Bukan itu yang sebelumnya dibahas, bro fab. Saya membahas yang ini:
Yang saya maksudkan, pengetahuan itu ada dalam ranah pikiran, apakah inputnya lewat cerita/tulisan orang lain ataukah lewat pengalaman sendiri yang notabene adalah dirasakan indera sendiri. Melakukan suatu praktek sendiri dan menembus pengetahuan, ini tentu mungkin, misalnya Ratu Khema yang lihat sendiri (dengan indera matanya) gambaran wanita super cantik yang menua sampai akhirnya jadi tulang, memahami ketidakkekalan (dan dinasihati dikit langsung menembus sotapatti-phala).
Namun adalah juga mungkin bagi seseorang memroses input secara tidak langsung seperti melalui cerita orang lain, dan juga menembus pengetahuan. Contohnya adalah para bhikkhu yang mendengarkan kisah kaya-vicchinda jataka, tidak mengalami sendiri sakitnya, tidak melihat pula petapa dalam cerita, namun hanya dengar-dengar saja, namun mereka bisa menembus sotapatti-phala.
Jadi kesimpulan saya, jika sehubungan dengan pemahaman seseorang mengatakan 'ini teori' karena inputnya dari sumber luar (buku/cerita/internet/dll), dan 'ini praktek' karena inputnya dari pengalaman sendiri, maka saya katakan katakan orang itu tidak mengatakannya dengan benar. Tapi ini kesimpulan pribadi, bro fab & lainnya boleh untuk tidak setuju.
Mungkin keterangan saya sebelumnya agak kurang jelas dan yang ini agak bergeser sedikit dari apa yang ingin saya sampaikan pada postingan sebelumnya, oleh karena itu saya post ulang pernyataan saya:
Pengetahuan anicca, dukkha , anatta adalah beberapa prasyarat mutlak kearah pencerahan, pengetahuan ini tidak harus dari teori, dan pengetahuan anicca yang dimaksud disini harus muncul dari praktek, walaupun ia tahu mengenai anicca, dukkha dan anatta dari teori, menurut saya tidaklah cukup sebagai prasyarat ke arah pencerahan.
Mettacittena,
Pada Culapanthaka, ratu Khema, Bahiya, Sopaka, dlsbnya Pengertian mengenai anicca, dukkha, anatta muncul. Pertanyaannya: apakah tanpa disertai atau dengan disertai melihat ke dalam...?
Menurut saya Jalan kebebasan (pencapaian Sotapanna) tak mungkin muncul bila kita tidak melihat ke dalam (memperhatikan nama-rupa/batin-jasmani)
Yang saya maksudkan praktek suatu keharusan adalah memperhatikan nama-rupa.
Memang saya tak mampu membayangkan seperti petapa Sumedha yang mampu mencapai tingkat kesucian Arahat hanya dengan mendengarkan wejangan Sang Buddha sebanyak empat baris syair saja.
Mungkin ini yang dijadikan alasan untuk membenarkan Pencerahan tanpa usaha.
Kalau sudah begini maka alasan bahwa di masa lampau sudah berlatih sekian lama bla..bla..bla... juga bisa dikemukakan dan akhirnya menjadi diskusi tak berujung seperti sebelumnya.
Sering saya katakan Wisdom adalah skill yang harus dilatih, tanpa melatih tak mungkin Wisdom yang menghancurkan kekotoran batin begitu saja muncul.
Saya hanya bisa mengatakan: GET REAL... no one can achieve The Way without practicing these days!!!
Kesucian didapat setelah berlatih!!!. Entah sudah kenyang berlatih di kehidupan lalu atau berlatih di kehidupan sekarang.
Mettacittena,