BUDDHISME PRA-DOKTRINAL DI DALAM KITAB SUTTA-NIPAATA:
POTRET PSIKOLOGIS ORANG SUCI BUDDHIS ZAMAN AWAL [lanjutan - 02]
Oleh: Dharmacaari Naagapriya
Tesis yang ingin saya kembangkan adalah sebagai berikut: Buddhisme awal kurang mementingkan doktrin dibandingkan apa yang kita namakan psikologi dan etika. Kitab Suta-Nipaata adalah simpanan kepustakaan Buddhis yang relatif kuno yang menekankan pada pengembangan suatu "psikologi Tercerahkan": pelepasan keadaan-keadaan batin tertentu--yang dianggap sebagai rintangan di jalan Pencerahan--dan pemegangan keadaan-keadaan batin alternatif yang merupakan cara berfungsi yang Tercerahkan. "Psikologi Tercerahkan" ini mempunyai citarasa etikal yang kuat. Berkaitan dengan itu, kitab Sutta-Nipaata menekankan pelepasan jenis-jenis perilaku tertentu dan pemegangan jenis-jenis perilaku lain yang lebih sesuai dengan kesadaran Tercerahkan. Bahkan, Pencerahan di dalam kitab Sutta-Nipaata dapat dilihat tidak lebih daripada pelepasan keadaan batin dan perilaku yang buruk dan sebagai gantinya pemegangan keadaan batin dan perilaku yang baik, sampai tercapai titik di mana pola-pola kebiasaan baru ini menjadi menetap tanpa bisa mundur kembali.
Reginald Ray, dalam bukunya yang membuka wawasan baru, "Buddhist Saints in India"[10], mengemukakan apa yang dinamakannya sebagai 'paradigma hagiografis' dari orang suci Buddhis normatif. Ray menyusun paradigma ini berdasarkan analisis mendetail terhadap kitab Buddhacarita dari Asvaghosa, suatu pengungkapan kembali secara puitis kehidupan Sang Buddha. Ray mengidentifikasikan 35 tema di dalam kitab Buddhacarita yang menurutnya terdapat pula--dengan variasi moderat--di dalam hagiografi (kisah-kisah pemujaan) tentang semua orang suci Buddhis.[11] Proposisi saya sedikit berbeda. Mengembangkan contoh yang baik sekali dari Ray, saya bermaksud--melalui penyelidikan atas kitab Sutta-Nipaata--membuat sketsa potret psikologis-dan-perilaku dari orang suci di zaman Buddhisme awal, untuk menghidupkan kembali bagaimana rupanya: apa yang dipikirkannya, dirasakannya dan dilakukannya.
Struktur dan Isi Kitab Sutta-Nipaata Namun, sebelum terjun ke dalam penyelidikan mendetail terhadap sifat-sifat orang suci awal, saya akan menyentuh sedikit informasi latar belakang yang akan membantu meletakkan makna ajaran-ajaran yang terkandung di dalam kitab Sutta-Nipaata di dalam konteks yang tepat. Pertama-tama, penting untuk dipahami bahwa kitab Sutta-Nipaata itu sendiri merupakan antologi naskah-naskah--suatu kompendium, bukan satu kesatuan koheren--yang tersajikan dalam bentuk balada-balada spiritual. Kitab itu terdiri dari lima bab yang beraneka-ragam, yang seluruhnya mengandung 70 sutta, yang kebanyakan di antaranya tidak lebih panjang dari beberapa halaman. Sangat sedikit dari sutta-sutta itu yang dimulai dengan ungkapan klasik, "Demikianlah telah kudengar"; sedangkan seluruh Bab 5 tersusun dalam bentuk tanya-jawab. Koleksi ini mengandung banyak sutta-sutta yang sangat populer dari Buddhisme awal, termasuk Mettaa-sutta, Ratana-sutta dan Mangala-sutta.
Sementara tampak masuk akal untuk menganggap bahwa substansi ajaran-ajaran yang terkandung dalam Sutta-Nipaata berasal dari Sang Buddha, namun jelas bahwa bahan-bahan ini telah mengalami rekayasa demi alasan estetik dan mnemonik (untuk membantu penghafalan), belum lagi kemungkinan pengeditan untuk kepentingan golongan. Ada kemungkinan, dalam bentuknya yang sekarang, kitab Sutta-Nipaata merupakan buku pegangan ritual zaman awal.[12] Kitab itu tersusun dari beberapa lapisan teks yang berbeda, yang tidak semuanya mempunyai sifat-sifat yang sama, namun semuanya bersifat relatif kuno.[13] Misalnya, menilik dari lebih banyaknya istilah-istilah teknis terdapat dalam Bab 3--yang mengandung kebanyakan sutta-sutta yang panjang--tampaknya bahan-bahan ini berasal dari kumpulan pustaka yang lebih belakangan. Selain itu, sudah dapat dipastikan bahwa A.t.taka-vagga--yang sekarang membentuk Bab 4 dari Sutta-Nipaata--pada mulanya merupakan karya yang berdiri sendiri. Sesungguhnya, sebuah komentar terhadap bab ini juga ditemukan di dalam Khuddaka-nikaaya[14], dan juga acuan-acuan kepada bab ini terdapat di bagian-bagian lain dari Kanon, yang memperkuat kesimpulan akan asal yang berbeda dari bab itu dan ketuaan relatifnya. Karena alasan ini dan alasan-alasan lain, diterima secara luas bahwa A.t.taka-vagga merupakan lapisan naskah Buddhis yang paling tua.
Bab 5 juga dianggap sangat tua, sekalipun mungkin tidak setua Bab 4. Tambahan pula, sekelompok kecil naskah yang tersebar di dalam bab-bab lain dari Sutta-Nipaata mempunyai sifat-sifat tua yang digunakan untuk menetapkan ketuaan Bab 4 dan 5. Naskah-naskah itu meliputi Uraga-sutta, Dhaniya-sutta, Khaggavisaa.na-sutta, dan Muni-sutta. Dengan demikian, naskah-naskah itu dapat memberikan petunjuk berharga mengenai sifat-sifat orang suci Buddhis awal dan citarasa Buddhisme awal.
Untuk mendukung klaim bahwa kitab Sutta-Nipaata termasuk masa yang sangat tua didalam perkembangan Buddhisme, saya akan menyebutkan beberapa sifat stilistik dan tematik sebelum menguraikan sifat-sifat orang suci secara mendetail.
(1) Relatif Tidak Adanya Frasa dan Rumusan Baku Berbeda secara relatif dengan antologi-antologi lain dari Kanon Paali (seperti sutta-sutta yang terdapat dalam Diigha-nikaaya dan Majjhima-nikaaya), Sutta-Nipaata memperlihatkan tidak adanya frasa dan rumusan baku. Di lain tempat dalam Kanon biasa ditemukan ajaran yang sama diungkapkan dalam kata-kata yang identik di dalam beberapa sutta yang berbeda yang disisipkan di dalam dialog-dialog spiritual di mana ajaran itu tidak secara langsung tampak berkaitan. Namun, di dalam Sutta-Nipaata sangat sedikit digunakan ajaran-ajaran "siap-pakai" atau doktrin-doktrin "tinggal-ambil" seperti itu, dan mencolok tidak adanya daftar-daftar numerik yang begitu terkenal di dalam Buddhisme. Pande telah mengemukakan bahwa semakin banyak jumlah, keluasan, kehalusan dan frekuensi dari kelompok-kelompok bilangan teologis dan metafisikal merupakan petunjuk jelas bahwa naskah bersangkutan berasal dari masa belakangan.[15] Sesungguhnya, dialog-dialog di dalam Sutta-Nipaata memiliki kesegaran dan semangat dari komunikasi eksistensial yang otentik, bukan kekakuan rekayasa bhikkhu-bhikkhu. Sementara banyak sutta menggunakan refrain sebagai prinsip pengorganisasian naskah[16], yang mungkin mempunyai fungsi estetik dan mnemonik (membantu penghafalan), sutta-sutta itu bebas dari pengulangan terus-menerus dari sekumpulan yang sama doktrin-doktrin tersistematisasi atau kelompok-kelompok terbilang yang begitu khas di dalam sutta-sutta yang belakangan.
(2) Pendefinisian-ulang Istilah-Istilah dari Wacana Sosio-Religius yang Ada Dengan menerima bahwa Siddhattha Gotama mencapai pencerahan yang merupakan terobosan sesungguhnya, namun ia tetap harus mengkomunikasikan pemahamannya dengan menggunakan suatu kosa kata yang tidak memiliki kata-kata untuk mendeskripsikannya secara memadai--tidak ada kata-kata Buddhis. Seperti penemu-jalan atau penerjemah lain, Sang Buddha harus menggunakan bahasa dan konsep-konsep yang sudah ada di lingkungan sosio-religius di sekitarnya--sampai pada masa ia mampu mengembangkan kosa katanya sendiri yang lebih tepat. Sebagai pewaris 2500 tahun Buddhisme, kita mempunyai akses kepada kamus istilah Buddhis yang tidak ada di zaman Sang Buddha. Akibatnya, kita menemukan di dalam Sutta-Nipaata berlangsung suatu proses pendefinisian-ulang. Sang Buddha meminjam suatu konsep atau istilah dari wacana normal, tetapi memberinya makna baru. Dalam banyak kasus, ia melakukan 'peningkatan-makna' terhadap istilah bersangkutan--artinya, ia memberinya makna yang lebih tinggi, makna yang termasuk tingkat pengalaman yang sama sekali baru. Misalnya, Sang Buddha mengambil istilah-istilah yang mempunyai makna sosial dan memberinya makna spiritual-eksistensial.
Di dalam Vaase.t.tha-sutta (sutta 3.9), misalnya, Sang Buddha mengambil istilah 'brahmana' untuk tujuannya sendiri.[17] Vaase.t.tha dan sahabatnya, Bhaaradvaaja, berdebat tentang hal-ihwal brahmana sejati. Sementara Vaase.t.tha beranggapan bahwa orang adalah brahmana berkat tindakan baiknya dan ketaatan terhadap kewajibannya, Bhaaradvaaja beranggapan bahwa keturunan adalah penting:
"Bila orang terlahir dari ibu dan ayah yang baik, dan mempunyai leluhur murni dalam tujuh keturunan, tidak tercela dan tidak terkecam dalam hal kelahiran, begitulah orang menjadi brahmana."Karena tidak berhasil memecahkan perselisihan paham itu, kedua brahmana muda itu memutuskan untuk mendapatkan Sang Buddha dan bertanya kepadanya tentang masalah itu. Sang Buddha menjawab singkat:
"Bukan berkat kelahiran orang menjadi brahmana; bukan berkat kelahiran orang menjadi bukan-brahmana. Berkat tindakannya orang menjadi brahmana; berkat tindakannya orang menjadi bukan-brahmana." (Sn. bait 650)
Sang Buddha membuang makna sosio-biologis kata 'brahmana' dan memberinya makna yang sepenuhnya spiritual. Dalam sutta ini, Sang Buddha memberikan profil brahmana yang ideal secara terperinci, menguraikan berbagai sifat yang dimiliki dan keadaan batin di mana seorang brahmana berada. Seorang brahmana sejati sekarang dianggap sepadan dengan orang yang telah mencapai pencerahan sempurna, dan keadaan ini harus dicapai:
"Dengan kehidupan bertarak, dengan kehidupan suci, dengan pengendalian-diri, dengan penjinakan-diri, dengan ini orang menjadi brahmana. Inilah keadaan tertinggi seorang brahmana." (Sn, 655)
Vasala-sutta (sutta 1.7) menunjukkan proses redefinisi serupa. Sundarika-bhaaradvaaja-sutta (sutta 3.4) menampilkan Sang Buddha mendefinisikan kembali makna ritual-ritual keagamaan, dalam hal ini suatu upacara korban. Sundarika-bhaaradvaaja baru saja menyelesaikan upacara korban api dan mencari orang yang akan diberinya sisa-sisa upacara korban itu. Ia melihat Sang Buddha dan mendekatinya. Sekalipun pada mulanya mencemooh ketika melihat Sang Buddha tidak lebih dari "orang yang bercukur kepala" atau "orang botak" (mundaka), namun Sundarika bercakap-cakap dengannya. Ia segera menyadari bahwa ia berbicara bukan dengan seorang pengemis biasa, dan minta nasehat Sang Buddha tentang bagaimana cara melakukan upacara korban agar benar-benar berhasil. Sang Buddha menjawab bahwa persembahan yang paling berhasil adalah persembahan yang diberikan kepada seorang yang mencapai Pencerahan Sempurna. Praktik persembahan dilepaskan dari konteks permohonan yang setengah magis (yang fungsinya melunakkan hati para dewa dan memohon berkah mereka) dan diletakkannya ke dalam konteks devosional (kebaktian). Persembahan menjadi ungkapan penghormatan kepada orang suci dan penerimaan pengaruhnya.
Kitab Sutta-Nipaata memberikan banyak contoh-contoh serupa tentang pendefinisian-ulang istilah-istilah. Dengan cara ini, Sang Buddha memangkas akar-akar tradisi brahmana. Ia menolak makna yang mengikat dari kepercayaan, pencirian dan praktik keagamaan etnik, dan menggantikannya dengan sesuatu yang bersifat universal. Namun, alih-alih sekadar menolak agama etnik begitu saja, Sang Buddha juga dengan cerdik menggunakan bahasa agama etnik (yang adalah satu-satunya kosa kata yang tersedia baginya) untuk mengkomunikasikan suatu pesan universal.
<bersambung>