//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Mengungkap Budaya Buddhisme di Nusantara  (Read 2809 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Mengungkap Budaya Buddhisme di Nusantara
« on: 29 October 2007, 06:55:07 AM »
Ringkasan 3, Diskusi Dhamma (19/10/2002)
Mengungkap Budaya Buddhisme di Nusantara (2): Pasca Majapahit Oleh: Bhikkhu Dhammasubho Thera

Peninggalan budaya pada Jaman Majapahit di Nusantara sekarang ini dapat dilihat situsnya di Mojokerto. Di sana ada Situs Majapahit tetapi karena bahan bakunya dari batu bata, maka tidak bisa bertahan lama, kini tampak telah aus dimakan waktu/keropos, runtuh. Berbeda dengan peninggalan Candi-candi Majapahit yang lain di mana bahannya terbuat dari batu andesit, hingga kini masih utuh. Yang menarik untuk diperhatikan dan dipelajari adalah bagaimana Agama Buddha yang demikian besar di Jaman Majapahit akhirnya mengalami kemunduran hingga lenyap tidak dikenal sama sekali, yang tersisa tinggal berupa kepingan-kepingan sejarah.

Hal yang patut dicatat bahwa suatu agama akan berkembang menjadi besar bila didukung oleh beberapa syarat, sekurang-kurangnya ada lima, yaitu:

1. Kalau menjadi agama negara; sehingga kegiatan keagamaan maju pesat karena sepenuhnya didukung oleh raja. Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan lain-lain, dibangun karena sepenuhnya didukung oleh raja.
2. Ditangani oleh kaum profesional agama (ulama); artinya sebagai ahli pelaku agama (ulama), waktu sepenuhnya tercurah, berpikir, berucap, dan bertindak untuk kemajuan agamanya.
3. Tingkat kemakmuran masyarakat mendukung;
4. Tingkat kerelaan umat; jika dari kemakmuran dan kerelaan cukup, pengadaan sarana dan prasarana demi kegiatan pengembangan keagamaan semua dengan mudah terwujud.
5. Tingkat keimanan umat cukup mantap; artinya tidak mudah terpengaruh atau pindah agama

Agama Buddha pada Jaman Majapahit menjadi besar karena lima hal tersebut di atas terpenuhi. Raja, pejabat tinggi negara, dan rakyatnya menganut cara berpikir Buddhis, beragama Buddha. Akan tetapi ketika yang terjadi sebaliknya, petinggi-petinggi negara beralih agama, para profesional (ulama) agama menyimpang dari haluannya, tingkat kesejahteraan rakyat tidak mendukung, keimanan goyah, maka lambat laun agama akan ditinggalkan. Begitu pula Agama Buddha pada jaman pasca Majapahit menjadi merosot tajam, lenyap hilang. Agama Buddha di Indonesia sekarang dalam kondisi baik dan aman, karena sah dan dilindungi undang-undang, akan tetapi karena belum ditangani oleh kaum profesional (ulama) sepenuhnya, maka masih tersendat-sendat, sering ngadat. Selama ini lembaga-lembaga, organisasi agama masih ditangani oleh pemimpin-pemimpin yang belum sepenuhnya profesional agama, sehingga perhatian dan pencurahan energi, serta pemikirannya masih harus dibagi dua dengan tanggung jawab kebutuhan keluarga atau profesi lain yang menjadi kendala.

Hal lain yang menjadi sebab Agama Buddha menurun adalah Raja ke-5 pada Jaman Majapahit yaitu Raja Brawijaya V mempunyai anak laki-laki hasil pernikahannya dengan Putri Campa (China), di mana sejak kecil anak tersebut yang diberi nama Raden Babah Patah dididik oleh Raja Ariyodamar di Palembang, Sumatera, yang telah beragama lain. Jadi Raden Patah diajar agama lain bukan Agama Buddha yang telah dianut di negeri itu, sampai Raden Patah menjadi besar dan kembali ke negeri Tanah Jawa di Kerajaan Majapahit. Oleh Brawijaya diterima dan diberikan wilayah kekuasaan untuk dibuka menjadi kerajaan baru. Tempat tersebut oleh Raden Patah dibangun bersama dengan guru-guru spiritualnya yakni para wali, jadilah Kerajaan Demak Bintoro, di Jawa Tengah. Akhirnya demi kepentingan tertentu guru-guru spiritualnya mendesak Raden Patah sebagai Raja Demak Bintoro, untuk segera mereformasi Majapahit berganti agama baru. Meskipun berkali-kali Raden Patah menunda-nunda permintaan gurunya, akan tetapi karena didesak dan didesak terus, akhirnya Raden Patah menurut juga. Oleh karena Brawijaya tidak mendidik Raden Patah untuk mempelajari Agama Buddha, akibatnya Raden Patah tidak menganut Agama Buddha, malah bermaksud mengganti agama yang dianut Brawijaya, orangtuanya.
Sampai suatu ketika Majapahit didatangi PANSUS tentara dari Demak, untuk tujuan mereformasi Majapahit. Prabu Brawijaya sebagai orangtua tentu berpikir panjang, apakah dia harus berperang berhadapan dengan anak, sedangkan sebagai orangtua rela kurang makan minum, kurang tidur, asal anak bahagia orangtua sudah cukup puas. Maka meskipun negeri kerajaan dalam keadaan didesak bahaya, daripada perang dengan anak, Prabu Brawijaya memilih pergi meninggalkan kerajaan; lewat pintu belakang beliau meninggalkan Kerajaan Majapahit menuju Blambangan. Jadi Kerajaan Majapahit ketika itu bukan diambil alih dengan peperangan atau perundingan, tetapi tepatnya ditinggal pergi oleh rajanya. Raja Demak berhasil mengambil alih istana Kerajaan Majapahit, tetapi misinya dianggap belum sukses karena Prabu Brawijaya belum pindah agama baru. Akhirnya diputuskan untuk mengirim Raden Sahid Sunan Kalijaga menyusul Prabu Brawijaya ke Blambangan, di ujung timur Pulau Jawa. Tujuannya membujuk dan merayu, serta memohon agar Prabu Brawijaya kembali ke Majapahit dan berganti agama. Pembicaraan ini berlangsung berhari-hari sampai akhirnya Prabu Brawijaya menyanggupi untuk kembali ke Majapahit. Tetapi beliau mengatakan bahwa: "Saya mau kembali ke Majapahit bukan untuk kekuasaan sebagai Raja Majapahit, tetapi demi anak." Sudah jelas dikudeta, tetapi Prabu Brawijaya tetap tidak pupus rasa sayang pada anaknya. Walaupun demikian misi para wali guru spiritual Raden Patah belum tercapai, maka berhari-hari terus diadakan dialog. Karena alotnya sampai suatu ketika dialog diambil alih oleh kedua penasehat spiritual Prabu Brawijaya yaitu Sabdopalon dan Noyoginggong (nama yang sudah diistilahkan, yang dimaksud adalah bhikkhu). Akhirnya Sabdopalon, Noyoginggong, dan Sunan Kalijaga berdebat seru mengadu ilmu dan kesaktian.

Di mana untuk membuktikan misi baru ini hebat, Raden Said mengambil air untuk mencuci muka, begitu tersentuh tangan, air tersebut berubah menjadi berbau wangi. Untuk menandai kejadian ajaib ini, maka di tempat itu diberi nama Banyuwangi. Akhirnya disepakati rombongan meninggalkan Blambangan menuju Majapahit. Dalam perjalanan ke Majapahit rombongan berhenti di suatu tempat peristirahatan (villa). Di tempat itu diteruskan lagi diskusi yang belum usai. Sabdopalon dan Noyoginggong menerima keajaiban air wangi tidak tinggal diam, tetapi ingin menguji air wangi tersebut sampai kapan bertahan. Air wangi yang dibawa dalam bumbung (tabung) dari Blambangan, oleh Sabdopalon dan Noyoginggong dibuka tutupnya, ternyata air yang semula berbau wangi itu sekarang berubah menjadi berbau basin (busuk) dan banger. Prabu Brawijaya berkata: "Saya sudah tua, semuanya demi anak. Permintaan saya, meskipun Majapahit sudah berganti pemerintahan tetapi jangan sampai dinodai tetesan darah. Saya sanggup berganti agama tetapi saya mempunyai permintaan, kalau saya meninggal jangan ditulis di sini makam Brawijaya, cukup diberi tanda 'di sini peristirahatan si putra bulan [trowulan]." Begitu Prabu Brawijaya memberi disposisi, kedua penasehat spiritualnya berkata: "Brawijaya, saya tidak akan mengikuti perjalananmu lagi, saya akan tidur saja, dan saya tidak akan bangun sebelum Agama Buddha kembali. Dan ingatlah keharuman air wangi nanti akan bertahan selama 500 tahun dan 4 jaman." Usai berkata demikian Sabdopalon dan Noyoginggong "moksa" (menghilang). Mendengar kata-kata itu Brawijaya menangis tetapi semuanya sudah terlambat. Untuk memberi saksi harumnya air wangi menjadi berbau basin dan banger, tempat itu diberi nama Jember. Dihitung-hitung perjalanan dari Banyuwangi sampai Jember selama 4 hari dan 5 malam. Artinya keharuman itu nanti bertahan selama 500 tahun dan 4 jaman.

Inilah pentingnya dunia pendidikan, besar sekali pengaruh ucapan seorang guru pada anak-anak. Diakui atau tidak, sebuah nasehat yang sama isi kata-kata maupun artinya dari orangtua, masih lebih didengar ucapan guru untuk anak-anak. Maka berhati-hatilah orangtua mencarikan guru untuk anak-anak, karena ucapan guru lebih didengar oleh anak-anak. Orangtua jika ingin hidupnya aman, agamanya tidak terputus, maka seyogyanya anak-anak harus diajar agama yang sama dengan orangtuanya. Kalau orangtua terlambat mendidik anak, suatu ketika akan menjadi masalah dikemudian hari. Jadi jangan heran kalau nanti anaknya tidak akan menyembayangi orangtuanya yang sudah menjadi leluhur. Tetapi kadang orangtua terlalu merdeka, bebas, dan bangga mempunyai keluarga yang berbeda-beda agamanya, padahal itu akan menjadi masalah dikemudian hari. Sejak terjadi reformasi pemerintahan di Majapahit, petinggi-petinggi Majapahit banyak yang terpaksa atau dipaksa berubah haluan. Bagi yang tidak kuat imannya dan goyah, demi hidup, demi jabatan, mereka pindah keyakinan agama. Yang bimbang diberi pilihan hidup atau mati. Tetapi yang betul-betul idealis Buddhis meskipun dengan berbagai cara ditekan, tidak tergoyahkan. Orang-orang idealis Buddhis ini lebih baik menyingkir, menjauh sampai ke daerah-daerah pedalaman hingga menjadi komunitas masyarakat tersendiri. Mereka hidup apa adanya tidak banyak aturan, tetapi aman tenteram tanpa gangguan, tidak ada gejolak, tetap memegang teguh ajaran agama lama secara turun temurun. Ajaran penting ini diberikan sangat tradisional/sederhana, tidak ada tulis menulis, tetapi dihafal melalui lisan, contoh dalam perilaku dan perbuatan, bagian-bagian yang amat penting cukup di dalam bathin. Orang-orang idealis yang ditakut-takuti, ajarannya "diamputasi", budayanya dilarang berfungsi, dan menyingkir ini, selanjutnya dikenal sebagai Orang Badui di Jawa Barat, Orang Samin di Jawa Tengah, Orang Tengger di Jawa Timur, Suku Kajang di Sulawesi Selatan, Suku Kaly di Sulawesi Tengah, Orang Sangir di Sulawesi Utara, Suku Dayak Kaharingan di Kalimantan, Suku Karo di Sumatera, dan lain-lain. Ajaran yang diajarkan turun-temurun melalui hafalan lisan dan perbuatan itu tadi tetap utuh. Hanya karena tidak terbuka secara umum dan kadang-kadang hanya di bathin-bathin saja, maka lama-lama menjadi istilah "Kebathinan" yang di Jawa disebut "Kejawen", sehingga ketika mengalami kebangkitan lagi 500 tahun kemudian, orang-orang kebathinan itu umumnya sangat respon pada Agama Buddha. Ibarat bola karet yang menggelinding di pasir, tidak lagi terlihat itu sebagai bola karet tetapi yang tampak adalah bola pasir. Begitu juga dengan Ajaran Buddha yang meskipun tetap dipraktikkan oleh masyarakat, tetapi tidak dikenal lagi bahwa itu sesungguhnya Ajaran Buddha. Ajaran ini dapat dilihat hanya dalam bentuk sastra budaya, tradisi puja, perilaku tata krama, sopan santun, dan beberapa kosa kata yang menjadi dialek masyarakat, atau kepingan-kepingan candi yang kita baca lewat prasasti; tetapi bentuk agama yang kongkrit sudah tidak dikenal lagi selama 500 tahun sejak Majapahit surut, runtuh.

Meskipun Ajaran Buddha sudah hilang dari permukaan Bumi Nusantara ini, tetapi tetap tidak lenyap. Ibarat sebatang pohon yang cabang rantingnya sudah patah, daunnya sudah rontok, batangnya sudah rubuh, tetapi akarnya belum tercabut. Jadi meskipun pohon tersebut tumbuh tidak segar, rantingnya tidak panjang, batang tidak besar, daunnya tidak subur karena tidak dipupuk dan iklim yang tidak menunjang, tetapi pohon itu tetap hidup. Cuma tumbuhnya kecil seperti bonsai, namun meskipun bonsai itu kecil, nilainya unggul harganya mahal.
Di Sulawesi Selatan dahulu ada 15 kerajaan yang masyarakatnya beragama Buddha. Pada abad ke-15 kerajaannya berganti agama, maka yang tersisa tinggal kosa kata. Seperti Bahasa Makasar, ada beberapa yang persis sama dengan yang ada di Jawa. Di Kabupaten Bone ada Kecamatan Palaka, di Kabupaten Sengkang ada Kecamatan Attangasila, di Kabupaten Sopeng ada Kecamatan Aparitta. Di daerah Aparitta ada satu hal yang mentradisi dari tahun ke tahun yaitu dilarang keras orang-orang menggunakan warna kuning. Jika ditanya alasannya, dikatakan kalau memakai warna kuning hidupnya akan sial. Ternyata warna kuning adalah warna bagi bhikkhu, warnanya Agama Buddha. Karena mendapat tekanan politik pada jaman itu, mereka tidak boleh mengaku ini itu, apalagi membaca paritta (aparitta); tidak memakai warna Buddhis supaya tidak ketahuan. Di Sulawesi Selatan pernah diketemukan sebuah Patung Buddha posisi berdiri. Menurut ahli antropologi patung tersebut duplikatnya ada di Jember dan Nepal. Patung itu hadiah dari Mpu Tantular ketika melakukan perjalanan mengunjungi daerah-daerah Wilayah Majapahit.

Disposisi Prabu Brawijaya pada waktu itu ditandai dengan Chandra Sangkala (Tahun Caka) 'Sirno Hilang Kertaning Bumi' artinya Tahun Caka 1400 (Tahun Masehi 1408). Itulah awal perjalanan Dhamma selama 500 tahun tidak dikenal wujud sesungguhnya. Baru di jaman Republik ini 'api' Dhamma mulai berkelip lagi, dan yang mengelipkannya adalah kaum Theosofi yaitu kelompok kebathinan terdiri dari kumpulan kaum elit Belanda dan ningrat Jawa yang secara khusus mendiskusikan ilmu agama-agama serta Ketuhanan dalam Agama Buddha. Sehingga pada tahun 1934 mengundang Bhikkhu Narada dari Sri Lanka berkunjung ke Indonesia. Tanggal 4 Maret 1934, untuk pertama kalinya ada seorang bhikkhu di Bumi Nusantara sejak surutnya Majapahit. Dari tahun ke tahun Beliau selalu datang ke Indonesia mengadakan ceramah-ceramah umum di berbagai tempat, sehingga akhirnya resmi menjadi kunjungan negara, dan ditandai dengan penanaman Pohon Bodhi di lingkungan Candi Borobudur. Setelah putera Indonesia menerima benih-benih Ajaran Buddha, akhirnya beberapa dari mereka memutuskan untuk menjadi bhikkhu.
Dihitung-hitung sejak 500 tahun lampau Pemerintahan Majapahit runtuh, berganti jaman Kerajaan Demak, jaman penjajahan Hindia Belanda, dan jaman pendudukan Jepang, di ketiga jaman itu Agama Buddha tidak dikenal sama sekali, tidak sebagai agama negara. Sekarang dihitung sejak kejatuhan Majapahit, tahun 1400 caka, 500 tahun kedepan berarti tahun 1900 caka, dan tahun 1478, ditambah 500 tahun kedepan berarti tahun 1978, sejak itulah sesuai perkataan Sabdopalon dan Noyoginggong, Agama Buddha bangkit kembali sejak kedatangan Bhikkhu Narada dari Sri Lanka tahun 1934. Dan duduk sejajar dengan agama-agama lainnya di Indonesia sejak Direktorat Urusan Agama Buddha berdiri tahun 1978.

Saat ini memang Agama Buddha sedang tumbuh kembali di Bumi Nusantara. Maju atau mundur Agama Buddha ada di tangan kita. Oleh karena kita sudah belajar dari sejarah mengapa agama yang begitu besar bisa runtuh, maka dari itu hendaklah kita tidak mengulang pengalaman tidak indah itu. Tiga hal penting tanda menjadi umat beragama yang tidak mudah goyah yaitu beragama di tempat ibadah, di rumah, dan di masyarakat. Tahu, mengerti, mengalami praktik sehari-hari. Praktik untuk diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan. [MR]
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))