Sdr Bond yang baik,
Menurut Abhidhamma seorang Arahat batinnya sudah tak memiliki kemelekatan terhadap segala sesuatu yang muncul pada kelima khandha (panca khandha), bila ada sesuatu hal yang muncul dan memerlukan pemikiran maka Ia harus mengarahkan batinnya untuk berpikir, menganalisa dsbnya, semua ini tidak terjadi secara otomatis seperti pada Putthujana dan inilah yang dimaksud dalam Abhidhamma sebagai Kiriya
Seorang Arahat memiliki batin yang seimbang juga disebabkan ketidak melekatannya pada kelima khandha sehingga tidak merespon terhadap apapun yang muncul pada kelima khandha (kecuali) menginginkannya.
Sekedar gambaran: pada latihan Vipassana yang saya ikuti bahkan kita diajarkan oleh pembimbing harus sadar ketika hendak mengedipkan mata.
Bukan hanya kedipan mata, bahkan setiap arus batin yang muncul, apapun bentuknya berusaha untuk disadari. Pada Arahat semua respon terhadap gerakan batin selalu terjadi secara sadar tidak terjadi secara spontan atau otomatis, semua disadari jadi harus diarahkan. Seorang Arahat sadar ketika menutup mata atau membuka mata.
Seorang arahat melihat semua kejadian yang terjadi di alam semesta sebagai hal yang alami (natural). Ia selalu melihat segala sesuatu apa adanya. Ia sudah tak merespon (secara otomatis) Apapun bentuk-bentuk yang nampak maupun yang muncul pada batin.
Apakah ada keseimbangan batin bila muncul pikiran terharu misalnya: menyadari keagungan Sang Buddha, Dhamma dan Sangha? Atau ia merasa terharu pada kebaikan dan kemuliaan hati yang dilakukan seseorang kepadanya?
Akankah muncul suatu respon dalam bentuk perasaan terharu, bila seseorang yang penuh konsentrasi dan kesadaran melihat apapun yang muncul dalam dirinya tanpa menanggapi? Ini sebenarnya seiring diulas. Mari kita bertanya pada diri sendiri, apakah suatu bentuk batin entah baik atau buruk, akan bertabah besar bila tak ditanggapi? Akankah suatu api bertambah besar bila tak disiram minyak atau bila tak ditambah bahan bakarnya?
Jangankan seorang Arahat yang luar biasa, sedangkan seorang meditator Vipassana (tentu yang sudah agak maju) bila mampu menyadari dengan cepat maka bentuk-bentuk batin seketika lenyap waktu disadari.
Dengan fakta yang dialami seorang meditator demikian, wajarkah bila ia kemudian menyatakan bahwa seorang Arahat tak mungkin menangis atau tertawa?
Mbah Fabian yg baik,
penjelasan Ko Fabian sudah saya jawab termasuk kerancuannya pada tulisan2 diatas. smoga membacanya,tetapi mbah menghindar dari pertanyaan saya lho.
Anggaplah saya orang yang ingin tahu/bodoh/serta keras kepala untuk tahu..tentu mbah kan lebih pengalaman..dan saya lihat mbah mengatakan memiliki alasan kuat untuk ini yang saya tafsirkan mbah memiliki suatu kepastian arahat tidak mungkin menangis... tetapi mengapa tidak menjawab pertanyaan saya di hal Reply #2, bukankah itu penghindaran? Penjelasan diatas tidak menjadi valid kalau tidak menjawab dulu pertanyaan saya.
Umat awam tidak terikat vinaya bhikkhu, jadi ngak usah malu2 mbah.
Terima kasih
Saudara Bond yang baik,
Alasan mengapa saya tak mau menanggapi reply #2 adalah karena saya tak mau terlibat lebih jauh untuk mengungkapkan hal-hal yang kiranya menurut saya kurang tepat dilakukan oleh seorang Bhikkhu.
Diskusi dengan topik demikian bagi saya kurang nyaman.
Oleh karena itu saya tidak mau lebih jauh menanggapi diskusi ini bila akhirnya mengungkap hal-hal tsb lebih jauh, lebih baik diskusi diarahkan pada topik mengenai bagaimana keadaan batin seorang Arahat menurut Tipitaka/atthakata dan pengalaman meditator, apakah bisa menangis atau tidak, lalu dari sana masing-masing pembaca menilai sendiri.
Harap saudara Bond maklum, diwaktu saya masih semangat muda beberapa kali saya mengkultuskan bhikkhu, dan kemudian ternyata bhikkhu tersebut melakukan hal-hal yang tidak pantas.
Kemudian saya kecewa dan marah kepada bhikkhu tersebut. Oleh karena itu saya tak pernah lagi meng-kultuskan bhikkhu.
Oleh karena saya tak pernah lagi mengkultuskan bhikkhu maka bila ada bhikhu melakukan hal yang menurut saya tidak pantas maka saya dapat menerima dan memaklumi. Memaklumi maksudnya berkata dalam hati "yah itu hal yang wajar dilakukan bila seseorang batinnya belum sepenuhnya terbebaskan", Jadi... bila ada bhikkhu yang melakukan hal-hal yang tidak pantas saya tidak kecewa.
Saya teringat ada cerita yang terjadi di masa yang lampau, ada seseorang yang dijuluki "jiwa yang agung", suatu ketika ia berjalan dengan pengikutnya, kemudian di suatu tempat tiba-tiba muncul seseorang lalu meludahi mukanya didepan para pengikutnya. Tentu saja serentak para pengikut yang mengiringinya menangkap orang itu lalu ramai ramai akan memukulinya.
"Jiwa agung" lalu melerai dan menyuruh pengikutnya melepaskan orang itu. Dengan heran mereka bertanya "mengapa anda menyuruh kami melepaskan orang itu?"
Jawab sang jiwa agung, "yang diludahi adalah saya, seharusnya saya yang marah, saya yang diludahi saja tidak marah, mengapa kalian marah kepada dia? apakah dia meludahi kalian?".
Semoga ini menjadi bahan perenungan kita semua.
Oh ya yang dimaksud Jiwa agung tersebut adalah Mohandas Karamchand Gandhi atau yang lebih dikenal sebagai Mahatma Gandhi.