Kainyn,
Saya setuju dengan Anda, tentu saja tidak bisa sembarangan mengubah semua konsep yang diajarkan Sang Buddha, apalagi tanpa tujuan yang jelas. Lagipula, negasi dari 3 karakteristik universal telah dipaparkan oleh sang Buddha dalam Udana, “O monks, there is an Unborn, Undying, Unchanging, Uncreated...". Contoh dari negasi yang Anda tulis tidak konsisten dengan apa yang Sang Buddha katakan dalam Udana (perhatikan perbedaan arti dari "semua" dan "ada")
Jadi saya setuju, contoh yang Anda berikan menjelaskan suatu negasi yang salah dan mengubah esensi dari apa yang diajarkan Sang Buddha.
Membaca tulisan2 dan mendengar Dhamma talk dari Ajahn Brahm, saya pribadi merasa beliau cukup hati2 dalam mengutip kata2 Sang Buddha dari Sutta dan Vinaya, untuk men-justify pernyataannya. Dan dari dua konteks ceramah beliau (yang satu waktu seminar - dari Romo Hudoyo, yang satu lagi waktu retreat - link yang saya post), kita lihat bahwa sewaktu retreat, beliau tidak sembarangan mengajarkan 4 Kebenaran Mulia dalam versinya yang di-repackage, tetapi beliau tetap menggunakan versi asli sebagaimana yang tertulis dalam Sutta Pemutaran Roda Dhamma. Dalam buku Mindfulness, Bliss, dan Beyond yang Romo Hudoyo sebutkan, beliau juga sangat hati2 dalam mengutip kata2 Sang Buddha. Buat yang tertarik boleh dibaca seluruh bukunya untuk menilai, lebih baik jangan cuma dari sepenggal paragraf
Saya pribadi melihat apa yang Ajahn Brahm lakukan adalah sebagai kemahiran beliau dalam menarik rekan2 agar tetap berlatih di Jalan Triratna yang penuh kebajikan. Repackaging tanpa mengubah esensinya (yang Romo Hudoyo sebut sebagai Dhamma-tainment), adalah bentuk pembabaran Dhamma yang lebih popular dan mudah dicerna oleh mereka yang belum tertarik atau belum serius mempelajari Dhamma yang "sebenarnya". Tapi mungkin tidak berguna, atau malah menjadi penghambat, untuk rekan2 yang telah tertarik dan serius mempelajari inti Dhamma yang "sebenarnya".
Dalam konteks ini, Ajahn Brahm melihat konteks dan kecenderungan orang2 di Barat yang lebih menyukai pandangan "optimistis", dan sebagai seorang Guru, welas asih beliau melakukan pendekatan seperti ini demi menolong makhluk lain. Tentu saja setelah itu, Ajahn Brahm mengajarkan sesuai dengan apa yang Sang Buddha ajarkan dalam konteks yang lebih serius, contohnya dalam retreat itu. Jadi apa yang Ajahn Brahm lakukan bukanlah suatu tindakan revolusi untuk mengubah Buddha Dhamma seakan2 Kebijaksanaan beliau telah melampaui seorang Samma Sambuddha. Malah sebaliknya, beliau sangat humble dan konsisten dengan apa yang Sang Buddha ajarkan dalam membimbing murid2nya.
Terlepas dari "setuju" atau "tidak setujunya" rekan2 terhadap cara pendekatan "awal" kepada umat2 yang belum serius, untuk tertarik dalam Dhamma, dan kemudian mempelajari secara serius sesuai dengan Tipitaka, saya cuma bilang dalam konteks audiens di Barat, bahkan sampai ke Singapore, cara ini telah berhasil menarik orang2 untuk serius mempelajari Dhamma. Banyak murid2 beliau yang awalnya tidak terlalu tertarik untuk belajar serius, sekarang mahir dalam mempelajari Sutta dan bermeditasi. Semua itu karena pendekatan secara bertahap yang Ajahn Brahm lakukan, dari mulai pendekatan popular dan sederhana, ke pendekatan yang serius. Ini wujud welas asih beliau yang pada akhirnya telah menolong banyak makhluk untuk berjalan dan mempraktikkan Jalan Kebajikan secara serius.
Kalau kita2 dalam konteks Timur memang tidak memerlukan pendekatan yang demikian (sebagai tahap awal), tetapi bisa langsung ke Dhamma serius, saya rasa ini lebih baik lagi
kita bisa langsung belajar ke inti Dhamma yang sebenarnya tanpa perlu Dhamma populer
Ini teladan yang sangat baik sekali. Tetapi sayangnya, ada banyak makhluk di luar sana yang memerlukannya, seperti anak kecil yang butuh mainan sebelum mempelajari sesuatu dengan lebih serius.
Mettacittena,
Luis