//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Mahayana vs Theravada  (Read 26400 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #45 on: 10 May 2011, 04:06:23 PM »
ya setuju, tapi berusahalah untuk bersikap netral pada waktu membaca tanpa melibatkan hal2 spt yg anda sebutkan di atas

saya membacanya dengan metode analisis semiotika, bukan sebagai seorang Mahayanis.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #46 on: 10 May 2011, 04:11:23 PM »
saya membacanya dengan metode analisis semiotika, bukan sebagai seorang Mahayanis.

saya tidak tahu metode itu, tapi saya membacanya tanpa menggunakan metode apa pun, dan saya mengikuti kesimpulan yg diambil oleh penulis, saya tidak menyimpulkan sendiri. saya sekadar membaca tanpa berusaha menghakimi penulis

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #47 on: 10 May 2011, 04:12:35 PM »
Makna kata "syncretism" menurut Merriam-Webster:
1. the combination of different forms of belief or practice
2. the fusion of two or more originally different inflectional forms

sumber: http://www.merriam-webster.com/dictionary/syncretism

Dari pengertian ini, "syncretism" secara umum dapat berarti percampur-adukan antara dua wujud/bentuk (keyakinan & praktik religius ataupun hal lainnya) yang berbeda; sehingga kesimpulannya adalah: masing-masing darinya kehilangan wujud aslinya akibat kombinasi dan percampuran tersebut. Dalam hal ini, "sinkretisme" berarti menghilangkan otentisitas.

Bagaimana menurut Bro Indra?
« Last Edit: 10 May 2011, 04:15:10 PM by sobat-dharma »
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #48 on: 10 May 2011, 04:13:38 PM »
saya tidak tahu metode itu, tapi saya membacanya tanpa menggunakan metode apa pun, dan saya mengikuti kesimpulan yg diambil oleh penulis, saya tidak menyimpulkan sendiri. saya sekadar membaca tanpa berusaha menghakimi penulis

Justru itulah, metode membantu kta agar tetap objektif dan sistematis dalam memahami teks. Tanpa metode apapun, kita mdah terjebak dalam subjektivitas dan penafsiran acak.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #49 on: 10 May 2011, 04:14:44 PM »
Makna kata "syncretism" menurut Merriam-Webster:
1. the combination of different forms of belief or practice
2. the fusion of two or more originally different inflectional forms

Dari pengertian ini, "syncretism" secara umum dapat berarti percampur-adukan antara dua wujud/bentuk (keyakinan & praktik religius ataupun hal lainnya) yang berbeda, sehingga kesimpulannya adalah masing-masing darinya kehilangan wujud aslinya akibat kombinasi dan percampuran tersebut. Dalam hal ini, "sinkretisme" berarti menghilangkan otentisitas.

Bagaimana menurut Bro Indra?

setengah setuju. jika bagian "sehingga kesimpulannya ..." dihilangkan, maka saya setuju sepenuhnya

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #50 on: 10 May 2011, 04:15:49 PM »
Justru itulah, metode membantu kta agar tetap objektif dan sistematis dalam memahami teks. Tanpa metode apapun, kita mdah terjebak dalam subjektivitas dan penafsiran acak.

mungkin kita perlu pendapat member lain di sini, bagaimana pendapat mrk setelah membaca artikel itu

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #51 on: 10 May 2011, 04:18:26 PM »
setengah setuju. jika bagian "sehingga kesimpulannya ..." dihilangkan, maka saya setuju sepenuhnya

Setiap kata-kata selalu ada konsekuensi pengertian selanjtnya. Dalam logika, sebuah kesimpulan (konklusi) muncul karena adanya premis-premis. Tidak mungkin kita menolak konklusi sama sekali kalau kita masih menggunakan nalar. Benar dan salahnya satu konklusi bisa dievaluasi dari relasinya dengan premis-premisnya. Menolak konklusi sama sekali sama dengan menolak untuk bernalar.   
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #52 on: 10 May 2011, 04:20:56 PM »
Setiap kata-kata selalu ada konsekuensi pengertian selanjtnya. Dalam logika, sebuah kesimpulan (konklusi) muncul karena adanya premis-premis. Tidak mungkin kita menolak konklusi sama sekali kalau kita masih menggunakan nalar. Benar dan salahnya satu konklusi bisa dievaluasi dari relasinya dengan premis-premisnya. Menolak konklusi sama sekali sama dengan menolak untuk bernalar.   

setuju juga, tapi kesimpulan setiap orang bisa berbeda, misalkan dalam contoh definisi yg anda bawakan di atas, saya berkesimpulan "ada sinkretisme yg mampu mempertahankan kemurnian elemen2 di dalamnya", ini bertolak belakang dengan kesimpulan anda bukan?

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #53 on: 10 May 2011, 04:22:26 PM »
mungkin kita perlu pendapat member lain di sini, bagaimana pendapat mrk setelah membaca artikel itu

Boleh saja, tapi ingat dalam ilmu logika dikenal adanya kesalahan logika argumentum ad populum, yaitu meyakini sebuah proposisi sebagai kebenaran dikarenakan banyak orang atau semua orang berpikiran sama. Pendapat orang banyak tidak selalu menjadi kebenaran.

Lalu bagaimana mecari kebenaran?

Mari kita berdiskusi :)
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #54 on: 10 May 2011, 04:25:36 PM »
Boleh saja, tapi ingat dalam ilmu logika dikenal adanya kesalahan logika argumentum ad populum, yaitu meyakini sebuah proposisi sebagai kebenaran dikarenakan banyak orang atau semua orang berpikiran sama. Pendapat orang banyak tidak selalu menjadi kebenaran.

Lalu bagaimana mecari kebenaran?

Mari kita berdiskusi :)

saya tidak sedang mencari kebenaran, jika suatu pendapat dapat saya terima untuk saat ini, saya sudah cukup puas dengan itu, jika suatu saat terbukti bahwa pendapat itu salah, maka saya akan merevisinya, dst. mencari kebenaran di forum sptnya salah tempat.

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #55 on: 10 May 2011, 04:30:32 PM »
setuju juga, tapi kesimpulan setiap orang bisa berbeda, misalkan dalam contoh definisi yg anda bawakan di atas, saya berkesimpulan "ada sinkretisme yg mampu mempertahankan kemurnian elemen2 di dalamnya", ini bertolak belakang dengan kesimpulan anda bukan?

Kalau terjadi sinkretisme berarti tidak mungkin lagi disebut murni. Sebab "murni" dalam pengertiannya adalah "tidak tercampur apapun," sedangkan sinkretisme adalah percampuran antara dua wujud. Jadi tidak mungkin ada sesuatu yang tetap murni jika terjadi percampuran. Coba lihat dalam kamus Webster untuk "pure":  http://www.merriam-webster.com/dictionary/pure.

Ide bro Indra, dimungkinkan jika kita melihat konsep saling beroposisi antara "kemurnian" dan "percampuran/sinkretisme" adalah gradasi, bukan perbedaan absolut. Ada tingkat/level kemurnian (misalnya: emas murni 24 karat, 22 karat dan seterusnya). Meski demikian, hal ini tetap saja tidak menghilangkan fakta bahwa "murn" dan "campur" adalah dua ujung ekstrim dalam kontinuum tersebut.
« Last Edit: 10 May 2011, 04:34:14 PM by sobat-dharma »
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #56 on: 10 May 2011, 04:33:29 PM »
saya tidak sedang mencari kebenaran, jika suatu pendapat dapat saya terima untuk saat ini, saya sudah cukup puas dengan itu, jika suatu saat terbukti bahwa pendapat itu salah, maka saya akan merevisinya, dst. mencari kebenaran di forum sptnya salah tempat.

Ada kebenaran yang namanya kebenaran absolut (seperti Samsara, Nirvana, karma, dan lain2), namun ada kebenaran yang sifatnya relatif atau sementara. Tentu saja dalam diskusi semacama dalam forum ini hanya ada kebenaran relatif atau sementara. Bagaimanapun kan hanya kumpulan2 dari argumen dan opini. 
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #57 on: 10 May 2011, 04:35:14 PM »
Kalau terjadi sinkretisme berarti tidak mungkin lagi disebut murni. Sebab "murni" dalam pengertiannya adalah "tidak tercampur apapun," sedangkan sinkretisme adalah percampuran adalah dua wujud. Jadi tidak mungkin ada sesuatu yang tetap murni jika terjadi percampuran. Coba lihat dalam kamus Webster untuk "pure":  http://www.merriam-webster.com/dictionary/pure.

Ide bro Indra, dimungkinkan jika kita melihat konsep saling beroposisi antara "kemurnian" dan "percampuran/sinkretisme" adalah gradasi, bukan perbedaan absolut. Ada tingkat/level kemurnian (misalnya: emas murni 24 karat, 22 karat dan seterusnya). Meski demikian, hal ini tetap saja tidak menghilangkan fakta bahwa "murn" dan "campur" adalah dua ujung ekstrim dalam kontinuum tersebut.

Sang Buddha Gotama adalah teladan bagi penganut Arahat dan penganut Bodhisattva, bukankah penganut keduanya berujung pada Sang Buddha Gotama? dalam artikel itu dijelaskan bahwa para Arahat pun melakukan aktivitas sosial seperti halnya penganut Bodhisattva, dan sebaliknya penganut Bodhisattva pun tidak melulu melakukan aktivitas sosial, mereka juga melatih samadhi dan pandangan terang. bukankah sebenarnya hal demikian adalah sinkretisme, dalam jenis yg tetap murni pada masing2 aliran?

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #58 on: 11 May 2011, 10:28:52 AM »
Sang Buddha Gotama adalah teladan bagi penganut Arahat dan penganut Bodhisattva, bukankah penganut keduanya berujung pada Sang Buddha Gotama? dalam artikel itu dijelaskan bahwa para Arahat pun melakukan aktivitas sosial seperti halnya penganut Bodhisattva, dan sebaliknya penganut Bodhisattva pun tidak melulu melakukan aktivitas sosial, mereka juga melatih samadhi dan pandangan terang. bukankah sebenarnya hal demikian adalah sinkretisme, dalam jenis yg tetap murni pada masing2 aliran?

Dalam kacamata Bikkhu Bodhi (setidaknya sebagaimana yang saya tangkap), hal yang bro Indra maksud di atas bukan sinkretisme. Pada bagian akhir artikel tersebut, beliau menawarkan apa yang disebut sebagai "integrasi sehat dari kendaran-kendaraan", yang dibedakan dengan "sinkretisme" yang harus dihindari. Menurut beliau: "Buddhisme sejati memerlukan seluruh tiga ini: Buddha, Arahant, dan Bodhisattva." Menurut beliau, Mahayana tidak lahir dari luar Buddhisme dan justru lahir dari kreativitas produk internal dari Buddhis sendiri. Mahayana, meski tidak ada dalam naskah-naskah "Buddhisme awal," menurut beliau, masih bisa diterima dikarenakan merupakan anak dari rahim Buddhisme. Menurut hipotesis beliau, Mahayana mucul karena adanya suatu idealisme tertentu:

"Kita dapat membayangkan suatu periode ketika bodhisattva-yāna telah dengan sadar diterima oleh semakin banyak Buddhis, mungkin pertama dalam lingkaran kecil para bhikkhu, yang mencari tuntunan dari sūtra-sūtra dari Nikāya-nikāya atau Āgama dan kisah-kisah Jātaka yang menceritakan kehidupan-kehidupan lampau Sang Buddha. Mereka masih anggota dari komunitas Buddhis awal dan mungkin bahkan tidak sadar bahwa mereka telah berbelok dan membentuk tradisi baru. Mereka tidak menganggap diri mereka sebagai 'Buddhis Mahāyāna,' seperti yang kita pahami sekarang ini, melainkan hanya sebagai komunitas Buddhis yang bertekad untuk mengikuti bodhisattva-yāna, yang mungkin mereka sebut mahāyāna hanya dalam makna bahwa hal tersebut merupakan “jalan besar” menuju pencerahan. Akan tetapi, walaupun selama beberapa saat mereka telah berusaha untuk tetap berada dalam lingkungan Buddhisme mainstream, begitu mereka mulai secara terbuka menyebarkan sosok ideal bodhisattva, maka mereka terlibat dalam konfrontasi terbuka dengan mereka yang terikat lebih kuat pada gagasan dan sosok ideal dari sūtra-sūtra yang lebih tua dan kokoh. Konfrontasi ini memperkuat makna perbedaan dan dengan demikian mengarahkan gabungan kesadaran mereka kepada komunitas yang berputar di sekitar visi baru dari jalan dan tujuan Buddhis.

Pada titik ini mereka mungkin telah menemukan bahwa ajaran-ajaran dari Nikāya-nikāya dan sūtra-sūtra Āgama, yang menjelaskan praktik yang diperlukan untuk mencapai kebebasan dari lingkaran kelahiran dan kematian, tidak lagi sesuai dengan kebutuhan mereka. Tentu saja, mereka masih menerima ajaran-ajaran ini sebagai benar, karena ajaran tersebut juga berasal langsung dari Sang Buddha, tetapi mereka juga merasakan perlunya naskah-naskah yang berasal dari otoritas yang sama yang memberikan ajaran rinci tentang praktik dan tahap-tahapan jalan bodhisattva, yang bertujuan untuk mencapai tingkat yang tidak lebih rendah dari Kebudhaan. Adalah untuk mengisi keperluan ini, diduga, maka sūtra-sūtra Mahāyāna mulai muncul di pentas Buddhis India."


Oleh karena itu, sebenarnya Bhikkhu Bodhi menawarkan suatu pandangan yang cukup moderat untuk menyatukan Theravada dan Mahayana, yaitu dengan melihat keduanya sebagai integral dalam satu komunitas Buddhis. Hal mana yang menurut beliau bukanlah sinkretisme, karena Mahayana adalah hasil kreatifitas dari anggota "Buddhisme awal," bukan adopsi dari kepercayaan lain.   

Mekipun demikian, saya tetap melihat Bhikkhu Bodhi adalah bagian dari "penganut Nikaya murni," meskipun kadang-kadang ia mengkritik "penganut Nikaya murni" sebagai cara agar beliau berada dalam posisi yang netral.

Ia menamakan "penganut Nikaya murni" sebagai kelompok garis keras yang merupakan "pendukung Nikāya-nikāya yang konservatif," yang menurut beliau, "menolak semua perkembangan belakangan dalam sejarah pemikiran Buddhis sebagai penyimpangan dan distorsi." (Artinya: menolak Mahayana; dalam hal ini Mahayana dianggap sebagai "perkembangan belakang dalam sejarah pemikiran buddhis") . Kelompok inilah yang menurut Bikkhu Bodhi sebagai: "penganut kemurnian Nikāya." Dalam hal ini, Bhikkhu Bodhi memosisikan dirinya berada di luar kelompok tersebut, ketika menawarkan solusi bahwa Mahayana adalah kelompok yang integral . Pada bagian ini sebenarnya saya hampir percaya juga bahwa Bhikkhu Bodhi  bukan penganut Nikaya murni.  Akan tetapi,  saat saya membaca bagian akhirnya, terutama pada bagian yang menyerukan kembali ke otentisitas dan ajaran Buddha yang asli seraya menolak sinkretisme (sebagaimana yang telah saya kutip di atas), saya tiba-tiba menemukan  bahwabeliau sebenarnya masih sepandangan dengan kelompok yang disebutnya sebagai "penganut Nikaya murni,"  (Alasan mengenai hal ini telah kujabarkan di atas), terutama dalam keyakinannya untuk mempertahankan apa yang disebut sebagai "Buddhisme otentik", "awal" atau "asli". Perbedaannya dengan kelompok tersebut, mungkin hanya pada toleransinya terhadap Mahayana, sedangkan beliau tetap mempertahankan dalih-dalih mengenai "kemurnian" atau "otentisitas."  Dalam hal ini, saya melihat Bhikkhu Bodhi hanya versi yang lebih moderat dari apa yang disebutnya sendiri sebagai "penganut Nikaya murni"

Menurut saya, hal ini yang harus dipertanyakan adalah soal konstruksi "Buddhisme awal" atau "asli": bagaimana mungkin kita bisa merekonstruksi ulang suatu Buddhisme awal yang diklaim sebagai asli, padahal sebagaimana yang dikatakannya sendiri oleh beliau, hal yang dimaksud "tidak berhasil bertahan dalam kehancuran." Saya membayangkan bagaimana Bhikkhu Bodhi berusaha mengais-ngais dari serakan naskah-naskah Nikaya pali, sambil berusaha memilah mana yang asli dan mana yang tidak, dalam usahanya untuk menemukan model yang  bisa diakui sebagai prototype "Buddhisme awal." Tugas ini hampir seperti tugas arkeologi. Bahayanya dalam tugas ini adalah, seseorang bisa sulit membedakan antara mana yang merupakan hanya imajinasi atau mana yang merupakan bentuk "Buddhisme awal" yang sebenarnya.
« Last Edit: 11 May 2011, 10:37:45 AM by sobat-dharma »
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Mahayana vs Theravada
« Reply #59 on: 11 May 2011, 10:37:14 AM »

Oleh karena itu, sebenarnya Bhikkhu Bodhi menawarkan suatu pandangan yang cukup moderat untuk menyatukan Theravada dan Mahayana, yaitu dengan melihat keduanya sebagai integral dalam satu komunitas Buddhis. Hal mana yang menurut beliau bukanlah sinkretisme, karena Mahayana adalah hasil kreatifitas dari anggota "Buddhisme awal," bukan adopsi dari kepercayaan lain.   

Mekipun demikian, saya tetap melihat Bhikkhu Bodhi adalah bagian dari "penganut Nikaya murni," meskipun kadang-kadang ia mengkritik "penganut Nikaya murni" sebagai cara agar beliau berada dalam posisi yang netral.

Ia menamakan "penganut Nikaya murni" sebagai kelompok garis keras yang merupakan "pendukung Nikāya-nikāya yang konservatif," yang menurut beliau, "menolak semua perkembangan belakangan dalam sejarah pemikiran Buddhis sebagai penyimpangan dan distorsi." (Artinya: menolak Mahayana; dalam hal ini Mahayana dianggap sebagai "perkembangan belakang dalam sejarah pemikiran buddhis") . Kelompok inilah yang menurut Bikkhu Bodhi sebagai: "penganut kemurnian Nikāya." Dalam hal ini, Bhikkhu Bodhi memosisikan dirinya berada di luar kelompok tersebut, ketika menawarkan solusi bahwa Mahayana adalah kelompok yang integral . Pada bagian ini sebenarnya saya hampir percaya juga bahwa Bhikkhu Bodhi  bukan penganut Nikaya murni.  Akan tetapi,  saat saya membaca bagian akhirnya, terutama pada bagian yang menyerukan kembali ke otentisitas dan ajaan Buddha yang asli seraya menola sinkretisme (sebagaimana yang telah saya kutip di atas), saya tiba-tiba menemukan beliau sebenarnya masih sepandangan dengan kelompok yang disebutnya sebagai "penganut Nikaya murni,"  (Alasan mengenai hal ini telah kujabarkan di atas), terutama dalam keyakinannya untuk mempertahankan apa yang disebut sebagai "Buddhisme otentik", "awal" atau "asli". Perbedaannya dengan kelompok tersebut, mungkin hanya pada toleransinya terhadap Mahayana, sedangkan beliau tetap mempertahankan dalih-dalih mengenai "kemurnian" atau "otentisitas."  Dalam hal ini, saya melihat Bhikkhu bodhi hanya versi yang lebih moderat dari apa yang disebutnya sendiri sebagai "penganut Nikaya murni"

Menurut saya, hal ini yang harus dipertanyakan adalah soal konstruksi "Buddhisme awal" atau "asli": bagaimana mungkin kita bisa merekonstruksi ulang suatu Buddhisme awal yang diklaim sebagai asli, padahal sebagaimana yang dikatakannya sendiri oleh beliau, hal yang dimaksud "tidak berhasil bertahan dalam kehancuran." Saya membayangkan bagaimana Bhikkhu Bodhi berusaha mengais-ngais dari serakan naskah-naskah Nikaya pali, sambil berusaha memilah mana yang asli dan mana yang tidak, dalam usahanya untuk menemukan model yang  bisa diakui sebagai prototype "Buddhisme awal." Tugas ini hampir seperti tugas arkeologi. Bahayanya dalam tugas ini adalah, seseorang bisa sulit membedakan antara mana yang merupakan hanya imajinasi atau mana yang merupakan bentuk "Buddhisme awal" yang sebenarnya.

anda terlalu banyak berasumsi dan menilai pribadi penulis, bahkan memperlebar pembahasan yg tidak diulas dalam artikel itu.
banyak hal2 yg anda katakan tidak disebutkan dalam tulisan itu, jadi saya tidak bisa mendiskusikannya dengan anda. misalnya, "sebenarnya Bhikkhu Bodhi menawarkan suatu pandangan yang cukup moderat untuk menyatukan Theravada dan Mahayana", tidak ada dalam artikel itu tertulis bahwa penulis menawarkan ...., jika ingin membahas mengenai kesimpulan anda, saya memilih untuk tidak melanjutkan diskusi.

_/\_

 

anything