Iya, memang masuk akal juga. Tapi saya pikir2 lagi memang batasan itu agak rumit yah. Biasanya dalam penilaian secara personal itu memang semua bersifat subjektif. Jadi misalnya yang milih "Toshib*" itu, mungkin dia tahu fitur lain canggih, tapi dia punya 'kemelekatan' tersendiri pada merk tersebut -entah karena pengalaman apanya-, jadi tetap memilihnya. Kalau dilihat secara mendasar, sebetulnya penilaian subjektif ini tidak ada bedanya dengan "saya suka kopi, dia suka teh", sama2 karena kemelekatan dan kecenderungan masing-masing, juga tidak bisa dijelaskan dengan rasio. Bedanya hanya kalau perbedaannya dapat diterima dan dianggap wajar, maka tidak muncul persepsi 'fanatik' tersebut.
waktu mencari contoh tadi saya udah mengantisipasi pendapat seperti di atas, hanya saja saya gak ketemu contoh yg lebih baik
dalam contoh anda, memang benar, semuanya subjektif dan tergantung selera masing2.
namun yang saya maksudkan di sini, apabila ada titik referensi (pihak ketiga) yang dapat melihat kedua sudut pandang secara netral, maka objektifitas terhadap titik referensi itu bisa ditentukan (relatif kepada titik itu). misalnya dalam menilai agama2, maka sains ataupun atheisme bisa menjadi titik referensi untuk menilai agama2 yang ada. dalam hal ini agama A mengaku dirinya paling mutakhir dan agama B mengaku dirinya paling masuk akal. dengan memakai referensi sains, maka bisa ditentukan kedua klaim itu tidak benar dan kedua2nya sama2 kepercayaan belaka yang tidak terbukti alias dua2nya sama2 fanatik...
penentuan titik referensi ini juga berbeda2 dan sering menjadi perdebatan.
ahli kitab A menaruh titik referensi pada isi kitab A (yg jelas subjektif bagi orang lain).
ahli kitab B menaruh titik referensi pada isi kitab B (yg jelas subjektif bagi orang lain).
filsuf menaruh titik referensi pada argumen2nya.
meditator menaruh titik referensi pada pengalaman meditasi dan isi batinnya.
saintis menaruh titik referensi pada dalil2 sains saat ini.
walaupun tidak sempurna, saya merasa titik referensi yang terakhir itu paling netral dan objektif...
Kalau saya lihat kecenderungan yang biasa timbul itu, 'fanatik' itu dilabeli ke orang yang mencoba mempengaruhi orang lain akan kemelekatannya itu, dan menimbulkan ketidak-nyamanan bagi orang lain. Jadi misalnya saya sangat melekat pada agama A, saya ibadah tidak mengganggu orang, tidak memaksa orang melakukan dengan cara saya, tidak menunjukkan 'keagamaannya' saya, tidak akan menimbulkan persepsi fanatik. Sebaliknya kalau misalnya saya mulai menyalahkan agama lain, lalu dalam bergaul semua harus ikut aturan main agama saya, membuat batasan dengan kriteria agama, ngomong ke umat beda dikit2 pakai prinsip agama sendiri, maka sikap itu akan sangat mungkin disebut fanatik. Jadi kemelekatannya sama, tapi sikapnya berbeda, baru timbullah persepsi 'fanatisisme' itu. Gimana menurut bro morph?
setuju, tapi saya menggolongkan kedua2nya sebagai fanatisme.
ini yg di awal2 saya bilang fanatisme ke dalam akan merugikan diri sendiri sedangkan fanatisme ke luar akan merugikan orang lain.
fanatisme ke dalam, walaupun tidak mengganggu orang lain, si penganut mengalami kerugian karena kehilangan kesempatan untuk menukar pandangan dan pengertiannya kepada pengertian yang lebih tinggi.
fanatisme ke luar, jelas merugikan dan meresahkan masyarakat lingkungannya seperti yang anda tulis di atas.
Terus terang saya lupa bahasannya tentang apa dan bagaimana, bisa diperinci lagi?
kurang lebih senada dengan quote kedua di post ini. kalo gak salah anda pake contoh kepercayaan batman.