//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: [ask] Rathavin?ta Sutta Barisan Kereta  (Read 3933 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline hemayanti

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.477
  • Reputasi: 186
  • Gender: Female
  • Appamadena Sampadetha
[ask] Rathavin?ta Sutta Barisan Kereta
« on: 03 August 2012, 02:03:01 PM »
Rathavinīta Sutta: ShowHide
24  Rathavinīta Sutta
Barisan Kereta

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Kemudian sejumlah bhikkhu yang berasal dari negeri asal [Sang Bhagavā],  yang melewatkan musim hujan di sana, menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepada mereka: ‘Para bhikkhu, siapakah yang di negeri asal[Ku] yang dihormati oleh para bhikkhu si sana, oleh teman-temannya dalam kehidupan suci, sebagai berikut: ‘Memiliki sedikit keinginan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang keinginan yang sedikit; puas terhadap dirinya sendiri, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang kepuasan; hidup terasing, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang keterasingan; jauh dari pergaulan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang menjauhi pergaulan; bersemangat, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang membangkitkan semangat; mencapai moralitas, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian moralitas; mencapai konsentrasi, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian konsentrasi; mencapai kebijaksanaan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian kebijaksanaan; mencapai kebebasan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian kebebasan; mencapai pengetahuan dan penglihatan kebebasan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian pengetahuan dan penglihatan kebebasan;  ia adalah seorang yang menasihati, memberitahu, memberi instruksi, mendesak, [146] membangkitkan, dan mendorong teman-temannya dalam kehidupan suci’?”

“Yang Mulia, Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta sangat dihormati di negeri asal [Sang Bhagavā] oleh para bhikkhu di sana, oleh teman-temannya dalam kehidupan suci.”

3. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta sedang duduk di dekat Sang Bhagavā. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir: “Suatu keuntungan bagi Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, suatu keuntungan besar baginya bahwa teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci memujinya dalam segala hal di hadapan Sang Guru. Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta dan berbincang-bincang dengannya.”

4. Kemudian, ketika Sang Bhagavā telah menetap di Rājagaha selama yang Beliau inginkan, Beliau melakukan perjalanan secara bertahap menuju Sāvatthī. Dengan mengembara secara bertahap, Beliau akhirnya sampai di Sāvatthī, dan di sana Beliau menetap di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

5. Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta mendengar: “Sang Bhagavā telah tiba di Sāvatthī dan menetap di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.” Kemudian Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta merapikan tempat kediamannya, dan membawa jubah luar dan mangkuknya, melakukan perjalanan secara bertahap menuju Sāvatthī. Dengan melakukan perjalanan secara bertahap, ia akhirnya sampai di Sāvatthī dan pergi ke Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika, untuk menjumpai Sang Bhagavā. Setelah bersujud pada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan Sang Bhagavā memberikan instruksi, menasihati, membangkitkan semangat, dan mendorongnya dengan khotbah Dhamma. Kemudian Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, setelah menerima instruksi, dinasihati, dibangkitkan semangatnya, dan didorong oleh khotbah Dhamma dari Sang Bhagavā, senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud pada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi ke Hutan Orang Buta untuk melewatkan hari itu.

6. Kemudian seorang bhikkhu mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan berkata kepadanya: “Teman Sāriputta, Bhikkhu Puṇṇa Mantāṇiputta yang sering engkau puji [147] baru saja diberi instruksi, dinasihati, dibangkitkan semangatnya, dan didorong oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma; setelah senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, ia bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud pada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi ke Hutan Orang Buta untuk melewatkan hari.

7. Kemudian Yang Mulia Sāriputta segera mengambil alas duduk dan mengikuti persis di belakang Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, dengan tetap mempertahankan kepalanya dalam jarak pandangan. Kemudian Yang Mulia Puṇna Mantāṇiputta memasuki Hutan Orang Buta dan duduk  di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. Yang Mulia Sāriputta juga memasuki Hutan Orang Buta dan duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

8. Kemudian, Pada malam harinya, Yang Mulia Sāriputta bangkit dari meditasi, mendatangi Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta:

9. “Apakah kehidupan suci dijalankan di bawah Sang Bhagavā kita, teman?” – “Benar, teman.” – “Tetapi, teman, apakah demi pemurnian moralitas maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah demi pemurnian pikiran maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian pandangan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” -  “Kalau begitu apakah demi pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.”

10. “Teman, ketika ditanya: ‘Tetapi, teman, apakah demi pemurnian moralitas maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Ketika ditanya: ‘Kalau begitu apakah demi pemurnian pikiran … pemurnian pandangan  … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Kalau begitu demi apakah, teman [148] kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?”

“Teman, adalah demi Nibbāna akhir yang tanpa kemelekatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā.”

11. “Tetapi, teman, apakah pemurnian moralitas adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian pikiran adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian pandangan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Tetapi, teman, apakah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan dicapai tanpa kondisi-kondisi ini?” – “Tidak, teman.”

12. “Ketika ditanya: ‘Tetapi, teman, apakah pemurnian moralitas adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Ketika ditanya: ‘Kalau begitu apakah pemurnian pikiran … pemurnian pandangan … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Tetapi bagaimanakah, teman, makna dari pernyataan-pernyataan ini dipahami?”

13. “Teman, jika Sang Bhagavā menjelaskan pemurnian moralitas sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan, maka Beliau juga menjelaskan apa yang masih disertai dengan kemelekatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan. Jika Sang Bhagavā menjelaskan pemurnian pikiran … pemurnian pandangan … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan, maka Beliau juga menjelaskan apa yang masih disertai dengan kemelekatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan.  Dan jika Nibbāna akhir tanpa kemelekatan dicapai tanpa kondisi-kondisi ini, maka seorang biasa juga mencapai Nibbāna akhir, karena orang biasa tidak memiliki kondisi-kondisi ini.

14. “Sehubungan dengan hal tersebut, teman, aku akan memberikan sebuah perumpamaan, karena orang-orang bijaksana memahami makna dari suatu pernyataan melalui perumpamaan. Misalkan bahwa Raja Pasenadi dari Kosala sewaktu menetap di Sāvatthī [149] menghadapi suatu urusan yang harus diselesaikan segera di Sāketa, dan bahwa antara Sāvatthī dan Sāketa tujuh kereta telah dipersiapkan untuknya. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala, meninggalkan Sāvatthī melalui pintu istana dalam, menaiki kereta pertama, dan dengan mengendarai kereta pertama ia akan tiba di kereta ke dua; kemudian ia akan turun dari kereta pertama dan naik ke kereta ke dua, dan dengan mengendarai kereta ke dua, ia akan tiba di kereta ke tiga … dengan mengendarai kereta ke tiga, ia akan tiba di kereta ke empat … dengan mengendarai kereta ke empat, ia akan tiba di kereta ke lima … dengan mengendarai kereta ke lima, ia akan tiba di kereta ke enam … dengan mengendarai kereta ke enam, ia akan tiba di kereta ke tujuh, dan dengan mengendarai kereta ke tujuh, ia akan tiba di pintu istana dalam di Sāketa. Kemudian, ketika ia telah sampai di pintu istana dalam, teman-teman dan kenalannya, kerabat dan sanak saudaranya, akan bertanya: ‘Baginda, apakah engkau datang dari Sāvatthī dengan mengendarai kereta ini?’ Bagaimanakah seharusnya Raja Pasenadi dari Kosala menjawabnya dengan benar?”

“Untuk menjawab dengan benar, teman, ia harus menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, sewaktu menetap di Sāvatthī aku menghadapi suatu urusan yang harus diselesaikan segera di Sāketa, dan antara Sāvatthī dan Sāketa tujuh kereta telah dipersiapkan untukku. Kemudian, meninggalkan Sāvatthī melalui pintu istana dalam, aku menaiki kereta pertama, dan dengan mengendarai kereta pertama aku tiba di kereta ke dua; kemudian aku turun dari kereta pertama dan naik ke kereta ke dua, dan dengan mengendarai kereta ke dua, aku tiba di kereta ke tiga … ke empat … ke lima … ke enam … kereta ke tujuh, dan dengan mengendarai kereta ke tujuh, aku tiba di pintu istana dalam di Sāketa.’ Untuk menjawabnya dengan benar ia harus menjawab demikian.”

15. “Demikian pula, teman, pemurnian moralitas adalah demi untuk mencapai pemurnian pikiran; pemurnian pikiran adalah demi untuk mencapai pemurnian pandangan; pemurnian pandangan adalah demi untuk mencapai pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan; pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan [150] adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah demi untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan. Adalah demi untuk  mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan inilah kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā.”

16. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta bertanya kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta: “Siapakah nama Yang Mulia, dan bagaimanakah teman-temannya dalam kehidupan suci mengenali Yang Mulia?”

“Namaku adalah Puṇṇa, teman, dan teman-temanku dalam kehidupan suci mengenalku sebagai Mantāṇiputta.”

“Sungguh menakjubkan, teman, sungguh mengagumkan! Semua pertanyaan yang mendalam telah dijawab, pokok demi pokok, oleh Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta sebagai seorang siswa terpelajar yang memahami Ajaran Sang Guru dengan benar. Suatu keuntungan bagi teman-temannya dalam kehidupan suci, suatu keuntungan besar bagi mereka bahwa mereka berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta. Bahkan jika dengan membawa Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta di atas alas duduk di atas kepala mereka agar teman-temannya dalam kehidupan suci memperoleh kesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepadanya, itu adalah keuntungan bagi mereka, keuntungan besar bagi mereka. Dan adalah keuntungan bagi kami, keuntungan besar bagi kami bahwa kami berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta.”

17. Ketika ini dikatakan, Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: “Siapakah nama Yang Mulia, dan bagaimanakah teman-temannya dalam kehidupan suci mengenali Yang Mulia?”

“Namaku adalah Upatissa, teman, dan teman-temanku dalam kehidupan suci mengenalku sebagai Sāriputta.”

“Sungguh, teman, kami tidak mengetahui bahwa kami sedang berbicara dengan Yang Mulia Sāriputta, siswa yang menyamai Sang Guru sendiri.  Jika kami mengetahui sebelumnya bahwa engkau adalah Yang Mulia Sāriputta, maka kami tidak akan berbicara begitu banyak. Sungguh menakjubkan, teman, sungguh mengagumkan! Semua pertanyaan yang mendalam telah diajukan, pokok demi pokok, oleh Yang Mulia Sāriputta sebagai seorang siswa terpelajar yang memahami Ajaran Sang Guru dengan benar. Suatu keuntungan bagi teman-temannya dalam kehidupan suci, suatu keuntungan besar bagi mereka bahwa mereka berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Sāriputta. Bahkan jika dengan membawa Yang Mulia Sāriputta di atas alas duduk di atas kepala mereka agar teman-temannya dalam kehidupan suci memperoleh kesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepadanya, [151] itu adalah keuntungan bagi mereka, keuntungan besar bagi mereka. Dan adalah keuntungan bagi kami, keuntungan besar bagi kami bahwa kami berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Sāriputta.”

Demikianlah kedua manusia agung itu bergembira mendengar kata-kata baik masing-masing.

ref MN 24  Rathavin?ta Sutta


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
pertanyaanku:
 _/\_ apakah mungkin mencapai pemurnian pikiran tanpa melalui pemurnian moralitas?
seperti apakah mungkin menuju kereta kedua tanpa menaiki dan turun dan kereta pertama?
g mungkin ya om? :)

kereta kedua dapat dinaiki setelah turun dari kereta pertama, itu artinya pemurnian pikiran dapat dicapai setelah menyempurnakan moralitas?
tanpa penyempurnaan moralitas maka mustahil untuk melangkah ke pemurnian pikiran?

sebelum menjawab, wajib baca suttanya dulu ya. :)

« Last Edit: 03 August 2012, 02:05:10 PM by hemayanti »
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

Offline William_phang

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.101
  • Reputasi: 62
Re: [ask] Rathavin?ta Sutta Barisan Kereta
« Reply #1 on: 03 August 2012, 02:29:10 PM »
Rathavinīta Sutta: ShowHide
24  Rathavinīta Sutta
Barisan Kereta

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Kemudian sejumlah bhikkhu yang berasal dari negeri asal [Sang Bhagavā],  yang melewatkan musim hujan di sana, menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepada mereka: ‘Para bhikkhu, siapakah yang di negeri asal[Ku] yang dihormati oleh para bhikkhu si sana, oleh teman-temannya dalam kehidupan suci, sebagai berikut: ‘Memiliki sedikit keinginan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang keinginan yang sedikit; puas terhadap dirinya sendiri, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang kepuasan; hidup terasing, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang keterasingan; jauh dari pergaulan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang menjauhi pergaulan; bersemangat, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang membangkitkan semangat; mencapai moralitas, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian moralitas; mencapai konsentrasi, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian konsentrasi; mencapai kebijaksanaan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian kebijaksanaan; mencapai kebebasan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian kebebasan; mencapai pengetahuan dan penglihatan kebebasan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian pengetahuan dan penglihatan kebebasan;  ia adalah seorang yang menasihati, memberitahu, memberi instruksi, mendesak, [146] membangkitkan, dan mendorong teman-temannya dalam kehidupan suci’?”

“Yang Mulia, Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta sangat dihormati di negeri asal [Sang Bhagavā] oleh para bhikkhu di sana, oleh teman-temannya dalam kehidupan suci.”

3. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta sedang duduk di dekat Sang Bhagavā. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir: “Suatu keuntungan bagi Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, suatu keuntungan besar baginya bahwa teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci memujinya dalam segala hal di hadapan Sang Guru. Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta dan berbincang-bincang dengannya.”

4. Kemudian, ketika Sang Bhagavā telah menetap di Rājagaha selama yang Beliau inginkan, Beliau melakukan perjalanan secara bertahap menuju Sāvatthī. Dengan mengembara secara bertahap, Beliau akhirnya sampai di Sāvatthī, dan di sana Beliau menetap di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

5. Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta mendengar: “Sang Bhagavā telah tiba di Sāvatthī dan menetap di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.” Kemudian Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta merapikan tempat kediamannya, dan membawa jubah luar dan mangkuknya, melakukan perjalanan secara bertahap menuju Sāvatthī. Dengan melakukan perjalanan secara bertahap, ia akhirnya sampai di Sāvatthī dan pergi ke Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika, untuk menjumpai Sang Bhagavā. Setelah bersujud pada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan Sang Bhagavā memberikan instruksi, menasihati, membangkitkan semangat, dan mendorongnya dengan khotbah Dhamma. Kemudian Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, setelah menerima instruksi, dinasihati, dibangkitkan semangatnya, dan didorong oleh khotbah Dhamma dari Sang Bhagavā, senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud pada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi ke Hutan Orang Buta untuk melewatkan hari itu.

6. Kemudian seorang bhikkhu mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan berkata kepadanya: “Teman Sāriputta, Bhikkhu Puṇṇa Mantāṇiputta yang sering engkau puji [147] baru saja diberi instruksi, dinasihati, dibangkitkan semangatnya, dan didorong oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma; setelah senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, ia bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud pada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi ke Hutan Orang Buta untuk melewatkan hari.

7. Kemudian Yang Mulia Sāriputta segera mengambil alas duduk dan mengikuti persis di belakang Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, dengan tetap mempertahankan kepalanya dalam jarak pandangan. Kemudian Yang Mulia Puṇna Mantāṇiputta memasuki Hutan Orang Buta dan duduk  di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. Yang Mulia Sāriputta juga memasuki Hutan Orang Buta dan duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

8. Kemudian, Pada malam harinya, Yang Mulia Sāriputta bangkit dari meditasi, mendatangi Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta:

9. “Apakah kehidupan suci dijalankan di bawah Sang Bhagavā kita, teman?” – “Benar, teman.” – “Tetapi, teman, apakah demi pemurnian moralitas maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah demi pemurnian pikiran maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian pandangan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” -  “Kalau begitu apakah demi pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.”

10. “Teman, ketika ditanya: ‘Tetapi, teman, apakah demi pemurnian moralitas maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Ketika ditanya: ‘Kalau begitu apakah demi pemurnian pikiran … pemurnian pandangan  … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Kalau begitu demi apakah, teman [148] kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?”

“Teman, adalah demi Nibbāna akhir yang tanpa kemelekatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā.”

11. “Tetapi, teman, apakah pemurnian moralitas adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian pikiran adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian pandangan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Tetapi, teman, apakah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan dicapai tanpa kondisi-kondisi ini?” – “Tidak, teman.”

12. “Ketika ditanya: ‘Tetapi, teman, apakah pemurnian moralitas adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Ketika ditanya: ‘Kalau begitu apakah pemurnian pikiran … pemurnian pandangan … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Tetapi bagaimanakah, teman, makna dari pernyataan-pernyataan ini dipahami?”

13. “Teman, jika Sang Bhagavā menjelaskan pemurnian moralitas sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan, maka Beliau juga menjelaskan apa yang masih disertai dengan kemelekatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan. Jika Sang Bhagavā menjelaskan pemurnian pikiran … pemurnian pandangan … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan, maka Beliau juga menjelaskan apa yang masih disertai dengan kemelekatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan.  Dan jika Nibbāna akhir tanpa kemelekatan dicapai tanpa kondisi-kondisi ini, maka seorang biasa juga mencapai Nibbāna akhir, karena orang biasa tidak memiliki kondisi-kondisi ini.

14. “Sehubungan dengan hal tersebut, teman, aku akan memberikan sebuah perumpamaan, karena orang-orang bijaksana memahami makna dari suatu pernyataan melalui perumpamaan. Misalkan bahwa Raja Pasenadi dari Kosala sewaktu menetap di Sāvatthī [149] menghadapi suatu urusan yang harus diselesaikan segera di Sāketa, dan bahwa antara Sāvatthī dan Sāketa tujuh kereta telah dipersiapkan untuknya. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala, meninggalkan Sāvatthī melalui pintu istana dalam, menaiki kereta pertama, dan dengan mengendarai kereta pertama ia akan tiba di kereta ke dua; kemudian ia akan turun dari kereta pertama dan naik ke kereta ke dua, dan dengan mengendarai kereta ke dua, ia akan tiba di kereta ke tiga … dengan mengendarai kereta ke tiga, ia akan tiba di kereta ke empat … dengan mengendarai kereta ke empat, ia akan tiba di kereta ke lima … dengan mengendarai kereta ke lima, ia akan tiba di kereta ke enam … dengan mengendarai kereta ke enam, ia akan tiba di kereta ke tujuh, dan dengan mengendarai kereta ke tujuh, ia akan tiba di pintu istana dalam di Sāketa. Kemudian, ketika ia telah sampai di pintu istana dalam, teman-teman dan kenalannya, kerabat dan sanak saudaranya, akan bertanya: ‘Baginda, apakah engkau datang dari Sāvatthī dengan mengendarai kereta ini?’ Bagaimanakah seharusnya Raja Pasenadi dari Kosala menjawabnya dengan benar?”

“Untuk menjawab dengan benar, teman, ia harus menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, sewaktu menetap di Sāvatthī aku menghadapi suatu urusan yang harus diselesaikan segera di Sāketa, dan antara Sāvatthī dan Sāketa tujuh kereta telah dipersiapkan untukku. Kemudian, meninggalkan Sāvatthī melalui pintu istana dalam, aku menaiki kereta pertama, dan dengan mengendarai kereta pertama aku tiba di kereta ke dua; kemudian aku turun dari kereta pertama dan naik ke kereta ke dua, dan dengan mengendarai kereta ke dua, aku tiba di kereta ke tiga … ke empat … ke lima … ke enam … kereta ke tujuh, dan dengan mengendarai kereta ke tujuh, aku tiba di pintu istana dalam di Sāketa.’ Untuk menjawabnya dengan benar ia harus menjawab demikian.”

15. “Demikian pula, teman, pemurnian moralitas adalah demi untuk mencapai pemurnian pikiran; pemurnian pikiran adalah demi untuk mencapai pemurnian pandangan; pemurnian pandangan adalah demi untuk mencapai pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan; pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan [150] adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah demi untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan. Adalah demi untuk  mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan inilah kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā.”

16. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta bertanya kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta: “Siapakah nama Yang Mulia, dan bagaimanakah teman-temannya dalam kehidupan suci mengenali Yang Mulia?”

“Namaku adalah Puṇṇa, teman, dan teman-temanku dalam kehidupan suci mengenalku sebagai Mantāṇiputta.”

“Sungguh menakjubkan, teman, sungguh mengagumkan! Semua pertanyaan yang mendalam telah dijawab, pokok demi pokok, oleh Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta sebagai seorang siswa terpelajar yang memahami Ajaran Sang Guru dengan benar. Suatu keuntungan bagi teman-temannya dalam kehidupan suci, suatu keuntungan besar bagi mereka bahwa mereka berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta. Bahkan jika dengan membawa Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta di atas alas duduk di atas kepala mereka agar teman-temannya dalam kehidupan suci memperoleh kesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepadanya, itu adalah keuntungan bagi mereka, keuntungan besar bagi mereka. Dan adalah keuntungan bagi kami, keuntungan besar bagi kami bahwa kami berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta.”

17. Ketika ini dikatakan, Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: “Siapakah nama Yang Mulia, dan bagaimanakah teman-temannya dalam kehidupan suci mengenali Yang Mulia?”

“Namaku adalah Upatissa, teman, dan teman-temanku dalam kehidupan suci mengenalku sebagai Sāriputta.”

“Sungguh, teman, kami tidak mengetahui bahwa kami sedang berbicara dengan Yang Mulia Sāriputta, siswa yang menyamai Sang Guru sendiri.  Jika kami mengetahui sebelumnya bahwa engkau adalah Yang Mulia Sāriputta, maka kami tidak akan berbicara begitu banyak. Sungguh menakjubkan, teman, sungguh mengagumkan! Semua pertanyaan yang mendalam telah diajukan, pokok demi pokok, oleh Yang Mulia Sāriputta sebagai seorang siswa terpelajar yang memahami Ajaran Sang Guru dengan benar. Suatu keuntungan bagi teman-temannya dalam kehidupan suci, suatu keuntungan besar bagi mereka bahwa mereka berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Sāriputta. Bahkan jika dengan membawa Yang Mulia Sāriputta di atas alas duduk di atas kepala mereka agar teman-temannya dalam kehidupan suci memperoleh kesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepadanya, [151] itu adalah keuntungan bagi mereka, keuntungan besar bagi mereka. Dan adalah keuntungan bagi kami, keuntungan besar bagi kami bahwa kami berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Sāriputta.”

Demikianlah kedua manusia agung itu bergembira mendengar kata-kata baik masing-masing.

ref MN 24  Rathavin?ta Sutta


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
pertanyaanku:
 _/\_ apakah mungkin mencapai pemurnian pikiran tanpa melalui pemurnian moralitas?
seperti apakah mungkin menuju kereta kedua tanpa menaiki dan turun dan kereta pertama?
g mungkin ya om? :)

kereta kedua dapat dinaiki setelah turun dari kereta pertama, itu artinya pemurnian pikiran dapat dicapai setelah menyempurnakan moralitas?
tanpa penyempurnaan moralitas maka mustahil untuk melangkah ke pemurnian pikiran?



Kalo baca dari sutta sih demikian kayaknya.. harus melakukan pemurnian moralitas dulu sebelum melangkah ke pemurnian pikiran..

Offline The Ronald

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.231
  • Reputasi: 89
  • Gender: Male
Re: [ask] Rathavin?ta Sutta Barisan Kereta
« Reply #2 on: 06 August 2012, 07:52:22 PM »
klo ttg bagimana ... ada di DN 2...
clue nya .."Dan bagaimanakah, Baginda, apakah seorang bhikkhu sempurna dalam moralitas?" nah itu panjang jawabannya..
...

Offline hemayanti

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.477
  • Reputasi: 186
  • Gender: Female
  • Appamadena Sampadetha
Re: [ask] Rathavin?ta Sutta Barisan Kereta
« Reply #3 on: 06 August 2012, 09:41:14 PM »
klo ttg bagimana ... ada di DN 2...
clue nya .."Dan bagaimanakah, Baginda, apakah seorang bhikkhu sempurna dalam moralitas?" nah itu panjang jawabannya..
wah itu yang saya cari om, tentang kesempurnan moralitas, baeklah, cek DN dulu kalo begitu.
btw, nama suttanya apa? ;D
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: [ask] Rathavin?ta Sutta Barisan Kereta
« Reply #4 on: 06 August 2012, 10:18:39 PM »
wah itu yang saya cari om, tentang kesempurnan moralitas, baeklah, cek DN dulu kalo begitu.
btw, nama suttanya apa? ;D
http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_2:_S%C4%81ma%C3%B1%C3%B1aphala_Sutta
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: [ask] Rathavin?ta Sutta Barisan Kereta
« Reply #5 on: 06 August 2012, 10:21:04 PM »
Sebuah perumpamaan.
Antara Sāvatthī dan Sāketa ada tujuh kereta telah dipersiapkan untuk Raja Pasenadi. Ketika Sang Raja ternyata berada di area dimana kereta kedua berada, maka ia tinggal melanjutkan ke kereta ketiga, keempat, dst. Ia tidak perlu kembali lagi ke kereta pertama.

Ada yang sependapat?
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline hemayanti

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.477
  • Reputasi: 186
  • Gender: Female
  • Appamadena Sampadetha
Re: [ask] Rathavin?ta Sutta Barisan Kereta
« Reply #6 on: 06 August 2012, 10:24:32 PM »
Sebuah perumpamaan.
Antara Sāvatthī dan Sāketa ada tujuh kereta telah dipersiapkan untuk Raja Pasenadi. Ketika Sang Raja ternyata berada di area dimana kereta kedua berada, maka ia tinggal melanjutkan ke kereta ketiga, keempat, dst. Ia tidak perlu kembali lagi ke kereta pertama.

Ada yang sependapat?
iya, saya sependapat.
dalam artian sebenarnya, tidak perlu lagi memurnikan latihan pertama (sila) karna itu dengan sendiri tidak akan terkotori lagi.
begitu yah saya pahami.
cmiww.
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: [ask] Rathavin?ta Sutta Barisan Kereta
« Reply #7 on: 06 August 2012, 10:35:02 PM »
iya, saya sependapat.
dalam artian sebenarnya, tidak perlu lagi memurnikan latihan pertama (sila) karna itu dengan sendiri tidak akan terkotori lagi.
begitu yah saya pahami.
cmiww.

sepakat.

(1) sesuatu yg sudah murni tidak perlu dimurnikan lagi.
(2) pemurnian (sila) sudah menjadi bagian yg alami tidak perlu diusahakan lagi. segala perilaku sesuai sila sudah muncul secara otomatis, tidak perlu berupaya utk menghindari ini itu

Offline hemayanti

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.477
  • Reputasi: 186
  • Gender: Female
  • Appamadena Sampadetha
Re: [ask] Rathavin?ta Sutta Barisan Kereta
« Reply #8 on: 07 August 2012, 08:03:50 AM »
Quote
Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala, meninggalkan Sāvatthī melalui pintu istana dalam, menaiki kereta pertama, dan dengan mengendarai kereta pertama ia akan tiba di kereta ke dua; kemudian ia akan turun dari kereta pertama dan naik ke kereta ke dua ...
kereta kedua dapat dinaiki setelah turun dari kereta pertama, itu artinya pemurnian pikiran dapat dicapai setelah menyempurnakan moralitas?
tanpa penyempurnaan moralitas maka mustahil untuk melatih pemurnian pikiran?
begitukah?
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

Offline hemayanti

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.477
  • Reputasi: 186
  • Gender: Female
  • Appamadena Sampadetha
Re: [ask] Rathavin?ta Sutta Barisan Kereta
« Reply #9 on: 07 August 2012, 08:42:09 AM »
Kesempurnaan moralitas
Quote
Sāmaññaphala Sutta
Buah Kehidupan Tanpa Rumah


[...]
43-62. ‘Dan bagaimanakah, Baginda, apakah seorang bhikkhu sempurna dalam moralitas? Tidak melakukan pembunuhan, ia berdiam menjauhi pembunuhan, tanpa tongkat atau pedang, cermat, berbelas kasihan, tergerak demi kesejahteraan semua makhluk hidup. Demikianlah ia sempurna dalam moralitas. Menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, … menghindari ketidaksucian, … (dan seterusnya untuk seluruh tiga bagian moralitas seperti pada DN 1, paragraf 1.8-27). Seorang bhikkhu menghindari keterampilan dan penghidupan salah demikian. Demikianlah ia sempurna dalam moralitas.’ [64-69].

63. ‘Dan kemudian, Baginda, bhikkhu itu, yang sempurna dalam moralitas, melihat tidak ada bahaya dari sisi mana pun juga, karena ia terkendali oleh moralitas. Bagaikan seorang Raja Khattiya yang dilantik dengan sah, setelah menaklukkan [70] musuhnya, dengan kenyataan tersebut melihat tidak ada bahaya dari sisi mana pun, demikian pula bhikkhu tersebut, karena moralitasnya, melihat tidak ada bahaya di mana pun juga. Ia mengalami dalam dirinya kebahagiaan tanpa cacat yang muncul dari memelihara moralitas Ariya ini. Dengan cara ini, Baginda, ia sempurna dalam moralitas.’

64. ‘Dan bagaimanakah, Baginda, apakah ia menjaga pintu-pintu indria? Di sini seorang bhikkhu, ketika melihat objek terlihat dengan mata, tidak menggenggam gambaran utama atau karakteristik sekundernya. Karena keserakahan dan penderitaan, kondisi-kondisi buruk yang tidak terampil, akan menguasainya jika ia berdiam dengan indria-mata tidak terjaga, maka ia berlatih untuk menjaganya, ia melindungi indria-mata, mengembangkan pengendalian pada indria-mata. Ketika mendengar suara dengan telinga, … ketika mencium bau dengan hidung, … ketika mengecap rasa dengan lidah, … ketika menyentuh objek sentuhan dengan badan, … ketika memikirkan suatu bentuk-pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam gambaran mayor atau karakteristik sekundernya … ia mengembangkan pengendalian pada indria-pikiran. Ia mengalami dalam dirinya kebahagiaan tanpa cacat yang muncul dari memelihara moralitas Ariya ini. Dengan cara ini, Baginda, ia sempurna dalam moralitas.
[...]
artinya bahwa kesempurnaan moralitas juga mencakup kemurnian pikiran yang berkaitan dengan tindakan kemoralan itu sendiri.
begitukan? ;D
kesempurnaan moralitas = kemurnian sila ??
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

Offline William_phang

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.101
  • Reputasi: 62
Re: [ask] Rathavin?ta Sutta Barisan Kereta
« Reply #10 on: 07 August 2012, 10:03:31 AM »
kereta kedua dapat dinaiki setelah turun dari kereta pertama, itu artinya pemurnian pikiran dapat dicapai setelah menyempurnakan moralitas?
tanpa penyempurnaan moralitas maka mustahil untuk melatih pemurnian pikiran?
begitukah?

Saya sependapat dengan pendapat ini, krn seorang pemasuk arus (sotapanna) katanya mempunyai moralitas yg tidak tercela. Jd sebelum merealisasikan arahant, pasti akan melewati sotapanna dulu dan moralitas sudah dimurnikan/sempurna..