//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan  (Read 580841 times)

0 Members and 3 Guests are viewing this topic.

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #60 on: 19 June 2009, 08:31:46 PM »
Quote
Kainyn_Kutho
...
Mungkin bagi anda nyambung, silahkan saja. Bagi saya pribadi, saya tidak cocok dengan orang yang memberikan peta jalan mundur. Ajaran Buddha dimulai dari menyadari Dukkha, bukan keinginan mengejar Kebahagiaan.

Kenapa Buddha tidak mempromosikan kebahagiaan ?

udah jelas... itu cuma kebahagiaan duniawi, dan bisa menjadi masalah kalau anda melekat di kebagiaan tsb. Kebahagiaan tsb adalah hasil samping dari tujuan. Sedangkan tujuan utama adalah melenyapkan/menghentikan Dhukka.

Makanya Dhukka diletakkan point no.1 dan tidak menyebutkan kata bahagia.

bagaimana menurut yg lain ?
Menurutku Sang Buddha dengan tepat mengajarkan dan memakai terminologi Dukkha alih2 Sukha dlm 'Ariya Sacca' yg diterjemahkan sbg Kebenaran Mulia. Kenapa dpt diartikan 'mulia'? Karena utk mengakui kenyataan hidup adl penderitaan, tdk memuaskan tidaklah mudah. Butuh keberanian, kesiapan mental, kepasrahan utk mengakui bahwa 'iya, hidup tdk memuaskan adanya.'

Karena secara naluri sbg manusia kita selalu mencari dan mencari kebahagiaan demi kebahagiaan hingga titik ultimate kebahagiaan yg kita yakini ada dng mengejar keinginan2 kita dan mengingkari bahwa hidup ini penuh ketidakpuasan.
Bahkan jika kita telah dihadapkan pada kenyataan 'hal ini tidak memuaskan adanya' pun kita masih tetap mencari dan membuat pembelaan, 'pasti ada yg memuaskan yg akan ku dapatkan dng cara lain yg lebih baik lagi.'

Jadi Sang Buddha tidak mengiming2i kebahagiaan sebagaimana yg ada di benak manusia pada umumnya. Melainkan kebahagiaan yg didapat dari menyadari hidup adl penderitaan dan melepas darinya. Jika memakai 'kebahagiaan' ditakutkan bukannya pencarian kebenaran benar2 dilakukan, melainkan hanya pemuasan khayalan semata dlm mencari kebahagiaan yg bersifat sementara.
Dan hanya mereka yang berani mengakui hidup adl menderita yg akan menerima ajaran beliau. Bukan mereka yg mencari kesenangan dan kebahagiaan.

Jadi pandangan saya bahwa dhamma ajaran Sang Buddha ini pun subyektif, selagi masih bersifat kebenaran menurut pengalaman empirikal dan konvensional. Mengena hanya pada mereka yg berkenan utk mencari tahu. Dan tidak akan diakui oleh mereka yg belum bersedia mengakui. Tp mengawali dng subyektifitas ini lah seharusnya dpt dicapai kebenaran yg obyektif, ini menurut saya secara teori.
« Last Edit: 19 June 2009, 08:36:02 PM by xuvie »
appamadena sampadetha

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #61 on: 19 June 2009, 10:50:47 PM »
menurut saya relatif sekali pandangan AjahnBrahm,
disitu Ajahn memakai cara agar dunia barat lebih gampang menerima buddhis mengenai dukkha.

sama seperti Buddha memakai cara memperlihatkan dan menawarkan bidadari cantik...
tetapi sei-iring orang belajar buddha dhamma, mereka sendiri akan mengetahui.....

kalau pandangan anda bahwa Ajahn mengajarkan secara terbalik yah itu hak anda....yah moggo.
kalau saya berpandangan dimana Ajahn berusaha membuat dunia barat tertarik belajar buddhism.....
dan ketika se-iring belajar disitu mereka akan mengetahui yg sebenarnya.

salam metta.

Ya, seperti dulu pernah saya bahas. Kalau saya nanti nyebarin Buddhisme di kaum Gypsy, mata pencaharian benar saya taruh di nomor 8, sila ke 2 pancasila saya taruh di sila ke 6 (hanya dilakukan saat athasila).
Kalau saya menyebarkan dhamma di kalangan penjagal, maka samma sankappa saya taruh di nomor 8, sila pertama pancasila, saya taruh di nomor 6 (lagi2 hanya pada saat athasila).


Bagaimana? Mungkin sekalian di kalangan orang-orang yang membenci tubuh mereka sendiri, diajarkan Jhana mundur dari Arupa-Jhana ke Rupa-Jhana?
aduh, anda tidak mengerti yah...^^
begini saja...saya analogikan begini..

ketika anak kecil mau makan eskrim, tetapi kita hanya punya permen...bisa saja anakkecil itu menolak langsung tanpa mau mencoba permen tersebut....
nah,disitu sedikit di ubah,tetap permen dengan model seperti eskrim...

orang barat mungkin jika di ajarkan tentang dukkha langsung "ah malas pesimistik amat"
nah disitu diajarkan dengan cara berbeda....sehingga mereka merasa tertarik...setelah mencoba baru mengerti...

tidak seperti yang anda katakan....mengubah dari arupa-jhana duluan ,kemudian mengubah-ubah sila lalu apalah....
jika nelayan langsung disuruh berhenti membunuh/tangkap ikan, mungkin belum mendengar penjelasan kita....malahan langsung kita yg diceramahi.

salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #62 on: 19 June 2009, 11:13:47 PM »
saudara kaiyin,
paramatha dhamma, itu banyak yang harus direalisasikan....bukan berarti merealisasikan 1 saja semua menjadi bisa....
misalkan dalam mencapai tingkat sotapanna disitu menghancurkan 3 belenggu..

andaikata seseorang telah menghancurkan belenggu tentang miccha-dhitti saja..apakah bisa dikatakan diri-nya belum menghancurkan miccha-dhitti yang sesungguh-sungguh-nya walau karena belum mencapai sotapatti?

Kalau menurut saya, semua dhamma termasuk samma-ditthi dan miccha-ditthi bukanlah paramatha dhamma, itu tetaplah kebenaran relatif. Paramatha dhamma hanyalah satu, kalau boleh di-numerik-kan. Ketika seseorang merealisasikannya, maka ia melihat pandangan salah sebagai pandangan salah, pandangan benar sebagai pandangan benar, namun ia sudah bukan lagi keduanya. Pandangan apa pun sudah tidak memiliki landasan dalam bathinnya. Itu yang disebut "telah menyeberangi arus dan meninggalkan rakit".


Quote
apakah rasa garam itu "asin" dan yang menyatakan adalah asin adalah hanya kapasitas para ariya?
well,well......
anak SD saja jika sadar rasa garam adalah "asin" maka anak SD juga telah menembus sebuah paramatha dhamma.
Rasa garam itu asin adalah paramatha dhamma? Coba tanyakan pada mereka yang tidak memiliki indera pengecap.


Quote
masalah kisah gotami, memang semua orang tahu mesti mati akan tetapi ( ketika di-ingatkan )
misalkan masalah dukkha....tentang 4KM
coba tanyakan pada orang awam yg hidup nyaman, apakah kamu sedang menderita?
mereka tentu akan menjawab "tidak, saya bahagia kok"

tetapi ketika kita mengingatkan bahwa kamu akan menderita tua, menderita sakit, menderita kematian...barulah disadari nya "oh iya masih ada dukkha"
apakah pada saat dijawab "saya bahagia" itu mengatakan bahwa orang tersebut tidak mengetahui akan menderita tua,sakit,mati?

orang bersenang-senang dengan apa yang dimiliki-nya hingga lupa akan kematian, namun ketika berhadapan dengan kematian, dirinya baru mengetahui realita.
tetapi ketika masih bersenang-senang, orang tersebut juga mengetahui bahwa diri-nya pasti akan mati...
Lalu mengapa ketika orang diingatkan dan sadar, tidak jadi Sotapanna pada saat itu?


Quote
btw,kita membahas paramatha dhamma dari awal,bukan penembusan akan buddha-dhamma.
penembusan buddha-dhamma itu sama memang dengan merealisasikan paramatha dhamma...
akan tetapi "paramatha dhamma itu cakupannya luas"

garam rasa asin tidak pernah dibahas sebagai buddha-dhamma ( ajaran buddha ) karena ajaran buddha mengajarkan bagaimana merealisasikan kebahagiaan....
sedangkan yang saya bahas disini merealisasikan paramatha dhamma.....atau kebenaran absolut.
kalau kita membahas penembusan paramatha dhamma tentang ajaran buddha, memang disitu hanya orang ariya yang telah merealisasikan akan tetapi.......seperti yang saya katakan..
buddha dhamma bukan hanya mengajarkan 1.
Kembali lagi, bagi saya Paramatha Dhamma hanya satu, dan tidak bisa dibahas, tidak bisa dibagi-ilmukan, hanya bisa ditembus oleh diri sendiri dengan pengembangan kebijaksanaan. Itulah mengapa saya tidak pernah bahas meditasi dan pengalaman meditasi.
Yang bisa dibahas adalah kebenaran relatif yang bisa mengarahkan orang pada penembusan kebenaran mutlak. Rasa garam adalah asin tidak dibahas oleh Buddha karena kebenaran relatif itu tidak mengarahkan orang pada penembusan. Kecuali mungkin jika ada yang mempunyai kecenderungan tertentu akan garam (sepert halnya kain kotor pada Cula-Panthaka).


Quote
ada 10 belenggu  yg harus dihancurkan, dan jika kita menghancurkan 1 saja...walau belum 9  nya, tetap saja merealisasikan buddha dhamma sebagai paramatha dhamma.

jadi kata "merealisasikan" disini merealisasikan 1 saja atau semua, karena kalau "semua" yang anda maksudkan yah jelas pasti tidak connect karena dari awal saya membahas merealisasikan 1 saja.
karena kalau merealisasikan "semua" saya juga setuju dgn anda....

salam metta.
Ini juga berbeda dengan pendapat saya. Jika seseorang merealisasikan kebenaran mutlak, maka meski ada penghalang lainnya, ia tidak akan mundur. Demikianlah ia disebut seorang ariya. Saya juga tidak selalu menggunakan tolok ukur 10 belenggu ataupun membahas penembusan seorang ariya, karena bahkan walau hanya membahas teorinya pun, sungguh sulit sekali mendeskripsikan fenomena bathin seseorang, apalagi hancurnya belenggu tersebut. Saya beri contoh seorang Pacceka Buddha, adalah susah sekali (kalau bukan tidak mungkin) membahas jalan pikirannya ketika menembus paramatha Dhamma, walaupun hanya sebatas teori. Membahas hal-hal itu, tidak mungkin terhindar dari spekulasi.

Jadi kalau anda mau berdiskusi dengan saya, terpaksa saya katakan saya hanya mampu membahas bagian yang saya sebut sebagai kebenaran relatif itu. Itu juga yang saya katakan pada umat lain ketika bertanya pada saya tentang "nibbana" yang mutlak.
jika demikian, seorang sotapatti-anagami pun belum merealisasikan paramatha dhamma....
karena belum mencapai arahat....

Quote
Rasa garam itu asin adalah paramatha dhamma? Coba tanyakan pada mereka yang tidak memiliki indera pengecap.
ini sama saja anda berkata "coba ajarkan buddha-dhamma pada yg tidak memiliki pikiran"

rasa garam itu relatif? coba panggil 10 orang...dan suruh makan garam banyak-banyak....pasti terjadi dehidrasi bukan....
disitu lah yg dimaksud paramatha......tidak mungkin ada manusia memakan garam seperti nasi putih.
contoh anda makin ngaco..... ;)

Quote
Lalu mengapa ketika orang diingatkan dan sadar, tidak jadi Sotapanna pada saat itu?
terkait sotapatti atau tidak, bukan itu point pembahasannya...
masalah pembahasannya adalah ketika berhadapan dengan realita di depan dengan yang dipikirkan atau yang belum terpikirkan itu berbeda rasa.

sama halnya kadang orang suka ngebut liar....walau mendengar banyak kecelakaan karena ngebut liar....tetap suka ngebut liar..
akan tetapi ketika telah mendapat-kan masalah misalkan jatuh atau cacat, disitu lah baru berhenti ngebut liar....
inilah point-nya..

Quote
Kembali lagi, bagi saya Paramatha Dhamma hanya satu, dan tidak bisa dibahas, tidak bisa dibagi-ilmukan, hanya bisa ditembus oleh diri sendiri dengan pengembangan kebijaksanaan. Itulah mengapa saya tidak pernah bahas meditasi dan pengalaman meditasi.
Yang bisa dibahas adalah kebenaran relatif yang bisa mengarahkan orang pada penembusan kebenaran mutlak. Rasa garam adalah asin tidak dibahas oleh Buddha karena kebenaran relatif itu tidak mengarahkan orang pada penembusan. Kecuali mungkin jika ada yang mempunyai kecenderungan tertentu akan garam (sepert halnya kain kotor pada Cula-Panthaka).
hak anda...silahkan..
kalau saya,  yang telah saya pahami saya bagikan kepada orang lain.
yang belum saya pahami ,maka saya belum bagikan kepada orang lain.

kalau anda berpendapat lain/sebaliknya, mengapa anda masih bisa berkata-kata disini? mengapa anda memberikan nasihat kepada user lain yg membutuhkan?
kalau anda telah menembus arahat, maka saya tidak memiliki kapasitas lagi bertukar pendapat..
tetapi jika belum, mengapa anda mengajarkan beberapa saran/nasehat? bukankah anda belum merealisasikan paramatha dhamma.
apakah anda mau menyesatkan orang lain , karena diri sendiri saja belum merealisasikan....jadi anda sendiri tidak tahu yang anda pegang itu benar atau salah...

saya rasa tidak demikian bukan  ;) kita disini pasti telah menembus suatu paramatha,akan tetapi paramatha yg gampang di pahami dan diselami.
marah marah kepada orang lain tidak baik,karena bisa menyebabkan kesehatan memburuk bagi yg marah >> ini juga paramatha.

kalau semua menurut anda semua ini relatif, buat apa anda memberi masukan kepada orang lain yang anda pegang/pandangan sendiri masih tidak diketahui "benar" atau "ilusi" bukankah bisa saja menjadi relatif maksud saya berubah menjadi buruk/salah.
saya harap bisa dipahami maksud saya...no offense  _/\_ murni diskusi open mind.

Quote
Ini juga berbeda dengan pendapat saya. Jika seseorang merealisasikan kebenaran mutlak, maka meski ada penghalang lainnya, ia tidak akan mundur. Demikianlah ia disebut seorang ariya. Saya juga tidak selalu menggunakan tolok ukur 10 belenggu ataupun membahas penembusan seorang ariya, karena bahkan walau hanya membahas teorinya pun, sungguh sulit sekali mendeskripsikan fenomena bathin seseorang, apalagi hancurnya belenggu tersebut. Saya beri contoh seorang Pacceka Buddha, adalah susah sekali (kalau bukan tidak mungkin) membahas jalan pikirannya ketika menembus paramatha Dhamma, walaupun hanya sebatas teori. Membahas hal-hal itu, tidak mungkin terhindar dari spekulasi.

Jadi kalau anda mau berdiskusi dengan saya, terpaksa saya katakan saya hanya mampu membahas bagian yang saya sebut sebagai kebenaran relatif itu. Itu juga yang saya katakan pada umat lain ketika bertanya pada saya tentang "nibbana" yang mutlak.

tidak perlu lah membahas paccekabuddha atau sammasambuddha terlalu jauh de...
mari bahas dekat-dekat saja...seperti yg saya katakan..

mengapa anda mau memberi nasehat kepada orang padahal anda sendiri tidak "Yakin"/relatif dengan kebenaran yg anda beri.
kalau ternyata anda beri itu sebuah ke-sesatan.?

apakah perlu mencapai arahat baru bisa menasehati seseorang untuk tidak mencuri?
justru ketika kita tahu perbuatan mencuri itu tidak baik dan membawa kepada masalah...maka kita menembus paramatha...
salam metta.
« Last Edit: 19 June 2009, 11:21:21 PM by marcedes »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #63 on: 20 June 2009, 09:11:22 AM »
kata-kata anda sama dengan saudara coedabgf,
apakah harus sampai mencapai sotapanna-arahat untuk mengerti dhamma? tanpa itu semua...sekarang lebih baik di lihat langsung.
ketika kita memakan garam dan dengan kondisi sadar mengetahui rasa garam "asin"
apakah masih harus meragukan rasa dari garam itu.
apakah meragukan kondisi sadar dari diri sendiri?

salam metta.

Mengerti Buddha-dhamma? Semua orang bisa mengerti Buddha-dhamma. Merealisasikan Buddha-dhamma? Itu kapasitas para ariya.
Sory koreksi dikit bro Kainyn :)
IMO, kurang cocok yah pemakaian bahasanya. Seolah2 merealisasikan Buddha dhamma adl eksklusif bagi para ariya. Saat orang awam merealisasikan Buddha-dhamma itulah orang tsb adalah ariya. Jadi bukan karena ariya maka bisa merealisasikan Buddha-dhamma, melainkan merealisasikan Buddha-dhamma maka disebut ariya.

_/\_

Ya, betul. Thanx koreksinya.
Benar, maksud saya adalah yang telah merealisasikan Buddha-dhamma, adalah seorang ariya. Jadi Buddha-dhamma yang telah terealisasi hanya ada dalam kapasitas para ariya. Yang ada dalam kapasitas orang biasa adalah pengertian akan Buddha-dhamma.

 _/\_

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #64 on: 20 June 2009, 09:11:39 AM »
Agree, just like ajahn chan call insect exterminator to kill insect, not the action that seems wise (pake google translate nih ;D =)) )

Most people judgment, obstructed by irrelevant things like "who said that". If it's the one with good reputation, then it must be true. If it's from "just ordinary person", then it's itself doubtable.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #65 on: 20 June 2009, 09:26:30 AM »
Om kainy
anumodana atas pandangan om tentang 4kesunyataan mulia diatas,jangan diperpanjang lagi...

Pertanyaan selanjutnnya,
kita tahu bahwa sang buddha tidak pernah mengajarkan kita untuk meminta2,tidak pernah mengajarkan kita untuk menjadi pengemis,dan sang buddha selalu mengajarkan kita untuk mengandalkan diri sendiri,
kenyataannya,di sebagian besar kalanggan buddhis masih terjadi praktek meminta-minta...
Parahnya,praktek meminta-minta ini diajarkan oleh guru2 besar,sehingga praktek meminta(make a wish) ini sudah menjadi bagian dari buddhisme..
Yang jadi masalah,jika kita coba memberi pengertian kepada mereka,mereka malah menyerang balik,dengan mengatakan kita fanatik,sampai menyerang aliran  buddhis tertentu...
Bagaimana pandangan om kainy mengenai masalah ini...


Kalau mengenai hal ini, seperti saya bilang susah sekali menentukan yang mana benar dan mana yang salah. Setiap orang klaim "saya paling benar". Jadi kalau saya pribadi lebih cenderung menawarkan pandangan kita pada orang lain, mungkin disertai rujukan dalam tipitaka, mudah-mudahan ada yang terima. Tetapi kalau orang tidak mau terima, ya sudah tidak apa. Sungguh buang waktu bicara dengan orang keras kepala.
Mungkin sebagian orang menyebut sikap ini egois atau apa, tetapi kembali lagi bagi saya, ajaran Buddha adalah ajaran mengubah diri sendiri, bukan mengubah orang lain atau mengubah dunia. Hanya orang yang merasa dirinya paling benar yang mau mengubah orang lain, bukan? (Karena saya "benar", maka saya mengubah kamu yang "salah" ikut jalan saya yang "benar".)

Salah satu inti ajaran Buddha adalah Brahma-Vihara, tetapi ini sering, seringkali cuma diterapkan sebagian. Kita mungkin mengasihi orang lain dan tidak mau mereka menderita karena perbuatan mereka sendiri, tetapi jangan lupa untuk menjaga keseimbangan bathin (upekkha) sehingga tidak goyah dan menjadi menderita karena melihat kenyataan yang ada. Inilah kenyataan hidup.


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #66 on: 20 June 2009, 09:35:47 AM »
Menurutku Sang Buddha dengan tepat mengajarkan dan memakai terminologi Dukkha alih2 Sukha dlm 'Ariya Sacca' yg diterjemahkan sbg Kebenaran Mulia. Kenapa dpt diartikan 'mulia'? Karena utk mengakui kenyataan hidup adl penderitaan, tdk memuaskan tidaklah mudah. Butuh keberanian, kesiapan mental, kepasrahan utk mengakui bahwa 'iya, hidup tdk memuaskan adanya.'

Karena secara naluri sbg manusia kita selalu mencari dan mencari kebahagiaan demi kebahagiaan hingga titik ultimate kebahagiaan yg kita yakini ada dng mengejar keinginan2 kita dan mengingkari bahwa hidup ini penuh ketidakpuasan.
Bahkan jika kita telah dihadapkan pada kenyataan 'hal ini tidak memuaskan adanya' pun kita masih tetap mencari dan membuat pembelaan, 'pasti ada yg memuaskan yg akan ku dapatkan dng cara lain yg lebih baik lagi.'

Jadi Sang Buddha tidak mengiming2i kebahagiaan sebagaimana yg ada di benak manusia pada umumnya. Melainkan kebahagiaan yg didapat dari menyadari hidup adl penderitaan dan melepas darinya. Jika memakai 'kebahagiaan' ditakutkan bukannya pencarian kebenaran benar2 dilakukan, melainkan hanya pemuasan khayalan semata dlm mencari kebahagiaan yg bersifat sementara.
Dan hanya mereka yang berani mengakui hidup adl menderita yg akan menerima ajaran beliau. Bukan mereka yg mencari kesenangan dan kebahagiaan.

Jadi pandangan saya bahwa dhamma ajaran Sang Buddha ini pun subyektif, selagi masih bersifat kebenaran menurut pengalaman empirikal dan konvensional. Mengena hanya pada mereka yg berkenan utk mencari tahu. Dan tidak akan diakui oleh mereka yg belum bersedia mengakui. Tp mengawali dng subyektifitas ini lah seharusnya dpt dicapai kebenaran yg obyektif, ini menurut saya secara teori.

Ya, cocok sekali. Hampir semua ajaran yang pernah saya temui juga menjanjikan "kebahagiaan". Ketika saya bertanya, "mana kebahagiaan yang dimaksud?" maka dijawab "nanti" dengan seribu satu alasan dan prosedur yang panjang. Kalau semua ajaran yang ajarin "nanti" saya cobain satu-satu, mau sampai berapa kali saya mati supaya tahu yang benar?

Berbeda dengan ajaran Buddha yang bisa menunjukkan "dukkha" saat ini. Disayangkan sekali justru malah kualitas istimewa ini dibuang.


Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #67 on: 20 June 2009, 09:45:38 AM »
Menurutku Sang Buddha dengan tepat mengajarkan dan memakai terminologi Dukkha alih2 Sukha dlm 'Ariya Sacca' yg diterjemahkan sbg Kebenaran Mulia. Kenapa dpt diartikan 'mulia'? Karena utk mengakui kenyataan hidup adl penderitaan, tdk memuaskan tidaklah mudah. Butuh keberanian, kesiapan mental, kepasrahan utk mengakui bahwa 'iya, hidup tdk memuaskan adanya.'

Karena secara naluri sbg manusia kita selalu mencari dan mencari kebahagiaan demi kebahagiaan hingga titik ultimate kebahagiaan yg kita yakini ada dng mengejar keinginan2 kita dan mengingkari bahwa hidup ini penuh ketidakpuasan.
Bahkan jika kita telah dihadapkan pada kenyataan 'hal ini tidak memuaskan adanya' pun kita masih tetap mencari dan membuat pembelaan, 'pasti ada yg memuaskan yg akan ku dapatkan dng cara lain yg lebih baik lagi.'

Jadi Sang Buddha tidak mengiming2i kebahagiaan sebagaimana yg ada di benak manusia pada umumnya. Melainkan kebahagiaan yg didapat dari menyadari hidup adl penderitaan dan melepas darinya. Jika memakai 'kebahagiaan' ditakutkan bukannya pencarian kebenaran benar2 dilakukan, melainkan hanya pemuasan khayalan semata dlm mencari kebahagiaan yg bersifat sementara.
Dan hanya mereka yang berani mengakui hidup adl menderita yg akan menerima ajaran beliau. Bukan mereka yg mencari kesenangan dan kebahagiaan.

Jadi pandangan saya bahwa dhamma ajaran Sang Buddha ini pun subyektif, selagi masih bersifat kebenaran menurut pengalaman empirikal dan konvensional. Mengena hanya pada mereka yg berkenan utk mencari tahu. Dan tidak akan diakui oleh mereka yg belum bersedia mengakui. Tp mengawali dng subyektifitas ini lah seharusnya dpt dicapai kebenaran yg obyektif, ini menurut saya secara teori.

Ya, cocok sekali. Hampir semua ajaran yang pernah saya temui juga menjanjikan "kebahagiaan". Ketika saya bertanya, "mana kebahagiaan yang dimaksud?" maka dijawab "nanti" dengan seribu satu alasan dan prosedur yang panjang. Kalau semua ajaran yang ajarin "nanti" saya cobain satu-satu, mau sampai berapa kali saya mati supaya tahu yang benar?

Berbeda dengan ajaran Buddha yang bisa menunjukkan "dukkha" saat ini. Disayangkan sekali justru malah kualitas istimewa ini dibuang.
jadi teringat cerita "nanti saya akan bahagia" ^^
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #68 on: 20 June 2009, 09:59:19 AM »
aduh, anda tidak mengerti yah...^^
begini saja...saya analogikan begini..

ketika anak kecil mau makan eskrim, tetapi kita hanya punya permen...bisa saja anakkecil itu menolak langsung tanpa mau mencoba permen tersebut....
nah,disitu sedikit di ubah,tetap permen dengan model seperti eskrim...

orang barat mungkin jika di ajarkan tentang dukkha langsung "ah malas pesimistik amat"
nah disitu diajarkan dengan cara berbeda....sehingga mereka merasa tertarik...setelah mencoba baru mengerti...

tidak seperti yang anda katakan....mengubah dari arupa-jhana duluan ,kemudian mengubah-ubah sila lalu apalah....
jika nelayan langsung disuruh berhenti membunuh/tangkap ikan, mungkin belum mendengar penjelasan kita....malahan langsung kita yg diceramahi.

salam metta.
Analogi ini tidak tepat.
Kebenaran Mulia bukan diubah kemasannya, tetapi diubah isinya, yaitu urutannya.
Anda tidak tepat menganalogikan "appetizer - main course - dessert" yang diubah menjadi "dessert - main course - appetizer" dengan perumpamaan "appetizer kemasan dessert - main course - dessert kemasan appetizer".

Kalau mengubah kemasan itu seperti ini:
tidak bahagia - sebab ketidakbahagiaan - akhir penderitaan - jalan menuju akhir penderitaan. Di sini analogi anda tepat. Dan jika memang begitu, saya rasa tidak masalah.



Kebenaran mulia: dari dukkha menuju akhir dukkha
Bagi orang yang ga suka "pesimis", diganti kebahagiaan (akhir dukkha) mundur ke dukkha

Urutan jhana: dari rupa menuju arupa
bagi orang yang "pembenci keterbatasan tubuh", diganti arupa mundur ke rupa.

Apa bedanya? Seberapa manis anda katakan alasannya, menurut saya itu tetap menjadi urutan mundur.


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #69 on: 20 June 2009, 10:27:30 AM »
jika demikian, seorang sotapatti-anagami pun belum merealisasikan paramatha dhamma....
karena belum mencapai arahat....
Menurut saya sudah, itulah sebabnya mereka tidak bisa lagi "mundur". Bedanya, karena masih ada belenggu lainnya, maka mereka masih terkondisi kelahiran kembali.


Quote
Quote
Rasa garam itu asin adalah paramatha dhamma? Coba tanyakan pada mereka yang tidak memiliki indera pengecap.
ini sama saja anda berkata "coba ajarkan buddha-dhamma pada yg tidak memiliki pikiran"

rasa garam itu relatif? coba panggil 10 orang...dan suruh makan garam banyak-banyak....pasti terjadi dehidrasi bukan....
disitu lah yg dimaksud paramatha......tidak mungkin ada manusia memakan garam seperti nasi putih.
contoh anda makin ngaco..... ;)
Coba panggil 10 orang sakti, suruh makan garam banyak-banyak. Nanti anda lihat apa itu paramatha dhamma versi anda tetap paramatha.


Quote
Quote
Lalu mengapa ketika orang diingatkan dan sadar, tidak jadi Sotapanna pada saat itu?
terkait sotapatti atau tidak, bukan itu point pembahasannya...
masalah pembahasannya adalah ketika berhadapan dengan realita di depan dengan yang dipikirkan atau yang belum terpikirkan itu berbeda rasa.

sama halnya kadang orang suka ngebut liar....walau mendengar banyak kecelakaan karena ngebut liar....tetap suka ngebut liar..
akan tetapi ketika telah mendapat-kan masalah misalkan jatuh atau cacat, disitu lah baru berhenti ngebut liar....
inilah point-nya..
Ya, berarti sampai dia sendiri mati, baru jadi Sotapanna.
Definisi anda sih lain dengan yang saya baca.


Quote
hak anda...silahkan..
kalau saya,  yang telah saya pahami saya bagikan kepada orang lain.
yang belum saya pahami ,maka saya belum bagikan kepada orang lain.

kalau anda berpendapat lain/sebaliknya, mengapa anda masih bisa berkata-kata disini? mengapa anda memberikan nasihat kepada user lain yg membutuhkan?

Saya di sini merespon semua pertanyaan terhadap saya pribadi. Siapa bilang saya di sini sebagai penasihat? Saya bukan siapa-siapa kok.


Quote
kalau anda telah menembus arahat, maka saya tidak memiliki kapasitas lagi bertukar pendapat..
tetapi jika belum, mengapa anda mengajarkan beberapa saran/nasehat? bukankah anda belum merealisasikan paramatha dhamma.
apakah anda mau menyesatkan orang lain , karena diri sendiri saja belum merealisasikan....jadi anda sendiri tidak tahu yang anda pegang itu benar atau salah...
Karena yang saya bagikan ke orang, bukan berkenaan dengan paramatha dhamma, tetapi masih yang relatif. Oleh karena itu seringkali saya bilang kecocokan, kalau tidak cocok ya ga usah dihiraukan.


Quote
saya rasa tidak demikian bukan  ;) kita disini pasti telah menembus suatu paramatha,akan tetapi paramatha yg gampang di pahami dan diselami.
marah marah kepada orang lain tidak baik,karena bisa menyebabkan kesehatan memburuk bagi yg marah >> ini juga paramatha.

kalau semua menurut anda semua ini relatif, buat apa anda memberi masukan kepada orang lain yang anda pegang/pandangan sendiri masih tidak diketahui "benar" atau "ilusi" bukankah bisa saja menjadi relatif maksud saya berubah menjadi buruk/salah.
saya harap bisa dipahami maksud saya...no offense  _/\_ murni diskusi open mind.

Karena relatif itu bukan berarti "selalu berbeda". Cantik itu relatif, orang-orang bilang. Tetapi bukan berarti tiap orang pasti berbeda pendapatnya. Kalau saya bilang "cantik" anda bilang "cantik", itu yang saya bilang cocok. Tapi kalau saya bilang "cantik" anda bilang "jelek", yah tidak apa, itu namanya tidak cocok. Saya bisa katakan alasannya saya bilang cantik, anda pun bisa katakan alasannya anda bilang jelek. Tapi tidak perlu saling memaksakan pandangan, bukan?


Quote
tidak perlu lah membahas paccekabuddha atau sammasambuddha terlalu jauh de...
mari bahas dekat-dekat saja...seperti yg saya katakan..

mengapa anda mau memberi nasehat kepada orang padahal anda sendiri tidak "Yakin"/relatif dengan kebenaran yg anda beri.
kalau ternyata anda beri itu sebuah ke-sesatan.?

apakah perlu mencapai arahat baru bisa menasehati seseorang untuk tidak mencuri?
justru ketika kita tahu perbuatan mencuri itu tidak baik dan membawa kepada masalah...maka kita menembus paramatha...
salam metta.
Ini tidak saya jawab karena tidak sesuai dengan pandangan saya akan kebenaran mutlak & relatif. Saya bilang itu semua relatif, dan anda bilang mutlak, jadi tidak mungkin nyambung.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Buddhisme = Pesimistik?
« Reply #70 on: 20 June 2009, 01:29:40 PM »
A bertemu dengan B menanyakan tentang ajaran Buddha.

A: Benarkah Buddha mengajarkan hidup ini adalah dukkha?
B: Benar

A: Banyak yang bisa dilakukan dalam hidup, bukankah mengatakan hakikat hidup adalah dukkha adalah pandangan pesimis?

B: Apa kerjaan anda?
A: Saya seorang manager perusahaan

B: Untuk apa anda bekerja?
A: Untuk mendapatkan uang, memenuhi kebutuhan

B: Setelah dapat uang cukup, lalu apa yang anda lakukan?
A: Saya akan mencari istri yang sesuai, punya keluarga, dan membahagiakan mereka

B: Setelah itu?
A: Saya akan mempertahankan kebahagiaan itu seumur hidup

B: Dengan begitu, anda katakan hakikat hidup adalah bahagia?
A: Ya, hidup saya bahagia

B: Jika pada dasarnya, hidup anda adalah kepuasan, mengapa engkau masih mencari uang untuk mengejar pemuasan kebutuhan?
A: ...

B: Jika pada dasarnya, hidup anda ini adalah kebahagiaan, mengapa anda membutuhkan seorang istri dan keluarga untuk melengkapi kekosongan?
A: ...

B: Jika pada dasarnya, hidup ini adalah bukan dukkha, mengapa kita masih saja selalu mengejar kebahagiaan?
A: ...

----

Ketika orang mengabaikan kebaikan dalam satu fakta, maka orang itu disebut pesimisik. Jika seseorang mengabaikan risiko dalam satu fakta, maka orang itu disebut optimistik.

Orang pesimis tidak mampu berkembang karena tidak bisa melihat kesempatan, sedangkan orang optimis berada di ambang kejatuhan.
Seorang yang bisa melihat kenyataan bukanlah seorang optimis maupun pesimis; tetapi ia tahu kapan untuk maju ketika ada kesempatan dan kapan untuk menahan diri ketika ada bahaya mengancam.



Offline tula

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 482
  • Reputasi: 24
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #71 on: 20 June 2009, 03:55:06 PM »
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...

terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)

tp ada 1 hal yg tula mau tau pendapat yg lain ...
menurut temen2 (kainyn, ryu, marcedes, jhonz, yuri, dll dll dll dll ... ) ... apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?

kalo yg tula pahami .. berakirnya dukha jg termasuk berakhirnya kebahagiaan, dll , semua berakhir ....

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #72 on: 20 June 2009, 04:08:24 PM »
aduh, anda tidak mengerti yah...^^
begini saja...saya analogikan begini..

ketika anak kecil mau makan eskrim, tetapi kita hanya punya permen...bisa saja anakkecil itu menolak langsung tanpa mau mencoba permen tersebut....
nah,disitu sedikit di ubah,tetap permen dengan model seperti eskrim...

orang barat mungkin jika di ajarkan tentang dukkha langsung "ah malas pesimistik amat"
nah disitu diajarkan dengan cara berbeda....sehingga mereka merasa tertarik...setelah mencoba baru mengerti...

tidak seperti yang anda katakan....mengubah dari arupa-jhana duluan ,kemudian mengubah-ubah sila lalu apalah....
jika nelayan langsung disuruh berhenti membunuh/tangkap ikan, mungkin belum mendengar penjelasan kita....malahan langsung kita yg diceramahi.

salam metta.
Analogi ini tidak tepat.
Kebenaran Mulia bukan diubah kemasannya, tetapi diubah isinya, yaitu urutannya.
Anda tidak tepat menganalogikan "appetizer - main course - dessert" yang diubah menjadi "dessert - main course - appetizer" dengan perumpamaan "appetizer kemasan dessert - main course - dessert kemasan appetizer".

Kalau mengubah kemasan itu seperti ini:
tidak bahagia - sebab ketidakbahagiaan - akhir penderitaan - jalan menuju akhir penderitaan. Di sini analogi anda tepat. Dan jika memang begitu, saya rasa tidak masalah.



Kebenaran mulia: dari dukkha menuju akhir dukkha
Bagi orang yang ga suka "pesimis", diganti kebahagiaan (akhir dukkha) mundur ke dukkha

Urutan jhana: dari rupa menuju arupa
bagi orang yang "pembenci keterbatasan tubuh", diganti arupa mundur ke rupa.

Apa bedanya? Seberapa manis anda katakan alasannya, menurut saya itu tetap menjadi urutan mundur.
saudara kaiyin, apakah anda tahu persis mental Ajahn mengubah disitu? tidak bukan.
jadi apabila yang dimaksudkan Ajahn mengubah untuk merangsang dunia barat "mau" memegang buku buddhis saja dan membacanya itu sudah bagus..
ketimbang baru melihat buku buddhis malah langsung di simpan tanpa dibuka.

jadi kalau saya berpikir bahwa Ajahn berusaha membuat seseorang mencicipi rasa dari buddhism, terkait suka atau tidak suka urusan belakang.
ketimbang baru berbicara ttg buddhism, orang sudah menolak mencoba...bukankah sayang.

Quote
Menurut saya sudah, itulah sebabnya mereka tidak bisa lagi "mundur". Bedanya, karena masih ada belenggu lainnya, maka mereka masih terkondisi kelahiran kembali.

loh,dari tadi saya katakan apabila seseorang menghancurkan 1 belenggu,
memangnya belenggu setelah dihancurkan bisa timbul lagi?.......
jadi ketika seseorang telah menghancurkan 1 belenggu,orang itu juga telah merealisasikan paramatha dhamma.

ketika anda tidak setuju dengan kata contoh saya,sekarang anda mengatakan "tidak bisa mundur" atau dengan kata lain anda setuju....^^

Quote
Quote
saudara kaiyin,
paramatha dhamma, itu banyak yang harus direalisasikan....bukan berarti merealisasikan 1 saja semua menjadi bisa....
misalkan dalam mencapai tingkat sotapanna disitu menghancurkan 3 belenggu..

andaikata seseorang telah menghancurkan belenggu tentang miccha-dhitti saja..apakah bisa dikatakan diri-nya belum menghancurkan miccha-dhitti yang sesungguh-sungguh-nya walau karena belum mencapai sotapatti?
Kalau menurut saya, semua dhamma termasuk samma-ditthi dan miccha-ditthi bukanlah paramatha dhamma, itu tetaplah kebenaran relatif. Paramatha dhamma hanyalah satu, kalau boleh di-numerik-kan. Ketika seseorang merealisasikannya, maka ia melihat pandangan salah sebagai pandangan salah, pandangan benar sebagai pandangan benar, namun ia sudah bukan lagi keduanya. Pandangan apa pun sudah tidak memiliki landasan dalam bathinnya. Itu yang disebut "telah menyeberangi arus dan meninggalkan rakit".

Quote
Coba panggil 10 orang sakti, suruh makan garam banyak-banyak. Nanti anda lihat apa itu paramatha dhamma versi anda tetap paramatha.
sy berbicara sesuai keadaan saja, silahkan anda yang pilih orang sakti-nya....nanti saya yang beri garam-nya..
kita lihat hasilnya apa makan garam itu bisa dehidrasi-kehausan, atau kekenyangan dan bertenaga seperti makan nasi putih yg notabane nya karbohidrat.  :P

Quote
Definisi anda sih lain dengan yang saya baca.
silahkan dibaca ulang,

Quote
coba tanyakan pada orang awam yg hidup nyaman, apakah kamu sedang menderita?
mereka tentu akan menjawab "tidak, saya bahagia kok"

tetapi ketika kita mengingatkan bahwa kamu akan menderita tua, menderita sakit, menderita kematian...barulah disadari nya "oh iya masih ada dukkha"
apakah pada saat dijawab "saya bahagia" itu mengatakan bahwa orang tersebut tidak mengetahui akan menderita tua,sakit,mati?

orang bersenang-senang dengan apa yang dimiliki-nya hingga lupa akan kematian, namun ketika berhadapan dengan kematian, dirinya baru mengetahui realita.
tetapi ketika masih bersenang-senang, orang tersebut juga mengetahui bahwa diri-nya pasti akan mati...

Quote
Karena relatif itu bukan berarti "selalu berbeda". Cantik itu relatif, orang-orang bilang. Tetapi bukan berarti tiap orang pasti berbeda pendapatnya. Kalau saya bilang "cantik" anda bilang "cantik", itu yang saya bilang cocok. Tapi kalau saya bilang "cantik" anda bilang "jelek", yah tidak apa, itu namanya tidak cocok. Saya bisa katakan alasannya saya bilang cantik, anda pun bisa katakan alasannya anda bilang jelek. Tapi tidak perlu saling memaksakan pandangan, bukan?
gini aja, "perbuatan mencuri itu perbuatan tercela" >> apakah pernyataan ini disebut kebenaran relatif?

metta
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #73 on: 20 June 2009, 04:14:11 PM »
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...

terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)

tp ada 1 hal yg tula mau tau pendapat yg lain ...
menurut temen2 (kainyn, ryu, marcedes, jhonz, yuri, dll dll dll dll ... ) ... apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?

kalo yg tula pahami .. berakirnya dukha jg termasuk berakhirnya kebahagiaan, dll , semua berakhir ....
ada 2 jawaban
ketika kita bahagia misalkan mendapat-kan jackpot USD1juta...saat itu kita bahagia dan kita tidak menderita...
akan tetapi ketika kita bukan jackpot malah merugi USD1juta, kesedihan(dukkha) timbul dan kebahagiaan lenyap.

maksud pikiran saudara mungkin bahwa berakhir nya permainan USD1juta ( jackpot dan merugi ) malahan kebahagiaan juga berakhir...
kebahagiaan yang dimaksudkan adalah kebahagiaan ter-kondisi


tetapi kalau berakhir dukkha yg dimaksud buddhism,
itu kebahagiaan yang tidak pernah bisa berubah, tidak ter-ikat waktu dan tempat dan tidak ter-ikat hukum niyama-niyama seperti anicca.
atau dengan kata lain tidak-berkondisi...

kebahagiaan melebihi kebahagiaan terkondisi...itulah buddhism.
maaf kalau saya masih bodoh menjelaskan....

salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #74 on: 20 June 2009, 04:20:56 PM »
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...

terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)

tp ada 1 hal yg tula mau tau pendapat yg lain ...
menurut temen2 (kainyn, ryu, marcedes, jhonz, yuri, dll dll dll dll ... ) ... apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?

kalo yg tula pahami .. berakirnya dukha jg termasuk berakhirnya kebahagiaan, dll , semua berakhir ....
Justru harusnya, berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan tertinggi lho
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))