aku coba jawab ya
Suatu "teori yang bisa diterima" itu sangat subjektif di tiap orang
aku kasih contoh :
bagi si A.. kebenaran bagi dia adalah klo kmu ga sholat ga puasa.. ga mungkin masuk surga (inilah teori yg dia terima dan dia anggap benar)
bagi si B kebenaran bagi dia adalah, tampa perlu sholat dan puasa asalkan percaya pada suatu sosok maka akan masuk surga (ini teori yg dia anggap benar)
bagi si C, tak perlu percaya pada suatu mahluk, asalkan berbuat baik akan masuk surga (ini teori yg dia anggap benar)
saat si D bertanya pada ke 3 org itu dia menemukan bahwa..kebenaran utk masuk surga sangatlah subjektif, si A laen, si B laen, si C laen..semuanya tergantung individu
itu yg awal dolo
terima kasih atas jawabannya, bro Ronald.
jika itu yang dimaksud dengan kebenaran subjektif, maka saya bisa memahaminya.
tetapi, dalam kasus tersebut kemungkinan bahwa si A, B, C dan D menggunakan alat ukur yang berbeda mengenai "siapa yang akan masuk sorga". Tapi bila masing-masing menjelaskan dengan alat ukur apa ia menentukan seseorang akan masuk sorga dan masuk neraka, maka itu bukan kebenaran subjektif lagi, melainkan kebenaran objektif.
misalnya,
Umat Islam menjadikan alquran sebagai alat ukur kebenaran.
umat kr****n menjadikan injil sebagai alat ukur kebenaran.
dan apa yang dijadikan alat ukur umat Buddha?
tetapi, alQuran saja, atau injil saja tidak bisa dipercaya sebagai alat ukur kebenaran. mengapa? karena tafsirannya yang amat berbeda-beda. sehingga muncullah berbagai macam mazhab atau aliran yang beragam karena perbedaan tafsiran tersebut. oleh karena itu, kemudian harus ada alat ukur untuk menimbang kebenaran suatu tafsiran. alat ukur yang disepakati sangat mungkin berbeda-beda. jika "kebenaran realatif" itu disebut subjektif, karena alat ukur yang dipergunakan berbeda-beda, maka saya bisa menerima adanya kebenaran subjektif tersebut. tapi, dengan menggunakan alat ukur yang sama, tidak ada kebenaran subjektif disitu.
seperti misalnya, bila saya mengatakan "Allah itu esa". hal ini tidak bisa dan tidak boleh dibantah oleh umat Islam. kenapa? karena antara saya dengan umat Islam menggunakan alat ukur yang sama untuk menilai suatu kebenaran, yaitu alQuran. sedangkan di dalam alQuran sudah jelas-jelas dinyatakan "Huwa Allahu ahad" yang artinya "Allah itu esa". Tapi, tentu saja kebenaran hal itu boleh dibantah dan boleh tidak diterima oleh umat Buddha yang tidak menggunakan alquran sebagai alat ukur. oleh karena itu, bila ingin mengukur suatu kebenaran bersama-sama umat buddha, tentu terlebih dahulu kita harus membicarakan "Apa yang hendak dijadikan alat ukur kebenaran nya?" Apakah tipitaka, ataukah realita.
dari sekian alat ukur yang berbeda-beda, ada alat ukur yang lebih universal, yaitu alam semesta. seperti bila saya mengatakan "setiap benda memiliki bentuk". Maka tidak bisa dan tidak boleh seorangpun membantah kebenaran ini, karena alat ukur kebenaran ini bukanlah alquran, bukan injil dan bukan pula Tipitaka, tapi realitas alam semesta. seandainya ada orang yang mengingkari kebenaran pernyataan tersebut, maka sangat mungkin orang itu tidak waras atau terlalu idiot, atau terkena doktrin takhayul.