Pak Ahiong,
Saya coba sumbang pendapat n masukan aja. Memang sih situasinya berat banget. Kalau saya di posisi Pak Ahiong, saya juga lebih memilih istri saya gak pindah agama. Dan saya yakin, ucapan keras Pak Ahiong "pilih saya atau agama itu?" tuh keluar akibat impuls emosi saja, gak bener2 keluar dari hati nurani Pak Ahiong. Syukurlah istri Anda bisa mengerti, dan juga anggota keluarga lain dapat membantu, sehingga akhirnya istri Pak Ahiong memilih untuk tidak pindah agama dahulu. Tapi saya pikir, ini bukan solusi permanen yang bukan tidak mungkin situasi yang sama (atau bahkan bisa lebih negatif) muncul lagi ke depannya.
Kalau saya rasa sih ... yang sudah terjadi ya sudah. Tidak mungkin kan mengulang kembali masa lalu untuk mencegah tereksposnya istri Pak Ahiong dari komunitas tersebut. Lagipula, banyak sekali sebab2 dan kondisi2 yang menimbulkan "koneksi" antara istri Pak Ahiong dan komunitas tersebut.
Saran saya ... pertama2 jadikan ini sebagai momen refleksi. Istri Pak Ahiong bisa menemukan "ketenangan" di komunitasnya yang baru, tetapi selama ikut ke vihara, dia tidak merasakan "ketenangan" yang sama. Tentu ini menimbulkan pertanyaan, apa sih yang kurang di agama Buddha? Tetapi jangan stop di sana ... karena bukan agama Buddha nya yang memiliki kekurangan .. tetapi kita sendiri yang belum memahami agama Buddha dengan utuh, sehingga kita pikir agama Buddha tidak bisa "memberikan" ketenangan spiritual yang kita inginkan. Nah dari sini, bisa coba direnungkan ... Pak Ahiong sebagai pengikut Buddha yang kuat, pastilah telah merasakan manfaat positif dari agama Buddha yang membuat saddha (keyakinan) Pak Ahiong kuat terhadap Triratna dan tidak mau berpaling ke "lain hati"
dari sini, coba direnungkan, kualitas2 seperti apa saja yang Pak Ahiong ingin istri Pak Ahiong rasakan dari agama Buddha, dan nantinya pelan2 bisa memberikan pemahaman itu.
Kedua, sama "impulsif" nya dengan emosi Pak Ahiong, bisa jadi "ketenangan" yang istri Pak Ahiong rasakan dari komunitas yang baru itu tidak berlangsung lama. Segala sesuatu yang berkondisi, termasuk ketenangan spiritual itu, juga bersifat sementara dan bisa berubah. Bisa jadi selama ini istri Pak Ahiong merasakan ketenangan tersebut, karena komunitas ini menawarkan kenyamanan emosional di saat yang sangat tepat, di mana memang istri Pak Ahiong sangat membutuhkannya di saat tersebut. Kalau seandainya istri Pak Ahiong bisa mantap di jalan spiritualnya yang baru dan membuatnya menjadi "orang yang lebih baik", tentulah sangat positif. Tetapi kalau seandainya ketenangan ini hanya "impulsif", dampaknya bisa negatif ke depannya. Saat istri Pak Ahiong tidak lagi merasa "positif" di situ, dia bisa kecewa berat.
Oleh karena itu, sebagai orang yang sudah berumah tangga (walaupun masih junior hehehe), saya teringat nasehat guru saya mengenai menjalani hidup berumah tangga. Bahwa dalam berumahtangga, kita harus berorientasi pada "kita", bukan pada "saya" atau "kamu", karena sekarang suami dan istri sudah menjadi satu tim. Jadi dalam memecahkan masalah ini, pecahkanlah bersama2.
Maksudnya bersama2 seperti apa? Ini usulan saya saja, dalam mengambil keputusan istri Pak Ahiong untuk "tetap tinggal di Buddhism" atau "pindah agama", bekerja sama lah dalam mengambil keputusan ini. Jadinya, apapun hasil keputusannya nanti, itu adalah keputusan bersama antara Pak Ahiong dan istri, bukan keputusan sepihak saja.
Bagaimana caranya? Saya rasa ijinkanlah istri Pak Ahiong kalau mau ikut event2 di agama tersebut, tetapi dalam mengikutinya ... pergilah bersama
jadi Pak Ahiong menemani istri Pak Ahiong ke sana. Demikian juga sebaliknya, kalau Pak Ahiong dan anak2 ke vihara, istri Pak Ahiong juga ikut. Dengan begitu, imbang
baik ke vihara maupun ke tempat ibadah yang lain, Pak Ahiong dan istri tetap sebagai satu kesatuan.
Dari sini, Pak Ahiong dapat mempelajari, apa saja2 hal2 di agama tersebut yang membuat istri Pak Ahiong merasa nyaman di sana, dan Pak Ahiong bisa merefleksikannya apakah hal2 itu tidak terdapat di agama Buddha. Sebagai Buddhis, saya yakin hal2 positif di agama apapun sudah tercakup di agama Buddha. Dari sini, Pak Ahiong bisa menawarkan perspektif Buddhis ke hal2 tersebut pada istri Pak Ahiong. Dan saya yakin, istri Pak Ahiong pun akan lebih mau mendengarkan
Dan waktu kalian sama2 ke vihara, biarkan istri Pak Ahiong membandingkan dan mempelajari lebih jauh aspek2 Buddhism. Saya pernah baca buku "without Buddhism, I could not be a Christian". Di situ diceritakan, saat orang tersebut mempelajari Buddhism, dia jadi melihat nilai2 yang sebelumnya dia tidak lihat di agamanya sendiri. Dan dari sana, keyakinan terhadap agamannya menjadi lebih baik dan dia menjadi lebih "terbuka" dalam memahami agamanya (tidak sempit). Saya yakin, dengan exposure terhadap agama lain, istri Pak Ahiong dapat mencari tahu, membandingkan, dan mempelajari aspek2 Buddhism yang sebelumnya tidak dia sadari. Dari situ, istri Pak Ahiong akan mendapatkan pemahaman yang lebih seimbang tentang kedua agama.
Dari aktivitas2 di atas, saya yakin akan banyak sekali "healthy discussion" yang bisa Pak Ahiong pelajari bersama2 dengan istri, termasuk pemahaman mengenai kedua agama. Dari diskusi2 yang sehat seperti inilah, nantinya bisa dilihat, yang mana yang lebih cocok untuk istri Pak Ahiong. Kalau seandainya, pada akhirnya, istri Pak Ahiong tetap memilih pindah agama, saya rasa akan sangat bijaksana apabila Pak Ahiong mendukungnya ... karena ini adalah keputusan Anda berdua. Dan juga, pengambilan keputusan diambil berdasarkan pemahaman yang berimbang mengenai kedua sisi, sehingga pada akhirnya pilihan diambil berdasarkan "kebijaksanaan", bukan emosi dan ngotot2an. Dengan kebijaksanaan pula, istri Pak Ahiong akan tetap respect dengan Buddhism dan bahkan tetap menjalankan nilai2 Buddhism walaupun bukan sebagai "Buddhis" di KTP nya.
Semoga bisa sedikit membantu, dan semoga masalahnya cepat terselesaikan. Jadi ingat pepatah, "together we can" hehehe. Jadi lakukan secara bersama ya Pak Ahiong. Ini akan jadi learning experience yang indah untuk hubungan kalian berdua. Semoga keluarganya senantiasa berbahagia dan sejahtera.
Mettacittena,
Luis