Suatu "teori yang bisa diterima" itu sangat subjektif di tiap orang. Mengapa? Karena setiap orang punya pengalaman hidup yang berbeda sejak kecil sampai saat ini, sehingga semua informasi yang ditangkap indrianya akan dilogikai sesuai dengan persepsinya. Makanya kita bisa bertemu orang-orang yang sangat yakin dengan suatu teori, meskipun teori itu tidak masuk akal bagi orang lainnya.
Thread ini, lanjutan dari pembahasan mengenai kebenaran relatif yang dibahas di sini >> http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=20155.0;message=346094
diawali dengan apa yang disampaikan oleh bro Upasaka :
di sini saya tidak mengerti, apa yang dimaksud bro Upasaka dengan "subjektif". Jadi, saya bertanya, Apa maksud dari "teori yang bisa diterima" dan maksud dari "subjektif" tersebut? dan apa makna dari "dilogikai sesuai dengan persepsinya" ? apakah pandangan tersebut bertentangan dengan pandangan bahwa "teori yang bisa diterima" itu harus objektif ?
Adapun menurut pendapat saya, teori yang benar harus diterima oleh setiap orang yang berpikiran waras. di dalam teori yang benar, tidak ada unsur subjektif. Jika suatu kebenaran yang objektif diingkari, tidak berarti kebenaran itu subjektif, tetapi orang yang mengingkari itu mungkin belum mengerti, enggan mengerti atau justru tidak waras.
Dengan mengemukakan pandangan saya pribadi, saya tidak bermaksud membantah atau berdebat, tapi bermaksud untuk belajar. Jadi, silahkan bro Upasaka dan yang lainnya untuk menanggapi!
kalau saya sih meyakini tidak ada kebenaran obyektif. relatif2 semuanya...saya baca bukunya stephen hawking yang terbaru, ilmuwan mencari konsep fisika yang bisa pas untuk diterapkan pada semua keadaan dan sampai sekarang tidak ketemu (mau cari theory of everything), jadi fisikawan sekarang berpendapat bahwa realita itu hanya bergantung model yang kita anut saja (model dependent reality), jadi theory yang diusung sekarang adalah M-theory.....
jadi hukum2 fisika berlaku pada suatu set kondisi belum tentu bisa berlaku pada kondisi lain..
lha hukum2 fisika saja relatif apalagi yang berbau spiritual, sosial, ekonomi..dsb..
kalau saya sih meyakini tidak ada kebenaran obyektif. relatif2 semuanya...saya baca bukunya stephen hawking yang terbaru, ilmuwan mencari konsep fisika yang bisa pas untuk diterapkan pada semua keadaan dan sampai sekarang tidak ketemu (mau cari theory of everything), jadi fisikawan sekarang berpendapat bahwa realita itu hanya bergantung model yang kita anut saja (model dependent reality), jadi theory yang diusung sekarang adalah M-theory.....
jadi hukum2 fisika berlaku pada suatu set kondisi belum tentu bisa berlaku pada kondisi lain..
lha hukum2 fisika saja relatif apalagi yang berbau spiritual, sosial, ekonomi..dsb..
apakah pernyataan anda juga berlaku untuk Empat Kebenaran Mulia?
menurut saya iya....
Kebenaran itu objektif dan relatif itu saling berhubungan. Setiap fenomena bersifat relatif tergantung sebab dan akibat . Dan akibat selalu mengikuti sebab--Objektifitasnya. Contoh hukum kamma---objektif.
Kalau nibbana kata Bapa Buddha tidak lagi relatif tapi Mutlak--paramatha Dhamma dan asankatha Dhamma(dhamma yang tidak berkondisi).
jadi ketika dikatakan bahwa sumber dukkha adalah tanha dan avijja, anda punya versi kebenaran lain selain yg ini? bisa dijelaskan kebenaran lainnya itu? misalnya, sumber dukkha bukan tanha dan bukan avijja, tapi makanan.
menurut saya sumber dukkha juga relatif...Buddha juga tidak pernah bilang kapan dukkha mulai ada di jagad raya ini....kalau kapannya saja tidak diketahui, meyakini sesuatu adalah sumbernya juga tidak tepat...iya makanan juga dukkha. (makanan kuda?). disebut dukkha atau tidak dukkha juga relatif
Thread ini, lanjutan dari pembahasan mengenai kebenaran relatif yang dibahas di sini >> http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=20155.0;message=346094
diawali dengan apa yang disampaikan oleh bro Upasaka :
di sini saya tidak mengerti, apa yang dimaksud bro Upasaka dengan "subjektif". Jadi, saya bertanya, Apa maksud dari "teori yang bisa diterima" dan maksud dari "subjektif" tersebut? dan apa makna dari "dilogikai sesuai dengan persepsinya" ? apakah pandangan tersebut bertentangan dengan pandangan bahwa "teori yang bisa diterima" itu harus objektif ?
Adapun menurut pendapat saya, teori yang benar harus diterima oleh setiap orang yang berpikiran waras. di dalam teori yang benar, tidak ada unsur subjektif. Jika suatu kebenaran yang objektif diingkari, tidak berarti kebenaran itu subjektif, tetapi orang yang mengingkari itu mungkin belum mengerti, enggan mengerti atau justru tidak waras.
Dengan mengemukakan pandangan saya pribadi, saya tidak bermaksud membantah atau berdebat, tapi bermaksud untuk belajar. Jadi, silahkan bro Upasaka dan yang lainnya untuk menanggapi!
mari kita bahas secara bertahap, jangan melebar dulu, menurut anda apakah sumber dukkha yg lain itu? pertanyaan ini tidak ada hubungannya dengan kapan dukkha mulai ada di jagad raya ini. dukkha di sini adalah dukkha yg dialami oleh individu-individu seperti saya dan anda.
kemudian kebenaran yg lain, yaitu Kebenaran Mulia #3, lenyapnya Dukkha adalah padamnya tanha dan avijja (ie. Nibbana), apakah menurut anda ada lenyapnya dukkha yg lain pula? bisa dijelaskan?
hukum karma juga relatif..semua hukum2 kayak bija niyama dan kawan2nya juga relatif...menurut saya lho ini...
Thread ini, lanjutan dari pembahasan mengenai kebenaran relatif yang dibahas di sini >> http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=20155.0;message=346094
diawali dengan apa yang disampaikan oleh bro Upasaka :
di sini saya tidak mengerti, apa yang dimaksud bro Upasaka dengan "subjektif". Jadi, saya bertanya, Apa maksud dari "teori yang bisa diterima" dan maksud dari "subjektif" tersebut? dan apa makna dari "dilogikai sesuai dengan persepsinya" ? apakah pandangan tersebut bertentangan dengan pandangan bahwa "teori yang bisa diterima" itu harus objektif ?
Adapun menurut pendapat saya, teori yang benar harus diterima oleh setiap orang yang berpikiran waras. di dalam teori yang benar, tidak ada unsur subjektif. Jika suatu kebenaran yang objektif diingkari, tidak berarti kebenaran itu subjektif, tetapi orang yang mengingkari itu mungkin belum mengerti, enggan mengerti atau justru tidak waras.
Dengan mengemukakan pandangan saya pribadi, saya tidak bermaksud membantah atau berdebat, tapi bermaksud untuk belajar. Jadi, silahkan bro Upasaka dan yang lainnya untuk menanggapi!
Relatifnya dari sebab-sebab yang muncul sehingga dikuti oleh akibat. Tetapi dikatakan objektif yakni akibat-akibat yang muncul dari setiap sebab tidak mungkin melenceng dan adanya intervensi apapun. Dan hal ini bersifat kompleks. Oleh karena itu daku katakan objektif dan relatif saling berhubungan. Dan relatif hilang saat memasuk nibbana.
Jadi kebenaran relatif tidak mungkin berdiri sendiri jika tidak ada objektifitasnya.
aku coba jawab ya
Suatu "teori yang bisa diterima" itu sangat subjektif di tiap orang
aku kasih contoh :
bagi si A.. kebenaran bagi dia adalah klo kmu ga sholat ga puasa.. ga mungkin masuk surga (inilah teori yg dia terima dan dia anggap benar)
bagi si B kebenaran bagi dia adalah, tampa perlu sholat dan puasa asalkan percaya pada suatu sosok maka akan masuk surga (ini teori yg dia anggap benar)
bagi si C, tak perlu percaya pada suatu mahluk, asalkan berbuat baik akan masuk surga (ini teori yg dia anggap benar)
saat si D bertanya pada ke 3 org itu dia menemukan bahwa..kebenaran utk masuk surga sangatlah subjektif, si A laen, si B laen, si C laen..semuanya tergantung individu
itu yg awal dolo
nah selanjutnya
Suatu "teori yang bisa diterima" itu sangat subjektif di tiap orang. Mengapa? Karena setiap orang punya pengalaman hidup yang berbeda sejak kecil sampai saat ini, sehingga semua informasi yang ditangkap indrianya akan dilogikai sesuai dengan persepsinya. Makanya kita bisa bertemu orang-orang yang sangat yakin dengan suatu teori, meskipun teori itu tidak masuk akal bagi orang lainnya.
nah di sebelumnya sudah ada cotoh ttg subjektif... skrg ttg presepsi dlm kehidupannya sehari2
aku kasih contoh :
bagi org yg pernah melihat hantu (pengalaman hidup), dia yakin bahwa hantu itu ada...tp dia hanya bisa menjelaskan secara teori kpd org laen...dan bisa saja bagi org laen ini tdk masuk akal (krn seumur hidupnya dia tdk pernah lihat hantu)
hmm.. gemana?
hmm....relatif dengan yang relatif semuanya berinteraksi membangun seakan2 ada yang obyektif.....relatif tidk hilang karena sesungguhnya memang ga pernah ada
cuman ilusi semua....he2
kalau begitu kapan dukkha muncul? menurut saya sendiri, sesuatu yang munculnya tidak dijelaskan oleh Buddha, akhirnya pun tidak begitu dibahas oleh Buddha.....bahkan menurut saya dukkha dan akhir dukkha itu cuma sekedar ilusi...
sebaliknya, ternyata dalam samyutta Nikaya, pembahasan mengenai 4KM ini mendapat porsi 4 dari 5 buku SN yg kira2 totalnya hampir 2000 halaman. bahkan sesungguhnya semua ajaran Buddha adalah membahas tentang dukkha dan lenyapnya dukkha ini. bagaimana mungkin anda bisa mengatakan tidak begitu dibahas oleh Buddha?
ilusi itu hanya dalam pandangan anda, jadi bukan kebenaran itu yg relatif.
misalnya kita tahu ada matahari bersinar di siang hari, tapi seseorang yg buta sejak lahir akan mengatakan bahwa tidak ada yg disebut matahari. anggapan si buta ini bukanlah disebut kebenaran bahkan kebenaran relatif pun tidak, tapi si buta itu disebut berpandangan salah. tapi matahari bersinar di siang hari adalah kebenaran, walaupun ini sifatnya masih relatif jika dibandingkan dengan 4KM.
Dalam pandangan manusia di Bumi, Matahari bersinar di siang hari. Dalam pandangan astronot yang melihat Matahari di angkasa luar, Matahari selalu bersinar; tidak peduli di Bumi siang atau malam. ;D
Kebenaran itu selalu objektif dan apa adanya tetapi persepsi yang membuat semua fenomena menjadi subjektif ataupun objektif.
aku coba jawab ya
Suatu "teori yang bisa diterima" itu sangat subjektif di tiap orang
aku kasih contoh :
bagi si A.. kebenaran bagi dia adalah klo kmu ga sholat ga puasa.. ga mungkin masuk surga (inilah teori yg dia terima dan dia anggap benar)
bagi si B kebenaran bagi dia adalah, tampa perlu sholat dan puasa asalkan percaya pada suatu sosok maka akan masuk surga (ini teori yg dia anggap benar)
bagi si C, tak perlu percaya pada suatu mahluk, asalkan berbuat baik akan masuk surga (ini teori yg dia anggap benar)
saat si D bertanya pada ke 3 org itu dia menemukan bahwa..kebenaran utk masuk surga sangatlah subjektif, si A laen, si B laen, si C laen..semuanya tergantung individu
itu yg awal dolo
Sebelum membahas sampai kebenaran yang objektif atau subjektif, mari kita batasi pembahasan hanya sampai pada "dasar sebuah teori atau pendapat dapat diterima". Sebuah teori atau pendapat, hanyalah sebuah produk pikiran yang berusaha menjelaskan suatu proses atau fakta. Kemukakanlah teori atau pendapat Anda, dan saya serta teman-teman lainnya akan mengemukakan teori dan pendapat masing-masing. Coba periksa:
- berapa banyak teori atau pendapat yang sejalan?
- berapa banyak teori atau pendapat yang tidak sejalan?
- berapa banyak teori atau pendapat yang sejalan, namun diskusi justru malah ricuh?
- berapa banyak teori atau pendapat yang tidak sejalan, namun diskusi justru tidak ricuh?
Coba perhatikan bagaimana cara kerja pikiran manusia hingga bisa menghadirkan 4 poin di atas. Pendapat Anda di postingan selanjutnya akan saya hargai!
hmm,,,saya punya pendapat demikian karena saya belum bisa membuktikan bahwa orang buta itu bener2 ada....bisa saja apa yang saya alami sehari2 hanya ciptaan pikiran saya.....seandainya ada orang lain yang bisa membuktikan bahwa memang dirinya ada, orang buta itu ada, matahari itu ada, pembuktian beserta orang yang membuktikan itu hanyalah ciptaan pikiran saya belaka...
pas saya mimpi berbicara dengan teman, saya sendiri tidak bisa menebak isi pikiran teman itu, padahal jelas2 isi pikiran dan dialog teman saya itu cuma bikinan pikiran saya....jadi hal itu saya kembangkan sampai di hidup sehari2.... ;D
yang saya maksud Buddha tidak menjelaskan kapan dukkha muncul, manusia pertama yang mengalami dukkha muncul, atau arahat pertama ada, atau juga keadaan arahat yang parinibbana bagaimana tidak diceritakan....kalau tentang cara2 untuk bahagia dan bebas dari dukkha menurut saya si bagus2 saja.....tapi tentang yang mutlak Buddha tidak pernah cerita...
tapi pak ntar saya baca2 lagi ttg 4 KM...di atas kan pendapat pribadi...hehe..thanks
ketika sesuatu realitas terbentuk di depan kita, misalnya muncul seorang buta di hadapan kita, maka kita dapat mengatakan bahwa "orang buta teryata sungguh2 ada" dan tidak ada seorangpun yg dapat membantah pernyataan itu, karena hal itu adalah benar, pembuktian apa lagi yg anda butuhkan, jika fakta telah ada di hadapan anda? ingat ini adalah contoh kasus sederhana dari kebenaran, tidak perlu menggunakan filsafat yg rumit.
secara kebenaran konvensional bahwa Mahadeva ada, itu adalah fakta benar, kecuali anda adalah klonengan yg saya yakin bukan. dan kebenaran ini cukup objektif walaupun belum dapat dikatakan mutlak.
banyak teori yang sejalan
banyak teori yang tidak sejalan
banyak teori yang sejalan, tapi diskusi malah ricuh << ini bukan disebabkan oleh subjektifitas, tapi karena kesalah fahaman akibat keterbatasn bahasa.
banyak teori yang tidak sejalan, tapi diskusi tidak ricuh << ini disebabkan oleh sikap toleransi atau sikap saling menghargai perbedaan pendapat, tidak ada kaitannya dengan subjektifitas atau objektifitas.
semua orang setuju kalau orang buta itu ada juga ciptaan pikiran saya....saya juga belum bisa masuk ke pikiran orang yang setuju itu dan melihat dengan mata dan dilandasi kesadaran orang itu...(seandainya bisa pun, diri saya yang sebelumnya pun belum bisa dibuktikan ada bersamaan dengan orang itu)....hehe...
tapi saya mikir2 sendiri, lama2 gila juga kalau ide saya ini saya teruskan terus.....saya cek di wiki, solipsisme syndrome susah diobati dan banyak diderita astronot....(tapi belum dimasukan gangguan jiwa dalam DSM-IV kayaknya)
jadi ga seru kalau tau semuanya hanya ciptaan pikiran sendiri...(ketidak seruan itu pun ciptaan pikiran saya sendiri)
tapi Buddhisme itu seru kok....
jika seorang buta muncul di hadapan anda dan anda bilang bahwa si buta itu adalah ciptaan anda, tentu saja anda akan di anggap sakit
haha....(termasuk yang menganggap saya sakit juga ciptaan pikiran saya)
menurut saya iya....
Saya memang tidak membahas subjektifitas terhadap objektifitas. Saya hanya mengarahkan Bro ke arah jawaban yang sudah dijawab Bro The Ronald. Intinya, setiap orang merangkai informasi yang berbeda; sehingga melahirkan pendapat yang berbeda. Pendapat yang berbeda menunjukkan bahwa sebuah teori itu sangat subjektif.
Saya membahas topik tentang "teori", bukan membahas topik tentang "kebenaran".
iya. saya ngerti bro ... anda sedang membahas teori. dan saya sedikit membahas tentang "teori yang benar". saya percaya, anda punya pemahaman yang bijak tentang segala sesuatunya. saya sekedar khawatir dengan pandangan umat yang seringkali berlebih-lebihan tentang relatifitas. sebagaimana Anda melihat contohnya secara langsung pada Bro Mahadeva. cara pandang seperti bro Mahadeva itulah yang saya sebut "Tafsiran yang keliru dan berlebihan tentang kebenaran relatif".
iya. saya ngerti bro ... anda sedang membahas teori. dan saya sedikit membahas tentang "teori yang benar". saya percaya, anda punya pemahaman yang bijak tentang segala sesuatunya. saya sekedar khawatir dengan pandangan umat yang seringkali berlebih-lebihan tentang relatifitas. sebagaimana Anda melihat contohnya secara langsung pada Bro Mahadeva. cara pandang seperti bro Mahadeva itulah yang saya sebut "Tafsiran yang keliru dan berlebihan tentang kebenaran relatif".
;D Mengenai "teori yang benar", sebenarnya ini sangat menarik. Karena saya sangat yakin setiap hari kita selalu membuat teori yang salah. Ada komentar mengapa hal ini bisa terjadi?
dan apa yang dijadikan alat ukur umat Buddha?
oleh karena itu, bila ingin mengukur suatu kebenaran bersama-sama umat buddha, tentu terlebih dahulu kita harus membicarakan "Apa yang hendak dijadikan alat ukur kebenaran nya?" Apakah tipitaka, ataukah realita.
terima kasih atas jawabannya, bro Ronald.
jika itu yang dimaksud dengan kebenaran subjektif, maka saya bisa memahaminya.
tetapi, dalam kasus tersebut kemungkinan bahwa si A, B, C dan D menggunakan alat ukur yang berbeda mengenai "siapa yang akan masuk sorga". Tapi bila masing-masing menjelaskan dengan alat ukur apa ia menentukan seseorang akan masuk sorga dan masuk neraka, maka itu bukan kebenaran subjektif lagi, melainkan kebenaran objektif.
misalnya,
Umat Islam menjadikan alquran sebagai alat ukur kebenaran.
umat kr****n menjadikan injil sebagai alat ukur kebenaran.
dan apa yang dijadikan alat ukur umat Buddha?
tetapi, alQuran saja, atau injil saja tidak bisa dipercaya sebagai alat ukur kebenaran. mengapa? karena tafsirannya yang amat berbeda-beda. sehingga muncullah berbagai macam mazhab atau aliran yang beragam karena perbedaan tafsiran tersebut. oleh karena itu, kemudian harus ada alat ukur untuk menimbang kebenaran suatu tafsiran. alat ukur yang disepakati sangat mungkin berbeda-beda. jika "kebenaran realatif" itu disebut subjektif, karena alat ukur yang dipergunakan berbeda-beda, maka saya bisa menerima adanya kebenaran subjektif tersebut. tapi, dengan menggunakan alat ukur yang sama, tidak ada kebenaran subjektif disitu.
seperti misalnya, bila saya mengatakan "Allah itu esa". hal ini tidak bisa dan tidak boleh dibantah oleh umat Islam. kenapa? karena antara saya dengan umat Islam menggunakan alat ukur yang sama untuk menilai suatu kebenaran, yaitu alQuran. sedangkan di dalam alQuran sudah jelas-jelas dinyatakan "Huwa Allahu ahad" yang artinya "Allah itu esa". Tapi, tentu saja kebenaran hal itu boleh dibantah dan boleh tidak diterima oleh umat Buddha yang tidak menggunakan alquran sebagai alat ukur. oleh karena itu, bila ingin mengukur suatu kebenaran bersama-sama umat buddha, tentu terlebih dahulu kita harus membicarakan "Apa yang hendak dijadikan alat ukur kebenaran nya?" Apakah tipitaka, ataukah realita.
dari sekian alat ukur yang berbeda-beda, ada alat ukur yang lebih universal, yaitu alam semesta. seperti bila saya mengatakan "setiap benda memiliki bentuk". Maka tidak bisa dan tidak boleh seorangpun membantah kebenaran ini, karena alat ukur kebenaran ini bukanlah alquran, bukan injil dan bukan pula Tipitaka, tapi realitas alam semesta. seandainya ada orang yang mengingkari kebenaran pernyataan tersebut, maka sangat mungkin orang itu tidak waras atau terlalu idiot, atau terkena doktrin takhayul.
dan apa yang dijadikan alat ukur umat Buddha?
oleh karena itu, bila ingin mengukur suatu kebenaran bersama-sama umat buddha, tentu terlebih dahulu kita harus membicarakan "Apa yang hendak dijadikan alat ukur kebenaran nya?" Apakah tipitaka, ataukah realita.
teori yang salah muncul karena cara berpikir yang salah.
cara berpikir yang salah karena kecenderungan mental yang salah.
kecenderungan mental yang salah karena nafsu keinginan
nafsu keinginan karena kemelekatan
dan kemelekatan timbul karena kebodohan batin
jadi, kebodohan batin itulah yang menjadi sebab munculnya teori yang salah
Jadi menurut Anda, ketika sudah tidak memiliki kebodohan batin; maka semua teori yang diutarakan tidak pernah ada yang salah lagi?
klo aku pribadi make ke 2-2nya tipitaka dan realita, so far ok -ok aja
betul.
o ya. tapi saya ingat, di dalam sebuah sutta ada diceritakan seorang bikkhu yang telah mencapai kesucian, tapi masih salah dalam memberikan bimbingan kepada seorang umat awam. Ia mengarahkan seorang pemuda pada objek meditasi yang tidak tepat. kemudian sang buddha menunjukan objek meditasi yang lebih tepat untuk sang pemuda.
saya tidak mengetahui, apakah dalam budhisme bikkhu tersebut masih digolongkan "memiliki kebodohan batin" atau tidak. tapi, dalam keyakinan saya pribadi, bila kebodohan batin itu telah lenyap sepenuhnya, maka pemikiran-pemikiran yang salah, atau teori-teori yang salah tidak bisa lagi muncul lagi.
Nah, itu dia. Saya juga mau mengungkit kisah ini tadinya... Dalam Buddhisme, seorang Arahanta tentu saja tidak memiliki kebodohan batin. Tapi seorang Arahanta masih bisa melakukan kesalahan: misalnya kesalahan dalam memberikan bimbingan teori ataupun penjelasan. Bahkan saya yakin seorang Arahanta tidak selalu lebih bijaksana daripada motivator-motivator yang sering Anda lihat di televisi itu.
Kebijaksanaan seorang Arahanta hanya dinilai dari ketidak-melekatannya pada dunia dan nafsu indria.
Nah, itu dia. Saya juga mau mengungkit kisah ini tadinya... Dalam Buddhisme, seorang Arahanta tentu saja tidak memiliki kebodohan batin. Tapi seorang Arahanta masih bisa melakukan kesalahan: misalnya kesalahan dalam memberikan bimbingan teori ataupun penjelasan. Bahkan saya yakin seorang Arahanta tidak selalu lebih bijaksana daripada motivator-motivator yang sering Anda lihat di televisi itu.
Apa artinya kebijaksanaan motivator (masih melekat pada dunia dan nafsu indria) kadang bisa lebih atau sama atau kurang dgn Arahanta (yg tidak melekat ketidak-melekatannya pada dunia dan nafsu indria.)?
Kembali ke Alat Ukur nya, Bro.
Kalo kita hendak menjadikan Sutta sebagai alat ukur kebenarannya, maka yang benar adalah "Seorang arahatapun masih bisa salah" Dan JIka benar seorang arahata sudah tidak memiliki kebodohan batin, maka salah bahwa seseorang yang sudah tidak memiliki kebodohan batin sudah tidak memunculkan teori yang salah lagi.
dan bila yang menjadi alat ukurnya adalah keyakinan kita masing-masing, maka yang benar adalah menurut pendapat kita masing-masing.
tetapi, di atas sutta dan diatas keyakinan kita masing-masing, ada kebenaran yang lebih universal, yaitu realitas. masalahnya, saya belumlah sampai pada kedudukan arahata, sehingga tidak dapat memastikan bagaimana sesungguhnya dari kondisi suatu arahata itu.
yang tertinggal sekarang, dari keseluruhan alat ukur adalah kebenaran logika, di mana premis-premisnya merupakan realitas-realitas yang bisa kita lihat secara langsung saat ini di sini, sebelum kita menjadi seorang arahata. artinya, untuk memahami bagaimana kondisi seorang arahata itu bisa dengan cara lain selain dengan langsung menjadi arahata itu sendiri. dengan cara apa? yaitu dengan logika akan hal-hal realistis. sesungguhnya dari logika itulah munculnya keyakinan saya.
tapi, masalahnya lagi. Logika adalah alat ukur kebenaran yang belum kita mufakati. Dengan demikian, pembahasan mengenai bagaimana sesungguhnya kondisi seorang arahata secara logika tidak akan dan tidak perlu saya bahas lebih lanjut. Bila, alat ukurnya belum dimufakati, maka nantinya akan muncul kebenaran-kebenaran yang berkesan "sangat subjektif".
Saya hanya akan menjawab soal "logika" di atas. Karena saya sudah menjawab separuh di postingan sebelumnya... Menjadikan ilmu terapan logika sebagai satuan penguji kebenaran teori tidak selalu tepat. Karena logika sendiri merupakan ilmu terapan antar premis yang meletakkan premis-premisnya ke dalam substansi lingual. Jika kebenaran yang diuji adalah hal yang di luar substansi lingual, maka hasil penerapan ilmu logika tidak bisa disahkan.
benar bro.
benar bahwa "Menjadikan ilmu terapan logika sebagai satuan penguji kebenaran teori tidak selalu tepat". tapi persoalan-persoalan logika selalu tepat diukur dengan ilmu terapan logika.
di dunia ini, banyak sekali persoalan yang harus diatasi dengan berbagai disiplin ilmu. jika kita tidak dapat menyelesaikannya secara bersamaan, maka kita harus menyelesaikannya satu persatu.
kebenaran sejati tentang bagaimana sesungguhnya dari suatu kondisi arahat, sudah tentu tidak akan dapat diketahui secara pasti kecuali oleh orang yang mencapai kearahatan itu sendiri. tetapi, kebenaran logika dapat diketahui secara pasti oleh orang yang menggunakan logika. selama logika hanya digunakan untuk menguji kebenaran logic, dan bukan untuk menguji kebenaran sejati, maka ilmu terapan logika selalu tepat untuk digunakan sebagai alat uji kebenaran pernyataan-pernyataan logic.
Secara praktis, seharusnya ilmu logika memang bisa menjadi satuan yang akurat untuk hal-hal dalam tataran lingual. Namun pada praktiknya, ilmu logika hanyalah sebuah alat (metode); sedangkan yang melakukan pengukuran atau pengujian adalah orang. Setiap orang bisa memiliki premisnya masing-masing. Kalau sudah terjadi begini, ini namanya "cape deh". ;D
logika adalah alat pengukur kebenaran logic seperti halnya meteran yang digunakan untuk mengukur panjang. sebagaimana satuan menter, logika juga bertaraf internasional tetapi tidak terdaftar di dalam satuan ukur baku SI.
Masalahnya, pada saat ini, Logika masih merupakan "peralatan yang mahal dan langka". oleh karena itu, masih terlalu sulit menggunakan logika sebagai alat ukur. Jadi, bukan karena orang memiliki premi yang berbeda-beda yang menyebabkan "cape deh", tapi karena langka nya ilmu ini di dunia saat ini, utamanya di Indonesia.
banyak orang yang mengaku memiliki alat ukur logika, tetapi kebanyak palsu. Ini menjadi tambahan masalah. sudah langka, sekalinya ditemukan, palsu lagi. maka selanjutnya, yang saya tawarkan adalah "alat ukur logika" yang saya miliki dan yang saya klaim asli. Silahkan anda mencoba!
tetapi, saya akui bahwa menggunakan alat ukur logika untuk menguraikan kebenaran-kebenaran logic, kendatipun merupakan alat ukur logika yang asli, itu akan membawa orang pada praktik berpikir yang melelahkan. Logika akan mengajak seseorang untuk berpikir sangat detail, seperti detailnya kita mengamati segala sesuatu di dalam vippassana. oleh karena itu, alat ukur logika ini mustahil dapat digunakan oleh orang yang berkemampun mental rendah, melainkan mensyarakat sesorang yang memiliki kemampuan mental yang cukup tinggi, setidaknya memiliki ketenangan, kejernihan pikiran, kejujuran, serta kemampuan mengingat keterkaitan satu hal dengan hal lainnya.
Logika adalah ilmu (metode). Ada yang ahli menggunakannya, ada yang tidak. Tingkat keahlian tiap orang dalam menggunakan ilmu logika pun berbeda-beda. Karenanya, kesimpulan logika yang didapat tiap orang juga bisa berbeda. Contohnya: Jika Anda menganggap diri Anda paling ahli menggunakan ilmu logika di dunia ini, wajar kalau ngotot pendapat Anda adalah yang benar. Begitu loh, Bro.
benar bro. benar bahwa jika saya menganggap diri saya paling ahli dalam ilmu logika di dunia, wajar kalo saya menganggap pendapat saya adalah yang benar.
tetapi, bila saya hendak berbicara dengan anda, maka dasar ilmunya bukanlah "anggapan saya". tapi kembali kepada pertanyaan "apa tolak ukur" yang hendak kita gunakan ?
karena "anggapan saya" tidak atau belum dimufakati sebagai "tolak ukur" dari kebenaran yang kita diskusikan, maka hendaknya kita sama-sama abaikan saja apa yang menjadi anggapan saya. dalam arti kendatipun saya menganggap pendapat saya benar, tapi saya tidak berpikir "anda harus menganggap benar terhadap anggapan saya". karena saya tau, tolak ukur kebenarannya bukanlah "anggapan saya".
logika adalah alat pengukur kebenaran logic seperti halnya meteran yang digunakan untuk mengukur panjang. sebagaimana satuan menter, logika juga bertaraf internasional tetapi tidak terdaftar di dalam satuan ukur baku SI.
Masalahnya, pada saat ini, Logika masih merupakan "peralatan yang mahal dan langka". oleh karena itu, masih terlalu sulit menggunakan logika sebagai alat ukur. Jadi, bukan karena orang memiliki premi yang berbeda-beda yang menyebabkan "cape deh", tapi karena langka nya ilmu ini di dunia saat ini, utamanya di Indonesia.
banyak orang yang mengaku memiliki alat ukur logika, tetapi kebanyak palsu. Ini menjadi tambahan masalah. sudah langka, sekalinya ditemukan, palsu lagi. maka selanjutnya, yang saya tawarkan adalah "alat ukur logika" yang saya miliki dan yang saya klaim asli. Silahkan anda mencoba!
tetapi, saya akui bahwa menggunakan alat ukur logika untuk menguraikan kebenaran-kebenaran logic, kendatipun merupakan alat ukur logika yang asli, itu akan membawa orang pada praktik berpikir yang melelahkan. Logika akan mengajak seseorang untuk berpikir sangat detail, seperti detailnya kita mengamati segala sesuatu di dalam vippassana. oleh karena itu, alat ukur logika ini mustahil dapat digunakan oleh orang yang berkemampun mental rendah, melainkan mensyarakat sesorang yang memiliki kemampuan mental yang cukup tinggi, setidaknya memiliki ketenangan, kejernihan pikiran, kejujuran, serta kemampuan mengingat keterkaitan satu hal dengan hal lainnya.
kalau sudah ke tahap ini, sptnya sudah harus ke dokter
IMO logika bukan lah sebagai alat ukur, tapi cara untuk membantu mencari jawaban yang bagi individual (pikiran kita) dapat di terima, dan logika tidak dapat dikatakan benar, jika logika dapat di gunakan sebagai patokan kebenaran, seorang yang berkemampuan bermental rendah pun dapat menggunakan.
dan logika bukan hanya untuk orang yang memiliki kemampuan dan mental yang cukup tinggi, karena setiap orang mempunyai cara berpikir dengan logika.
jika memang logika dapat di gunakan sebagai alat ukur tolong jawab pertanyaan ini:
sehabis makan nasi pasti kenyang , menurut anda apakah penyataan ini benar? _/\_
[at] satria
Hal-hal apa sajakah yang bisa diukur dengan logika?
menurut Logika, pernyataan tersebut tidak bernilai benar maupun salah. karena untuk bisa memiliki nilai benar atau salah, sebuah pernyataan harus memiliki argumentasi. tanpa argumentasi, outputny = "tidak bernilai apapun".jika anda berpikir dengan logika pasti anda sudah dapat menjawab pertanyaan saya di atas tanpa mengeluarkan pernyataan atau statment karena logika adalah cara menjawab
jadi, jika dikatakan "sehabis makan nasi pasti kenyang". lha, argumentasinya apa?
menurut Logika, pernyataan tersebut tidak bernilai benar maupun salah. karena untuk bisa memiliki nilai benar atau salah, sebuah pernyataan harus memiliki argumentasi. tanpa argumentasi, outputny = "tidak bernilai apapun".
jadi, jika dikatakan "sehabis makan nasi pasti kenyang". lha, argumentasinya apa?
gak juga a..tergantung nasinya berapa banyak..klo sebutir... dimakan sama manusia yah gak kenyang.... , klo ama seekor semut mungkin kenyang kale...
jika anda berpikir dengan logika pasti anda sudah dapat menjawab pertanyaan saya di atas tanpa mengeluarkan pernyataan atau statment karena logika adalah cara menjawab
bisa anda contohkan pertanyaan bagaimana yang memiliki argumentasi
benar bro. benar bahwa jika saya menganggap diri saya paling ahli dalam ilmu logika di dunia, wajar kalo saya menganggap pendapat saya adalah yang benar.
tetapi, bila saya hendak berbicara dengan anda, maka dasar ilmunya bukanlah "anggapan saya". tapi kembali kepada pertanyaan "apa tolak ukur" yang hendak kita gunakan ?
karena "anggapan saya" tidak atau belum dimufakati sebagai "tolak ukur" dari kebenaran yang kita diskusikan, maka hendaknya kita sama-sama abaikan saja apa yang menjadi anggapan saya. dalam arti kendatipun saya menganggap pendapat saya benar, tapi saya tidak berpikir "anda harus menganggap benar terhadap anggapan saya". karena saya tau, tolak ukur kebenarannya bukanlah "anggapan saya".
dari postingan anda di atas , bukankah anda yang mengangkat pembahasan mengenail logika? dan anda adalah orang yang ahli dalam logika oleh sebab itu saya bertanya
YA. saya yang memulai pembicaraan tentang Logika. Mulanya saya berdiskusi dengan sdr. Upasaka. Tapi sekarang saya berdiskusi dengan Anda. Anda dengan sdr. Upasaka itu tidak sama dalam cara dan taraf berpikirnya. kita semua memiliki taraf berpikir yang berbeda-beda. saya sudah cukup mengenal karakteristik dan cara berpikir sdr. Upasaka. Jadi, setidaknya saya bisa lebih mengetahui materi pembahasan mana yang bisa saya angkat untuk didiskusikan dengan sdr. Upasaka. sedangkan untuk Anda, saya belum begitu mengenal karakteristik dan cara berpikir anda, oleh karenanya saya harus mundur selangkah untuk memahami terlebih dahulu, materi pembahasan seperti apa yang cocok untuk saya diskusikan dengan anda.Sebagusnya dilanjutkan saja. Apakah kebenaran objektif dengan logika hanya bisa dipahami bro upasaka? Saya tertarik sekali ingin belajar.
demikianlah!
Sebagusnya dilanjutkan saja. Apakah kebenaran objektif dengan logika hanya bisa dipahami bro upasaka? Saya tertarik sekali ingin belajar.
Bagaimanakah barometer logika mengukur kebenaran tentang perkataan sang buddha bahwa jasmani dan batin bukan diri?
Sebagusnya dilanjutkan saja. Apakah kebenaran objektif dengan logika hanya bisa dipahami bro upasaka? Saya tertarik sekali ingin belajar.
Bagaimanakah barometer logika mengukur kebenaran tentang perkataan sang buddha bahwa jasmani dan batin bukan diri?
Kepada para bhikkhu tersebut, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, seorang brahmana sejati tidak akan memukul brahmana sejati lainnya; hanya orang biasa maupun brahmana biasa yang akan memukul seorang arahat dengan kemarahan dan itikad jahat. Itikad jahat ini akan dilenyapkan oleh seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian anagami".
Saya ingin bro satria membantu menguraikan ini dengan logika yang bro sebut.
Bagaimanakah barometer logika mengukur kebenaran tentang perkataan sang buddha bahwa jasmani dan batin bukan diri?
Sebagusnya dilanjutkan saja. Apakah kebenaran objektif dengan logika hanya bisa dipahami bro upasaka? Saya tertarik sekali ingin belajar.
Bagaimanakah barometer logika mengukur kebenaran tentang perkataan sang buddha bahwa jasmani dan batin bukan diri?
dalam perkataan "Jasmani dan batin bukan diri" sebenarnya terdapat dua pernyataan.Dalam tahap ini, persepsi tiap orang sudah berbeda.
Aturan pertama di dalam Logika, untuk bisa memahami segala sesuatu itu adalah melalui pengertian dari masing-masing term.
di dalam kalimat yang pertama itu terdapat dua term, yaitu "Jasmani" dan "diri"
untuk menguji kebenaran kalimat pertama itu, penyelidikan yang pertama-tama harus dilakukan adalah menanyakan "apa itu jasmani" dan "apa itu diri", kecuali bila kita sudah memahami betul, apa itu jasmani dan apa itu diri, maka tidak perlu lagi mempertanyakannya.Dengan siapa kita pertanyakan? Mencari informasi sendiri atau bagaimana?
Beginilah seharusnya kita berpikir "sang Buddha telah menyatakan bahwa Jasmani bukanlah diri, tetapi apakah sang Buddha telah mendefinisikan apa itu diri?"Sepertinya tidak ada definisi khusus yang diuraikan sang buddha tentang:apa itu diri..
setelah pengertian dari kedua terma tersebut , barulah kemudian kepada penyelidikan argumentasi.Jadi bagaimana langkah selanjutnya?
Inilah pola berpikir logika.
Dalam tahap ini, persepsi tiap orang sudah berbeda.
Dengan siapa kita pertanyakan? Mencari informasi sendiri atau bagaimana?
Sepertinya tidak ada definisi khusus yang diuraikan sang buddha tentang:apa itu diri..
Jadi bagaimana langkah selanjutnya?
persepsi orang memang berbeda-beda. tapi kita bisa bermufakat dalam suatu aturan bahasa yang baku. seperti halnya dalam disiplin ilmu Bahasa Indonesia, dimana dimufakati oleh semuao orang bahwa setiap kalimat paling tidak harus memiliki 2 unsur, yaitu Subjek dan Predikat. Demikian pula dalam Logika. Kita akan merujuk pada suatu aturan berbahasa yang dimufakati bersama.Bukankah memang seperti yang bro terangkan diatas ini, yang dilakukan oleh peserta diskusi di forum ini?
dengan berbagai cara yang mungkin, seperti mempertanyakan pada nara sumber, pada penafsir, mencari sendiri dari buku, atau memperkirakan sendiri artinya. Idealnya harus dari orang yang membuat pernyataan tersebut.
kadang sang Buddha mendefinisikan sesuatu tapi tidak dengan istilah "definisi". atau beliau menjelaskan sesuatu dlam beberapa keterangan, lalu kita bisa menyimpulkannya sebagai definisi.
masih dalam langkah pertama, kita masih menyempurnakan pengertian dari masing-masing term dengan mempertanyakan quantisnya.
di dalam term "jasmani" dan "diri" terdapat quantitas yang tidak disebutkan.
ini juga harus dipertanyakan. yang dimaksud jasmani itu adalah "seluruh jasmani" atau "sebagian jasmani" dan yang dimaksud diri itu adalah "sebagian diri" atau "seluruh diri"
mana yang benar menurut anda :
1. sebagian jasmani bukan diri, atau
2. seluruh jasmani bukan diri
????
Bukankah memang seperti yang bro terangkan diatas ini, yang dilakukan oleh peserta diskusi di forum ini?
Yang saya perhatikan cuma karena perbedaan persepsi dalam mengartikan sesuatu makanya terjadi beda pendapat.
Dan yang membuat persepsi berbeda salah satu penyebabnya karena faktor pengetahuan, pengalaman, tingkat intelektual, memori dll.
wah ilmu tingkat tinggi, intelektual gw masih rendah... nonton aja deh :-?
tp bro satria..aku tidak melihat, anda menjelasnkan ttg jasmani bukan diri, maupun batin bukan diri secara logika...
knp? krn anda balik bertanya.. apa itu jasmani..apa itu diri, apa itu batin....
so..biar lebih mantap..
pertanyaan nya aku coba ganti...
menurut logika anda... apa itu jasmani?
menurut logika anda .. apa itu batin?
menurut logika anda ..apa itu diri??
hal ini akan menjelaskan pernyataan sriyeklina,
"Yang saya perhatikan cuma karena perbedaan persepsi dalam mengartikan sesuatu makanya terjadi beda pendapat.
Dan yang membuat persepsi berbeda salah satu penyebabnya karena faktor pengetahuan, pengalaman, tingkat intelektual, memori dll."
krn pengetian jasmani menurut logika anda... pasti tdk selalu sama dgn org lain, begitu juga pengertian diri dan batin
kan, prosesnya belum tuntas, bro!
Bila ditulis, memahami sesuatu dengan logika memang lambat dan sangat bertele-tele. Tapi, kelak kebenarnnya akan jelas dan sangat meyakinkan. Dan bila sudah terampil menggunakan logika di dalam pikiran, proses Logika yang lambat tadi akan menjadi sangat cepat di dalam batin.
Lagi pula, logika bukanlah suatu alat yang membuat kita tiba-tiba mengerti sesuatu, seperti seorang nabi yang mendapat wahyu. Logika hanyalah alat atau metoda tentang cara mencari tahu dengan cara berpikir yang tepat. tentu saja, saya dan kita semua tidak akan tiba-tiba menjadi tahu sesuatu tanpa diberi tahu oleh sumber pengetahuan. jadi, saya tidaklah merasa tahu segala sesuatu, tapi saya tahu metoda yang tepat untuk bisa memahami segala sesuatu dengan logika.
sebenarnya kita tidak sedang mencari tau, apa itu jasmani menurut logika saya. tapi kita sedang mencari tau, apa itu jasmani menurut sang Buddha?
tapi bila kita tidak dapat menemukan pernyataan sang Buddha tentang definisi Jasmani, maka kita bisa menggunakan sumber lain untuk memahami apa itu jasmani. Kemudian dengan sumber lain itulah, kita mengukur kebenaran dari pernyataan sang Buddha.
seperti misalnya, saya mendefinisikan bahwa jasmani adalah unsur padat pada makhluk hidup. Sedangkan batin adalah unsur mental pada makhluk hidup.
dan berikut ini adalah proposisi :
Jasmani adalah "yang ada".
Batin adalah "yang ada"
Diri adalah "yang tiada"
Maka benar perkataan sang Buddha bahwa Jasmani itu bukan diri, karena Jasmani adalah bukan "yang tiada".
Kesimpulan ini benar 100 %. tidak diragukan sedikitpun. dan tidak dapat dibantah. seandainya ada yang membantah, kemungkinan orang itu tidak waras.
menurut logika, pengertian yang ada di dalam pikiran itu disebut konsepsi. akan tetapi, konsepsi itu bukan lah menjadi urusan logika selama konsepsi itu hanya ada di dalam pikiran. Logika tidak mengurusi persepsi, melainkan hanya mengurusi kata-kata, bentuk-bentuk kalimat dan kesimpulan dari kalimat-kalimat.
para pakar Logika berkata bahwa Logika adalah bahasa ibu. artinya, tanpa belajar logika sekalipun seseorang dapat berpikir logis.Setiap emas adalah uang.
seperti halnya perbuatan baik, pada dasarnya berbuat baik sudah merupakan sifat sejati dari seorang manusia. tanpa belajar kitab apapun, dan tidak diajari oleh siapapun, seseorang bisa mengerti dan bisa melakukan kebaikan.
Tapi, kecenderungan-kecenderungan jahat kadang muncul di dalam diri seseorang. Ketika kecenderungan jahat ini muncul sifat alaminya akan terkontaminasi, dan ia terdoronga melakukan hal yang menyimpang di dalam perbuatan maupun pikirannya. celakanya, karena norma alami itu tidak ditegakan di dalam bentuk undang-undang, orang jahat menjadi bebas berbuat jahat. terlebih lagi ketika orang jahat ini tidak menyadari bahwa pikiran dan perbuatannya telah menyimpang dari kebenaran. Seperti itu pula alasan mengapa aturan-aturan berpikir harus diwujudkan di dalam undang-undang tertulis, agar ketika manusia menjadi "lupa diri" hukum akan berlaku atasnya dan orang-orang baik tetap terlindungi.
secara alami, di forum ini orang-orang menggunakan logika. Kendatipun ia tidak pernah mengikuti kursus ilmu logika ataupun tidak pernah membaca buku-buku logika. Tetapi, ketika ego berkembang dalam suatu diskusi, seringkali pemikiran pada pendiskusi ini menyimpang dari kebiasaan berpikirnya yang semula logis, lalu menjadi tidak logis. celakanya, mereka tidak menyadari bahwa pikirannya telah menyimpang. dan salah satu yang menyebabkan penyimpangan pikiran itu adalah kemelekatan terhadap konsepsi. Dalam keadaan seperti ini, bila saya mengajukan beberapa pertanyaan logis, maka tidak satupun yang bisa menjawab. misalnya :
Setiap emas adalah logam
Setiap besi adalah logam
maka bagaiamana kesimpulannya?
di forum ini, atau di berbagai forum lainnya, seringkali saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam bidang ilmu logika seprti itu. tapi faktanya sungguh memprihatinkan, 95 % dari penjawab tidak ada yang bisa menjawab dengan benar.
Seandainya kedua belah pihak sama-sama menggunakan logika dengan benar, maka suatu diskusi pasti akan selalu sampai pada "Titik Temu" yang menggembirakan.
menurut logika, pengertian yang ada di dalam pikiran itu disebut konsepsi. akan tetapi, konsepsi itu bukan lah menjadi urusan logika selama konsepsi itu hanya ada di dalam pikiran. Logika tidak mengurusi persepsi, melainkan hanya mengurusi kata-kata, bentuk-bentuk kalimat dan kesimpulan dari kalimat-kalimat.
aku keknya cukup ngerti hal ini
seperti aku bilang :
kuda adalah burung
kucing adalah burung
kuda = kucing
bener gitu?
krn logika tidak mengurusi benar salahnya suatu pernyataan...
hanya masalah penyusunan
kesimpulan yang salah :)
klo logika berdiri sendiri tampa pengetahuan ... keknya tak ada kebenaran yg terkandung..hanya berupa permainan kata2....hmm.. tp klo pun ada kebenarannya..hanya sebatas benar dlm menyusun kata.. atau penempatan kalimat..
menurut koq sia2 ya... itu temasuk musavada klo di buddhist
Setiap emas adalah uang.
Setiap emas adalah zat padat.
Setiap emas adalah perhiasan.
Setiap emas adalah berharga.
Setiap emas adalah peluang
Bagaimana dengan ini?
kesimpulannya adalah "Sebagian uang adalah peluang"Setiap emas adalah peluang
tapi bila kita tidak dapat menemukan pernyataan sang Buddha tentang definisi Jasmani, maka kita bisa menggunakan sumber lain untuk memahami apa itu jasmani. Kemudian dengan sumber lain itulah, kita mengukur kebenaran dari pernyataan sang Buddha.Kalau logika saya berpikir dari perkataan sang buddha itu:
seperti misalnya, saya mendefinisikan bahwa jasmani adalah unsur padat pada makhluk hidup. Sedangkan batin adalah unsur mental pada makhluk hidup.
dan berikut ini adalah proposisi :
Jasmani adalah "yang ada".
Batin adalah "yang ada"
Diri adalah "yang tiada"
Maka benar perkataan sang Buddha bahwa Jasmani itu bukan diri, karena Jasmani adalah bukan "yang tiada".
Kesimpulan ini benar 100 %. tidak diragukan sedikitpun. dan tidak dapat dibantah. seandainya ada yang membantah, kemungkinan orang itu tidak waras.
menurut logika, pengertian yang ada di dalam pikiran itu disebut konsepsi. akan tetapi, konsepsi itu bukan lah menjadi urusan logika selama konsepsi itu hanya ada di dalam pikiran. Logika tidak mengurusi persepsi, melainkan hanya mengurusi kata-kata, bentuk-bentuk kalimat dan kesimpulan dari kalimat-kalimat.Bukankah konsep itu ada karena logika? Jika logika tidak ada maka konsep juga tidak ada.
musavada klo di indonesiakan artinya menyatakan hal yg tidak benar atau berbohong
lebih halusnya... sesuatu yg blm pasti di bilang pasti, tidak bisa..bilang bisa, tidak punya bilang punya...
lebih jauh laki..dari sikap...
baik sengaja maupun tidak sengaja...
Setiap emas adalah peluang
Setiap emas adalah keserakahan
Kalau yang ini?
kalau begitu, Logika bukan musavada. dan dengan logika, kita bisa menyatakan suatu kebenaran yang pasti, tidak meragukan.
sebagian peluang adalah keserakahanAlam bukan persepsi juga bukan bukan persepsi.
Alam bukan persepsi juga bukan bukan persepsi.
Ini bagaimana?
Alam bukan persepsi juga bukan bukan persepsi.
Ini bagaimana?
Jangan membahas yang itu dulu. itu belum sesuai untuk dibahas sekarang. sebagaimana kata sang buddha, "dhamma harus dijelaskan secara bertahap". mari kita bicarakan hal yang lebih sederhana dari itu!Kenapa harus ditunda dulu bro? Bukankah itu kata-kata yang menarik untuk uji coba dalam ilmu logika?
Kalau logika saya berpikir dari perkataan sang buddha itu:
- Jasmani itu tidak ada
-Batin itu tidak ada
-Makanya diri itu tidak ada.
Jika saya pakai ilmu logika saja, maka saya beneran jadi tidak waras. Tapi bukan karena membantah perkataan sang buddha. Melainkan karena tidak sesuai dengan logika.
Bukankah konsep itu ada karena logika? Jika logika tidak ada maka konsep juga tidak ada.
Kita balik ke jasmani dan batin, apakah menurut pendapat bro, kata-kata sang buddha yang saya logikan itu benar atau salah?
Kenapa harus ditunda dulu bro? Bukankah itu kata-kata yang menarik untuk uji coba dalam ilmu logika?
Oya, postingan dibawah ini belum bro jawab.
Kalau logika saya berpikir dari perkataan sang buddha itu:
- Jasmani itu tidak ada
-Batin itu tidak ada
-Makanya diri itu tidak ada.
Kenapa harus ditunda dulu bro? Bukankah itu kata-kata yang menarik untuk uji coba dalam ilmu logika?
sungguh beruntung bila hal itu dianggap menarik untuk dipikirkan dengan serius. tapi amatlah rugi, bila hal itu sangat menarik untuk dipertengkarkan. Masalahnya, hidup ini sangatlah singkat, kita jangan menghabiskan waktu untuk pertengkaran-pertengkaran yang tidak perlu.Bagaimana di logika-kan postingan saya sampai bro menyimpulkan seolah-olah akan ada pertengkaran?
Ini postingan saya sebelumnya
Dan ini jawaban bro.
Bagaimana di logika-kan postingan saya sampai bro menyimpulkan seolah-olah akan ada pertengkaran?
anda perlu menjelaskan proses kesimpulannya!
Nah, ini postingan bro. Yang mana dari postingan bro itu yang disebut kesimpulan? Supaya saya tidak salah.
seperti misalnya, saya mendefinisikan bahwa jasmani adalah unsur padat pada makhluk hidup. Sedangkan batin adalah unsur mental pada makhluk hidup.
dan berikut ini adalah proposisi :
Jasmani adalah "yang ada".
Batin adalah "yang ada"
Diri adalah "yang tiada"
Maka benar perkataan sang Buddha bahwa Jasmani itu bukan diri, karena Jasmani adalah bukan "yang tiada".
Kesimpulan ini benar 100 %. tidak diragukan sedikitpun. dan tidak dapat dibantah. seandainya ada yang membantah, kemungkinan orang itu tidak waras.
Nah, ini postingan bro. Yang mana dari postingan bro itu yang disebut kesimpulan? Supaya saya tidak salah.
Pilihlah salah satu jawaban yang benar !Apakah ini jawaban logika dari pertanyaan jasmani dan batin serta bukan persepsi juga bukan bukan persepsi?
a. Satria menyimpulkan akan terjadi pertengkaran
b. Satria tidak menyimpulkan akan terjadi pertengkaran
"Bila hal itu sangat menarik dipertengkarkan" kalimat ini merupakan bentuk keterangan .....
a. mengurai
b. menduga
c. memilah
"Diri adalah yang tidak ada" itu kesimpulannya.Alasannya karena apa? karena unsur padat dan unsur mental yang bro sebutkan?
Nah, ini postingan bro. Yang mana dari postingan bro itu yang disebut kesimpulan? Supaya saya tidak salah.
OH, saya mohon maaf. tadi saya buru-buru karena dipanggil oleh direktur sehingga saya memberikan jawaban yang salah. kesimpulan saya di dalam postingan tersebut adalah Pernyataan sang Buddha tersebut benar .
Ok... :)
Dari manakah bro bisa membenarkan?
1. Dari pengetahuan tentang jasmani, mental dan diri?
2. Dari penyusunan kalimat-nya? atau
3. Dari 22-nya.
Defenisi jasmani dan mental sudah bro terangkan. Bisakah bro terangkan defenisi diri ?
Jika pernyataan sang buddha adalah "Jasmani adalah bukan diri", sedangkan kita tau bahwa diri adalah "yang tiada", maka dari pernyataan sang Buddha dapat disimpulkan bahwa Jasmani itu bukan "yang tiada". (kesimpulan1)Bro, tolong lihat huruf yang saya tebalkan diatas. Bukankah menurut langkah yang bro berikan sejak awal, kita harus tahu dulu defenisi kata-nya.
mana berikut ini yang benar
a. jasmani itu ada
b. jasmani itu tidak ada
Jika jasmani itu ada adalah benar. maka, "jasmani adalah tidak ada" merupakan pernyataan yang salah. Karena ia tidak bisa sama-sama benar dengan pernyataan yang kontradiktif dengannya. Dengan demikian pernyataan "jasmani itu ada" sama dengan jasmani itu bukan "yang tiada" (kesimpulan2). Isi kesimpulan1 sama dengan isi kesimpulan2. Jika isi kesimpulan2 benar, maka isi kesimpulan1 juga benar. Dan ternyata isi kesipulan2 benar, maka isi kesimpulan1 pun benar. karena diri adalah "yang tiada", maka benar jasmani itu bukan diri.
silahkan anda mengomentari hal-hal yang sesuai dengan pengetahuan yang anda miliki!
Bro, tolong lihat huruf yang saya tebalkan diatas. Bukankah menurut langkah yang bro berikan sejak awal, kita harus tahu dulu defenisi kata-nya.
Dan saya bertanya pada bro apakah defenisi kata diri, bagaimana kita bisa memutuskan diri adalah yang tiada jika kita belum tahu defenisinya?
essensi segala sesuatu hanya bisa difahami melalui definisi. tapi untuk memahami pengertian dari segala sesuatu tidak mesti melalui definisi. Menemukan definisi adalah hal yang ideal untuk memahami pengertian sesuatu. tanpa definisi pun, kita bisa menggunakan proposisi sebagai alat untuk mencapai pengertian. dan kalimat " diri adalah yang tiada" merupakan sebuah proposisi, "yang tiada" menjelaskan pengertian dari diri tersebut.Tapi kalimat yang tertulis bukan diri adalah yang tiada. Kalimatnya yang tertulis jasmani dan batin bukan diri. Bukankah seharusnya menjadi jasmani bukan diri dan batin juga bukan diri?
[at] wang ai lie
samakah belajar meditasi dari buku-buku yang merupakan benda mati dengan belajar meditasi langsung dibawah bimbingan seorang arahat (makhluk yang tercerahkan)?
samakah belajar Logika dari google dengan belajar logika langsung dari master nya?
Beberapa orang mengajar logika di universitas, tanya dari siapa mereka belajar logika?
kebenaran subjektif: kebenaran menurut pendapatnya sendiri.
contoh: setiap agama lain punya tuhan masing2 dan mengaku sebagai satu2nya tuhan.
kebenaran objektif: kebenaran universal.
contoh: org beragama lain atau bahkan org tdk beragama sekalipun kalau dia berbuat baik maka akan menerima buahnya.
tidak ada yang belajar logika dari google, apa yang di tulis dari google pun faktornya dari kenyataan, bagaimana orang bisa menulis dan memberikan pendapat jika belum pernah mendengar dan membuktikan, sama seperti soal meditasi, bagaimana orang dapat menulis soal meditasi jika tidak / belum pernah melakukan atau bertemu dengan orang yang melakukan. intinya seseorang menulis hal tersebut pastilah ada sumbernya bukan hanya karangan fiksi dll.
samakah juga jika belajar dhamma melalui buku buku sutta dll yang juga merupakan benda mati dengan dengan belajar dhamma langsung dibawah bimbingan seorang arahat (makhluk yang tercerahkan)?
Tapi kalimat yang tertulis bukan diri adalah yang tiada. Kalimatnya yang tertulis jasmani dan batin bukan diri. Bukankah seharusnya menjadi jasmani bukan diri dan batin juga bukan diri?
Contoh: -Diriku sangat menderita.
-Tidak ada yang mau menerima diri yang hina ini.
-Dia pergi seorang diri.
-Jaga dirimu baik-baik.
Apakah kata-kata diatas itu menunjukkan diri itu yang tiada?
Yang saya pelajari dari usia saya masih kecil, yang disebut kata diri itu jasmani dan batin seseorang.
Ok,terlepas dari perkataan saya diatas. Saya ingin menegaskan/mengulangi kembali. Berarti bro menyetujui kebenaran sang buddha tentang kata-kata jasmani dan batin bukan diri itu karena pertimbangan yang bro sebutkan dari awal.
Jasmani itu ada.
Batin itu ada.
Diri itu tiada.
Apakah ada alasan yang lain dari itu? Sehingga bro menyimpulkan perkataan sang buddha itu benar?
kalo seorang menulis buku, dimana kemudian isi bukunya langsung dibaca oleh umat awam, maka si umat awam bisa menjadi bingung. karena bisa jadi ia membaca langsung ke materi-materi pelajaran yang belum waktunya dia baca. Makanya, di dalam hindu, ada kitab-kitab yang hanya boleh dibaca oleh para brahmana. ini untuk menghindari kesalahan tafsir umat awam.beruntung saya belajar agama buddha, karena sang buddha tidak pernah menekankan untuk belajar langsung ke arahat/sang buddha berbeda dengan di hindu yang lebih mementingkan kasta. coba kalau sang buddha memberi perintah hanya belajar dhamma ke dia, wah bisa pusing saya mau cari sang buddha kemana :))
berbeda halnya bila umat awam ini belajar bukan dengan cara membaca tulisan arahat, melainkan dibimbing langsung oleh arahat. seandainya arahat tersebut hendak memberikan bimbingan melalui tulisan, tentu akan diberikannya selembar demi selembar, agar si murid belajar secara bertahap, tidak melompat-lompat hingga membingungkan.
tidak sama.kalau begitu tolong dong carikan saya arahat supaya bisa belajar langsung tanpa baca2 sutta yang gak mungkin bisa mencapai pencerahan, kalau belajar dari arahat kan langsung pencerahan ...ya kan jadi saya juga gak perlu jadi anggota DC , cukup belajar dengan arahat saya bisa jadi buddha / arahat ;D _/\_
beruntung saya belajar agama buddha, karena sang buddha tidak pernah menekankan untuk belajar langsung ke arahat/sang buddha berbeda dengan di hindu yang lebih mementingkan kasta. coba kalau sang buddha memberi perintah hanya belajar dhamma ke dia, wah bisa pusing saya mau cari sang buddha kemana :))
dimana mana orang membaca pasti dari awal baru keakhir kecuali membaca tulisan mandarin /arab asli ,dari belakang ke akhir. ;D orang baca novel saja dari depan sampai akhir gak ada orang baca novel cuma akhirnya saja atau tengahnya saja :)) :)) :))
jika kita belajar dari sutta dengan di bimbing oleh orang yang lebih mengerti anggap seorang biksu/romo/pandita masih bisa di terima oleh pikiran saya, tapi kalau mau belajar agama buddhis sampai harus ke arahat/buddha langsung , kemana mau nyarinya brokalau begitu tolong dong carikan saya arahat supaya bisa belajar langsung tanpa baca2 sutta yang gak mungkin bisa mencapai pencerahan, kalau belajar dari arahat kan langsung pencerahan ...ya kan jadi saya juga gak perlu jadi anggota DC , cukup belajar dengan arahat saya bisa jadi buddha / arahat ;D _/\_
saya mengagumi ajaran buddha pada madzhab theravada. oleh karena itu, saya sangat berterima kasih pada para penulis buku Theravada di dalam dan luar negeri. dari mereka, saya banyak belajar. dan dari apa-apa yang mereka tuturkan, saya telah membuat banyak kesimpulan. selanjutnya, terbukalah kebenaran baru - kebenaran baru yang tidak mudah di fahami oleh kebanyakan orang, termasuk oleh umat buddha sendiri, mungkin termasuk oleh para penulis buku yang telah saya anggap sebagai para guru saya sendiri. dan saya menemukan, banyak ajaran yang nyeleneh dalam agama Buddha yang bertentangan dengan sutta-sutta. Tetapi, tidak lah mudah memahamkan semua hal itu. saya hanya ingin mengatakan bahwa salah satu hal yang saya anggap nyeleneh adalah anggapan "tiadanya buddha yang hidup saat ini" serta keyakinan pada mazhab theravada bahwa setelah parinibana sang Buddha tidak terlahir kembali. sedangkan sang Buddha sendiri tidak menyatakan demikian. banyak orang berbohong, "sang Buddha berkata begini atau begitu" tapi kalau ditanyakan bukti otentiknya tak pernah bisa ditunjukan. waspadalah!
diantara sejuta umat, hanya satu yang tau dan mengerti bahwa saat ini ada Buddha yang hidup ditengah-tengah umat manusia. kendatipun ia tidak atau belum berjumpa, tapi dengan akalnya yang jernih ia mampu memahami bahwa buddha yang tercerahkan sempurna ada hadir di dunia saat ini.
diantara sejuta umat yang meyakini bahwa ada buddha yang hidup di dunia saat ini, hanya satu yang berusaha mencari di mana sang Buddha berada. dan ketahuilah dengan benar, bahwa diantara sejuta orang yang mencari sang Buddha, hanya satu saja yang diperkenankan bertemu dengan Nya. Apakah anda tidak sanggup memahami hal ini?
bukannya anda sendiri yang menyarankan untuk belajar langsung ke arahat?
untuk yg di bold biru, berarti anda sendiri belajar dari buku2 dong? kenapa gak cari arahat langsung aja ;D
bisa tolong tunjukan , ajaran dalam buddha yang nyeleneh dimana? mohon maklum saya ini umat awam _/\_
apakah anda tidak ingat bahwa anda telah menanyakan pengertian "apa itu diri" menurut pendapat saya?betul, saya sudah menanyakan. Tapi anda tidak menjawab apa itu diri. Coba anda cari dari awal postingan anda jika anda sudah menjawabnya "Apa itu diri"
mungkin saja ada alasan yang lain dari itu, tapi saya tidak atau kurang menyadarinya.berarti barometer logika anda hanya sampai disini sanggup mengukurnya. barometer logika anda tidak layak dipakai untuk memelajari sutta. terima kasih.
betul, saya sudah menanyakan. Tapi anda tidak menjawab apa itu diri. Coba anda cari dari awal postingan anda jika anda sudah menjawabnya "Apa itu diri"
berarti barometer logika anda hanya sampai disini sanggup mengukurnya. barometer logika anda tidak layak dipakai untuk memelajari sutta. terima kasih.
kalo anda bilang saya belum jawab, itu artinya kita harus "turun level". he..he..tapi kalau dilihat dalam hal ini dan di posting manapun , anda lebih cenderung pintar memainkan kata, tapi untuk menjawab.. :) saya harus akui pemikiran logis sis sriyeklina lebih tinggi dari anda. seharusnya anda lebih jeli terhadap tiap jawaban saya di sebelah, kenapa saya memilih meng "iya" kan kata2 anda, karena apa jawaban anda selalu berputar, diskusi dengan anda bukan mendapat titik temu , tetapi malah sebaliknya malah membuat diskusi semakin melenceng jauh dari apa yang ingin di diskusikan.
mari kita pikirkan yang lebih sederhana lagi, yang lebih mudah lagi, yang cukup gampil untuk kita fahami bersama.
karena sudah sangat jelas, saya telah menjawab pertanyaan anda. tapi anda bilang "belum". sudahlahlah, jangan diteruskan bahasan yang ini. tidak akan baik akibatnya. masih banyak persoalan lain yang bisa lebih mudah untuk kita diskusikan.
saya tanya dan jawab dengan jujur!
1. apa anda iri, karena orang lain lebih pintar
2. apakah anda sangat tidak suka dengan orang lain, karena orang lain tampak sombong di mata anda?
3. apakah anda marah, karena anda merasa harga diri anda dilecehkan orang lain
4. apakah anda senang mengatakan orang lain begini dan begitu dengan penilaian yang rendah agar orang lain merasa sakit hati?
5. apakah anda merasa lebih memahami logika dari pada saya?
tapi kalau dilihat dalam hal ini dan di posting manapun , anda lebih cenderung pintar memainkan kata, tapi untuk menjawab.. :) saya harus akui pemikiran logis sis sriyeklina lebih tinggi dari anda. seharusnya anda lebih jeli terhadap tiap jawaban saya di sebelah, kenapa saya memilih meng "iya" kan kata2 anda, karena apa jawaban anda selalu berputar, diskusi dengan anda bukan mendapat titik temu , tetapi malah sebaliknya malah membuat diskusi semakin melenceng jauh dari apa yang ingin di diskusikan.
seperti comment anda di atas ini, sangat menunjukan diri anda adalah orang yang ingin di sanjung, ingin di anggap lebih dari orang lain dan berkesan sombong , itu sangat benar sekali. bahkan mungkin anda ingin saya sebut lagi sebagai arahat seperti di tread sebelah?
coba anda gunakan ilmu logika anda yang entah anda pelajari dari mana.
dan saya pun berani mengatakan ilmu logika orang lain itu lebih tinggi dari anda. _/\_
sabbe sankhara anicca _/\_
kalo anda bilang saya belum jawab, itu artinya kita harus "turun level". he..he..Sori bro, saya tidak berminat melayani sesuatu yang menurut saya tidak bermanfaat. Kalau menurut barometer logika saya paling tidak lama lagi, anda akan tumimbal lahir lagi.
mari kita pikirkan yang lebih sederhana lagi, yang lebih mudah lagi, yang cukup gampil untuk kita fahami bersama.
karena sudah sangat jelas, saya telah menjawab pertanyaan anda. tapi anda bilang "belum". sudahlahlah, jangan diteruskan bahasan yang ini. tidak akan baik akibatnya. masih banyak persoalan lain yang bisa lebih mudah untuk kita diskusikan.
saya tanya dan jawab dengan jujur!
1. apa anda iri, karena orang lain lebih pintar
2. apakah anda sangat tidak suka dengan orang lain, karena orang lain tampak sombong di mata anda?
3. apakah anda marah, karena anda merasa harga diri anda dilecehkan orang lain
4. apakah anda senang mengatakan orang lain begini dan begitu dengan penilaian yang rendah agar orang lain merasa sakit hati?
5. apakah anda merasa lebih memahami logika dari pada saya?
Sori bro, saya tidak berminat melayani sesuatu yang menurut saya tidak bermanfaat. Kalau menurut barometer logika saya paling tidak lama lagi, anda akan tumimbal lahir lagi.=)) =))
suatu waktu, dalam meditasi saya, saya mengalami "meraga sukma". anda tau kan meraga sukma?
ketika "ruh" (tubuh batin) saya ada di langit, saya melihat seluruh makhluk ini sebenarnya merupakan kumpulan cahaya dengan kadar terang yang berbeda-beda. manusia yang cahayanya paling terang, itulah yang paling suci, yang darinya telah hilang "rajas" (kebodohan batin). lalu saya memandang ke arah barat daya, di sana saya melihat ada makhluk yang cahayanya terang benderang, menyentuh segenap penjuru semesta. tapi ia berada di bumi. maka saya yakin, makhluk adalah manusia agung yang paling suci, yang tercerahkan sempurna.
setelah saya kembali ke alam raga saya, lalu saya berkelana untuk mencari manusia agung itu ... setahun....dua tahun... naik gunung, turun gunung, saya terus besabar, ...demi bertemu manusia agung itu.
bersambung ....
saya sengaja menyebarkan kesombongan dan juga ilmu . orang berakal akan sibuk memikirkan ilmu yang saya tebarkan. orang bodoh akan sibuk memikirkan kesombongan saya.:)) untuk apa saya belajar logika dari anda, logika anda itu bukan logika, justru orang berakal males melayani ocehan orang seperti anda apalagi sibuk memikirkan hal yang tidak penting dari anda kelihatannya tidak mungkin , dan orang bodoh akan pergi mendengar anda yang sombong .
=)) =))
tapi sis gak salahnya juga sih kalau diskusi sama arahat, dia arahat lho sis.. :)) :)) :)) :)) bila perlu sis kita yang menurunkan level diskusi kita buat dia, mungkin level diskusi kita terlalu tinggi buat arahat satria ;D
nah, mungkin iya begitu. masalahnya, apakah anda mampu atau tidak menurunkan level materi diskusinya?silahkan saja anda membuka diskusi, bebas kok :)
silahkan saja anda membuka diskusi, bebas kok :)
ini pertanyaan yang mudah untuk anda jawab, Tahukah anda mengenai 6 aturan dasar logika?logika itu sendiri merupakan dasar dari cara berpikir seseorang dalam menilai sesuatu
=)) =))Bro, pernah membaca sutta yang berisikan kata-kata ini?
tapi sis gak salahnya juga sih kalau diskusi sama arahat, dia arahat lho sis.. :)) :)) :)) :)) bila perlu sis kita yang menurunkan level diskusi kita buat dia, mungkin level diskusi kita terlalu tinggi buat arahat satria ;D
Bro, pernah membaca sutta yang berisikan kata-kata ini?
4. "Ananda, untuk bhikkhu Channa, setelah Aku meninggal, kenakanlah hukuman brahma (brahma danda) kepadanya." "Bhante, tetapi apakah yang dimaksud dengan brahma danda itu?"
"Ananda, bhikkhu Channa dapat berkata apa saja yang diinginkannya, tetapi para bhikkhu tidak perlu bercakap-cakap dengan dia, tidak perlu menegur atau pun memperingatkannya."
belum sis, apa itu _/\_Itu artinya bro,tidak usah dilawan berdebat jika kita sudah tahu bahwa orang itu merasa diri-nya sudah pintar/hebat. Biarkan dia ngomong apapun. Dan tidak usah diladeni.
Itu artinya bro,tidak usah dilawan berdebat jika kita sudah tahu bahwa orang itu merasa diri-nya sudah pintar/hebat. Biarkan dia ngomong apapun. Dan tidak usah diladeni._/\_ terima kasih atas masukannya sis
Jika seseorang merasa dirinya sudah pintar, dia tidak akan mau mendengarkan saran/nasihat dari orang lain.Karena dia sudah tidak butuh untuk belajar lagi.
hmm....relatif dengan yang relatif semuanya berinteraksi membangun seakan2 ada yang obyektif.....relatif tidk hilang karena sesungguhnya memang ga pernah ada
cuman ilusi semua....he2
coba kepala-nya di-tubruk-kan ke dinding keras-keras... cari tahu apa sakit (penderitaan) itu ILUSI atau NYATA ?=))
Itu artinya bro,tidak usah dilawan berdebat jika kita sudah tahu bahwa orang itu merasa diri-nya sudah pintar/hebat. Biarkan dia ngomong apapun. Dan tidak usah diladeni.
Jika seseorang merasa dirinya sudah pintar, dia tidak akan mau mendengarkan saran/nasihat dari orang lain.Karena dia sudah tidak butuh untuk belajar lagi.
duhh....ternyata yg dimaksud "minus"....kok nulisnya "minum"...sampe nyari2 minum apakah? ;D