(iv) Karenanya cukup jelas bahwa usaha apapun untuk membicarakan hakikat sejati Buddha dalam istilah duniawi akan terbukti rapuh adanya, atau paling hanya merupakan suatu simbol saja. Untuk tujuan kita saat ini bagaimanapun juga semestinya cukup memadai jika Ia membolehkan istilah 'Buddha' mewakili semua Kebenaran transeden. Ini cuma untuk mengikuti jawaban yang diberikan Sang Buddha atas pertanyaan brahmana Dona apakah Ia 'seorang dewa, makhluk surgawi, suatu roh, atau seorang manusia". Sang Buddha menjawab bahwa semua kondisi yang akan membuatnya dilahirkan sebagai semua yang ia sebutkan itu, telah dimusnahkan olehNya , dan karenanya adalah paling baik untuk menyebutnya 'Buddha'. (A 2:38)
(v) Persamaan lain yang mengejutkan antara aliran Mahayana dan Hinayana adalah konsepsi mereka mengenai pikiran, yaitu, 'pabhassara-citta' (batin luhur) dalam Kitab Suci Pali dan Tathagata-garbha (embrio Buddha) dalam Mahayana. Ini didukung oleh dua ayat dalam Angutara Nikaya :
"Wahai bhikkhu, pikiran ini suci, tapi dinodai oleh kekotoran sebelah luar."
"Wahai bhikkhu, pikiran ini suci dan bebas dari kekotoran sebelah luar."
(vi) Salah satu persamaan dari ajaran Hinayana dan Mahayana yang paling penting adalah doktrin mengenai Kekosongan (sunyata). Terdapat beberapa referensi bahkan di dalam bagian Kitab Suci Pali yg paling tua, misalnya dalam Sutta Nipata, Sang Buddha memberitahu Mogharaja utk melihat dunia ini sebagai 'kosong' (sunna) dengan membuang gagasan diri (Sn 1119; of S 3:142, 167, 4:54; M 3:245). Nagarjuna, genius Mahayana, mengembangkan doktrin ini hingga ke puncaknya dalam aliran Madhyamaka (Jalan Tengah).
"Cahaya lampu menyala tergantung kepada minyak dan sumbu; demikian juga halnya, tidak pada yang satu atau yang lain, tidak juga dalam dirinya sendiri fenomena itu muncul, tidak ada sesuatu dalam dirinya. Segala sesuatu itu tidak nyata; dimana semu adanya; Nibbana satu-satunya kebenaran." (M 3:245)
Nagarjuna berkata :
"Kala menyatakan bahwa itu memperdaya dan cuma khayalan, Sang Guru maksudkan Kekosongan (sunyata) - ketergantungan pada lain-lain." (MK, 13:2)
(vii) Kedua aliran menerima tiga Yana atau Bodhi namun menganggap cita-cita Bodhisattva sebagai yang tertinggi. Mahayana mengajarkan bahwa terdapat banyak Bodhisattva mistik sementara Theravada menganggap Bodhisattva sebagai seorang manusia di antara kita yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi pencapaian kesempurnaan, hingga pada akhirnya menjadi Buddha Yang Sempurna bagi kesejahteraan dan kebahagiaan dunia.
(viii) Istilah tunggal yang paling penting yang menyatukan semua aliran dalam agama Buddha barangkali adalah ekayana ('jalan tunggal') yang ditemukan baik dalam Kitab Suci Pali (dalam Satipatthana Sutta, D 2:290) dan Mahayana (Sutra Teratai, bab 3). Jika Mahayana mendefinisikan 'Jalan Tunggal' sebagai 'Kendaraan Buddha' (kadang-kadang disebut Mahayana), Kitab Suci Pali memberikan definisi metodologis seperti Empat Landasan Perhatian (satipatthana), dua-duanya paling tinggi dalam hal mempunyai tujuan yang sama.
Praktek-praktek yang sama dalam Theravada dan Mahayana
Sangha memegang peranan penting dalam menjaga kontinuitas agama Buddha, dimana dijaga dengan baik tradisi Theravada maupun Mahayana. Anggota sangha pada umumnya melakukan praktek religius yang sama, antara lain mempelajari kitab suci, meditasi, ceramah, upacara, dan termasuk juga seni dan musik Buddhis.
Disamping pembacaan sutra/sutta, Theravada juga membaca paritta (syair perlindungan) dengan cara sebagaimana juga dilakukan oleh Mahayana yang lebih spesifik dengan mantra dan dharani. Kedua tradisi memiliki kebiasaan kegiatan spitual harian yang sama seperti puja bhakti pagi dan malam hari. Theravada yang menekankan tentang usaha pengolahan diri sendiri juga melakukan praktek pattidana (persembahan jasa) yang mana merupakan suatu doktrin dan praktek yang penting dalam Mahayana. Salah satu persamaan yang penting dalam hal pelayanan spritual adalah khamavaca (pengakuan kesalahan), namun Theravada lebih menekankannya sebagai suatu aspirasi bagi kemajuan diri sendiri daripada penyelesaian terhadap kesalahan yg telah dilakukan dimana dalam hal lebih condong dilakukan oleh Mahayana.
Persamaan lainnya adalah sama sama memunculkan patung Buddha , dimana sebenarnya hal ini sangat berlawanan dengan praktek agama Buddha pada awalnya yang hanya memunculkan Sang Buddha dgn simbol-simbol non-personal seperti Pohon Bodhi, jejak kaki, stupa, atau Roda Dharma. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani yang berkembang di Barat Laut India (Gandhara). Sehingga pada dewasa ini apabila kita melihat suatu vihara baik Theravada ataupun Mahayana tanpa kehadiran patung Buddha akan terasa janggal sekali. Masing-masing negara memliki ciri khas tersendiri dalam menghadirkan patung Buddha tersebut, kalau di Thailand kebanyakan bhikkhu yg fanatik memasukkan jimat dan hiasan dari masa pra-Buddhis yg umumnya berbentuk batu atau metal dengan jampi yg tertulis ataupun dibacakan ke dalam berbagai patung Buddha yang kecil dan indah. Umat Buddha di Burma melakukan hal yang sama dengan lethpwe-nya.
Pemujaan terhadap makhluk suci dan bahkan setan tidak saja merupakan ciri khas Mahayana dan Vajrayana, tetapi juga ditemukan dalam praktek Theravada. Sebagai contoh agama Buddha Theravada di Burma masih memuja roh-roh (nat) dan umat di Thailand belum lengkap kalau belum menghadirkan penjaga rumah (sal phra phum), semacam dewa bumi. Umat Buddha Sinhala memuja berbagai dewa seperti Sakra, Maha Brahma, Vishnu, dan Kataragama yg kesemuanya dikenal dalam agama Hindu. Pemujaan kepada sembilan planet (nava-graha) juga berkembang luas di antara umat Buddha Sinhala.
Umat Buddha pada umumnya tidak mengerti hal ideal seperti ini dimana menunjukkan suatu keraguan akan kemurnian yang dibicarakan. Manusia duniawi yang masih condong kepada takhayul, magis, dan materialistik baik dari masa lalu maupun masa sekarang adalah merupakan suatu tantangan terberat yang harus dihadapi oleh agama Buddha dalam usaha perkembangannya. Mahayana mencoba menjawab kebutuhan perlindungan dan pelestarian diri yang primitif dengan menciptakan berbagai cara yang inovatif yang diasosiakan dengan Buddha, Bodhisattva, dewa-dewa dan setan-setan yang tak terhitung banyaknya dimana lebih merupakan suatu simbol belaka dalam pelaksanaan upacara bhakti bagi umat pada umumnya. Cara bhakti seperti ini seperti memberikan boneka kepada anak-anak dengan harapan setelah bertambah dewasa maka mereka akan mulai mengurangi kesenangan terhadap boneka tsb dan mulai mengalihkan perhatian kepada hal-hal yang lebih tinggi khususnya dalam pengolahan diri sendiri untuk mencapai pencerahan.
Sepuluh Prinsip Unversal dalam Agama Buddha
Sejumlah daftar telah dibuat oleh para cendekiawan Buddhist yg mencerminkan kepercayaan umum dari berbagai aliran dlm agama Buddha. Dua diantaranya yg paling terkenal adalah dari H.S. Olcott (1891: empat belas 'Kepercayaan Buddhist yg Fundamental') dan Christmas Humphreys (1945: 'Dua Belas Prinsip Agama Buddha'). Dalam dunia sistem desimal sekarang ini, cukup rapi jika daftar lain seperti itu juga dimunculkan, seperti Sepuluh Prinsip Universal Agama Buddha berikut ini :
(1) SANG BUDDHA - baik sebagai guru historis Sakyamuni maupun sebagai prinsip spritual Pencerahan - yang merupakan inspirasi, Cara dan Tujuan kita; dimana dalam Mahayana diwujudkan dalam berbagai Buddha, Bodhisattva, dan makhluk suci lainnya.
(2) CITA-CITA BODHISATTVA - bagi Theravada hal ini merupakan cita-cita tertinggi karena merupakan suatu pencapaian kepada Kebuddhaan Agung (Sammasambuddha); bagi Mahayana hal ini merupakan suatu wahana tertinggi untuk keluar dari penderitaan makhluk hidup.
(3) HIDUP INI SATU dan TAK BERBAGI - mulai dari yang rendah, manusia, dan yang suci, adalah cuma manifestasi dari kejadian yang saling berhubungan yang numpang lewat dan yang menciptakan alam semesta ini dimana merupakan bentuk luar dari Keutuhan Yang Transeden.
(4) KETIDAKKEKALAN atau LINGKARAN KEBERADAAN - hal ini merupakan ciri keberadaan duniawi maupun keberadaan lainnya yang hanya dapat dimengerti dan didapatkan kebebasannya melalui pemutusan rantai Roda Sebab Akibat Yang Saling Bergantungan.
(5) TANPA INTI atau KEKOSONGAN - ini mencirikan semuanya, bahkan termasuk Nirvana dimana tidak ada suatu entitas yg tetap yg dapat ditemukan dalam apapun atau kejadian apapun karenanya semuanya hanyalah merupakan suatu kontinuitas yang memberikan kesan salah tentang adanya kekekalan.
(6) KARMA dan KELAHIRAN KEMBALI - ini menjelaskan suatu proses perubahan dan pada saatnya juga menyediakan suatu harapan dalam kemajuan spritual yang lebih baik ke arah Pencerahan.
(7) JALAN TENGAH - yaitu menghindari hal-hal yang ekstrim, dan tetap berada di jalan Kebijaksanaan dan Welas Asih serta menapaki Jalan Tunggal dari Sang Buddha.
(
JALAN MULIA DELAPAN RUAS - seperti diwujudkan dalam Empat Kebenaran Mulia yang merupakan ringkasan dari kondisi umat manusia dan makhluk duniawi dimana merupakan rangkaian pedoman kehidupan spritual yang terdiri dari moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan.
(9) PENYELAMATAN DIRI SENDIRI - satu-satunya tujuan spritual yang tepat karena diri sendiri adalah pencipta dimana terdapat pikiran sebagai perancang besar dan tentunya hanya oleh diri sendirilah penyelamatan agung bisa dilakukan.
(10) MEDITASI - karena pikiran itu yang tertinggi, maka pikiran itu haruslah dikenali dan diasah sebelum bisa dibebaskan, dan satu-satunya cara utk melakukan hal ini adalah melalui metode meditasi yang benar.
Kebutuhan akan Remitologisasi
Pada pendangan pertama, dari apa yg telah kita kumpulkan, memperlihatkan bahwa agama Buddha yang terlalu akomodatif terhadap berbagai kepercayaan dan praktek luar, kelihatannya telah merusak sendi-sendi agama Buddha itu sendiri karena bertoleransi. Umat Buddha memasukkan animisme kepercayaan lokal terhadap persentuhan Dharma karena berpendapat bahwa agama Buddha merupakan agama yang misonaris (Ling 1979, 42 f.). Daripada menghancurkan suatu kebudayaan, agama Buddha berjalan harmonis dengannya : "Jika itu yang engkau percaya, dan jika itulah caramu melihat hidup ini, ayo kita mulai dari sana"
Untuk dapat sampai kepada masyarakat, misionaris Buddhis memanfaatkan beragam cara yang terampil sebagai 'jembatan' antara cara berpikir yang populer dan Dharma. Satu jembatan penting seperti itu adalah simbol Mara dalam agama Buddha, sang kejahatan. Figur mitologis yang khas Buddhis ini menyediakan cara untuk untuk mengalihkan gagasan animisme ke dalam analisis keberadaan yang mendalam. Para umat lokal, yang untuk pertama kali mengenal agama Buddha, akan segera menerima figur yang tidak asing dari Mara. Mereka akan belajar melihat Mara tidak sebagai siluman kampung, melainkan sebagai musuh dari kehidupan suci lewat pandangan Buddhis, seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha:
"Apa sebenarnya Mara itu? Bentuk adalah Mara.....perasaan adalah Mara....persepsi adalah Mara....bentukan-bentukan mental adalah Mara......kesadaran adalah Mara." (S 3:188 f.)
Dengan kata lain, Mara sang kejahatan muncul sebagai sesuatu wujud yang lebih luas tidak hanya sekedar siluman atau setan yang dimunculkan untuk memperdaya.
'Wahana Peralihan' seperti ini yang lain adalah kisah-kisah Jataka dari Theravada, dewa dan setan dalam Vajrayana, dan ekspresi kultural agama Buddha lainnya. Sehingga sebaiknya kita sebagai umat Buddha, tidaklah terburu-buru menolak mitologi (demitologi) dalam agama Buddha, karena konsepsi seperti itu asing dalam sejarah Buddhis, sebaliknya kita semestinya bersifat toleransi terhadap mitologi (remitologi) Buddhis yang penuh inspirasi atas pemikiran yang populer. Ini karena mitologi (menurut C.G. Jung) merupakan produk abadi dari bawah sadar universal dan kolektif dalam mana semua manusia berbagi, dan yang dilihat dan dipercayai oleh kebanyakan orang sebagai suatu mitologi kuno dan kasus historis psikologi modern. Bahkan, kebenaran keramat harus dikomunikasikan dalam berbagai bentuk cerita jika memang perlu dimengerti dan diterima secara benar, dan seandainya hal itu memang diperuntukkan bagi umat awam dalam bentuk yang dapat diterima maka haruslah diikuti sedemikian rupa sehingga dapat mengaruhi keseluruhan diri mereka.
Alasan bagi Sektarianisme
Sektarianisme dapatlah diartikan sebagai tidak terdapatnya toleransi terhadap ajaran dan praktek dari berbagai aliran dan sekte lainnya yg ada dalam agama Buddha, selain sekte/aliran sendiri. Alasan pertama bagi sikap seperti itu tentu saja bersifat historis, yaitu penerimaan suatu aliran tunggal yang dipercayai sendiri tanpa mau memahami hubungan yang berkaitan ataupun perkembangan yang saling dimiliki oleh masing-masing aliran. Kita mesti sadar bawah setiap pembaharuan religius sangat bermanfaat bagi kedua belah pihak, pembaharu dan yang ditentang pembaharu tsb (misalnya reformasi kr****n memunculkan Reformasi Balasan ka****k yg paling tidak memacu yang belakangan untuk berintrospeksi dan memperaiki diri sendiri).
Sudah merupakan suatu kecenderungan psikologis pada umumnya bahwa penerimaan religius yang pertama adalah merupakan ajaran yang paling baik dan benar. Ini terutama benar untuk orang yang dilahirkan dalam keluarga yang telah beralih kepada suatu keyakinan atau aliran. Kemudian juga terdapat suatu bias linguistik, misalnya di Malaysia dan Singapura dimana kebanyakan umat yang berbahasa Inggris punya kecenderungan mimilih Theravada Sinhala dan umat yang merupakan etnis China lebih menyukai Mahayana (atau dalam kasus Theravada Thailand, umat Thai lokal cepat menyerap dialek China). Kenyataannya kecenderungan umum tersebut tidak begitu bersifat doktrinal melainkan lebih merupakan bias linguistik.
Ini membawa kita kepada alasan berikutnya bagi sektarianisme karena kurangnya literatur berbahasa Inggris yang berkaitan dengan Mahayana di tempat tersebut. (Tidak seperti Theravada yang cenderung cuma membaca dan terlibat dalam ajaran mereka sendiri, Mahayana memiliki kelebihan literatur yg berkenaan dgn kedua aliran tersebut). Kurangnya eksposisi literatur ini merupakan salah satu sebab utama terjadinya bias sektarian. Kurangnya eksposisi sosial juga berperan banyak dalam masalah ini, dan jika saja umat Buddha dari satu aliran mau mengadakan kunjungan baik ke vihara dan pusat dari aliran lainnya (khususnya kunjungan studi), akan terdapat pengertian yang lebih baik di antara berbagai aliran Buddhis.
Suatu prakonsepsi mungkin akan muncul jika umat cenderung menghakimi aliran lain dengan standarnya sendiri dimana malah berakibat suatu kondisi hubungan yg memburuk. Untuk memahami tradisi lain selain tradisi sendiri, orang harus memulai dengan cara berpikir tradisi tersebut. Kita hidup dalam dunia konvensional dimana apa saja yang sah di suatu tempat bisa saja ditabukan di tempat lainnya. Dalam tata cara Barat yang sopan (dan Vinaya Pali) , meminum atau meneguk sup dengan cara diseruput bukan merupakan masalah, akan tetapi adat istiadat Jepang mengharapkan kita melakukannya dengan cara yg lebih lembut.