Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (2)
Terjemahan Saṃyukta-āgama Kotbah 256 sampai 272
Bhikkhu Anālayo
Abstaksi
Artikel ini menerjemahkan jilid kedua dari Saṃyukta-āgama, yang mengandung kotbah 256 sampai 272.<1>
256. [Kotbah Pertama tentang Ketidaktahuan]<2>
Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita sedang berada di Gunung Puncak Burung Bangkai.
Kemudian, pada sore hari Yang Mulia [Mahā]koṭṭhita bangkit dari meditasi dan mendekati Yang Mulia Sāriputta. Setelah bertukar salam ramah tamah dan dengan berbagai cara mengungkapkan kegembiraan bersama mereka, Yang Mulia Mahākoṭṭhita mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi dan kemudian berkata kepada [Yang Mulia] Sāriputta: “Saya ingin menanyakan suatu pertanyaan. Apakah engkau memiliki waktu luang untuk berbicara denganku?”
Sāriputta berkata: “Berdasarkan apa yang akan engkau tanyakan, dengan mengetahuinya saya akan menjawab.”
Mahākoṭṭhita bertanya kepada Sāriputta: “Sehubungan dengan ketidaktahuan: Apakah ketidaktahuan? Siapakah yang memiliki ketidaktahuan ini?”
Sāriputta menjawab: [64c] “Seseorang yang tidak tahu disebut sebagai tidak memahami, seseorang yang tidak memahami adalah orang yang tidak tahu.”
[Mahākoṭṭhita bertanya lagi]: “Apakah yang tidak ia pahami?”
[Sāriputta berkata]: “Yaitu, tentang bentuk jasmani, yang tidak kekal, ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa bentuk jasmani adalah tidak kekal. Tentang bentuk jasmani, yang bersifat tidak bertahan [lama], ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa bentuk jasmani bersifat tidak bertahan [lama]. Tentang bentuk jasmani, yang bersifat muncul dan lenyap, ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa bentuk jasmani bersifat muncul dan lenyap.
“Tentang perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran... ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal. Tentang kesadaran, yang bersifat tidak bertahan [lama], ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa kesadaran bersifat tidak bertahan [lama]. Tentang kesadaran, yang bersifat muncul dan lenyap, ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa kesadaran bersifat muncul dan lenyap.
“Mahākoṭṭhita, tidak memahami lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagaimana adanya, tidak melihatnya, tidak memahaminya, tidak tahu, tumpul, dan tanpa pemahaman [sehubungan dengan ini] – ini disebut ketidaktahuan. Seseorang yang memenuhi [kondisi] ini disebut orang yang tidak tahu.”
[Mahākoṭṭhita] bertanya lagi: “Sāriputta, sehubungan dengan seseorang yang berpengetahuan: Apakah pengetahuan? Siapakah yang memiliki pengetahuan ini?”
[Sāriputta berkata]: “Yaitu,<3> tentang bentuk jasmani, yang tidak kekal, ia memahami sebagaimana adanya bahwa bentuk jasmani adalah tidak kekal. Tentang bentuk jasmani, yang bersifat tidak bertahan [lama], ia memahami sebagaimana adanya bahwa bentuk jasmani bersifat tidak bertahan [lama]. Tentang bentuk jasmani, yang bersifat muncul dan lenyap, ia memahami sebagaimana adanya bahwa bentuk jasmani bersifat muncul dan lenyap.
“Tentang perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran... ia memahami sebagaimana adanya bahwa perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal. Tentang kesadaran, yang bersifat tidak bertahan [lama], ia memahami sebagaimana adanya bahwa kesadaran bersifat tidak bertahan [lama]. Tentang kesadaran, yang bersifat muncul dan lenyap, ia memahami sebagaimana adanya bahwa kesadaran bersifat muncul dan lenyap.
“[Mahā]koṭṭhita, memahami lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagaimana adanya, melihatnya, memahaminya, menyadarinya, memiliki kebijaksanaan sehubungan dengannya, mengetahuinya – ini disebut berpengetahuan. Seseorang yang memenuhi kondisi ini disebut [orang yang] berpengetahuan.”
Kedua orang yang layak dihormati itu saling bergembira mendengarkan apa yang dikatakan satu sama lainnya, bangkit dari tempat duduk mereka dan kembali ke tempat kediaman mereka masing-masing.
257. [Kotbah Kedua tentang Ketidaktahuan]<4>
Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita sedang berada di Gunung Puncak Burung Bangkai.
Kemudian, pada sore hari [Yang Mulia] Mahākoṭṭhita bangkit dari meditasi dan mendekati Yang Mulia Sāriputta. Setelah bertukar salam ramah tamah dan dengan berbagai cara mengungkapkan kegembiraan bersama mereka, Yang Mulia Mahākoṭṭhita mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi dan kemudian berkata kepada [Yang Mulia] Sāriputta: “Saya ingin menanyakan suatu pertanyaan. Apakah engkau memiliki waktu luang untuk berbicara denganku?”
Sāriputta berkata: “Teman, engkat dapat bertanya, dengan mengetahuinya saya akan menjawab.”
Mahākoṭṭhita bertanya kepada Sāriputta: “Sehubungan dengan ketidaktahuan: Apakah ketidaktahuan? Siapakah yang memiliki ketidaktahuan ini?”
Sāriputta menjawab: “Seseorang yang tidak tahu disebut tidak memahami, seseorang yang tidak memahami adalah orang yang tidak tahu.”
[Mahākoṭṭhita bertanya lagi]: “Apakah yang tidak ia pahami?”
[Sāriputta berkata:] “Yaitu, ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani... munculnya bentuk jasmani... lenyapnya bentuk jasmani, [65a] dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan menuju lenyapnya bentuk jasmani. Ia tidak memahami sebagaimana adanya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran... munculnya kesadaran... lenyapnya kesadaran, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan menuju lenyapnya kesadaran.
“Mahākoṭṭhita, tidak memahami lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagaimana adanya, tidak melihatnya, tidak memahaminya, tidak tahu, tumpul, dan tanpa pemahaman [sehubungan dengan ini] – ini disebut ketidaktahuan. Seseorang yang memenuhi [kondisi] ini disebut orang yang tidak tahu.”
[Mahākoṭṭhita] bertanya kepada Sāriputta lagi: “Apakah pengetahuan? Siapakah yang memiliki pengetahuan ini?”
Sāriputta berkata: “Sehubungan dengan seseorang yang berpengetahuan, ia memahami. Seseorang yang memahami adalah [orang yang] berpengetahuan.”
[Mahākoṭṭhita] bertanya lagi: “Apakah yang ia pahami?”
Sāriputta berkata: “Ia memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani... munculnya bentuk jasmani... lenyapnya bentuk jasmani, dan ia memahami sebagaimana adanya jalan menuju lenyapnya bentuk jasmani. Ia memahami sebagaimana adanya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran... munculnya kesadaran... lenyapnya kesadaran, dan ia memahami sebagaimana adanya jalan menuju lenyapnya kesadaran.
“[Mahā]koṭṭhita, memahami lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagaimana adanya, melihatnya, memahaminya, menyadarinya, memiliki kebijaksanaan sehubungannya, mengetahuinya – ini disebut berpengetahuan. Seseorang yang memenuhi kondisi ini disebut [orang yang] berpengetahuan.”
Kedua orang yang layak dihormati itu saling bergembira mendengarkan apa yang dikatakan satu sama lainnya, bangkit dari tempat duduk mereka dan kembali ke tempat kediaman mereka masing-masing.
258. [Kotbah Ketiga tentang Ketidaktahuan]<5>
Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita sedang berada di Gunung Puncak Burung Bangkai.
Kemudian, pada sore hari Mahākoṭṭhita bangkit dari meditasi dan mendekati Sāriputta. Setelah bertukar salam ramah tamah dan dengan berbagai cara mengungkapkan kegembiraan bersama mereka, Mahākoṭṭhita mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi dan kemudian berkata kepada Sāriputta: “Saya ingin menanyakan suatu pertanyaan. Apakah engkau memiliki waktu luang untuk berbicara denganku?”
Sāriputta berkata: “Teman, engkat dapat bertanya, dengan mengetahuinya saya akan menjawab.”
Kemudian Mahākoṭṭhita berkata kepada Sāriputta: “Sehubungan dengan ketidaktahuan: Bagaimanakah seseorang tidak tahu? Siapakah yang memiliki ketidaktahuan ini?”
Sāriputta berkata: “Tidak memahami adalah ketidaktahuan.”
[Mahākoṭṭhita bertanya lagi]: “Tidak memahami apakah?”
[Sāriputta berkata]: “Yaitu, ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani... munculnya bentuk jasmani... lenyapnya bentuk jasmani... kepuasan dari bentuk jasmani... bahaya dalam bentuk jasmani... dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari bentuk jasmani.<6> Ia tidak memahami sebagaimana adanya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran... munculnya kesadaran... lenyapnya kesadaran... kepuasan dari kesadaran... bahaya dalam kesadaran... dan jalan keluar dari kesadaran.
“Mahākoṭṭhita, tidak memahami lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagaimana adanya, tidak melihatnya sebagaimana adanya, tidak memahaminya, tumpul dan tidak tahu [sehubungan dengan ini] – ini disebut ketidaktahuan. Seseorang yang memenuhi kondisi ini disebut orang yang tidak tahu.”
[Mahākoṭṭhita] bertanya lagi: “[Sehubungan dengan] seseorang yang berpengetahuan: Apakah pengetahuan? Siapakah yang memiliki pengetahuan ini?”
Sāriputta berkata: “Seseorang yang memahami adalah [orang yang] berpengetahuan.”
[Mahākoṭṭhita bertanya lagi]: “Apakah yang ia pahami?”
Sāriputta berkata: “Ia memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani... munculnya bentuk jasmani... lenyapnya bentuk jasmani... kepuasan dari bentuk jasmani... bahaya dalam bentuk jasmani... dan ia memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari bentuk jasmani.<7> Ia memahami sebagaimana adanya perasaan<8>... persepsi... bentukan... kesadaran... munculnya kesadaran [65b]... lenyapnya kesadaran... kepuasan dari kesadaran... bahaya dalam kesadaran... dan ia memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari kesadaran.
“Mahākoṭṭhita, memahami lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagaimana adanya, melihatnya sebagaimana adanya, memahaminya, menyadarinya, memiliki kebijaksanaan sehubungannya, mengetahuinya – ini disebut berpengetahuan.<9> Seseorang yang memenuhi [kondisi] ini disebut [orang yang] berpengetahuan.”
Kemudian kedua orang yang layak dihormati itu saling bergembira mendengarkan apa yang dikatakan satu sama lainnya dan pergi.
259. [Kotbah tentang Pemahaman]<10>
Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta dan [Yang Mulia] Mahākoṭṭhita sedang berada di Gunung Puncak Burung Bangkai.<11>
Kemudian, pada sore hari Mahākoṭṭhita bangkit dari meditasi dan mendekati Sāriputta. Setelah bertukar salam ramah tamah dan dengan berbagai cara mengungkapkan kegembiraan bersama mereka, Mahākoṭṭhita mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi dan kemudian berkata kepada Sāriputta: “Saya ingin menanyakan suatu pertanyaan. Apakah engkau memiliki waktu luang untuk berbicara denganku?”
Sāriputta berkata: “Teman, engkat dapat bertanya, dengan mengetahuinya saya akan menjawab.”
Kemudian Mahākoṭṭhita bertanya kepada Sāriputta: “Jika seorang bhikkhu, yang belum mencapai pemahaman Dharma,<12> berharap untuk memperoleh pemahaman Dharma, bagaimanakah ia dengan tekun mendapatkannya?<13> Kepada ajaran apakah yang seharusnya ia berikan pengamatan?”
Sāriputta berkata: “Jika seorang bhikkhu, yang belum mencapai pemahaman Dharma, berharap memperoleh pemahaman Dharma, ia seharusnya dengan bersemangat memberikan pengamatan pada lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai
dukkha, sebagai kosong, dan sebagai bukan diri.<14> Mengapa demikian? Karena adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang dengan bersemangat memberikan pengamatan pada lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini [dengan cara ini] mencapai realisasi buah pemasuk-arus.”<15>
[Mahākoṭṭhita] bertanya lagi: “Sāriputta, setelah mencapai realisasi buah pemasuk-arus dan berharap untuk mencapai realisasi buah yang-kembali-sekali, kepada ajaran apakah ia seharusnya berikan pengamatan?”
Sāriputta berkata: “[Mahā]koṭṭhita, setelah mencapai realisasi pemasuk-arus dan berharap untuk mencapai realisasi buah yang-kembali-sekali,<16> ia seharusnya juga dengan bersemangat memberikan pengamatan pada sifat lima kelompok unsur kehidupan sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai
dukkha, sebagai kosong, dan sebagai bukan diri.<17> Mengapa demikian? Karena adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang dengan bersemangat memberikan pengamatan pada lima kelompok unsur kehidupan ini [dengan cara ini] mencapai realisasi buah yang-kembali-sekali.”
Mahākoṭṭhita bertanya lagi kepada Sāriputta: “Setelah mencapai realisasi buah yang-kembali-sekali dan berharap untuk mencapai realisasi buah yang-tidak-kembali, kepada ajaran apakah ia seharusnya berikan pengamatan?”<18>
Sāriputta berkata: “[Mahā]koṭṭhita, setelah mencapai realisasi buah yang-kembali-sekali dan berharap untuk mencapai realisasi buah yang-tidak-kembali, ia seharusnya dengan bersemangat lagi memberikan pengamatan pada sifat lima kelompok unsur kehidupan sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai
dukkha, sebagai kosong, dan sebagai bukan diri.<19> Mengapa demikian? Karena adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang dengan bersemangat memberikan pengamatan pada lima kelompok unsur kehidupan ini [dengan cara ini] mencapai realisasi buah yang-tidak-kembali.”<20> [65c]
[Mahākoṭṭhita bertanya lagi kepada Sāriputta: “Setelah mencapai realisasi buah yang-tidak-kembali dan berharap untuk mencapai realisasi buah kearahantaan, kepada ajaran apakah ia seharusnya berikan pengamatan?”
Sāriputta berkata: “Mahākoṭṭhita, setelah mencapai realisasi buah yang-tidak-kembali] dan berharap untuk mencapai realisasi buah kearahantaan,<21> ia seharusnya dengan bersemangat lagi memberikan pengamatan pada sifat lima kelompok unsur kehidupan sebagai penyakit,<22> sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai
dukkha, sebagai kosong, dan sebagai bukan diri.<23> Mengapa demikian? Karena adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang dengan bersemangat memberikan pengamatan pada lima kelompok unsur kehidupan ini [dengan cara ini] mencapai realisasi buah kearahantaan.”
Mahākoṭṭhita bertanya lagi kepada Sāriputta: “Setelah mencapai realisasi buah, kepada ajaran apakah ia seharusnya lebih jauh berikan pengamatan?”<24>
Sāriputta berkata: “Mahākoṭṭhita, seorang arahant masih memberikan pengamatan pada sifat lima kelompok unsur kehidupan ini sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai
dukkha, sebagai kosong dan sebagai bukan diri.<25> Mengapa demikian? [Bukan] demi kepentingan mencapai apa yang belum dicapai,<26> demi kepentingan merealisasikan apa yang belum direalisasikan, [tetapi] demi kepentingan suatu kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini.”<27>
Kemudian kedua orang yang layak dihormati itu saling bergembira mendengarkan apa yang dikatakan satu sama lainnya dan pergi.
260. [Kotbah tentang Lenyapnya]<28>
Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu Yang Mulia Sāriputta mendekati Yang Mulia Ānanda.<29> Setelah bertukar salam ramah tamah, Yang Mulia Sāriputta mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi dan kemudian bertanya kepada Yang Mulia Ānanda: “Saya ingin menanyakan suatu pertanyaan. Teman, apakah engkau memiliki waktu luang untuk memberikanku jawabannya?”<30>
Ānanda berkata: “Teman, engkau dapat bertanya, dengan mengetahuinya saya akan menjawab.”
Sāriputta berkata: “Ānanda, sehubungan dengan seseorang yang telah [merealisasikan] lenyapnya: Apakah lenyapnya? Siapakah yang telah [merealisasikan] lenyapnya ini?”<31>
Ānanda berkata: “Sāriputta, lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati adalah hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, dari kehendak-kehendak sebelumnya.<32> Mereka adalah tidak kekal dan bersifat melenyap. Karena sifatnya yang melenyap, ini disebut lenyapnya. Apakah lima hal itu? Yaitu, kelompok bentuk jasmani yang dilekati adalah hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, dari kehendak-kehendak sebelumnya. Ia tidak kekal dan bersifat melenyap. Karena sifatnya yang melenyapnya, ini disebut lenyapnya.
Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, dari kehendak-kehendak sebelumnya. Ia tidak kekal dan bersifat melenyap. Karena sifatnya yang melenyap, ini disebut lenyapnya.”<33>
Sāriputta berkata: “Benar, benar, Ānanda, seperti yang engkau katakan: lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati adalah hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, dari kehendak-kehendak sebelumnya. Mereka adalah tidak kekal dan bersifat melenyap. Karena sifatnya yang melenyap, ini disebut lenyapnya. Apakah lima hal itu? Yaitu, kelompok bentuk jasmani yang dilekati adalah hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, dari kehendak-kehendak sebelumnya. Ia tidak kekal dan bersifat melenyap. Karena sifatnya yang melenyapnya, ini disebut lenyapnya.
Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, dari kehendak-kehendak sebelumnya. Ia tidak kekal dan bersifat melenyap. Karena sifatnya yang melenyap, ini disebut lenyapnya.
“Ānanda, jika lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati bukan hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, [66a] dari kehendak-kehendak sebelumnya, bagaimana mungkin mereka lenyap? Ānanda, karena lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati adalah hasil dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, dari kehendak-kehendak sebelumya, mereka tidak kekal dan bersifat melenyap. Karena sifatnya yang melenyap, ini disebut lenyapnya.”
Kemudian kedua orang yang layak dihormati itu saling bergembira mendengarkan apa yang dikatakan satu sama lainnya dan pergi.<34>