti dari pratitya samutpada. Prajna telah diperoleh berkat pengertian mengenai sunyata.

7. Durangama (berjalan jauh)
Dalam tingkat ini seorang Bodhisatva mengembangkan karuna, pengetahuan tentang panca skanda, menuju bodhi dan memiliki virya paramita. Dari sravakayana menuju Mahayana dengan upaya kausalya (usaha yang bijak dan sesuai) dan akhirnya bodhi.

8. Acala (teguh/kokoh)
Seorang Bodhisatva membuat kemajuan yang pasti dan mengetahui kapan ia menjadi Budha berkat vyakarana (petunjuk).

9. Sadhumati (pikiran baik)
Seorang Bodhisatva melengkapi perbuatannya di dalam bala paramita yaitu dengan dasabala (sepuluh kekuatan) Sang Budha. Sekarang ia memiliki kebijaksanaan sempurna dan siap membimbing setiap makhluk menuju Nirvana.

10. Dharmamegha (mega dharma)
Pada tingkat ini seorang Bodhisatva mencapai dhyana paramita dan pengetahuan sempurna. Ia telah sampai pada tingkat calon Budha. Ia juga telah menerimaabhiseka dari para Budha mengenai Kebuddhaan. Tubuh dharmakayanya sekarang telah sempurna dan ia dapat menunjukkan kemukjizatan. Dengan demikian selesailah karya seorang Bodhisatva dalam dasabhumi.

(Kutipan dari karya Prof. Nalinaksha Dutt "Mahayana Buddhism")

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 ... 21