Si Mata Satu Seperti biasa, malam menjelang tidur aku selalu mengambil
sebuah buku untuk menemaniku, dan malam itu ternyata
terpilih sebuah buku spiritual yang bercerita tentang “Si
Mata Satu”. Yang menarik dari cerita ini adalah pada
saat alur itu berjalan seketika kisah itu berubah menjadi
CERMIN.
Dikisahkan ada sebuah sekolah yang terkenal dalam
menanamkan kekayaan mental bagi murid-muridnya. Suatu hari
sekolah tersebut kedatangan “Tamu Agung” dari kerajaan
tetangga yang hendak mempelajari keunikan ilmu sekolah
tersebut. Karena kesibukannya, sang kepala sekolah
segera menyerahkan acara penyambutan ini kepada murid
junior yang kebetulan bermata satu. Sang kepala sekolah
meminta murid itu menemani dan melayani tamu tersebut sampai
beliau menyelesaikan kesibukannya.
Tamu Agung yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, murid
bermata satu itu segera membungkukan badannya untuk
menyambutnya. Bungkukan badan itu segera dibalas sang tamu
dengan mengacungkan tiga jarinya ke udara. Tak mau kalah,
si mata satu membalasnya dengan acungan dua jari, yang
kembali dibalas lagi dengan acungan satu jari oleh sang
tamu. Akhirnya si mata satu mendaratkan sebuah tinju ke
muka sang tamu, lalu tamu itu berlari meninggalkan tempat
tersebut.
Cerita aneh ini membuatku penasaran untuk mengetahui apa
sebenarnya yang terjadi di sana, lalu kutelususri kembali
kisah itu.
Sang tamu dengan mata memar segera pulang menemui gurunya,
di hadapan gurunya ia berkata “Guru, saya telah datang ke
sekolah itu untuk mewakili guru melihat ilmu mereka, sungguh
luar biasa, baru kali pertama saya mendapat pelajaran yang
begitu dalam”
“Sebenarnya apa yang terjadi muridku?” Tanya Sang Guru
“Begitu tiba, saya segera disambut dengan bungkukan badan
tanda dimulainya acara uji pengetahuan, lalu saya mulai
dengan membuka topik dengan menunjukkan tiga jari ke udara,
yang menyatakan bahwa manusia hidup di masa lalu, saat ini
dan masa yang akan datang, lalu ia membalasnya dengan
menyatakan bahwa sebenarnya yang penting adalah saat ini dan
masa yang akan datang (2 jari), sedangkan masa lalu adalah
sejarah yang tak dapat lagi diubah. Saya kembali menjelaskan
bahwa sebenarnya masa lalu, kini dan masa yang akan datang
adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan (1 jari), lalu
sebuah tinju yang mendarat di muka mempertegas dan
menyadarkan saya kalau yang terpenting adalah hidup Saat
ini”
“Satu pembelajaran yang luar biasa mengenai hidup”
katanya sekali lagi dengan terkagum-kagum walau dengan mata
memar.
Sedangkan si mata satu, ketika bertemu dengan gurunya ia
langsung berkata “Guru, orang itu sungguh kurang ajar,
dari awal saya sudah mencoba menghormati dengan membungkukan
badanku, ia malah membalasnya dengan mengatakan bahwa di
ruangan itu hanya ada tiga mata, mentang-mentang dia
memiliki dua mata sedangkan saya hanya memiliki sebuah saja,
saya mencoba bersabar dan berkata kalau ia harus bersyukur
karena memiliki dua mata, tapi lagi-lagi ia mengejekku
dengan mengatakan saya si mata satu, waktu itu kesabaran
saya sudah habis, lalu saya meninjunya. Untung ia segera
belari meninggalkan sekolah ini, kalau tidak pasti sudah
babak belur.”
Bukankah kita sering seperti kedua murid ini? Saling
tidak memahami satu sama lain, masing-masing punya
persepsinya sendiri.
Dalam suatu kesempatan, di sela ceramah minggu, saya pernah
memperlihatkan sebuah kertas kepada audience yang saya klaim
sebagai warna “biru”, tapi audience protes, mereka
mengatakan kertas itu adalah berwarna “kuning”,
masing-masing dari kami berkeras bahwa itulah warna kertas
itu sesungguhnya, sampai saya dudukkan salah satu audience
itu di sampingku.
Ketika kutanya kepadanya apa warna kertas itu, ia segera
mengatakan “Biru”, sementara para audience yang lain
masih berkeras dengan keyakinannya, sampai saya mengubah
arah duduk saya sendiri, kali ini saya dan para audience
duduk menghadap arah yang sama.
Ketika kuperlihatakan kertas itu kembali, mereka akhirnya
juga setuju kalau kertas itu berwarna “biru” sekaligus
juga “kuning” tergantung di sisi mana kita memandangnya.
Ternyata kertas itu memiliki dua sisi dengan warna yang
berbeda.
Inilah yang terjadi pada kehidupan kita, kita sering
berbeda pandangan, saling tidak memahami, saling tidak
mengerti, sampai kita DUDUK BERDAMPINGAN, mencoba melihat
dari kedua perspektif tersebut, mencoba melihat dari cara
pandang orang lain.
Pada saat duduk berdampingan, kita menjadi saling memahami
satu satu lain, saling mengerti, saling toleransi, dan kita
dapat berangkulan dalam perbedaan. Itu yang dibutuhkan
Negara kita saat ini.
mohon delete jika repost