Tampaknya contoh seperti apapun akan Anda bantah. Jadi aku pikr percuma menjelaskan pada Anda.
Kalau memang ada korelasi, mengapa saya harus bertanya lagi ? Justru karena saya
tidak mengerti baru saya bertanya, hanya ada 2 kemungkinan, kemungkinan pertama saya tidak sanggup mengerti, atau kemungkinan kedua anda tidak sanggup memberikan penjelasan/penjelasan anda mengada-ada..Jadi saya tidak tahu kemungkinan mana yang tepat/benar, biarkan orang lain yang menilainya..
Anehnya Anda menyinggung soal mampu atau tidak mampu dalam diskusi ini: tampaknya diskusi ini hanya soal uji kemampuan bagi Anda? Kalau itu maksud Anda berdiskusi dengan saya: aku ngaku kalah saja deh... dan Anda pemenangnya Selesai nggak
Seperti komentar saya diatas...Nah, anda melihatnya dari sisi yang negatif, jadi ya terserah Anda, toh pikiran anda adalah pikiran Anda...
Ini ukan soal urusan siapa, tapi siapa yang telah memperlakuan triratna seperti "tuhan baru". Tanya saja siapa ke forum ini, semoga ada yang mau mengaku
Nah, apakah anda sendiri merasa tidak memperlakukan "ajaran Buddha" sebagai "tuhan baru" ?
Kalau disebut jimat kenapa? Jimat kan fungsinya untuk melindungi?
Melindungi dalam arti apa ?
, jadi Anda sekarang beralih lagi bahwa jimat itu berfungsi melindungi ?Apakah sutra anda telah melindungi anda sehingga anda menjadi tidak peduli Buddha itu nyata atau tidak nyata, yakin dan tidak yakin dengan adanya Arahatta ?Sampai-sampai ngotot dengan "jalan yang anda tempuh yang anda sebut sebagai praktik BuddhaDhamma?"
Dan terimakasih, Anda sudah bersedia untuk berputar2 bersama saya. Anda berputar2 saya berputar2 juga. Apa salahnya?
Maka Sang Buddha berkata kepada Angulimala, " Saya telah lama berhenti, kamulah yang masih berlari." , jadi bro sobat tidak capek ni lari-lari ?
Nah, Anda terus memasakan lari ke figur. "Buddha" yang Anda maksud itu Buddha yang mana? Apakah Siddharta Gotama sebagai figur pribadi?
Saya tidak memaksakan figur apapun koq, yang memberi contoh soal figur kan itu Anda,
bukan saya, yang berasumsi soal figur itu juga Anda
bukan saya..bagi saya "Buddha = Buddha"...
Saddha saya ada pada praktik, dan saddha adalah bagian dari praktik saya, sedangkan praktik saya adalah saddha.
Oh gitu, ya sudah kal gitu.
Saddha adalah bagian dari praktik anda, sebelum muncul saddha anda, apakah anda langsung praktik ?Sebelum tahu sesuatu beracun atau tidak beracun, langsung anda makan ?wah...anda tipe pemberani yang bodoh kalau begitu ( kata dalam novel fiksi Harry Potter, berati anda Grifindor...pemberani tapi bodoh???)
Bukan kalimatnya, tapi motif di balik ketika kalimat itu diucapkan.
Dan setelah itu?Apakah motifnya menurut Anda ?Masih bermasalah atau mengarah ke asumsi pertama anda bahwa bro Adi "mengindolakan Buddha" ? ya atau tidak, dan tolong dijelaskan secara gamblang..
Nah, mana tahu. Setelah mengundang lalu Sag Buddha datang dan berbicara, barusan jelas apakah penilaiannya tehadap Sang Buddha nanti dikarenakan bias atau tidak. Kalauia mengatakan: " Sang Buddha hebat karena temanku mengatakannya hebat," itu bias. Tai kalau ia dapat melihat secara obyektif apa yang dikatakan oleh Sang Buddha tanpa dipengaruhi penilaiannya pada refernsi temannya, ya itu baru tidak bias.
tai juga kalau orang yang percaya referensi temannya dan bisa dipengaruhi seperti contoh anda sebelumnya, kalau tidak enak ya tidak enak, bagaimana mungkin bisa dipengaruhi menjadi enak ?itu mah namanya "g****k"..jadi "refernsi" itu menurut saya sama sekali tidak ada masalahnya, dan malah "referensi" itu sangat dibutuhkan untuk diselidiki kemudian dibuktikan, tidak seperti anjuran Anda yang mengimbau orang "makan" dulu baru "selidiki" >>> apakah cara anda mempelajari sutra Mahayana seperti begitu ? Telan dulu bulat-bulat semua sutranya baru selidiki ?Ini mah baru namanya kepercayaan membabi buta bagi saya...
Menyelidiki di sini, maksudnya "tanya teman". Tolong lhat konteks kalimat dan diskusi ketika itu.
Sama saja, tolong diperhatikan kata-kata didalam diskusi...Menyelidiki dengan bertanya dengan teman, bukan dengan anjuran anda yang "makan dlu(tidak peduli beracun atau tidak beracun), baru diselidiki ( kalau belum mati )..."
Ya, kala itu asumsi Anda. Apa boleh buat. Itukan asumsi Anda.
Kalau itu menurut Anda
sebagai asumsi saya, coba anda jelaskan
asumsi anda, dan dijawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan
asumsi Anda..
Oh gitu... Jadi "memercayai" dan "mengetahui" itu hal yang sama ya? Jadi ketika Anda percaya bahwa Arahat ada, saat itu jga Anda "mengetahui" Arahat itu ada. Sungguh keercayaan yang luar biasa, dapat menjadikan kepercayaan sebagai pengetahuan.
Jadi, kesimpulannya anda tidak mempercayai bahwa Buddha/Arahat itu nyata ? (sekali lagi mohon dijawab secara langsung )..
Oh 1 hal lagi, kalau anda suka membaca sutta-sutta, disana anda bakal melihat banyak para naga, para deva, para manusia yang percaya akan Buddha ( walau belum bertemu Buddha ) dan selalu menanti-nantikan Buddha, apakah menurut anda itu salah ?
Nah, kalau "menyelidiki" yang dimaksud di sini "harus tanya teman dulu" ya memang tidak perlu. Kalau menyeldiki dengan indera kita ya sudah otomatis terjadi tatkala makanan ada di depan mata, tanpa bisa ditolak.
Wah-wah, kalau anda tersesat di hutan bersama seorang "pemandu handal", kemudian anda lapar, dan kala itu disana adalah buah yang mengiurkan ( yang tampak tidak beracun), langsung anda ehipassiko ?tidak perlu tanya dulu kepada pemandu handalnya ?Persis seperti kisah Jataka...Si dungu yang sombong..
Tapi, bagaimana pun Bo Riky Dave sangat bijaksana loh Anda menang kok, saya mengaku kalah saja
Apakah praktik Sutra Mahayana masih mengajarkan "menang dan kalah" ? Sangat berbeda dengan sutta yang saya pelajari yang mengajarkan untuk meninggalkan "kedua sifat yang bercorak anicca" tersebut...
Ini tampaknya jadi integorasi. Semaki miripsaja dengan orang2 dari K. Bro Gandalf, Anda sungguh benar
Silakan dijawab, tidak perlu berbelit-belit..Thanks