Coba kita telaah dgn jujur, diskusi ini mengarah kepada 'sikap' kita menjalankan sila/kemoralan, atau 'prinsip' dasar penetapan aturan main dr sistem moralitas/sila tsb???
*
Sebagai umat awam kita tahu bhw Pancasila Buddhis sifatnya bukan 'perintah' seperti di agama² tetangga. Namun bukan berarti ini merupakan alasan pembenaran pula. Vinaya bhikkhu/i yg jelas berupa larangan, pun ada potensi pelanggaran. Fakta² ini mengindikasikan bhw ini merupakan derajat dr sistem moralitas, sejauh mana mengikat kita. Kedisiplinan khan tumbuh-kembang sesuai dgn kondisnya yg pas...
*
Poin lain adalah, kita perlu menyamakan persepsi tata-bahasa kala berdiskusi, sehingga bisa mengeliminir banyak distorsi minor yg gak perlu, tapi bisa menjadi berabe... Kamma merupakan tindakan aktiv (kalimat aktiv dah istilahnya), melalui: bathin, ucapan, & aksi fisik/jasmani... Mengonsumsi segala bentuk produk yg melemahkan kewaspadaan bathin/jasmani, dgn segala cara ~ merupakan tindakan aktiv... Jelas beda dengan saat dibius (ada prefix "di") sebagai kata kerja pasiv...
Dari tata-bahasa, ini sudah jelas dua kasus yg gak bisa dibandingkan... Kata kerja aktiv & kata kerja pasiv...
Mengonsumsi benda demi pemuasan indera ~ jelas beda dgn mengonsumsi obat utk kesehatan fisik... Perkara jika timbul "alasan" pengobatan dgn minum arak obat, karena senang dgn aroma arak & rasanya; apakah pelanggaran? Sdh jelas jawabannya...
*
Ketika berbicara pada tatanan idealis (prinsip) sebuah barometer moralitas/sila, selayaknya tidak dicampuradukan dgn realitas sikap kita di dalam mempraktikkannya...
Ektrimnya saja: realisasi Nibbana (Asankhata Dhamma), apakah tidak terlalu idealis? Padam-totalnya: lobha, dosa, & moha... lho... Lha diajak ikut Diskusi Abhidhamma saja sudah nolak dgn alasan itu ilmu terlalu tinggi, rumit, dll... Apa bisa dipaksakan? Sikap & prinsip merupakan 2 hal yg berbeda...
*
Pancasila Buddhis merupakan pilar mayor moralitas Buddhis. Jika diibaratkan penyaring air, maka poin² kriteria/barometer dlm Pancasila seperti batu kerikil yg menyaring kotoran/sampah besar... Jika sebagai Buddhis awal, tentunya sikap praktik Dhamma kita cocok dgn saringan awal ini. Tapi coba kita lihat contohnya sila ke-3; paling rentan terjadi pembenaran bagi yg hendak memuaskan indera birahinya. Hubungan badan dgn PSK, khan bisa? Khan tidak terjerat kriteria² dr sila tsb?
Saat itu, 'sikap' bathin kita dlm praktik 'prinsip' akan sangat terlihat jelas... Pancasila sudah mirip dgn pengendara sepeda motor yg diancam tilang oleh polisi. Bukan pengendara sepeda-motor yg paham/ngerti akan prefentif cidera parah pd, jika terjadi kecelakaan. Sikap pengendara yg terakhir ini, bahkan jika sanksi/tilang tsb dicabut sekalipun, dia akan tetap mengenakan helm setiap saat, krn paham akan faedahnya...
Pancasila bukan pat²-gulipat kecerdasan, inovasi, & kreasi kita dlm breaking the codes. Namun pengembangan value bathin, sehingga tercapainya kesempurnaan moralitas... Hal ini tentunya jika perlu kita poles sehingga tdk jadi momok bagi pemula. Toh, sekali lagi, ini bukan perintah; tapi latihan kemoralan...
*
Saya sendiri sering jebol koq dlm mempraktikkan Pancasila, tapi bukan berarti hal ini membungkam saja ukt diskusi prinsip yg paling ideal... Di komunitas ini, justru diharapkan kita bisa saling: asah, asih, & asuh... Kita berjuang masing² secara mandiri di dalam kebersamaan...