Pada saat seseorang sedang berada dalam jhana ia takkan tahu apa yang terjadi pada batin dan jasmaninya. Karena pada saat seseorang sedang berada di dalam jhana, berarti faktor ekaggata hadir. Kalau ada ekaggata berarti batin terpusat/menunggal dengan objek, tak dapat mengetahui yang lain. Hanya ketika ia sudah keluar dari jhana, barulah ia bisa melihat/mengetahui apa yang terjadi (termasuk faktor-faktor batin yang muncul) ketika berada di dalam jhana. Citta bisa mengetahui citta yang terdahulu. Jadi, misalnya seseorang ingin mengonfirmasi pada jhana keberapakah ia berada, maka begitu keluar dari jhana tersebut ia harus langsung memeriksa faktor-faktor jhana yang hadir dengan mengarahkan perhatian ke hadayavatthu. Batin memiliki momentum. Kalau jarak waktunya terlalu lama maka bisa jadi sudah tidak jelas lagi.
Lantas bagaimana menjelaskan kasus di mana seseorang saat sedang berada di dalam jhana (terutama jhana I) masih bisa terganggu suara? Ini disebabkan orang tersebut saat itu sudah tidak berada di dalam jhana lagi, terutama bagi seseorang yang belum mahir, masih sering keluar masuk jhana (bukan dengan kemauan sendiri).
‘‘Dasayime, bhikkhave, kaṇṭakā. Katame dasa? Pavivekārāmassa saṅgaṇikārāmatā kaṇṭako, asubhanimittānuyogaṃ anuyuttassa subhanimittānuyogo kaṇṭako, indriyesu guttadvārassa visūkadassanaṃ kaṇṭako, brahmacariyassa mātugāmūpacāro kaṇṭako, paṭhamassa jhānassa saddo kaṇṭako, dutiyassa jhānassa vitakkavicārā kaṇṭakā, tatiyassa jhānassa pīti kaṇṭako, catutthassa jhānassa assāsapassāso kaṇṭako, saññāvedayitanirodhasamāpattiyā saññā ca vedanā ca kaṇṭako rāgo kaṇṭako doso kaṇṭako moho kaṇṭako. [AN v. 134/5]
“.......for the first jhana, noise is the thorn; for the second jhana, applied and sustained thought are a thorn; for the third jhana, rapture is a thorn .......”
Dari kutipan di atas bisa dilihat bahwa suara adalah duri bagi mereka yang berada di jhana I (penomoran berdasarkan sistem Sutta), vitakka-vicara adalah duri bagi mereka yang berada di jhana II, piti adalah duri bagi mereka yang berada di jhana III, dst. Jadi, bagi mereka yang betul-betul berada di jhana I, suara sudah tak ada lagi. Suara, tepatnya, dikatakan merupakan musuh terdekat dari jhana I (seringkali 5 nivarana juga disebut sebagai musuh terdekat jhana I). Karena bagi mereka yang berada di jhana I masih mudah melorot ke upacara-samadhi, di mana suara merupakan gangguan bagi mereka (mereka masih bisa mendengar suara). Demikian pula bagi mereka yang berada di jhana II, musuh terdekatnya adalah vitakka-vicara karena mereka masih mudah melorot ke jhana I (masih ada vitakka-vicara dalam jhana I).
Saat melakukan vipassana, agar bisa melihat fenomena batin dan jasmani dengan jelas (melihat masing-masing unsur rupa dan batin), seseorang harus masuk dalam jhana keempat terlebih dahulu. Dengan landasan konsentrasi yang sudah kuat itu barulah keluar dari jhana untuk bervipassana. Kalau landasan konsentrasi itu sudah semakin memudar (juga energinya sudah semakin terkuras) sehingga pelaksanaan vipassana sudah tidak efektif lagi maka orang tersebut harus masuk ke dalam jhana ke-4 lagi sehingga landasan konsentrasinya terbangun kembali (juga energinya sudah pulih kembali), lalu keluar dari jhana untuk bervipassana lagi. (Ini menurut sistem yang ada dalam Visuddhi-Magga.)
Untuk mengetahui apakah seseorang sudah mahir dalam jhana atau tidak, salah satu cara adalah melihat apakah orang tersebut mampu bertahan duduk lama tanpa bergerak dalam jangka waktu lama atau tidak? Misalnya 6 sampai 12 jam. Tetapi jangan dibalik ya, orang yang bisa duduk atau berbaring lama tanpa bergerak belum tentu sedang masuk jhana
Tetapi bisa saja bagi mereka yang baru mampu memasuki jhana, mereka hanya bisa duduk selama 1 jam atau kurang. Kalau dilatih lebih lanjut, seharusnya bisa duduk lebih lama.
Khusus untuk jhana ke-4 dan di atasnya, kita bisa melihat apakah orang tersebut masih bernapas atau tidak?
Evam me sutam. Demikianlah yang telah kudengar ................ dari orang lain, bukan dari Sang Buddha sendiri, pun bukan dari pengalaman langsung diri saya. Semoga bermanfaat.