//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA  (Read 54061 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB VI)
« Reply #45 on: 06 March 2012, 11:32:27 PM »
Kemudian Sang Bhagavā, setelah menetap di Āḷavī selama yang Beliau kehendaki, pergi menuju Rājagaha. Berjalan kaki dalam perjalanan itu, akhirnya Beliau tiba di Rājagaha. Di Rājagaha, Sang Bhagavā berdiam di Hutan Besar di Taman Suaka Tupai. Pada saat itu Rājagaha sedang kekurangan makanan. Orang-orang tidak mampu mempersembahkan makanan kepada Saṅgha (namun) mereka ingin mempersembahkan makanan kepada (bhikkhu) istimewa,  sebuah undangan (-makan),  makanan (diizinkan dengan) tiket,  (makanan diberikan) pada hari bulan mengembang atau menyusut, (diberikan) pada hari Uposatha, (diberikan) sehari setelah hari Uposatha. Mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, makanan untuk Saṅgha, makanan untuk (bhikkhu) istimewa, sebuah undangan (-makan), (makanan yang diberikan) sehari setelah hari Uposatha.”

Pada saat itu Kelompok Enam Bhikkhu, setelah memilih makanan-makanan lezat untuk diri mereka, memberikan makanan-makanan tidak lezat kepada bhikkhu (lain). Mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata:

“Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, untuk menunjuk seorang bhikkhu yang memiliki lima kualitas untuk menjadi pembagi makanan:  [175] seorang yang tidak akan menuruti jalan salah  melalui keinginan … melalui kebencian … melalui kebodohan … melalui ketakutan, dan seorang yang akan mengetahui apa yang diberikan dan apa yang tidak diberikan. Dan beginilah, para bhikkhu, seharusnya ia ditunjuk: Pertama, seorang bhikkhu harus diminta …  ‘ … Demikianlah saya memahami hal ini’.”

Pada saat itu para bhikkhu pembagi makanan berpikir: “Sekarang, bagaimanakah makanan itu dibagikan?” Mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, untuk membagikan (makanan) setelah membuatnya menjadi tumpukan-tumpukan dan setelah mengikatkan tiket atau daun.”  ||1||

Pada saat itu tidak ada pembagi tempat tinggal  untuk Saṅgha.  Mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, untuk menunjuk seorang bhikkhu yang memiliki lima kualitas untuk menjadi pembagi tempat tinggal … dan seorang yang akan mengetahui apa yang telah dibagikan dan apa yang tidak dibagikan. Dan beginilah, para bhikkhu, seharusnya ia ditunjuk …  ‘ … Demikianlah saya memahami hal ini’.”

Pada saat itu tidak ada penjaga gudang untuk Saṅgha.  Mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, … dan seorang yang akan mengetahui apa yang dijaga dan apa yang tidak dijaga. Dan beginilah, para bhikkhu, seharusnya ia ditunjuk … ‘ … Demikianlah saya memahami hal ini’.”

Pada saat itu tidak ada penerima jubah  gudang untuk Saṅgha. Mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Aku mengizinkan … dan seorang yang akan mengetahui apa yang diterima dan apa yang tidak diterima … ‘ … Demikianlah saya memahami hal ini’.”

Pada saat itu tidak ada pembagi bahan jubah  … tidak ada pembagi bubur  … tidak ada pembagi buah untuk Saṅgha. Mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, … dan seorang yang akan mengetahui apa yang dibagikan dan apa yang tidak dibagikan … ‘ … Demikianlah saya memahami hal ini’.”

Pada saat itu tidak ada pembagi makanan keras untuk Saṅgha. Makanan keras itu, karena tidak dibagikan, menjadi hilang. Mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Aku mengizinkan kalian … dan seorang yang akan mengetahui apa yang dibagikan dan apa yang tidak dbagikan … ‘ … Demikianlah saya memahami hal ini’.”

Pada saat itu perlengkapan-perlengkapan kecil-kecil diperoleh  dalam gudang Saṅgha. Mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, untuk menunjuk seorang bhikkhu yang memiliki lima kualitas [176] untuk menjadi penyimpan perlengkapan-perlengkapan kecil:  … dan seorang yang akan mengetahui apa yang telah disimpan dan apa yang tidak disimpan. Dan beginilah, para bhikkhu, seharusnya ia ditunjuk … ‘ … Demikianlah saya memahami hal ini’.” Tiap-tiap jarum jahit harus diberikan oleh penyimpan perlengkapan-perlengkapan kecil, gunting harus diberikan, sandal harus diberikan, ikat pinggang … tali bahu … saringan … kendi air pengatur  … keliman bersilang  … keliman bersilang pendek  … keliman melingkar  … keliman melingkar pendek  … pita jalinan  … pengikat  harus diberikan. Jika ada ghee atau minyak atau madu atau sirop gula untuk Saṅgha, maka itu boleh diberikan untuk dikonsumsi sekaligus;  jika dibutuhkan lagi, maka boleh diberikan lagi; jika dibutuhkan lagi, maka boleh diberikan lagi.”

Pada saat itu tidak ada penerima jubah luar  … penerima mangkuk  untuk Saṅgha. Mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, untuk menunjuk … seorang yang akan mengetahui apa yang diterima dan apa yang tidak diterima … ‘ … Demikianlah saya memahami hal ini’.”

Pada saat itu Saṅgha tidak memiliki pengawas para pelayan vihara. Para pelayan vihara karena tidak diawasi, tidak melakukan pekerjaan mereka (dengan baik). Mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, untuk menunjuk seorang pengawas para pelayan vihara … dan seorang yang akan mengetahui apa yang diawasi dan apa yang tidak diawasi … ‘ … Demikianlah saya memahami hal ini’.”

Pada saat itu Saṅgha tidak memiliki pengawas para samaṇera. Para samaṇera karena tidak diawasi, tidak melakukan pekerjaan mereka (dengan baik) … ‘ … Demikianlah saya memahami hal ini’.” ||3||21||

Bagian Ke enam: Tentang Tempat Tinggal

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB VII)
« Reply #46 on: 07 March 2012, 11:51:51 AM »
CULLAVAGGA VII
Tentang Perpecahan


Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Anupiyā. Anupiyā  adalah sebuah kota kecil  dari orang-orang Malla.  Pada saat itu banyak pemuda-Sakya terkemuka yang meninggalkan keduniawian dengan meniru Sang Bhagavā yang telah meninggalkan keduniawian. Pada saat itu Mahānāma orang Sakya dan Anuruddha orang Sakya adalah dua bersaudara. Anuruddha orang Sakya dibesarkan dengan kelembutan. Ia memiliki tiga istana,  satu untuk musim dingin, satu untuk musim panas, dan satu untuk musim hujan. Dihibur selama empat bulan dalam istana musim hujan oleh para musisi perempuan, ia tidak pernah turun dari istana itu. kemudian Mahānāma orang Sakya berpikir:  “Saat ini banyak pemuda Sakya terkemuka yang meninggalkan keduniawian dengan meniru Sang Bhagavā yang telah meninggalkan keduniawian, tetapi tidak ada dari keluarga kami yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Bagaimana jika aku meninggalkan keduniawian, ataukah Anuruddha?” Kemudian Mahānāma orang Sakya mendatangi Anuruddha orang Sakya; setelah datang, ia berkata kepada Anuruddha orang Sakya sebagai berikut: “Saat ini, Anuruddha, banyak pemuda Sakya … tetapi tidak ada dari keluarga kita yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Sekarang, apakah engkau akan meninggalkan keduniawian atau aku yang akan meninggalkan keduniawian.”

“Tetapi, aku telah dibesarkan dengan kelembutan, aku tidak akan mampu meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.  Engkau pergilah.” ||1||

“Marilah, Anuruddha, aku akan mengajarkan engkau tentang kehidupan rumah tangga. Pertama-tama lahan harus dibajak;  setelah dibajak maka lahan harus ditanam, setelah ditanam maka air harus dialirkan ke dalamnya; setelah mengalirkan air ke dalam maka air harus dialirkan keluar; setelah mengalirkan air ke luar engkau harus mencabut rumput liar; setelah mencabut rumput liar engkau harus menunggu masaknya padi; setelah padi masak engkau harus memanennya; setelah memanennya engkau harus mengikatnya dalam ikatan-ikatan; setelah mengikatnya menjadi ikatan-ikatan engkau harus memukul-mukulnya; setelah memukul-mukulnya engkau harus menampi jeraminya; setelah menampi jeraminya [180] engkau harus menampi sekamnya; setelah menampi sekamnya engkau harus mengayaknya; setelah mengayaknya engkau harus menyimpannya  di dalam;  setelah menyimpannya di dalam maka hal yang sama harus dilakukan di tahun berikutnya, dan hal ini harus dilakukan persis sama pada tahun berikutnya.”

“Pekerjaan ini tidak berhenti,  tidak ada akhir dari pekerjaan ini yang terlihat. Kapankah pekerjaan ini berhenti? Kapankah akhir dari pekerjaan ini terlihat? Kapankah kita akan, memiliki kelima utas kenikmatan indria, bersenang-senang tanpa khawatir?”

“Tetapi, Anuruddha, pekerjaan ini tidak berhenti, tidak ada akhir dari pekerjaan ini yang terlihat. Bahkan ketika ayah dan kakek kita meninggal dunia pekerjaan ini tidak berhenti.”

“Baiklah sekarang engkau telah memahami  kehidupan rumah tangga. Aku akan meninggalkan rumah dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

Kemudian Anuruddha si orang Sakya mendatangi ibunyal setelah mendatangi ia berkata kepada ibunya sebagai berikut: “Aku, ibu, ingin meninggalkan rumah dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Kabulkanlah pelepasan keduniawianku dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”  Ketika ia telah mengatakan demikian, ibu Anuruddha si orang Sakya berkata kepada Anuruddha si orang Sakya sebagai berikut:

“Kalian berdua, Anuruddha, adalah kesayanganku, kecintaanku, kesenanganku.  Bahkan jika engkau mati, aku tidak ingin berpisah denganmu. Jadi, bagaimana mungkin aku, selagi engkau masih hidup, mengizinkan untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?” Dan untuk ke dua kalinya … Dan untuk ke tiga kalinya Anuruddha si orang Sakya berkata demikian kepada ibunya: … ibu Anuruddha si orang Sakya berkata kepada Anuruddha si orang Sakya sebagai berikut: “ …bagaimana mungkin aku, selagi engkau masih hidup, mengizinkan untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?” ||2||

Pada saat itu Bhaddiya  sang kepala suku Sakya memerintah suku Sakya dan adalah seorang sahabat dari Anuruddha si orang Sakya. Kemudian ibu Anuruddha berpikir: “Bhaddiya ini adalah … seorang sahabat Anuruddha; ia tidak mungkin dapat meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah,” kemudian berkata kepada Anuruddha si orang Sakya sebagai berikut: “Jika, anakku Anuruddha, Bhaddiya sang kepala suku Sakya pergi meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah maka engkau juga boleh pergi meninggalkan keduniawian.”

Kemudian Anuruddha si orang Sakya mendatangi Bhaddiya sang kepala suku Sakya; setelah mendatangi, ia berkata kepada Bhadiiya sang kepala suku Sakya sebagai berikut: “Pelepasan keduniawianku, sahabat, bergantung pelepasan keduniawianmu.”

“Jika pelepasan keduniawianmu, sahabat, bergantung pada pelepasan keduniawianku, maka janganlah bergantung. Aku, bersama denganmu …  meninggalkan keduniawian menuruti kehendakmu.”

“Marilah, sahabat, kita berdua meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Aku, sahabat, tidak dapat meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. [181] Apa pun hal-hal lain yang dapat kulakukan untukmu, maka aku akan melakukannya. Engkau pergilah meninggalkan keduniawian.”

“Ibuku, sahabat, berkata kepadaku sebagai berikut: ‘Jika, anakku Anuruddha, Bhaddiya sang kepala suku Sakya pergi meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah maka engkau juga boleh pergi meninggalkan keduniawian.’ Tetapi, sahabat, kata-kata ini telah engkau ucapkan: ‘Jika pelepasan keduniawianmu, sahabat, bergantung pada pelepasan keduniawianku, maka janganlah bergantung. Aku, bersama denganmu … meninggalkan keduniawian menuruti kehendakmu.’ “Marilah, sahabat, kita berdua meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

Pada masa itu, orang-orang adalah pengucap kebenaran, menepati janji. Maka Bhaddiya sang kepala suku Sakya berkata kepada Anuruddha si orang Sakya sebagai berikut: “Tunggulah, sahabat, selama tujuh tahun. Setelah tujuh tahun kita berdua akan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Tujuh tahun terlalu lama, sahabat, aku tidak dapat menunggu selama tujuh tahun.”

“Tunggulah, sahabat, selama enam tahun … lima … empat … dua tahun … selama satu tahun.”

“Satu tahun terlalu lama, sahabat, aku tidak dapat menunggu selama satu tahun.”

“Tunggulah, sahabat, selama tujuh bulan. Setelah tujuh bulan kita berdua akan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Tujuh bulan terlalu lama, sahabat, aku tidak dapat menunggu selama tujuh bulan.”

“Tunggulah, sahabat, selama enam … lima … empat … dua bulan … satu bulan … selama setengah bulan. Setelah setengah bulan kita berdua akan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Setengah bulan terlalu lama, sahabat, aku tidak dapat menunggu selama setengah bulan.”

Tunggulah, sahabat, selama tujuh hari. Hingga aku menyerahkan kekuasaan atas kerajaan ini kepada putera-puteraku dan saudara-saudaraku.”

“Tujuh hari tidak terlalu lama, sahabat, aku akan menunggu.” ||3||

Kemudian  Bhaddiya sang kepala suku Sakya dan Anuruddha  dan Anuruddha dan Ānanda dan Bhagu  dan Kimbila  dan Devadatta bersama dengan Upāli si pemangkas rambut  sebagai yang ke tujuh, seperti yang sebelumnya mereka sering pergi ke hutan rekreasi bersama dengan empat barisan bala tentara , demikianlah mereka (pada saat itu) pergi bersama dengan empat barisan bala tentara. Setelah pergi jauh, setelah memulangkan bala tentara itu, setelah melewati wilayah lain, setelah melepaskan perhiasan mereka, setelah mengikatnya dalam satu buntelan dengan jubah luar mereka,  mereka berkata kepada Upāli si pemangkas rambut sebagai berikut: “Pergilah, Upāli, pulanglah, ini akan mencukupi untuk kehidupanmu.” Kemudian Upāli si pemangkas rambut berpikir ketika ia berjalan pulang: “Orang-orang Sakya kejam. Dengan berpikir: ‘Orang ini telah membuat pemuda-pemuda itu meninggalkan keduniawian,’ mereka bahkan mungkin akan membunuhku. Tetapi jika para pemuda Sakya ini akan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, mengapa aku tidak?”

Setelah menurunkan buntelan, setelah menggantung barang-barang itu pada sebatang pohon, dan setelah berkata: “Siapa pun yang melihatnya, maka ini diberikan (kepadanya), [182] ia boleh mengambilnya,”  ia mendatangi para pemuda Sakya itu. Para pemuda Sakya ini melihat Upāli mendekat dari kejauhan; setelah melihatnya, kemudian berkata kepada Upāli sebagai berikut: “Mengapa, Upāli, engkau kembali?”

“Aku berpikir, tuan-tuan muda, sewaktu aku berjalan pulang, ‘Orang-orang Sakya kejam … mereka bahkan mungkin akan membunuhku. Tetapi jika para pemuda Sakya ini akan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, mengapa aku tidak?” maka aku, tuan-tuan muda, setelah menurunkan buntelan … ia boleh mengambilnya,’ dan kembali lagi dari sana.”

“Engkau bertindak benar, Upāli, dalam hal engkau tidak pulang. Orang-orang Sakya kejam … mereka bahkan mungkin akan membunuhmu.” Kemudian para pemuda Sakya ini, dengan membawa Upāli si pemangkas rambut, mendatangi Sang Bhagavā; setelah mendekat, setelah menyapa Sang Bhagavā, mereka duduk dalam jarak yang selayaknya. Ketika mereka telah duduk dalam jarak yang selayaknya, para pemuda Sakya ini berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Kami, Yang Mulia, adalah orang-orang angkuh, Yang Mulia, pemangkas rambut iin, telah menjadi pelayan kami sejak waktu yang lama. Sudilah Yang Mulia mengizinkannya sebagai yang pertama melepaskan keduniawian. Kami akan menyambutnya, bangkit di hadapannya, menghormatinya dengan merangkapkan tangan, dan melakukan tugas-tugas selayaknya. Dengan demikian keangkuhan Sakya akan dapat direndahkan dalam diri kami orang-orang Sakya.” Kemudian Sang Bhagavā mengizinkan Upāli si pemangkas rambut menjadi yang pertama melepaskan keduniawian, dan setelah itu para pemuda Sakya. Kemudian Yang Mulia Bhaddiya dalam satu tahun mencapai tiga pengetahuan,  Yang Mulia Anuruddha mencapai penglihatan-deva,  yang mulia Ānanda mencapai buah memasuki-arus, Devadatta mencapai kekuatan batin  biasa. ||4||

Pada saat itu  Yang Mulia Bhaddiya, yang sedang berdiam di hutan dan di bawah pepohonan dan di tempat-tempat kosong, terus-menerus mengucapkan kata-kata ini: “Ah, betapa bahagianya! Ah, betapa bahagianya!” Kemudian beberapa bhikkhu lain menghadap Sang Bhagavā; setelah menghadap, setelah menyapa Sang Bhagavā, mereka duduk dalam jarak selayaknya. Setelah mereka duduk dalam jarak selayaknya, para bhikkhu ini berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Yang Mulia, Bhikkhu Bhaddiya, berdiam di hutan … mengucapkan kata-kata ini: ‘Ah, betapa bahagianya! Ah, betapa bahagianya!’ Tidak diragukan, Yang Mulia, Bhikkhu Bhaddiya menemukan bahwa kehidupan Brahma ini adalah tidak memuaskan,  dan (walaupun) menetap di hutan dan di bawah pepohonan dan di tempat-tempat kosong, ia mengucapkan kata-kata ini, ‘Ah, betapa bahagianya! Ah, betapa bahagianya!’ ketika ia teringat kegembiraan kerajaan yang ia miliki sebelumnya.”

Kemuaian Sang Bhagavā berkata kepada seorang bhikkhu, “Pergilah engkau, bhikkhu, atas namaKu katakana kepada Bhikkhu Bhaddiya: ‘Yang Mulia Bhaddiya, Sang Guru memanggilmu.” [183]

“Baik, Yang Mulia,” dan bhikkhu itu, setelah menjawab Sang Buddha, mendatangi Yang Mulia Bhaddiya; setelah mendekat, ia berkata kepada Yang Mulia Bhaddiya sebagai berikut: ‘Yang Mulia Bhaddiya, Sang Guru memanggilmu.” ||5||
« Last Edit: 07 March 2012, 11:55:44 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB VII)
« Reply #47 on: 07 March 2012, 11:58:52 AM »
“Baiklah, Yang Mulia,” dan Yang Mulia Bhaddiya, setelah menjawab bhikkhu itu, menghadap Sang Bhagavā; setelah mendekat, setelah menyapa Sang Bhagavā, ia duduk dalam jarak yang selayaknya. Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Bhaddiya setelah ia duduk dalam jarak yang selayaknya: “Benarkah, seperti dikatakan, bahwa engkau, Bhaddiya, berdiam di hutan dan di bawah pepohonan dan di tempat-tempat kosong, terus-menerus mengucapkan kata-kata ini: ‘Ah, betapa bahagianya! Ah, betapa bahagianya!’?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Dalam situasi bagaimanakah, Bhaddiya, sehingga engkau yang sedang berdiam di hutan dan di bawah pepohonan dan di tempat-tempat kosong, terus-menerus mengucapkan kata-kata ini: ‘Ah, betapa bahagianya! Ah, betapa bahagianya!’?”

“Dulu, Yang Mulia, ketika aku masih menjadi seorang penguasa terdapat para pengawal yang menjaga kamar pribadiku dan di luar kamar pribadiku, terdapat pengawal yang menjaga baik di dalam kota maupun di luar kota, dan terdapat pengawal yang menjaga wilayah pedesaan. Tetapi aku, Yang Mulia, walaupun dijaga demikian, berdiam dengan khawatir, cemas, penuh ketakutan, dan gelisah.  Tetapi sekarang aku, Yang Mulia, berdiam di hutan dan di bawah pepohonan dan di tempat-tempat kosong, dengan tidak khawatir, tidak cemas, tidak penuh ketakutan, dan tidak gelisah. Aku tidak khawatir, tenang,  bergantung pada orang-orang lain,  dengan pikiran menjadi seperti binatang buas.  Ini, Yang Mulia, adalah situasi yang kualami ketika, berdiam di hutan dan di bawah pepohonan dan di tempat-tempat kosong, terus-menerus mengucapkan kata-kata ini: ‘Ah, betapa bahagianya! Ah, betapa bahagianya!’”

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami persoalan ini, pada saat itu mengucapkan ucapan berikut ini:

“Pada mereka yang tanpa kebencian, yang telah mengatasi penjelmaan dan tanpa-penjelmaan menjadi ini atau itu,
Ia, melampaui ketakutan, penuh kebahagiaan, tanpa dukacita, para deva tidak dapat melihatnya.” ||6||1||

Kemudian Sang Bhagavā, setelah menetap di Anupiyā selama yang Beliau kehendaki, pergi melakukan perjalanan menuju Kosambī. Dengan melakukan perjalanan secara bertahap Beliau tiba di Kosambī. Di sana Sang Bhagavā menetap di vihara Ghosita. Kemudian ketika Devadatta sedang bermeditasi di dalam kamarnya suatu pemikiran muncul dalam benaknya sebagai berikut: “Siapakah  yang dapat menjadi gembira karena aku, sehingga karena ia gembira denganku maka aku akan dapat memperoleh banyak keuntungan dan kemasyhuran?”  kemudian Devadatta berpikir: “Pangeran Ajātasattu masih muda [184] dan juga memiliki masa depan yang cerah. Bagaimana jika aku membuatnya gembira, sehingga karena ia gembira denganku maka aku akan dapat memperoleh banyak keuntungan dan kemasyhuran?”

Kemudian Devadatta, setelah merapikan tempat tinggalnya, dengan membawa mangkuk dan jubahnya, pergi menuju Rājagaha; akhirnya ia tiba di Rājagaha.  Kemudian Devadatta, setelah mengubah wujudnya  menjadi seorang anak kecil dengan sabuk ular  muncul di pangkuan Pangeran Ajātasattu. Kemudian Pangeran Ajātasattu merasa khawatir, cemas, ketakutan, gelisah.  Kemudian Devadatta berkata kepada Pangeran Ajātasattu sebagai berikut: “Apakah engkau takut padaku, Pangeran?”

“Ya, aku takut. Siapakah engkau?”

“Aku Devadatta.”

“Jika engkau, Yang Mulia, adalah sungguh Guru Devadatta, mohon engkau kembali ke wujudmu semula.” Kemudian Devadatta melepaskan wujud anak kecilnya, berdiri, dengan mengenakan jubah luarnya dan jubah (lainnya) dan membawa mangkuknya, di hadapan Pangeran Ajātasattu. Kemudian Pangeran Ajātasattu, yang sangat gembira melihat kekuatan batin Devadatta, pagi dan malam hari melayaninya dengan lima ratus kereta, dan lima ratus persembahan nasi susu diberikan kepadanya sebagai persembahan makanan.  Kemudian muncul dalam diri Devadatta, dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran,   pikirannya dikuasai oleh hal-hal itu, salah satu di antaranya adalah keinginan sebagai berikut: “Adalah aku yang akan memimpin perkumpulan para bhikkhu.”  Tetapi pada saat itu juga ketika ia berpikir demikian Devadatta mengalami kejatuhan dalam hal kekuatan batinnya.  ||1||

Pada saat itu  Kakudha  orang Koliya,  pelayan Yang Mulia Moggallāna Yang Agung,  baru saja meninggal dunia dan terlahir kembali dalam jasmani ciptaan-pikiran  tertentu, dan  sosoknya  bagaikan dua atau tiga lahan desa Magadha,  namun bahkan dengan sosok sebesar itu ia tidak melukai dirinya atau makhluk lain. Kemudian Kakudha sang deva muda menghadap Yang Mulia Moggallāna Yang Agung; setelah menghadap, setelah menyapa Yang Mulia Moggallāna Yang Agung, ia berdiri pada jarak yang selayaknya. Setelah ia berdiri pada jarak yang selayaknya, deva muda Kakudha berkata kepada Yang Mulia Moggallāna Yang Agung sebagai berikut:

“Devadatta, Yang Mulia, dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, pikirannya dikuasai oleh hal-hal ini, salah satu di antaranya adalah keinginan sebagai berikut: “Adalah aku yang akan memimpin perkumpulan para bhikkhu.”  Tetapi pada saat itu juga ketika ia berpikir demikian Devadatta mengalami kejatuhan dalam hal kekuatan batinnya.” Demikianlah Kakudha berkata si deva muda. Setelah mengatakan hal itu, setelah berpamitan dengan Yang Mulia Moggallāna Yang Agung, dengan Yang Mulia Moggallāna Yang Agung tetap di sisi kanannya ia lenyap dari sana. Kemudian Yang Mulia Moggallāna Yang Agung menghadap Sang Bhagavā; [185] setelah menghadap, setelah menyapa Sang Bhagavā, ia duduk dalam jarak selayaknya. Setelah ia duduk dalam jarak selayaknya, Yang Mulia Moggallāna Yang Agung berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Kakudha orang Koliya, Yang Mulia, yang baru saja meninggal dunia dan telah terlahir kembali dalam jasmani ciptaan-pikiran tertentu … Kemudian Kakudha si deva muda menghadapku … dengan aku tetap di sisi kanannya, ia lenyap dari sana.”

“Tetapi, Moggallāna, apakah Kakudha si deva muda melingkupi pikiranmu dengan pikirannya agar engkau mengetahui apa yang dikatakan oleh Kakudha si deva muda, bahwa demikianlah adanya dan bukan sebaliknya?”

“Yang Mulia, Kakudha si deva muda melingkupi pikiranku dengan pikirannya agar aku mengetahui apa yang dikatakan oleh Kakudha si deva muda, bahwa demikianlah adanya dan bukan sebaliknya.”

“Perhatikan apa yang engkau katakan, Moggallāna, perhatikan apa yang engkau katakan,  Moggallāna. Si dungu ini  akan mengkhianati dirinya sendiri, oleh dirinya sendiri. ||2||

“Moggallāna, terdapat lima guru ini di dunia ini.  Apakah lima ini?

“Ada kasus, Moggallāna, ketika seorang guru, tidak murni dalam hal perilaku moral, berpura-pura, “aku murni dalam perilaku moral,’ dan ia mengatakan, “perilaku moralku murni, bersih, tanpa noda.’ Para siswa mengetahui ini sehubungan dengannya: ‘Guru ini, tidak murni dalam perilaku moral berpura-pura … tanpa noda.’ Tetapi mereka berpikir: ‘Jika kami memberitahukan hal ini kepada para perumah tangga, ia tidak akan menyukainya, dan bagaimana mungkin kami melakukan  apa yang tidak disukainya? Terlebih lagi ia setuju untuk (menerima)  benda-benda kebutuhan seperti jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan untuk yang sakit. Apa pun yang seharusnya dilakukan oleh seseorang, bahkan dengan itu ia  akan dikenal.’ Moggallāna, para siswa melindungi guru seperti itu sehubungan dengan perilaku moral dan guru itu mengharapkan perlindungan dari para siswa sehubungan dengan perilaku moral. ||3||

“Kemudian, Moggallāna, ada kasus ketika seorang guru, tidak murni dalam hal penghidupan, berpura-pura … [186] … tidak murni dalam hal mengajar dhamma, berpura-pura … tidak murni dalam pembabaran … tidak murni dalam pengetahuan dan penglihatan, berpura-puran … Moggallāna, para siswa melindungi guru seperti itu sehubungan dengan pengetahuan dan penglihatan dan guru itu mengharapkan perlindungan dari para siswa sehubungan dengan pengetahuan dan penglihatan. Ini, Moggallāna, adalah lima guru yang terdapat di dunia ini.

“Tetapi Aku, Moggallāna, murni dalam hal perilaku moral, Aku mengakui bahwa Aku murni dalam hal perilaku moral, bahwa perilaku moralKu adalah murni, bersih, tanpa noda. Dan para siswa tidak melindungiKu sehubungan dengan perilaku moral dan Aku tidak mengharapkan perlindungan dari para siswa sehubungan dengan perilaku moral. Aku murni dalam penghidupan … Aku murni dalam hal mengajar dhamma … Aku murni dalam hal pembabaran … Aku murni dalam hal pengetahuan dan penglihatan. Aku mengakui bahwa Aku murni dalam hal pengetahuan dan penglihatan, bahwa pengetahuan dan penglihatanKu adalah murni, bersih, tanpa noda. Dan para siswa tidak melindungiKu sehubungan dengan pengetahuan dan penglihatan dan Aku tidak mengharapkan perlindungan dari para siswa sehubungan dengan pengetahuan dan penglihatan.” ||4||

Kemudian Sang Bhagavā, setelah menetap di Kosambī selama yang Beliau kehendaki, melakukan perjalanan menuju Rājagaha. Melakukan perjalanan secara bertahap, akhirnya Beliau tiba di Rājagaha. Si sana Sang Bhagavā menetap di Hutan Bambu di Taman Suaka Tupai.  Kemudian beberapa bhikkhu menghadap Sang bhagavā; setelah menghadap, setelah menyapa Sang Bhagavā, mereka duduk dalam jarak selayaknya. Setelah mereka duduk dalam jarak selayaknya, para bhikkhu ini berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Pangeran Ajātasattu, Yang Mulia, setiap pagi dan malam hari pergi melayani Devadatta dengan lima ratus kereta, dan lima ratus persembahan nasi susu dibawa sebagai persembahan makanan.”

“Para bhikkhu, jangan iri pada perolehan dan kehormatan dan kemasyhuran Devadatta. Karena, para bhikkhu, selama Pangeran Ajātasattu setiap pagi dan malam pergi melayani Devadatta dengan dengan lima ratus kereta [187] dan (selama) lima ratus persembahan nasi susu dibawa sebagai persembahan makanan, maka Devadatta akan mengalami kemunduran dalam hal kondisi-kondisi batin, bukan kemajuan. Hal ini, para bhikkhu, bagaikan melemparkan  kantung daging  ke hidung seekor anjing buas – seperti halnya, para bhikkhu, anjing itu akan menjadi semakin buas, demikian pula, para bhikkhu, selama Pangeran Ajātasattu setiap pagi dan malam pergi melayani … maka Devadatta akan mengalami kemunduran dalam hal kondisi-kondisi batin, bukan kemajuan. Perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran Devadatta  akan membawa bencana baginya. Perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran Devadatta akan membawa kehancuran baginya. Seperti halnya, para bhikkhu, sebatang pohon pisang yang berbuah untuk menghasilkan bencana bagi pohon itu, berbuah untuk menghasilkan kehancuran bagi pohon itu, demikian pula, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran Devadatta akan membawa bencana baginya, perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran Devadatta akan membawa kehancuran baginya. Seperti halnya, para bhikkhu, sebatang pohon bambu … sebatang buluh, berbuah untuk menghasilkan bencana baginya … demikian pula, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran Devadatta akan membawa … kehancuran baginya,

Sesungguhnya buah pisang akan menghancurkan,
   Buah bambu, buah buluh,
   Demikian pula kehormatan menghancurkan si dungu,
   Bagaikan janin seekor bagal.”  ||5||2||

Demikianlah bagian pengulangan pertama

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB VII)
« Reply #48 on: 07 March 2012, 12:01:49 PM »
Pada saat itu Sang Bhagavā sedang duduk membabarkan dhamma dengan dikelilingi oleh banyak pengikut, termasuk sang raja.  Kemudian Devadatta bangkit dari duduknya, setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā dengan merangkapkan tangan, berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Yang Mulia, sekarang Sang Bhagavā sudah tua, jompo, didera bertahun-tahun, Beliau telah menjalani umur kehidupanNya dan menjelang akhir hidupNya ; Yang Mulia, sudilah Yang Mulia sekarang merasa puas dengan kediaman nyaman di sini dan saat ini,  sudilah Beliau menyerahkan kumpulan para bhikkhu ini kepadaku. Adalah aku yang akan memimpin kumpulan para bhikkhu ini.”

“Cukup, Devadatta, jangan memimpin kumpulan para bhikkhu ini.” Dan untuk ke dua kalinya … Dan untuk ke tiga kalinya Devadatta berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Yang Mulia, sekarang Sang Bhagavā sudah tua, jompo, didera bertahun-tahun …  Adalah aku yang akan memimpin kumpulan para bhikkhu ini.”

“Aku, Devadatta, tidak akan menyerahkan kumpulan para bhikkhu ini bahkan kepada Sāriputta dan Moggallāna. Bagaimana mungkin Aku menyerahkannya kepadamu, seorang malang yang untuk dimuntahkan bagai ludah?”

Kemudian Devadatta berpikir: [188] “Sang Bhagavā di depan kumpulan ini yang termasuk sang raja, mencelaku dengan (menggunakan) kata, ‘untuk dimuntahkan bagai ludah,’ sementara Beliau memuji Sāriputta dan Moggallāna,” karena marah dan tidak senang, setelah berpamitan pada Sang Bhagavā, ia pergi dengan Beliau tetap di sini kanannya.

Dan ini adalah kali pertama Devadatta merasa dengki terhadap Sang Bhagavā. ||1||

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Baiklah, para bhikkhu, silakan Sangha melakukan suatu tindakan (resmi) informasi  melawan Devadatta di Rājagaha dengan tujuan mengumumkan bahwa Devadatta dulu bersifat seperti itu, sekarang ia berubah; dan bahwa apa pun yang dilakukan oleh Devadatta melalui tindakan atau ucapan, dalam hal itu baik Sang Tathāgata atau pun dhamma atau pun Sangha tidak bertangung jawab, melainkan hanya Devadatta yang bertanggung jawab. Dan beginilah, para bhikkhu, hal ini dilakukan: Sangha harus diberitahukan oleh seorang bhikkhu yang berkompeten dan berpengalaman sebagai berikut: ‘Yang Mulia, mohon Saṅgha mendengarkan saya. Jika dianggap baik oleh Saṅgha, silakan Sangha melakukan suatu tindakan informasi melawan Devadatta di Rājagaha, dengan tujuan mengumumkan bahwa Devadatta dulu bersifat seperti itu, sekarang ia berubah; dan bahwa apa pun yang dilakukan oleh Devadatta … hanya Devadatta yang bertanggung jawab. Ini adalah usul. Yang Mulia, mohon Sangha mendengarkan saya. Sangha melakukan tindakan (resmi) informasi melawan Devadatta di Rājagaha, untuk mengumumkan bahwa … hanya Devadatta yang bertanggung jawab. Jika pelaksanaan tindakan (resmi) informasi melawan Devadatta di Rājagaha ini sesuai dengan keinginan Yang Mulia, maka Yang Mulia cukup berdiam diri, mereka yang tidak menginginkan, silahkan berbicara. Tindakan (resmi) informasi melawan Devadatta di Rājagaha, dengan tujuan mengumumkan bahwa Devadatta dulu bersifat seperti itu, sekarang ia berubah; dan bahwa apa pun yang dilakukan oleh Devadatta … hanya Devadatta yang bertanggung jawab dilaksanakan oleh Sangha. Hal Ini sesuai keinginan Saṅgha, oleh karena itu Saṅgha berdiam diri. Demikianlah saya memahami hal ini.’”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta sebagai berikut: “Baiklah, pergilah engkau, Sariputta, berikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha?”

“Sebelumnya, Yang Mulia, aku memuji Devadatta di Rājagaha dengan mengatakan: ‘Putera Godhi memiliki kekuatan batin yang luar biasa, putera Godhi memiliki keagungan luar biasa.’ Bagaimana aku dapat, Yang Mulia, memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha?”

“Bukankah hal itu adalah kebenaran yang engkau ucapkan, Sāriputta, ketika engkau memuji Devadatta di Rājagaha dengan mengatakan: ‘Putera Godhi memiliki … keagungan luar biasa’?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Meskipun begitu, Sāriputta, jika engkau memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha, hal itu juga benar.”

“Baiklah, Yang Mulia,” Yang Mulia Sāriputta menyetujui Sang Bhagavā. ||2||

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu, sebagai berikut: “Baiklah, para bhikkhu, biarlah Saṅgha menunjuk Sāriputta untuk memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha dengan mengatakan: ‘Devadatta dulu bersifat seperti itu, sekarang ia berubah; dan bahwa apa pun yang dilakukan oleh Devadatta melalui tindakan atau ucapan, dalam hal itu baik Sang Tathāgata atau pun Sangha tidak bertangung jawab, melainkan hanya Devadatta yang bertanggung jawab.’ Dan beginilah, para bhikkhu, penunjukan Sāriputta disepakati: Pertama-tama, Sāriputta harus diminta; setelah diminta, Saṅgha harus diberitahukan oleh seorang bhikkhu yang berkompeten dan berpengalaman, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, mohon Saṅgha mendengarkan saya. Jika dianggap baik oleh Saṅgha, maka Saṅgha harus menyetujui Sāriputta [189] untuk memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha dengan mengatakan: ‘Devadatta dulu bersifat seperti itu … hanya Devadatta yang bertanggung jawab.’ Ini adalah usul. Jika kesepakatan untuk menunjuk Sāriputta untuk memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha, dengan mengatakan: ‘Devadatta dulu bersifat seperti itu … hanya Devadatta yang bertanggung jawab’ ini sesuai dengan keinginan Yang Mulia, maka Yang Mulia cukup berdiam diri, mereka yang tidak menginginkan, silahkan berbicara. Yang Mulia Sāriputta ditunjuk oleh Saṅgha untuk memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha dengan mengatakan: ‘Devadatta dulu bersifat seperti itu … hanya Devadatta yang bertanggung jawab’ … Hal ini sesuai keinginan Saṅgha, oleh karena itu Saṅgha berdiam diri. Demikianlah saya memahami hal ini’.”

Yang Mulia Sāriputta, yang telah ditunjuk (demikian), setelah memasuki Rājagaha bersama dengan beberapa bhikkhu, memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha dengan tujuan untuk mengumumkan bahwa: “Devadatta dulu bersifat seperti itu, sekarang ia berubah; dan bahwa apa pun yang dilakukan oleh Devadatta melalui tindakan atau ucapan, dalam hal itu baik Sang Tathāgata atau pun dhamma atau pun Sangha tidak bertangung jawab, melainkan hanya Devadatta yang bertanggung jawab.” Orang-orang itu yang kurang berkayinan, tidak mempercayai, yang kurang cerdas, berkata sebagai berikut: “Para petapa ini, para putera Sakya cemburu, mereka iri pada perolehan dan kehormatan Devadatta.” Tetapi mereka yang berkeyakinan dan yang percaya,  yang bijaksana dan cerdas berkata sebagai berikut: “Hal ini pasti bukan urusan biasa sehingga Sang Bhagavā memutuskan untuk memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha.” ||3||

Kemudian Devadatta mendatangi Pangeran Ajatasattu; setelah mendatanginya, ia berkata kepada Pangeran Ajātasattu sebagai berikut: “Dulu,  pangeran, orang-orang berumur panjang, sekarang mereka berumur pendek, dan adalah mungkin bahwa engkau, selagi masih menjadi seorang pangeran, meninggal dunia, sekarang engkau, pangeran, setelah membunuh ayahmu, akan menjadi raja. Aku, setelah membunuh Sang Bhagavā, aku menjadi Yang Tercerahkan.” Dan Pangeran Ajātasattu berpikir: “Guru Devadatta memiliki kekuatan batin yang luar biasa, keagungan yang luar biasa; Guru Devadatta pasti mengetahui (apa yang benar).” Setelah mengikatkan sebilah belati  di pahanya, pada dini hari (walaupun) ngeri, cemas, takut, gelisah, memasuki kamar pribadi (raja) dengan paksa. Tetapi menteri yang menjaga kamar pribdi melihat Pangeran Ajātasattu pada dini hari itu (walaupun) ngeri, cemas, takut, gelisah, memasuki kamar pribadi (raja) dengan paksa. Melihatnya, mereka menangkapnya, mereka menggeledahnya, dan setelah melihat sebilah belati terikat dipahanya, mereka bertanya kepada Pangeran Ajātasattu: “Apa yang hendak engkau lakukan, pangeran?”

“Aku hendak membunuh ayahku.”

“Siapakah yang menyuruhmu?”

“Guru Devadatta.” Beberapa menteri memberikan pendapat: “Pangeran harus dibunuh dan Devadatta serta seluruh bhikkhu harus dibunuh.”  Beberapa menteri memberikan pendapat: “Para bhikkhu tidak perlu dibunuh karena para bhikkhu tidak melakukan kesalahan,  tetapi Pangeran dan Devadatta harus dibunuh.” Beberapa menteri memberikan pendapat: “Pangeran tidak perlu dibunuh, juga Devadatta dan para bhikkhu tidak perlu dibunuh. Raja harus diberitahu dan kita akan melakukan apa pun yang dikatakan raja.” ||4||

Kemudian para menteri ini, membawa Pangeran Ajātasattu menghadap Raja Seniya Bimbisara dari Magadha; [190] setelah menghadap, mereka memberitahukan persoalan ini kepada Raja Seniya Bimbisara dari Magadha. Ia berkata: “Pendapat apakah, yang telah terbentuk oleh para menteriku?”

“Beberapa menteri, Baginda, memberikan pendapat ini … Beberapa menteri, Baginda, memberikan pendapat ini … Beberapa menteri, Baginda, memberikan pendapat ini: ‘Pangeran tidak perlu dibunuh, juga Devadatta dan para bhikkhu tidak perlu dibunuh. Raja harus diberitahu dan kita akan melakukan apa pun yang dikatakan raja.’”

“Apakah, para menteriku, hubungan Sang Tathāgata atau dhamma dengan kasus (ini)? Bukankah Sang Bhagavā telah memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha untuk memgumumkan bahwa Devadatta dulu bersifat seperti itu, sekarang ia berubah; dan bahwa apa pun yang dilakukan oleh Devadatta melalui tindakan atau ucapan, dalam hal itu baik Sang Tathāgata atau pun dhamma atau pun Sangha tidak bertangung jawab, melainkan hanya Devadatta yang bertanggung jawab?”

Para menteri ini yang telah memberikan pendapatnya sebagai berikut: ‘Pangeran harus dibunuh dan Devadatta serta seluruh bhikkhu harus dibunuh,’ mereka ini ia bubarkan.  Para menteri ini yang telah memberikan pendapatnya sebagai berikut: ‘Para bhikkhu tidak perlu dibunuh karena para bhikkhu tidak melakukan kesalahan, tetapi Pangeran dan Devadatta harus dibunuh,’ mereka ini ia turunkan jabatannya. Para menteri ini yang telah memberikan pendapatnya sebagai berikut: ‘’Pangeran tidak perlu dibunuh, juga Devadatta dan para bhikkhu tidak perlu dibunuh. Raja harus diberitahu dan kita akan melakukan apa pun yang dikatakan raja.’ Mereka ini ia naikkan jabatannya. Kemudian Raja Seniya Bimbisara dari Magadha berkata kepada Pangeran Ajātasattu sebagai berikut:

“Mengapa engkau, pangeran, ingin membunuhku?”

“Baginda, aku menginginkan kerajaan.”

“Jika engkau, pangeran, menginginkan kerajaan, maka kerajaan ini menjadi milikmu,” dan ia menyerahkan kerajaan itu kepada Pangeran Ajātasattu. ||5||

Kemudian Devadatta mendatangi Pangeran Ajātasattu ; setelah mendatangi ia berkata kepada Pangeran Ajātasattu sebagai berikut:

“Baginda, perintahkan orang-orangmu agar mereka membunuh Petapa Gotama.” Kemudian Pangeran Ajātasattu memerintahkan orang-orangnya, dengan berkata: “Orang-orangku, lakukan apa yang dikatakan oleh Guru Devadatta.” Kemudian Devadatta memerintahkan mereka dengan mengatakan, “Pergilah, teman-teman, Petapa Gotama menetap di suatu tempat. Setelah membunuhnya, kembalilah melalui jalan lain,” dan ia melepas dua orang di jalan itu, dengan berkata: “Siapa pun yang berjalan sendirian melalui jalan ini, setelah membunuhnya, kembalilah melalui jalan ini,” dan setelah melepas empat orang di jalan itu dengan mengatakan: “Jika ada dua orang mana pun yang berjalan di jalan ini, setelah membunuh mereka, kembalilah melalui jalan ini,” dan setelah melepas delapan orang di jalan itu dengan mengatakan: “Jika ada empat orang mana pun yang berjalan di jalan ini, [191] … kembalilah melalui jalan ini,” dan setelah melepas enam belas orang di jalan itu dengan mengatakan: “Jika ada delapan orang mana pun yang berjalan di jalan ini, setelah membunuh mereka, kembalilah melalui jalan ini.” ||6||

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB VII)
« Reply #49 on: 07 March 2012, 12:02:58 PM »
Kemudian orang itu yang berjalan sendirian, setelah memegang pedang dan tameng, setelah mengikat busur dan kantung anak panah,  mendatangi Sang Bhagavā; setelah mendatangi Beliau, ketika ia cukup dekat dengan Sang Bhagavā ia berdiri diam, tubuhnya kaku  karena ngeri, cemas, takut, gelisah.  Sang Bhagava melihat orang itu berdiri diam, tubuhnya kaku … gelisah dan setelah melihatnya, Beliau berkata kepada orang itu sebagai berikut: “Kemarilah, sahabat, jangan takut.” Kemudian orang itu, setelah mengesampingkan pedang dan tamengnya ke satu sisi, setelah menurunkan busur dan kantung anak panah, mendekati Sang Bhagavā, setelah mendekat, setelah mencondongkan kepalanya ke kaki Sang Bhagavā, ia berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, aku dungu, sesat, bersalah, dalam hal bahwa aku datang ke sini dengan pikiran jahat,  pikiran membunuh.  Yang Mulia, sudilah Yang Mulia mengakuinya bagiku pelanggaran sebagai pelanggaran demi pengendalian di masa depan.”

“Sungguh, sahabat, suatu elanggaran menguasaimu, engkau dungu, sesat, bersalah, dalam hal bahwa engkau datang ke sini dengan pikiran jahat,  pikiran membunuh. Tetapi jika engkau, sahabat, setelah melihat pelanggaran sebagai pelanggaran, mengakui sesuai dengan aturan, maka kami mengakuinya bagimu; karena sahabat dalam dislin mulia, ini adalah kemajuan; siapa pun yang setelah melihat pelanggaran sebagai pelanggaran, mengakuinya sesuai aturan, maka ia mencapai pengendalian di masa depan.”

Kemudian Sang Bhagavā membabarkan khotbah bertahap  kepada orang ini, yaitu, khotbah tentang kedermawanan, khotbah tentang perilaku bermoral, khotbah tentang alam surga … penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan Sang Jalan. Seperti halnya sehelai kain bersih tanpa noda akan diwarnai dengan mudah, demikian pula (ketika ia sedang duduk) di tempat itu penglihatan-dhamma, yang tanpa debu, tanpa noda, muncul pada orang itu, bahwa “segala sesuatu yang muncul akan lenyap.” Kemudian orang itu  menjadi salah seorang yang telah melihat dhamma, telah mencapai dhamma, telah mengenal dhamma, masuk ke dalam dhamma, setelah menyeberangi keragu-raguan, setelah menyingkirkan kebimbangan, setelah tanpa bantuan orang lain mencapai keyakinan penuh dalam ajaran Sang Guru, ia berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Mengagumkan, Yang Mulia: Yang Mulia, ini menakjubkan. Seolah-olah seseorang menegakkan apa yang terbalik … demikianlah dhamma dijelaskan dalam berbagai cara oleh Sang Bhagavā, maka aku, Yang Mulia, [192] menyatakan berlindung kepada Sang Bhagavā, dhamma, dan kepada kumpulan para bhikkhu. Sudilah Yang Mulia menerimaku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir hidupku.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada orang itu sebagai berikut “Jangan engkau, sahabat, pergi melalui jalan itu. Pergilah melalui jalan ini,” dan Beliau melepasnya pergi melalui jalan lain. ||7||

Kemudian kelompok dua orang itu, dengan berpikir: “Mengapa orang itu yang sendirian begitu lambat datang ke sini?” pergi untuk menjumpainya dan melihat Sang Bhagavā duduk di bawah sebatang pohon. Melihat Beliau, mereka mendekati Sang Bhagavā; setelah mendekat, setelah menyapa Sang Bhagavā, mereka duduk dalam jarak yang selayaknya. Sang Bhagavā membabarkan khotbah bertahap kepada kedua orang itu …  mencapai keyakinan penuh dalam ajaran Sang Guru, ia berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Mengagumkan, Yang Mulia … Sudilah Yang Mulia menerima kami sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir hidup kami.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada orang-orang itu sebagai berikut “Jangan kalian, sahabat-sahabat, pergi melalui jalan itu. Pergilah melalui jalan ini,” dan Beliau melepas mereka pergi melalui jalan lain. Kemudian kelompok empat orang itu, dengan berpikir: “Mengapa dua orang itu begitu lambat datang ke sini?” … dan Beliau melepas mereka pergi melalui jalan lain. Kemudian kelompok delapan orang itu, dengan berpikir: “Mengapa empat orang itu begitu lambat datang ke sini?” … dan Beliau melepas mereka pergi melalui jalan lain. Kemudian kelompok enam belas orang itu, dengan berpikir: “Mengapa delapan orang itu begitu lambat datang ke sini?” … Sudilah Yang Mulia menerima kami sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir hidup kami.”  ||8||

Kemudian satu orang itu menghadap Devadatta ; setelah menghadap ia berkata kepada Devadatta sebagai berikut: “Yang Mulia, aku tidak mampu membunuh Sang Bhagavā, Sang Bhagavā memiliki kesaktian luar biasa, keagungan luar biasa.”

“Baiklah, sahabat, jangan engkau membunuh Petapa Gptama. Aku sendiri yang akan membunuh Petapa Gotama.”

Pada saat itu Sang Bhagavā sedang berjalan mondar-mandir di bawah keteduhan Puncak Gunung Nasar. Kemudian Devadatta, setelah mendaki Puncak Gunung Nasar melemparkan sebuah batu besar ke bawah, dengan berpikir: “Dengan ini aku akan membunuh Petapa Gotama.” Tetapi dua puncak gunung, bertemu, menghancurkan batu itu, dan (hanya) sepotong kecil dari batu itu, setelah jatuh, melukai kaki Sang Bhagavā hingga berdarah.  Kemudian Sang Bhagavā, setelah melihat ke atas, berkata kepada Devadatta sebagai berikut: “Engkau telah menghasilkan keburukan besar, orang dungu, dalam hal bahwa engkau, dengan pikiran jahat, pikiran membunuh, telah melukai Penemu-Kebenaran hingga berdarah.” Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Ini, para bhikkhu, adalah perbuatan pertama yang akan berbuah segera  yang dikumpulkan oleh Devadatta karena ia, dengan pikiran jahat, pikiran membunuh, melukai Penemu-kebenaran hingga berdarah.” ||9|| [193]

Para bhikkhu mendengar: “Dikatakan bahwa Devadatta berencana untuk membunuh Sang Bhagavā,” maka para bhikkhu ini berjalan mondar-mandir di segala sisi kediaman Sang Bhagavā melakukan penyelidikan dengan suara keras, dengan suara berisik untuk perlindungan, pertahanan dan penjagaan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā mendengar suara-suara keras, suara berisik, dan suara penyelidikan itu, dan karena mendengarnya, Beliau bertanya kepada Yang Mulia Ānanda, dengan berkata:

“Apakah, Ānanda, suara keras, suara berisik, suara penyelidikan ini?”

“Yang Mulia, para bhikkhu mendengar bahwa Devadatta berencana untuk membunuh Sang Bhagavā, maka, Yang Mulia,  para bhikkhu ini berjalan mondar-mandir … untuk perlindungan, pertahanan dan penjagaan Sang Bhagavā. Ini, Yang Mulia, adalah suara keras, suara berisik, suara penyelidikan itu.”

“Baiklah, Ānanda, panggil para bhikkhu ini atas namaKu, dengan mengatakan: ‘Sang Guru memanggil kalian para mulia.’”

“Baik, Yang Mulia,” dan Yang Mulia Ānanda, setelah menjawab Sang Bhagavā, mendatangi para bhikkhu itu; setelah mendatangi, ia berkata kepada para bhikkhu itu sebagai berikut: “Sang Guru memanggil kalian para mulia.”

“Baik, Yang Mulia,” dan para bhikkhu itu, setelah menjawab Yang Mulia Āṅanda, menghadap Sang Bhagavā, setelah menghadap, setelah menyapa Sang Bhagavā, mereka duduk dalam jarak selayaknya. Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu itu sebagai berikut:

“Adalah mustahil, para bhikkhu, tidak mungkin terjadi bahwa siapa pun juga dapat membunuh seorang Penemu-kebenaran melalui penyerangan; para bhikkhu, para Penemu-kebenaran mencapai nibbāna bukan karena suatu serangan.  Para bhikkhu, ada lima guru ini terdapat di dunia ini. Apakah lima ini? …  dan Aku tidak mengharapkan perlindungan dari para siswa sehubungan dengan pengetahuan dan penglihatan. Adalah mustahil, para bhikkhu, tidak mungkin terjadi bahwa siapa pun juga dapat membunuh seorang Penemu-kebenaran melalui penyerangan; para bhikkhu, para Penemu-kebenaran mencapai nibbāna bukan karena suatu serangan. Pergilah, para bhikkhu, ke tempat tinggal kalian masing-masing ; para Penemu-kebenaran, para bhikkhu, tidak perlu dilindungi.” ||10||

Pada saat itu ada seekor gajah buas di Rājagaha, gajah pembunuh-manusia, bernama Nālāgiri. Kemudian Devadatta, setelah memasuki Rājagaha, setelah pergi ke kandang gajah, berkata kepada para pawang gajah sebagai berikut: “Kami, sahabat, adalah sahabat raja. Kami mampu menaikkan jabatan seseorang yang berjabatan rendah dan memberikan kenaikan upah dan makanan. Sekarang, sahabat, ketika Petapa Gotama berjalan melalui jalan kereta ini,  maka, setelah melepaskan gajah Nālāgiri ini, bawalah ia ke jalan kereta ini.”

“Baiklah, Tuan,” para pawang gajah itu menjawab Devadatta.

Kemudian Sang Bhagavā, setelah merapikan jubah di pagi hari, dengan membawa mangkuk dan jubahNya, [194] memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan bersama dengan beberapa bhikkhu. Kemudian Sang Bhagavā berjalan melalui jalan kereta. Kemudian para pawang gajah itu melihat Sang Bhagavā berjalan melalui jalan kereta itu; melihat Beliau, setelah melepaskan gajah Nālāgiri, mereka membawanya ke jalan kereta. Gajah Nālāgiri melihat Sang Bhagavā datang dari jauh; melihat Beliau, setelah mengangkat belalainya, ia berlari menuju Sang Bhagavā, telinga dan ekornya tegak. Dari kejauhan para bhikkhu melihat kedatangan gajah Nālāgiri; melihatnya mereka berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Yang Mulia, gajah Nālāgiri ini, datang melalui jalan kereta ini, seekor gajah buas pembunuh manusia; mohon Yang Mulia berbalik, mohon Yang Sempurna berbalik.”

“Tunggu, para bhikkhu, jangan takut; Adalah mustahil, para bhikkhu, tidak mungkin terjadi bahwa siapa pun juga dapat membunuh seorang Penemu-kebenaran melalui penyerangan; para bhikkhu, para Penemu-kebenaran mencapai nibbāna bukan karena suatu serangan.” Dan untuk ke dua kalinya … Dan untuk ke tiga kalinya para bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Yang Mulia, gajah Nālāgiri ini … mohon Yang Mulia berbalik, mohon Yang Sempurna berbalik.”

“Tunggu, para bhikkhu … para Penemu-kebenaran mencapai nibbāna bukan karena suatu serangan.” ||11||

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB VII)
« Reply #50 on: 07 March 2012, 12:03:49 PM »
Pada saat itu orang-orang, setelah naik ke atas rumah panjang dan rumah berkubah dan ke atas atap, menunggu di sana. Orang-orang itu yang tidak berkeyakinan, tidak percaya, yang memiliki kecerdasan rendah, mereka ini berkata sebagai berikut: “Petapa agung ini sesungguhnya menarik; ia akan dilukai oleh gajah besar itu.”  Tetapi mereka yang berkeyakinan dan percaya, yang bijaksana dan cerdas, mereka ini berkata: “Segera, tuan-tuan, gajah besar itu akan berhadapan dengan gajah (di antara manusia).”

Kemudian Sang Bhagavā melingkupi gajah Nālāgiri dengan pikiran cinta kasih. Kemudian gajah Nālāgiri, yang terlingkupi oleh pikiran cinta kasih dari Sang Bhagavā, setelah menurunkan belalainya, mendekati Sang Bhagavā; setelah mendekat, ia berdiri di hadapan Sang Bhagavā. Kemudian Sang Bhagavā menepuk kening gajah Nālāgiri dengan tangan kananNya, berkata kepada gajah Nālāgiri dengan syair sebagai berikut:

“Jangan gajah,  menyerang gajah (di antara manusia), karena serangan     gajah (di antara manusia). sungguh menyakitkan,
Karena tidak ada tujuan yang baik, bagi pembunuh gajah (di antara    manusia) ketika ia telah menyeberang.
Jangan sombong,  jangan ceroboh, karena mereka yang ceroboh tidak    akan pergi menuju tujuan yang baik;
Hanya itu yang harus engkau lakukan yang dengannya engkau akan    pergi menuju tujuan yang baik.”

Kemudian gajah Nālāgiri, setelah meniup debu dari kaki Sang Bhagavā dengan belalainya, setelah menebarkannya di atas kepalanya, mundur berlutut sambil menatap Sang Bhagavā. Kemudian gajah Nālāgiri, setelah kembali ke kandangnya, berdiri di tempat tinggalnya sendiri; dan adalah dengan cara ini [195] gajah Nālāgiri dijinakkan. Pada saat itu orang-orang menyanyikan syair ini:

“Beberapa dijinakkan dengan kayu, dengan tongkat kendali dan cambuk,
Gajah itu dijinakkan oleh Sang Bijaksana Agung tanpa tongkat, tanpa    senjata.”  ||12||

Orang-orang merendahkan, mengkritik, menyebarkan, dengan mengatakan: “Betapa jahatnya Devadatta, betapa malangnya,  karena ia telah mencoba untuk membunuh Petapa Gotama yang memiliki kekuatan batin yang luar biasa, memiliki keagungan luar biasa,” dan perolehan dan kehormatan Devadatta berkurang; perolehan dan kehormatan Sang Bhagavā bertambah. Pada saat itu Devadatta, yang kehilangan perolehan dan kehormatan,  makan bersama dengan teman-temannya, setelah meminta-minta dari para perumah tangga. Orang-orang merendahkan, mengkritik, menyebarkan, dengan mengatakan:

“Bagaimana mungkin para petapa ini, para putera Sakya makan, setelah meminta-minta di antara para perumah tangga? Siapakah yang tidak menyukai makanan-makanan yang dimasak dengan baik? Siapakah yang tidak menyukai makanan-makanan lezat?”

Para bhikkhu mendengar orang-orang itu … menyebarkannya. Para bhikkhu yang merasa malu … menyebarkannya dengan mengatakan: “Bagaimana mungkin Devadatta makan bersama dengan teman-temannya, setelah meminta-minta dari para perumah tangga?” Mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata:

“Benarkah, seperti dikatakan, bahwa engkau, Devadatta, makan bersama dengan teman-temanmu, setelah meminta-minta dari para perumah tangga?”

“Benar, Yang Mulia.” Setelah menegurnya, setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Baiklah, para bhikkhu, Aku akan menetapkan peraturan untuk para bhikkhu yang makan dalam kelompok tiga orang (bhikkhu)  di antara para perumah tangga – didasarkan atas tiga alasan:  demi pengendalian para individu berpikiran buruk;  demi hidup dalam kenyamanan  bagi para bhikkhu yang berperilaku baik  agar mereka yang berniat buruk tidak memecah-belah Saṅgha dengan membentuk kelompok;  demi belas kasihan pada keluarga-keluarga.  Dalam memakan makanan kelompok, seseorang harus diperlakukan menurut aturan.”  ||13||

Kemudian Devadatta mendatangi Kokālika,  Kaṭamorakatissaka, putera Nyonya Khaṇḍā, dan Samuddadatta; setelah mendatangi, ia berkata kepada Kokālika, Katāmorakatissaka, putera Nyonya Khaṇḍā, dan Samuddadatta sebagai beriikut: “Marilah, kita, Yang Mulia, memecah-belah Saṅgha Petapa Gotama, merusak kerukunan.” Ketika ia menyelesaikan kata-katanya, Kokālika berkata kepada Devdatta sebagai berikut:

“Tetapi, Yang Mulia, Petapa Gotama memiliki kekuatan batin luar biasa, keagungan luar biasa. Bagaimana mungkin kita dapat memecah-belah Saṅgha Petapa Gotama, merusak kerukunan?”

“Marilah, Yang Mulia, setelah menghadp Petapa Gotama, kita akan meminta lima hal, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, dalam berbagai cara Yang Mulia memuji sedikit keinginan, merasa puas, [196] melenyapkan (kejahatan), berhati-hati, berbelas kasih, mengurangi (rintangan-rintangan), mengerahkan kegigihan. Yang Mulia, lima hal ini berperan besar dalam hal sedikit keinginan, merasa puas, melenyapkan (kejahatan), berhati-hati, berbelas kasih, mengurangi (rintangan-rintangan), mengerahkan kegigihan. Baik sekali, Yang Mulia, jika para bhikkhu, seumur hidup mereka, menjadi penghuni-hutan; siapa pun yang bepergian ke dekat desa, maka ia melakukan pelanggaran. Seumur hidup mereka, mereka harus menjadi penerima dana makanan; siapa pun yang menerima suatu undangan, maka ia melakukan pelanggaran. Seumur hidup mereka, mereka harus menjadi pemakai jubah kain buangan; siapa pun yang menerima jubah yang diberikan oleh perumah tangga, maka ia melakukan pelanggaran. Seumur hidup mereka, mereka harus menetap di bawah pohon; siapa pun yang berada di bawah atap, maka ia melakukan pelanggaran. Seumur hidup mereka, mereka tidak boleh makan ikan dan daging, siapa pun yang memakan ikan dan daging, maka ia melakukan pelanggaran.’ Petapa Gotama tidak akan menyetujui hal-hal ini. Maka kemudian kita akan menarik orang-orang melalui kelima hal ini.

“Adalah mungkin, Yang Mulia, dengan kelima hal ini, untuk memecah-belah Saṅgha Petapa Gotama, menghancurkan keharmonisan. Karena, Yang Mulia, orang-orang menghargai latihan keras.” ||14||

Kemudian Devadatta bersama dengan teman-temannya menghadap Sang Bhagavā; setelah menghadap, setelah menyapa Sang Bhagavā, mereka duduk dalam jarak selayaknya. Setelah duduk dalam jarak selayaknya, Devadatta berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Yang Mulia, Yang Mulia dalam berbagai cara Yang Mulia memuji sedikit keinginan … siapa pun yang memakan ikan dan daging, maka ia melakukan pelanggaran.”

“Cukup, Devadatta,” Beliau berkata. “Siapa pun yang menghendaki, ia boleh menjadi penghuni-hutan; siapa pun yang menghendaki, ia boleh menetap di dekat desa; siapa pun yang menghendaki, ia boleh menjadi peminta-minta makanan; siapa pun yang menghendaki, ia boleh menerima undangan; siapa pun yang menghendaki, ia boleh menjadi pemakai jubah kain buangan; siapa pun yang menghendaki, ia boleh menerima jubah dari para perumah tangga. Selama delapan bulan, Devadatta, Aku mengizinkan para bhikkhu menetap di bawah pohon. Ikan dan daging adalah murni dalam tiga hal: jika tidak terlihat, terdengar atau dicurigai (dibunuh dengan sengaja untuknya).”

Kemudian Devadatta, dengan berpikir: “Sang Bhagavā tidak menyetujui kelima hal ini,” merasa senang dan gembira, bangkit dari duduknya bersama dengan teman-temannya, setelah pamit pada Sang Bhagavā, pergi dengan Beliau di sini kanannya. Kemudian, Devadatta, setelah memasuki Rājagaha bersama dengan teman-temannya, mengajarkan kelima hal ini kepada orang-orang, dengan mengatakan: “Kami, teman-teman, setelah menghadap Petapa Gotama, memohon lima hal ini, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, Yang Mulia dalam berbagai cara Yang Mulia memuji sedikit keinginan … siapa pun yang memakan ikan dan daging, maka ia melakukan pelanggaran.’ Petapa Gotama tidak menyetujui kelima hal ini, tetapi kami akan menjalani kelima hal ini.” ||15||

Orang-orang itu yang tidak berkeyakinan, tidak percaya, yang tidak cerdas, mereka ini berkata sebagai berikut: “Para petapa ini, para putera Sakya selalu berhati-hati, penghalau (kejahatan), tetapi Petapa Gotama mengejar kemewahan dan berusaha memperoleh kemewahan.” Tetapi orang-orang [197] yang berkeyakinan dan percaya, yang bijaksana dan cerdas, mereka ini merendahkan, mengkritik, menyebarkan, dengan mengatakan: “Bagaimana mungkin Devadatta ini memecah-belah Saṅgha Sang Bhagavā, dengan menghancurkan kerukunan?” Para bhikkhu mendengar orang-orang ini yang … menyebarkannya. Para bhikkhu yang merasa malu … menyebarkannya, dengan mengatakan:

“Bagaimana mungkin Devadatta ini memecah-belah Saṅgha Sang Bhagavā, dengan menghancurkan kerukunan?” Kemudian para bhikkhu ini mengadukan persoalan ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata:

“Benarkah, seperti dikatakan, bahwa engkau, Devadatta, memecah-belah Saṅgha, menghancurkan kerukunan?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Cukup, Devadatta, jangan memecah-belah Saṅgha, karena memecah-belah Saṅgha adalah persoalan serius,  Devadatta. Devadatta, siapa pun yang memecah Saṅgha yang bersatu, maka ia membentuk keburukan yang bertahan selama satu kappa;  ia direbus di neraka selama satu kappa; tetapi siapa pun, Devadatta, yang merukunkan Saṅgha yang terpecah, maka ia membentuk kebajikan luhur,  ia bergembira di alam surga selama satu kappa. Cukup, Devadatta, jangan memecah-belah Saṅgha, karena memecah-belah Saṅgha adalah persoalan serius, Devadatta.” ||16||

Kemudian Yang Mulia Ānanda, setelah merapikan jubah di pagi hari, dengan membawa mangkuk dan jubahnya, memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Devadatta melihat Yang Mulia Ānanda berjalan di Rājagaha untuk menerima dana makanan; melihatnya, ia mendekati Yang Mulia Ānanda; setelah mendekat ia berkata kepada Yang Mulia Ānanda sebagai berikut: “Mulai hari ini aku akan, Yang Mulia Ānanda, menjalankan Uposatha yang berbeda dengan  Sang Bhagavā dan berbeda dengan Saṅgha para bhikkhu dan (dengan demikian) akan menjalankan tindakan (resmi) kelompok ini.”  Kemudian Yang Mulia Ānanda, setelah berjalan di Rājagah untuk menerima dana makanan, setelah makan, ia menghadap Sang Bhagavā; setelah menghadap, setelah menyapa Sang Bhagavā, ia duduk dalam jarak selayaknya. Setelah duduk dalam jarak selayaknya, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Tadi, Yang Mulia, aku, setelah merapikan jubah di pagi hari, dengan membawa mangkuk dan jubah, memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Devadatta melihatku berjalan di Rājagaha untuk menerima dana makanan; melihatku, ia mendekatiku; setelah mendekat ia berkata kepadaku sebagai berikut: ‘Mulai hari ini aku akan … menjalankan tindakan (resmi) kelompok ini.’ Hari ini, Yang Mulia, Devadatta akan memecah-belah Saṅgha.”

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami persoalan ini, pada saat itu memgucapkan ucapan berikut ini:

“Adalah mudah melakukan kebaikan bagi orang baik,    melakukan    kebaikan bagi orang jahat adalah sulit
Melakukan kejahatan bagi orang jahat adalah mudah, melakukan kejahatan bagi para mulia adalah sulit.”

Demikianlah bagian pengulangan ke dua [198]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB VII)
« Reply #51 on: 07 March 2012, 12:05:39 PM »
Kemudian Devadatta pada hari Uposatha itu bangkit dari duduknya dan membagikan kupon suara,  dengan mengatakan: “Kami, Yang Mulia, setelah menghadap Petapa Gotama, memohon kelima hal ini  … Petapa Gotama tidak menyetujui kelima hal ini, tetapi kami akan hidup dengan menjalankan kelima hal ini. Jika kelima hal ini sesuai dengan kehendak Yang Mulia, silakan masing-masing mengambil satu kupon suara.”

Pada saat itu sebanyak lima ratus bhikkhu, orang-orang Vajji dari Vesālī, baru saja ditahbiskan dan masih belum berpengalaman;  dan mereka ini berpikir: “Ini adalah aturan, ini adalah disiplin, ini adalah instruksi Sang Guru,” mengambil kupon suara. Kemudian Devadatta setelah memecah-belah Saṅgha, melakukan perjalanan menuju Kepala Gayā membawa sebanyak lima ratus bhikkhu. Kemudian Sāriputta dan Moggallāna  menghadap Sang Bhagavā; setelah menghadap, setelah menyapa Sang Bhagavā, mereka duduk dalam jarak selayaknya. Setelah duduk dalam jarak selayaknya, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Devadatta, Yang Mulia, setelah memecah-belah Saṅgha, pergi ke Kepala Gayā membawa lima ratus bhikkhu.”

“Tidak adakah pada kalian, Sāriputta dan Moggallāna,  belas kasihan pada para bhikkhu yang baru ditahbiskan ini? Pergilah, Sāriputta dan Moggallāna, sebelum para bhikkhu ini jatuh dalam kesulitan dan penderitaan.”

“Baiklah, Yang Mulia,” Dan Sāriputta dan Moggallāna setelah menjawab Sang Bhagavā, bangkit dari duduk mereka, setelah berpamitan dengan Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanan mereka, mendatangi Kepala Gayā. Pada saat itu seorang bhikkhu berdiri sambil menangis tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada bhikkhu tersebut: “Mengapa engkau menangis, bhikkhu?”

“Bahkan mereka, Yang Mulia, yang adalah siswa utama Sang Bhagavā – Sāriputta dan Moggallāna – bahkan mereka pergi mendatangi Devadatta untuk membenarkan dhamma Devadatta.”

“Mustahil, bhikkhu, tidak mungkin terjadi bahwa Sāriputta dan Moggallāna akan membenarkan dhamma Devadatta. Mereka pergi hanya untuk meyakinkan para bhikkhu.”  ||1||

Pada saat itu Devadatta, dengan dikelilingi oleh sejumlah besar pengikut, sedang mengajarkan dhamma sambil duduk. Kemudian Devadatta dari kejauhan melihat kedatangan Sāiputta dan Moggallāna; melihat mereka, ia berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Lilhatlah, para bhikkhu, betapa baiknya dhamma yang kuajarkan sehingga bahkan mereka ini yang adalah para siswa utama Petapa Gotama – Sāriputta dan Moggallāna – bahkan mereka ini datang untuk membenarkan dhammaku.” Ketika ia menyelesaikan kata-kata itu Kokālika berkata kepada Devadatta sebagai berikut:

“Yang Mulia Devadatta, jangan percaya pada Sāriputta dan Moggallāna, [199] Sāriputta dan Moggallāna memiliki niat jahat dan sedang dipengaruhi oleh niat jahat.”

“Cukup, Yang Mulia, marilah kita menyambut mereka karena mereka membenarkan dhammaku.” Devadatta mengundang Yang Mulia Sāriputta untuk duduk pada setengah tempat duduknya, dengan berkata: “Marilah, Yang Mulia Sāriputta, duduk di sini.”

“Tidak, Yang Mulia,” dan Yang Mulia Sāriputta, setelah mengambil tempat duduk lain, duduk dalam jarak selayaknya; dan Moggallāna juga, setelah mengambil tempat duduk lain, duduk dalam jarak selayaknya. Kemudian Devadatta, setelah menggembirakan, menyenangkan, membangkitkan semangat, membahagiakan para bhikkhu hingga larut malam dengan khotbah dhamma, meminta  Yang Mulia Sāriputta dengan berkata:

“Saṅgha para bhikkhu, Yang Mulia Sāriputta, tidak malas atau mengantuk; sudilah engkau, Yang Mulia Sāriputta membabarkan dhamma  kepada para bhikkhu. Punggungku sakit dan aku akan meregangkannya.”

“Baiklah, Yang Mulia,” Yang Mulia Sāriputta menjawab Devadatta. Kemudian Devadatta, setelah melipat empat jubah luarnya, berbaring tidur pada sisi kanannya,  dan karena ia lelah, lengah dan tanpa perhatian, maka ia jatuh terlelap pada saat itu juga. ||2||

Kemudian Yang Mulia Sāriputta menasihati, memberikan ajaran kepada para bhikkhu dengan khotbah dhamma melalui suatu instruksi tentang keajaiban membaca-pikiran;  Yang Mulia Moggallāna menasihati, memberikan ajaran dengan khotbah dhamma melalui suatu instruksi tentang keajaiban kekuatan-batin. Kemudian setelah para bhikkhu dinasihati dan diajari oleh Yang Mulia Sāriputta dengan khotbah dhamma melalui suatu instruksi tentang keajaiban membaca-pikiran; dinasihati dan diajari oleh Yang Mulia Moggallāna dengan khotbah dhamma melalui suatu instruksi tentang keajaiban kekuatan batin, penglihatan-dhamma, yang tanpa debu, tanpa noda, muncul pada mereka, bahwa, “segala sesuatu yang muncul semuanya akan lenyap.” Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Kita pergi, Yang Mulia, kepada Sang Bhagavā. Siapa pun yang membenarkan dhamma Sang Bhagavā ini, silakan turut serta.” Kemudian Sāriputta dan Moggallāna, dengan membawa lima ratus bhikkhu itu, mendatangi Hutan Bambu. Kemudian Kokālika membangunkan Devadatta, dengan berkata: “Bangunlah,  Yang Mulia Devadatta, para bhikkhu itu telah dibawa oleh Sāriputta dan Moggallāna. Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, Yang Mulia Devadatta, ‘Yang Mulia Ddevadatta, jangan percaya pada Sāriputta dan Moggallāna, Sāriputta dan Moggallāna memiliki niat jahat dan sedang dipengaruhi oleh niat jahat’?” ||3||

Kemudian Sāriputta and Moggallāna menghadap Sang Bhagavā; setelah menghadap, setelah menyapa Sang Bhagavā, mereka duduk dalam jarak selayaknya. Setelah mereka duduk dalam jarak selayaknya, Yang Mulia [200] Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Baik sekali, Yang Mulia, jika para bhikkhu yang terlibat dalam perpecahan itu dapat ditahbiskan kembali.”

“Hati-hati, Sāriputta, tentang segala penahbisan kembali para bhikkhu yang terlibat dalam perpecahan. Tetapi apakah engkau, Sāriputta, membuat para bhikkhu yang terlibat dalam perpecahan itu mengakui pelanggaran berat. Perilaku bagaimanakah, Sāriputta, yang engkau anggap telah diikuti oleh Devadatta?”

“Bahkan, seperti halnya Sang Bhagavā, setelah menggembirakan, menyenangkan, membangkitkan semangat, membahagiakan para bhikkhu hingga larut malam dengan khotbah dhamma, ia memintaku: ‘Saṅgha para bhikkhu, Yang Mulia Sāriputta, tidak malas atau mengantuk; sudilah engkau, Yang Mulia Sāriputta membabarkan dhamma  kepada para bhikkhu. Punggungku sakit dan aku akan meregangkannya.’ Hanya ini Yang Mulia, perilaku yang diikuti oleh Devadatta.” ||4||

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Dulu,  para bhikkhu, terdapat sebuah kolam besar di dalam hutan; gajah-gajah besar bermukim di dekat sana dan gajah-gajah itu, setelah terjun ke dalam kolam,  setelah mencabut serat dan tangkai teratai dengan belalai mereka, setelah mencucinya dengan baik, dan setelah mengunyahnya bersih dari lumpur, kemudian menelannya. Demikianlah mereka menjadi kuat dan indah, dan bukan karena hal ini mereka mengalami kematian atau penderitaan mematikan. Tetapi, para bhikkhu, di antara gajah-gajah besar ini, terdapat gajah-gajah muda dan mereka ini, setelah terjun ke dalam kolam, setelah mencabut serat dan tangkai teratai dengan belalai mereka, tetapi tidak mencucinya dengan baik, dan setelah mengunyahnya beserta lumpurnya, kemudian menelannya. Demikianlah mereka tidak menjadi kuat atau indah, dan karena hal ini mereka mengalami kematian atau penderitaan mematikan. Demikian pula, para bhikkhu, Devadatta akan mati, sesosok makhluk malang, yang meniru Aku.

“Sementara binatang besar  mengguncang bumi, memakan tangkai-tangkai teratai, waspada di dalam air –

Dengan meniru Aku, makhluk malang itu akan mati, bagaikan seekor binatang muda yang memakan lumpur. ||5||

“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang memiliki delapan kualitas ini layak untuk menyampaikan pesan.  Apakah delapan ini? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang pendengar dan seorang yang menyebabkan orang lain mendengar dan seorang pelajar dan seorang pengajar dan seorang pengenal dan seorang pembabar dan seorang yang terampil dalam (mengenali) kerukunan dan ketidak-rukunan  dan bukan pembuat pertengkaran. Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu yang memiliki delapan kualitas ini maka ia layak untuk menyampaikan pesan. Para bhikkhu, karena ia memiliki delapan kualitas ini, Sāriputta layak untuk menyampaikan pesan. Apakah delapan ini? Di sini, para bhikkhu, Sāriputta adalah seorang pelajar … dan bukan pembuat pertengkaran. [201] Para bhikkhu, karena ia memiliki delapan kualitas ini, Sāriputta layak untuk menyampaikan pesan.

“Siapa pun, yang menghadiri suatu sidang pertemuan tingkat tinggi,
Tidak gentar, juga tidak gagal dalam membabarkan khotbah, juga tidak menyembunyikan ajaran, juga tidak berbicara  dengan keragu-raguan,  -- Seorang bhikkhu seperti ini layak meyampaikan pesan. ||6||

“Para bhikkhu, Devadatta,  dikuasai dan pikirannya dikendalikan oleh delapan kondisi salah,  sedang menuju kehancuran,  menuju neraka,  menetap di sana selama satu kappa, tidak terselamatkan.  Apakah delapan ini? Devadatta, para bhikkhu, dikuasai dan pikirannya dikendalikan oleh keberuntungan  sedang menuju kejatuhan … tidak terselamatkan. Devadatta, para bhikkhu, dikuasai dan pikirannya dikendalikan oleh ketidak-beruntungan … oleh kemasyhuran … oleh ketidak-masyhuran … oleh kehormatan … oleh ketidak-hormatan … oleh keinginan jahat … oleh pertemanan jahat sedang menuju kejatuhan … tidak terselamatkan. Para bhikkhu, Devadatta, dikuasai dan pikirannya dikendalikan oleh delapan kondisi salah ini,  sedang menuju kehancuran, menuju neraka, menetap di sana selama satu kappa, tidak terselamatkan.

“Para bhikkhu, adalah baik bahwa seorang bhikkhu harus hidup dengan senantiasa mengatasi keberuntungan  yang telah muncul, ketidak-beruntungan yang telah muncul, kemasyhuran yang telah muncul, ketidak-masyhuran yang telah muncul, kehormatan yang telah muncul, ketidak-hormatan yang telah muncul, niat jahat yang telah muncul, pertemanan jahat yang telah muncul. Dan mengapakah, para bhikkhu, untuk tujuan apakah seorang bhikkhu harus hidup dengan senantiasa mengatasi keberuntungan … pertemanan jahat yang telah muncul? Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu hidup dengan tidak senantiasa mengatasi keberuntungan yang telah muncul, maka kekotoran, yang merusak dan membakar,  dapat muncul, tetapi jika ia hidup dengan senantiasa mengatasi keberuntungan yang telah muncul, maka kekotoran itu, yang merusak dan membakar, tidak ada padanya … jika ia hidup dengan senantiasa mengatasi pertemanan jahat yang telah muncul, maka kekotoran itu, yang merusak dan membakar, tidak ada padanya.

“Adalah demi tujuan baik ini, para bhikkhu, maka seorang bhikkhu harus hidup dengan senantiasa mengatasi keberuntungan yang telah muncul … pertemanan jahat yang telah muncul. Untuk tujuan itulah, para bhikkhu, dengan mengatakan, ‘Kami akan hidup dengan senantiasa mengatasi keberuntungan yang telah muncul … pertemanan jahat yang telah muncul’ – demikianlah kalian, para bhikkhu, harus berlatih.

“Para bhikkhu, [202] Devadatta,  dikuasai dan pikirannya dikendalikan oleh tiga kondisi salah, sedang menuju kehancuran, menuju neraka, menetap di sana selama satu kappa, tidak terselamatkan. Apakah tiga ini? Niat jahat, pertemanan jahat, terhenti di tengah perjalanan dalam karirnya karena pencapaiannya bernilai kecil.  Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang dikuasai … oleh ketiga kondisi salah ini … tidak terselamatkan. ||7||

“Jangan  biarkan siapa pun yang berniat jahat muncul di dunia;
Dan ketahuilah dengan hal ini: sebagai tujuan dari mereka yang berniat jahat,
Dikenal sebagai ‘Sang Bijaksana,’  dianggap sebagai ‘seorang yang patut,’
Devadatta berdiri bersinar dengan kemasyhuran – aku dengar dikatakan.
Ia, jatuh ke dalam kehancuran,  menyerang Sang Penemu-kebenaran,
Mencapai Neraka Avīci,  berpintu empat, mengerikan,
Karena ia yang melukai seorang yang tanpa kebencian, tidak melakukan perbuatan jahat –
Kejahatan itu hanya menyentuh ia yang berpikiran penuh kebencian, yang merendahkan,
Yang berpikir untuk mencemari lautan dengan sekendi racun –
Ia tidak dapat mencemarinya dengan itu, karena keagungan  samudera raya.
Maka ia yang dengan kejam  melukai Sang Penemu-kebenaran
Yang telah pergi dengan sempurna, pikiranNya tenang – padanya kekejaman tidak berdampak,
Seorang bijaksana harus berteman dengan orang demikian dan mengikutinya,
Seorang bhikkhu yang mengikuti jalanNya  akan mencapai hancurnya keburukan.” ||8||4||

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB VII)
« Reply #52 on: 07 March 2012, 12:06:35 PM »
Kemudian Yang Mulia Upāli menghadap Sang Bhagavā, setelah menghadap, setelah menyapa Sang Bhagavā, ia duduk dalam jarak selayaknya. Setelah duduk dalam jarak selayaknya, Yang Mulia Upāli berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Yang Mulia, sehubungan dengan kata-kata: Perselisihan dalam Saṅgha,  perselisihan dalam Saṅgha- sejauh apakah, Yang Mulia, perselisihan dalam Saṅgha itu tetapi bukan perpecahan dalam Saṅgha? Dan kemudian sejauh apakah perselisihan dalam Saṅgha yang juga merupakan perpecahan dalam Saṅgha?”

“Jika, Upāli, ada satu orang di satu pihak  dan dua orang di pihak lain  dan jika seorang yang ke empat  berkata dan membagikan kupon suara, dengan mengatakan: ‘Ini adalah aturan, ini adalah disiplin, ini adalah instruksi Sang Guru, ambillah (kupon suara) ini, setujuilah ini’ – ini, Upāli, adalah perselisihan dalam Saṅgha tetapi bukan perpecahan dalam Saṅgha.

“Jika, Upāli ada dua orang di satu pihak dan dua orang di pihak lain, dan jika seorang yang ke lima berkata … dua orang di satu pihak dan tiga orang di pihak lain dan jika seorang yang ke enam berkata … tiga orang di satu pihak dan tiga orang di pihak lain dan jika seorang yang ke tujuh berkata … tiga orang di satu pihak dan empat orang di pihak lain dan jika seorang yang ke delapan berkata dan membagikan kupon suara, dengan mengatakan: ‘Ini adalah aturan, ini adalah disiplin, ini adalah instruksi Sang Guru, ambillah (kupon suara) ini, setujuilah ini’ – ini, Upāli, adalah perselisihan dalam Saṅgha tetapi bukan perpecahan dalam Saṅgha. [203]

“Jika, Upāli, empat orang di satu pihak dan empat orang di pihak lain dan jika seorang yang ke Sembilan berkata … ini, Upāli, adalah perselisihan dalam Saṅgha yang juga merupakan perpecahan dalam Saṅgha. Perselisihan dalam Saṅgha yang juga merupakan perpecahan dalam Saṅgha terjadi (karena ada) Sembilan atau lebih dari Sembilan orang.  Upāli, seorang bhikkhunī tidak memecah-belah Saṅgha bahkan jika ia melakukan tindakan memecah-belah  … seorang yang dalam masa percobaan … seorang samaṇera … seorang samaṇerī … seorang umat awam … seorang umat awam perempuan tidak memecah-belah Saṅgha bahkan jika ia melakukan tindakan memecah-belah. Hanya seorang bhikkhu, Upāli, yang berasal dari komunitas yang sama, menetap di tempat yang sama, dapat memecah-belah Saṅgha.” ||1||

“Yang Mulia, sehubungan dengan kata-kata:  Perpecahan dalam Saṅgha, perpecahan dalam Saṅgha – sejauh apakah, Yang Mulia, Saṅgha dapat terpecah?”

“Sehubungan dengan hal ini, Upāli, para bhikkhu menjelaskan apa yang bukan-dhamma sebagai dhamma, mereka menjelaskan dhamma sebagai bukan-dhamma, mereka menjelaskan bukan-disiplin sebagai disiplin, mereka menjelaskan disiplin sebagai bukan-disiplin, mereka menjelaskan apa yang tidak dibabarkan, tidak diucapkan oleh Sang Penemu-kebenaran sebagai dibabarkan, diucapkan oleh Sang Penemu-kebenaran, mereka menjelaskan apa yang dibabarkan, diucapkan oleh Sang Penemu-kebenaran sebagai tidak dibabarkan, tidak diucapkan oleh Sang Penemu-kebenaran, mereka menjelaskan apa yang tidak dipraktikkan oleh Sang Penemu-kebenaran sebagai dipraktikkan oleh Sang Penemu-kebenaran, mereka menjelaskan apa yang dipraktikkan oleh Sang Penemu-kebenaran sebagai tidak dipraktikkan oleh Sang Penemu-kebenaran, mereka menjelaskan apa yang tidak ditetapkan oleh Sang Penemu-kebenaran sebagai ditetapkan oleh Sang Penemu-kebenaran, mereka menjelaskan apa yang ditetapkan oleh Sang Penemu-kebenaran sebagai tidak ditetapkan oleh Sang Penemu-kebenaran, mereka menjelaskan apa yang bukan pelanggaran sebagai pelanggaran, mereka menjelaskan pelanggaran sebagai bukan pelanggaran, mereka menjelaskan pelanggaran kecil sebagai pelanggaran serius, mereka menjelaskan pelanggaran serius sebagai pelanggaran kecil, mereka menjelaskan pelanggaran yang dapat ditebus sebagai pelanggaran yang tidak dapat ditebus, mereka menjelaskan pelanggaran yang tidak dapat ditebus sebagai pelanggaran yang dapat ditebus, mereka menjelaskan pelanggaran berat sebagai bukan pelanggaran berat, mereka menjelaskan bukan pelanggaran berat sebagai pelanggaran berat.  Hal-hal ini, sehubungan dengan delapan belas hal ini menarik dan memisahkan (teman),  mereka menjalankan Uposatha secara terpisah, mereka menjalankan Undangan secara terpisah,  mereka menjalankan tindakan (resmi) Saṅgha secara terpisah. Sejauh inilah, Upāli, Saṅgha menjadi terpecah.” ||2||

“Yang Mulia, sehubungan dengan kata-kata ini:  Kerukunan dalam Saṅgha, kerukunan dalam Saṅgha – sejauh apakah, Yang Mulia, Saṅgha disebut rukun?”

“Sehubungan dengan hal ini, Upāli, para bhikkhu menjelaskan apa yang bukan-dhamma sebagai bukan-dhamma, mereka menjelaskan dhamma sebagai dhamma … mereka menjelaskan bukan pelanggaran berat sebagai bukan pelanggaran berat. Hal-hal ini, sehubungan dengan delapan belas hal ini tidak menarik, tidak memisahkan (teman), mereka tidak menjalankan Uposatha secara terpisah, mereka tidak menjalankan Undangan secara terpisah, mereka tidak menjalankan tindakan (resmi) Saṅgha secara terpisah. Sejauh inilah, Upāli, Saṅgha menjadi rukun.” ||3||

“Tetapi, Yang Mulia,  setelah memecah-belah  Saṅgha yang rukun, apakah yang ia hasilkan?”

“Upāli, setelah memecah-belah Saṅgha yang rukun, ia menghasilkan keburukan yang berlangsung selama satu kappa dan ia direbus di neraka selama satu kappa.  [204]

Penyebab perpecahan dalam Saṅgha, mengalami kejatuhan, menuju neraka, selama satu kappa,
Menganjurkan ketidak-rukunan, berdiri pada pihak bukan-dhamma, jatuh dari kedamaian dari pembudakan.
Setelah memecah-belah Saṅgha yang rukun, ia direbus selama satu kappa di neraka.”

“Tetapi, Yang Mulia,  setelah merukunkan Saṅgha yang terpecah-belah, apakah yang ia hasilkan?”

“Upāli, setelah merukunkan Saṅgha yang terpecah-belah, ia menghasilkan jasa yang luhur dan ia bergembira di alam surga selama satu kappa.
Kerukunan bagi Saṅgha adalah berkah, dan juga teman dari mereka yang rukun,
Menganjurkan kerukunan, berdiri pada pihak dhamma, tidak jatuh dari kedamaian dari pembudakan.
Dengan merukunkan Saṅgha, ia bergembira selama satu kappa di alam surga.”  ||4||

“Jadi, tidak mungkinkah, Yang Mulia, bahwa penyebab perpecahan dalam Saṅgha mengalami kejatuhan, menuju neraka, menetap di sana selama satu kappa, tidak terselamatkan?”

“Mungkin saja, Upāli, bahwa bahwa penyebab perpecahan dalam Saṅgha mengalami kejatuhan … tidak terselamatkan.”

“Tetapi mungkinkah, Yang Mulia, bahwa bahwa penyebab perpecahan dalam Saṅgha tidak mengalami kejatuhan, tidak menuju neraka, tidak menetap di sana selama satu kappa, dapat terselamatkan?”

“Mungkin saja, Upāli, bahwa bahwa penyebab perpecahan dalam Saṅgha tidak mengalami kejatuhan … dapat terselamatkan.”

“Tetapi penyebab perpecahan dalam Saṅgha (manakah), Yang Mulia, yang mengalami kejatuhan, menuju neraka, menetap di sana selama satu kappa, tidak terselamatkan?”

“Ini adalah kasus, Upāli, di mana seorang bhikkhu menjelaskan apa yang bukan-dhamma sebagai dhamma; jika ia memiliki pandangan bahwa dalam (penjelasan) ini terdapat apa yang bukan-dhamma, jika ia memiliki pandangan bahwa dalam perpecahan terdapat apa yang bukan-dhamma, salah menyampaikan pendapat, salah menyampaikan persetujuan, salah menyampaikan kesenangan, salah menyampaikan kehendak,  dan jika ia berkata dan membagikan kupon suara, dengan mengatakan: ‘Ini adalah aturan, ini adalah disiplin, ini adalah instruksi Sang Guru, ambillah (kupon suara) ini, setujuilah ini’ – penyebab perpecahan dalam Saṅgha ini, Upāli, mengalami kejatuhan, menuju neraka, menetap di sana selama satu kappa, tidak terselamatkan.

“Kemudian, Upāli, jika seorang bhikkhu menjelaskan apa yang bukan-dhamma sebagai dhamma, jika ia memiliki pandangan bahwa dalam (penjelasan) ini terdapat apa yang bukan-dhamma, jika ia memiliki pandangan bahwa dalam perpecahan terdapat dhamma, salah menyampaikan pendapat … tidak terselamatkan.

“Kemudian, Upāli, jika seorang bhikkhu menjelaskan apa yang bukan-dhamma sebagai dhamma, jika ia memiliki pandangan bahwa dalam (penjelasan) ini terdapat apa yang bukan-dhamma, jika ia ragu-ragu sehubungan dengan suatu perpecahan … jika ia memiliki pandangan bahwa dalam (penjelasan) ini terdapat dhamma, jika ia memiliki pandangan bahwa dalam perpecahan terdapat apa yang bukan-dhamma … jika ia memiliki pandangan bahwa dalam (penjelasan) ini terdapat dhamma, jika ia ragu-ragu sehubungan dengan suatu perpecahan … jika ia ragu-ragu sehubungan dengan (penjelasan) ini, jika ia memiliki pandangan bahwa dalam perpecahan terdapat apa yang bukan-dhamma … jika ia ragu-ragu sehubungan dengan (penjelasan) ini, jika ia memiliki pandangan bahwa dalam perpecahan terdapat dhamma … jika ia ragu-ragu sehubungan dengan (penjelasan) ini, jika ia ragu-ragu sehubungan dengan suatu perpecahan, salah menyampaikan pendapat … tidak terselamatkan.” ||5||

“Tetapi penyebab perpecahan dalam Saṅgha (manakah), Yang Mulia, yang tidak mengalami kejatuhan, juga tidak menuju neraka, [205] tidak menetap di sana selama satu kappa, dapat terselamatkan?”

“Ini adalah kasus, Upāli, di mana seorang bhikkhu menjelaskan apa yang bukan-dhamma sebagai dhamma; jika ia memiliki pandangan bahwa dalam (penjelasan) ini terdapat dhamma, jika ia memiliki pandangan bahwa dalam perpecahan terdapat dhamma, namun tidak salah menyampaikan pendapat, tidak salah menyampaikan persetujuan, tidak salah menyampaikan kesenangan, tidak salah menyampaikan kehendak, ia berkata dan membagikan kupon suara, dengan mengatakan: ‘Ini adalah aturan, ini adalah disiplin, ini adalah instruksi Sang Guru, ambillah (kupon suara) ini, setujuilah ini’ – bahkan penyebab perpecahan dalam Saṅgha ini, Upāli, tidak mengalami kejatuhan, tidak menuju neraka, tidak menetap di sana selama satu kappa, dapat terselamatkan.

“Kemudian, Upāli, seorang bhikkhu menjelaskan dhamma sebagai bukan-dhamma … menjelaskan apa yang bukan pelanggaran berat sebagai pelanggaran berat, tetapi (walaupun) ia memiliki pandangan bahwa dalam (penjelasan) ini terdapat dhamma, pandanagn bahwa dalam perpecahan terdapat dhamma, namun tidak salah menyampaikan pendapat … dapat terselamatkan.” ||6||5||

Demikianlah bagian pengulangan ke tiga

Demikianlah bagian ke tujuh: yaitu tentang Perpecahan dalam Saṅgha

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB VIII)
« Reply #53 on: 07 March 2012, 12:22:48 PM »
CULLAVAGGA VIII
Tentang Pelaksanaan Peraturan


Pada suatu ketika Yang Tercerahkan, Sang Bhagavā, sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta di Vihara Anāthapiṇḍika. Pada saat itu para bhikkhu tamu memasuki vihara dengan mengenakan sandal,  dan mereka memasuki vihara dengan masih menggunakan penghalang cahaya matahari,  dan mereka memasuki vihara dengan mengenakan penutup kepala,  dan mereka memasuki vihara dengan jubah mereka di kepala mereka, dan mereka mencuci kaki mereka menggunakan air minum, dan mereka tidak menyapa para bhikkhu tuan rumah yang lebih senior juga tidak meminta tempat tinggal. Dan salah seorang bhikkhu tamu, setelah membuka kunci  dari sebuah tempat tinggal yang kosong, setelah membuka pintu, bergegas memasukinya. Seekor ular jatuh ke bahunya dari atas pintu; ketakutan, ia berteriak. Para bhikkhu, setelah berlari mendatanginya, berkata kepada bhikkhu itu sebagai berikut: “Mengapakah engkau, Yang Mulia, berteriak?” kemudian bhikkhu ini memberitahu para bhikkhu itu. Para bhikkhu lain merendahkan, mengkritik, menyebarkan dengan mengatakan: “Bagaimana mungkin para bhikkhu tamu ini memasuki vihara dengan mengenakan sandal … juga tidak meminta tempat tinggal?” Kemudian para bhikkhu ini mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata:

“Benarkah, seperti dikatakan, bahwa para bhikkhu tamu memasuki vihara dengan mengenakan sandal … juga tidak meminta tempat tinggal?”

“Benar, Yang Mulia.” Yang Tercerahkan, Sang Bhagavā, menegur mereka dengan mengatakan:

“Para bhikkhu, bagaimana mungkin, para bhikkhu tamu memasuki vihara dengan mengenakan sandal … juga tidak meminta tempat tinggal? Itu bukanlah, para bhikkhu, untuk menyenangkan mereka yang tidak senang … Setelah menegur mereka, setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Baiklah, para bhikkhu, Aku akan menetapkan peraturan  bagi para bhikkhu tamu untuk dilaksanakan oleh para bhikkhu tamu. ||1||

“Para bhikkhu, seorang bhikkhu tamu, dengan berpikir: ‘Sekarang aku akan memasuki vihara,’ [207] setelah melepaskan sandalnya, setelah meletakkannya,  setelah memukul-mukulnya, setelah meletakkannya (lagi), setelah menurunkan penghalang cahaya mataharinya, setelah membuka penutup kepalanya, setelah merapikan jubahnya di bahunya, memasuki vihara dengan hati-hati dan tidak tergesa-gesa.  Ketika ia memasuki vihara, ia harus memperhatikan di mana para bhikkhu tuan rumah berada.  Di mana pun para bhikkhu tuan rumah berada – apakah di aula pertemuan atau di sebuah gubuk atau di bawah pohon – setelah pergi ke sana, ia harus meletakkan mangkuknya di satu sisi, ia harus meletakkan jubahnya di satu sisi, dan setelah mengambil alas duduk selayaknya, ia harus duduk. Ia boleh meminta air minum, ia boleh meminta air untuk mencuci – di mana air minum, di mana air untuk mencuci. Jika ia menginginkan air minum, setelah mengambil air minum maka ia harus meminumnya; jika ia menginginkan air untuk mencuci, setelah mengambil air maka ia harus mencuci kakinya. Ketika ia mencuci kakinya, ia harus memercikkan air (ke kakinya) dengan satu tangan dan mencuci kakinya dengan tangan lainnya; tetapi ia tidak boleh memercikkan air dan mencuci kakinya dengan satu tangan yang sama. Setelah meminta sehelai kain untuk menyeka sandalnya, ia harus menyeka sandalnya. Ketika ia menyeka sandalnya pertama-tama ia harus menyekanya dengan sehelai kain kering, setelah itu dengan kain basah; setelah mencuci kain yang digunakan untuk menyeka sandalnya ia harus menjemurnya  di satu sisi. Jika bhikkhu tuan rumah lebih senior maka ia harus menyapanya; jika ia adalah seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan, maka ia harus membuat bhikkhu itu menyapa(nya). Ia harus meminta tempat tinggal, dengan mengatakan: ‘Tempat tinggal manakah yang dapat  kutempati?’ ia harus menanyakan apakah tempat itu ada yang menempati atau tidak. Ia harus menanyakan tentang sumber dana makanan,  ia harus menanyakan tentang tempat-tempat yang bukan merupakan sumber dana makanan,  ia harus menanyakan tentang keluarga-keluarga yang disepakati sebagai para pelajar,  ia harus menanyakan tentang kakus, ia harus menanyakan tentang air minum, ia harus menanyakan tentang air untuk mencuci,  ia harus menanyakan tentang tongkat, ia harus menanyakan tentang (bentuk) kesepakatan Saṅgha, dengan mengatakan: ‘Jam berapakah harus dimasuki, jam berapakah harus keluar?’  ||2||

“Jika tempat tinggal itu tidak ada yang menempati, setelah mengetuk pintu, setelah menunggu sebentar, setelah membuka kunci, setelah membuka pintu, ia harus waspada selagi berdiri di luar.  Jika tempat tinggal itu kotor atau jika dipan ditumpuk di atas dipan atau jika kursi ditumpuk di atas kursi dan perlengkapan tempat tinggal ditumpuk di atasnya, maka ia harus membersihkan (tempat tinggal itu) jika ia mampu melakukannya. Sewaktu membersihkan  tempat tinggal, setelah pertama-tama mengeluarkan penutup lantai, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah mengeluarkan penyangga dipan … setelah mengeluarkan alas tidur dan alas duduk … lembaran kain penutup alas duduk dan kain penutup alas tidur, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah menurunkan dipan, setelah mengeluarkannya dengan hati-hati tanpa menggeseknya, tanpa membenturkannya pada pintu atau tiang, [208] ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah menurunkan kursi, setelah mengeluarkannya dengan hati-hati tanpa menggeseknya, tanpa membenturkannya pada pintu atau tiang, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah mengeluarkan tempolong, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah mengeluarkan papan pembaringan, ia harus meletakkannya di satu sisi. Jika terdapat jaring laba-laba di dalam tempat tinggal itu, pertama-tama ia harus menyingkirkannya dari penutup lantai. Ia harus menyeka sudut-sudut jendela. Jika dinding yang berwarna merah menjadi ternoda, maka ia harus menyekanya dengan kain basah, setelah memerasnya. Jika lantai yang hitam menjadi ternoda, maka ia harus menyekanya dengan kain basah, setelah memerasnya. Jika lantai belum dibersihkan, maka ia harus menyapunya setelah memercikkan air, dengan berpikir: ‘Rawatlah agar tempat tinggal ini tidak ternoda oleh debu.’ Setelah mencari sampah (apa pun), ia harus menyingkirkannya ke satu sisi. ||3||

“Setelah menjemur penutup lantai, setelah membersihkannya, setelah mengguncangnya, setelah mengembalikannya, ia harus menghamparkannya seperti semula.  Setelah menjemur penyangga dipan, setelah menyekanya, setelah mengembalikannya, ia harus meletakkannya seperti semula. Setelah menjemur dipan … kursi, setelah membersihkannya, setelah mengguncangnya, setelah membawanya masuk dengan hati-hati tanpa menggeseknya, tanpa membenturkannya pada pintu atau tiang, ia harus meletakkannya seperti semula. Setelah menjemur alas tidur dan alas duduk, setelah membersihkannya, setelah mengguncangnya, setelah mengembalikannya, ia harus meletakkannya seperti semula. Setelah menjemur kain penutup alas duduk dan kain penutup alas tidur, setelah membersihkannya, setelah mengguncangnya, setelah mengembalikannya, ia harus meletakkannya seperti semula. Setelah menjemur tempolong, setelah menyekanya, setelah mengembalikannya, ia harus meletakkannya seperti semula. Setelah menjemur papan pembaringan, setelah menyekanya, setelah mengembalikannya, ia harus meletakkannya seperti semula. ||4||

Ia harus  menyimpan mangkuk dan jubahnya. Ketika menyimpan mangkuk, setelah memegang mangkuk dengan satu tangan, setelah mendorongnya dengan tangan lainnya di bawah dipan atau di bawah kursi, mangkuk itu disimpan, tetapi mangkuk tidak boleh diletakkan di atas tanah. Ketika menyimpan jubah, setelah memegang jubah dengan satu tangan, setelah dengan tangan lainnya mengusap sepanjang batang bambu untuk jubah atau sepanjang tali untuk jubah, setelah menatanya dengan bagian tepinya menjauhinya dan lipatannya ke arahnya, jubah itu disimpan.

“Jika angin berdebu bertiup dari arah timur, maka ia harus menutup jendela timur. Jika angin berdebu bertiup dari arah barat, maka ia harus menutup jendela barat. Jika angin berdebu bertiup dari arah utara, maka ia harus menutup jendela utara. Jika angin berdebu bertiup dari arah selatan, maka ia harus menutup jendela selatan. Jika cuaca sejuk, ia harus membuka jendela pada siang hari, ia harus menutup jendela pada malam hari. Jika cuaca panas, ia harus menutup jendela pada siang hari, ia harus membuka jendela pada malam hari.

“Jika bilik [209] kotor, maka bilik harus disapu. Jika teras kotor, maka teras harus disapu. Jika ruang pertemuan … jika ruang perapian … jika kakus kotor, maka kakus harus disapu. Jika tidak ada air minum, maka air minum harus disediakan. Jika tidak ada air untuk mencuci, maka air untuk mencuci harus disediakan. Jika tidak ada air dalam gentong untuk bercebok, maka air harus dituang ke dalam gentong air untuk bercebok. Ini, para bhikkhu, adalah aturan pelaksanaan yang harus dijalankan oleh para bhikkhu tamu.” ||5||1||

Pada saat itu para bhikkhu tuan rumah, setelah melihat para bhikkhu tamu, tidak menunjukkan tempat duduk juga tidak membawakan air untuk mencuci kaki, bangku kaki, pijakan kaki, juga tidak pergi menyambut mereka untuk menerima mangkuk dan jubah mereka, mereka tidak menawarkan air minum, mereka tidak menyapa bhikkhu tamu senior, juga tidak menunjukkan tempat tinggal. Para bhikkhu lain merendahkan, mengkritik, menyebarkan dengan mengatakan: “Bagaimana mungkin para bhikkhu tuan rumah ini, setelah melihat para bhikkhu tamu, tidak menunjukkan tempat duduk … juga tidak menunjukkan tempat tinggal?” Kemudian mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata:

“Benarkah, seperti dikatakan, para bhikkhu …. ?”

“Benar, Yang Mulia.” Setelah menegur mereka, setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Baiklah, para bhikkhu, Aku akan menetapkan peraturan bagi para bhikkhu tuan rumah untuk dilaksanakan oleh para bhikkhu tuan rumah. ||1||

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu tuan rumah telah melihat seorang bhikkhu tamu senior, ia harus menunjukkan tempat duduk, ia harus membawakan air untuk mencuci kaki, sebuah bangku kaki, sebuah pijakan kaki, setelah pergi menyambutnya ia harus menerima mangkuk dan jubahnya, ia harus menawarkan air minum kepadanya, dan jika ia mampu maka ia harus menyeka sandalnya. Ketika ia menyeka sandalnya pertama-tama ia harus menyekanya dengan sehelai kain kering, setelah itu dengan kain basah; setelah mencuci kain yang digunakan untuk menyeka sandalnya ia harus menjemurnya di satu sisi. Seorang bhikkhu tamu harus disambut dan tempat tinggal harus ditunjukkan dengan kata-kata, ‘Tempat tinggal ini boleh engkau tempati.’ Ia harus menjelaskan apakah tempat itu ada yang menempati atau tidak, tempat-tempat yang menjadi sumber dana makanan harus dijelaskan, tempat-tempat yang bukan merupakan sumber dana makanan … keluarga-keluarga yang disepakati sebagai para pelajar … kakus … air minum … air untuk mencuci … tongkat … bentuk kesepakatan Saṅgha harus dijelaskan dengan mengatakan: ‘Jam berapakah harus dimasuki, jam berapakah harus keluar’ ||2|| [210]

“Jika (yang datang adalah) seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan maka (bhikkhu tuan rumah) sambil duduk harus menjelaskan: ‘Simpan mangkukmu di tempat ini, simpan jubahmu di tempat ini, duduklah di sini.’ Air minum harus dijelaskan (kepadanya), air untuk mencuci harus dijelaskan, kain untuk menyeka sandal harus dijelaskan. Dan si bhikkhu tamu harus dibuat untuk menyapa(nya). tempat tinggal harus dijelaskan dengan kata-kata, ‘Tempat tinggal ini boleh engkau tempati.’ Ia harus menjelaskan apakah tempat itu ada yang menempati atau tidak, tempat-tempat yang menjadi sumber dana makanan harus dijelaskan … bentuk kesepakatan Saṅgha harus dijelaskan dengan mengatakan: ‘Jam berapakah harus dimasuki, jam berapakah harus keluar.’ Ini, para bhikkhu, adalah aturan pelaksanaan yang harus dijalankan oleh para bhikkhu tuan rumah.” ||3||2||

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB VIII)
« Reply #54 on: 07 March 2012, 12:23:58 PM »
Pada saat itu para bhikkhu yang hendak melakukan perjalanan pergi tanpa merapikan barang-barang mereka yang terbuat dari kayu dan tanah, setelah membuka pintu dan jendela, dan tanpa meminta (izin) sehubungan dengan tempat tinggal mereka.  Barang-barang kayu dan tanah itu hilang dan tempat-tempat tinggal tidak terjaga.  Para bhikkhu lain … menyebarkan: “Bagaimana mungkin para bhikkhu ini yang hendak melakukan perjalanan pergi … tempat-tempat tinggal tidak terjaga?” Kemudian para bhikkhu ini mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata:

“Baiklah, para bhikkhu, Aku akan menetapkan peraturan bagi para bhikkhu yang hendak melakukan perjalanan dan yang harus dilaksanakan oleh para bhikkhu yang hendak melakukan perjalanan. ||1||

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu hendak pergi, setelah merapikan barang-barang dari kayu, barang-barang dari tanah, setelah menutup pintu dan jendela, ia boleh pergi setelah meminta (izin) sehubungan dengan tempat tinggalnya. Jika tidak ada bhikkhu, maka ia dapat meminta (izin)  dari seorang samaṇera. Jika tidak ada samaṇera, maka ia dapat meminta (izin) dari pelayan vihara. Jika tidak ada bhikkhu atau samaṇera atau pelayan vihara, setelah membalikkan dipan di atas empat buah batu,  setelah menumpuk dipan di atas dipan, setelah menumpuk kursi di atas kursi, setelah meletakkan perlengkapan tempat tinggal di atas nya, ia boleh pergi , setelah merapikan barang-barang dari kayu, barang-barang dari tanah, setelah menutup pintu dan jendela. ||2||

“Jika tempat tinggal bocor, maka ia harus memperbaiki atapnya jika ia mampu melakukannya, atau ia harus berusaha, dengan berpikir, ‘Bagaimana memperbaiki atap tempat tinggal ini?’ jika ia berhasil melakukannya, maka hal ini bagus, tetapi jika ia tidak berhasil, setelah membalikkan dipan di atas empat buah batu, setelah menumpuk dipan di atas dipan, setelah menumpuk kursi di atas kursi, setelah meletakkan perlengkapan tempat tinggal di atasnya, ia boleh pergi, setelah merapikan barang-barang dari kayu, barang-barang dari tanah, setelah menutup pintu dan jendela. Jika keseluruhan tempat tinggal itu bocor, jika ia mampu maka ia harus membawa perlengkapan tempat tinggalnya ke sebuah desa, atau ia harus berusaha, dengan berpikir, [211] ‘Bagaimana membawa perlengkapan tempat tinggal ini ke sebuah desa?’ jika ia berhasil melakukannya, maka hal ini bagus, tetapi jika ia tidak berhasil, setelah membalikkan dipan di atas empat buah batu, setelah menumpuk dipan di atas dipan, setelah menumpuk kursi di atas kursi, setelah meletakkan perlengkapan tempat tinggal di atasnya, setelah merapikan barang-barang dari kayu, barang-barang dari tanah, setelah menutupnya dengan rerumputan atau dedaunan, ia boleh pergi, dengan berpikir, ‘Agar barang-barang berbeda ini tetap ada.’  Ini, para bhikkhu, adalah peraturan bagi para bhikkhu yang hendak melakukan perjalanan dan yang harus dilaksanakan oleh para bhikkhu yang hendak melakukan perjalanan.” ||3||3||

Pada saat itu para bhikkhu tidak memberikan ungkapan terima kasih di ruang makan. Orang-orang merendahkan, mengkritik, menyebarkan dengan mengatakan: “Bagaimana mungkin para petapa ini, putera-putera Sakya, tidak memberikan ungkapan terima kasih di ruang makan?” Para bhikkhu mendengar kata-kata orang-orang itu ... menyebarkannya. Kemudian para bhikkhu ini mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Kemudian Sang Bhagavā, pada kesempatan ini, setelah membabarkan khotbah, berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, untuk memberikan ungkapan terima kasih di ruang makan.” Kemudian para bhikkhu berpikir, “Siapakah yang harus memberikan ungkapan terima kasih di ruang makan?” mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Kemudian Sang Bhagavā, pada kesempatan ini, setelah membabarkan khotbah, berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, untuk memberikan ungkapan terima kasih di ruang makan, melalui seorang bhikkhu yang dituakan.”

Pada saat itu satu kelompok pekerja mempersembahkan makanan kepada Saṅgha;  Yang Mulia Sāriputta adalah yang dituakan dalam Saṅgha. Para bhikkhu berpikir, “Sang Bhagavā telah mengizinkan ungkapan terima kasih diberikan melalui seorang bhikkhu yang dituakan,” mereka pergi, meninggalkan Yang Mulia Sāriputta sendiri. Kemudian Yang Mulia Sāriputta, setelah membalas orang-orang itu dengan ungkapan terima kasih, kemudian berjalan sendirian. Dari jauh Sang Bhagavaā melihat kedatangan Yang Mulia Sāriputta; melihatnya, Beliau berkata kepada Yang Mulia Sāriputta sebagai berikut: “Aku harap, Sāriputta, bahwa acara makannya berjalan lancar”

“Acara makannya, Yang Mulia, berjalan lancar, walaupun para bhikkhu pergi meninggalkan aku sendirian.” Kemudian Sang Bhagavā, pada kesempatan ini, setelah membabarkan khotbah, berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Aku mengizinkan, para bhikkhu, empat atau lima bhikkhu yang dituakan atau lebih tua (dalam usia) daripada yang dituakan  untuk menunggu di ruang makan.”

Pada saat itu seorang bhikkhu senior menunggu di ruang makan walaupun ia ingin pergi buang air, dan karena terlalu menahankannya akhirnya ia jatuh pingsan. Mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, jika memiliki alasan, untuk pergi setelah meminta (izin) dari bhikkhu di sebelah (engkau).” ||1||

Pada saat itu kelompok enam bhikkhu, dengan mengenakan jubah secara salah, berpakaian secara salah, [212] mengenakan perlengkapan tidak selayaknya,  memasuki ruang makan dan mendahului berjalan persis di depan para bhikkhu senior, dan duduk melewati batas  (tempat yang disediakan untuk) para bhikkhu senior dan para bhikkhu yang baru ditahbiskan dijauhkan dari tempat duduk mereka dan mereka duduk di tengah-tengah ruangan setelah menghamparkan jubah luar mereka. Para bhikkhu lain yang merasa malu … menyebarkannya, dengan mengatakan: “Bagaimana mungkin kelompok enam bhikkhu ini, dengan mengenakan jubah secara salah, berpakaian secara salah, mengenakan perlengkapan tidak selayaknya, memasuki ruang makan … duduk melewati batas … dan mereka duduk di tengah-tengah ruangan setelah menghamparkan jubah luar mereka?” Kemudian para bhikkhu ini mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata:

“Benarkah, seperti dikatakan, para bhikkhu, bahwa kelompok enam bhikkhu, dengan mengenakan jubah secara salah … dan mereka duduk di tengah-tengah ruangan setelah menghamparkan jubah luar mereka?”

“Benar, Yang Mulia.” Setelah menegur mereka, setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Baiklah, para bhikkhu, Aku akan menetapkan peraturan ruang makan bagi para bhikkhu dan yang harus dilaksanakan oleh para bhikkhu di ruang makan. ||2||

“Jika waktu telah diumumkan di vihara, (seorang bhikkhu), setelah merapikan jubahnya, dengan jubah dalam menutupi tiga lingkaran,  setelah mengikatkan sabuknya, setelah mengikatnya menjadi satu simpul,  setelah mengenakan jubah atasnya, setelah mengancingnya,  setelah membersihkan diri, setelah mengambil mangkuk, ia boleh memasuki desa dengan waspada dan tidak tergesa-gesa. Ia tidak boleh mendahului, berjalan persis di depan para bhikkhu senior. Ia harus masuk (duduk) di tengah-tengah ruangan dengan berpakaian selayaknya.  Dengan terkendali baik ia harus masuk (duduk) ke dalam rumah, dengan mata menatap ke bawah ia masuk(duduk) ke dalam rumah, dengan tidak mengangkat jubah … dengan tidak tertawa terbahak-bahak … dengan tidak berisik … dengan tidak melenggang … dengan tidak mengayunkan lengan … dengan tidak menggoyang-goyangkan kepala … dengan tidak bertolak pinggang … dengan kepala tidak tertutup ia masuk (duduk) ke dalam rumah, ia tidak boleh masuk ke dalam rumah dengan bermalas-malasan, ia tidak boleh duduk di dalam rumah dengan melewati batas (tempat yang disediakan) untuk para bhikkhu senior, para bhikkhu yang baru ditahbiskan tidak boleh dijauhkan dari tempat duduknya, ia tidak boleh duduk di dalam rumah dengan menghamparkan jubah luarnya. ||1||

“Ketika air sedang diberikan, ia menerima air itu dengan kedua tangan memegang mangkuknya,  setelah dengan hati-hati meletakkannya,  mangkuk harus dicuci tanpa menggosoknya. Jika terdapat wadah penampung air (kotor), setelah meletakkan mangkuk, air harus dituang ke dalam wadah air kotor  dengan berpikir, ‘Hati-hati agar tidak memercikkan air (kotor), tidak memercikkan air mengenai bhikkhu sebelah, tidak memercikkan air mengenai jubah luar.’ Jika [213] tidak ada wadah air kotor, maka setelah meletakkan mangkuk, air harus dituang ke tanah, dengan berpikir, ‘Hati-hati agar tidak memercikkan air mengenai bhikkhu sebelah dan tidak memercikkan air mengenai jubah luar.’ Jika nasi sedang disajikan, ia harus menerima dengan kedua tangan memegang mangkuk. Harus menyisakan ruang dalam mangkuk untuk kari. Jika tersedia ghee atau minyak atau makanan lezat seorang bhikkhu senior harus berkata: ‘Ambillah yang sama bagi semuanya.’ Dana makanan harus diterima dengan penuh perhatian  … dengan pikiran pada mangkuk … dengan jumlah kari yang sama, dana makanan harus diterima dalam porsi yang sama. Bhikkhu senior tidak boleh makan hingga nasi telah dibagikan kepada semua bhikkhu. ||4||

Dana makanan harus dimakan dengan penuh perhatian  … dengan pikiran pada mangkuk …ketika menerima dana makanan secara berkesinambungan … dengan jumlah kari yang sama … tidak memilih dari atas; baik kari maupun bumbu tidak boleh tertutup oleh nasi, (bhikkhu) menginginkan lebih; baik kari maupun nasi tidak boleh dimakan oleh ia yang tidak sakit setelah memintanya untuk dirinya sendiri; mangkuk orang lain tidak boleh dilihat untuk mencari kesalahan; tidak boleh mengambil suapan (makanan) yang terlalu besar; makanan harus diatur berbentuk bulatan; mulut tidak boleh dibuka sebelum suapan makanan mendekati mulut; sewaktu makan, keseluruhan tangan tidak boleh masuk ke dalam mulut; ia tidak boleh berbicara dengan mulut penuh; ia tidak boleh makan dengan cara melemparkan bongkahan (makanan); ia tidak boleh membuyarkan suapan … memenuhi pipinya … mengguncang-guncangkan tangannya … dengan nasi berserakan … mengeluarkan lidah … mendecapkan bibirnya … mengeluarkan bunyi mendesis … menjilat jemari … menjilat mangkuk … menjilat bibir, ia tidak boleh menerima cangkir air minum dengan tangan (yang dikotori) oleh makanan. ||5||

“Seorang bhikkhu senior tidak boleh menerima air  hingga semua orang selesai makan. Ketika air diberikan, ia menerimanya dengan kedua tangan memegang mangkuk  … juga tidak memercikkan air mengenai jubah luar.’ Ia tidak boleh menuangkan air yang berisi sisa-sisa nasi di dalam rumah.  Ketika mereka pulang,  bhikkhu yang baru ditahbiskan harus berjalan terlebih dulu, selanjutnya [214] para bhikkhu senior. Ia harus berjalan dengan berpakaian rapi di dalam rumah, dengan terkendali ia berjalan di dalam rumah …  … ia tidak boleh berjalan dengan menyeret tumitnya. Ini, para bhikkhu, adalah peraturan bagi bhikkhu dan yang harus dilaksanakan di dalam ruang makan.” ||6||4||

Demikianlah bagian pengulangan pertama

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB VIII)
« Reply #55 on: 07 March 2012, 12:24:40 PM »
Pada saat itu para bhikkhu yang sedang melakukan perjalanan menerima dana makanan berjalan dengan menganakan jubah secara salah, dengan mengenakan pakaian secara salah, mengenakan perlengkapan tidak selayaknya, dan mereka memasuki tempat tinggal dengan tidak berhati-hati dan mereka meninggalkan tempat tinggal dengan tidak berhati-hati, dan mereka masuk dengan tergesa-gesa dan mereka pergi dengan tergesa-gesa, dan mereka berdiri terlalu jauh dan mereka berdiri terlalu dekat, dan mereka berdiri terlalu lama dan mereka berbalik terlalu cepat. Dan seorang bhikkhu yang sedang berjalan untuk menerima dana makanan memasuki sebuah rumah dengan tidak berhati-hati; melewati pintu ia masuk ke kamar dalam. Dalam kamar dalam itu seorang perempuan sedang berbaring telanjang. Bhikkhu itu melihat perempuan yang sedang berbaring telanjang itu; melihatnya, ia berpikir: “Ini bukan pintu rumah, ini adalah kamar dalam,” dan ia pergi meninggalkan kamar dalam itu. Suami perempuan itu melihat si perempuan yang sedang berbaring telanjang; melihatnya ia berpikir: “Istriku telah diperkosa oleh bhikkhu itu,” dan setelah menangkap bhikkhu itu, ia memukulnya. Kemudian perempuan itu, terbangun karena suara gaduh, berkata kepada orang itu sebagai berikut: “Mengapa engkau, tuan, memukul bhikkhu itu?”

“Engkau diperkosa oleh bhikkhu ini.”

“Tuan, Aku tidak diperkosa oleh bhikkhu ini. Bhikkhiu ini tidak bersalah.”  Dan ia menyuruhnya membebaskan bhikkhu itu. Kemudian bhikkhu itu, setelah kembali ke vihara, memberitahukan hal ini kepada para bhikkhu. Para bhikkhu lain yang merasa malu merendahkan, mengkritik, menyebarkan, dengan mengatakan: “Bagaimana mungkin para bhikkhu ini yang sedang melakukan perjalanan menerima dana makanan berjalan dengan mengenakan jubah secara salah … masuk … keluar … berdiri … dan berbalik terlalu cepat?” Kemudian para bhikkhu ini mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Benarkah, seperti dikatakan, para bhikkhu …?”

“Benar, Yang Mulia.” Setelah menegur mereka, setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Baiklah, para bhikkhu, Aku akan menetapkan peraturan bagi para bhikkhu yang sedang melakukan perjalanan menerima dana makanan dan yang harus dilaksanakan oleh para bhikkhu yang sedang melakukan perjalanan menerima dana makanan. ||1||

“Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu ketika ia sedang berjalan untuk menerima dana makanan berpikir: ‘Aku akan memasuki desa ini,’ setelah merapikan jubah  dengan jubah dalam menutupi tiga lingkaran, setelah mengikatkan sabuknya, setelah mengikatnya menjadi satu simpul, setelah mengenakan jubah atasnya, setelah mengancingnya, setelah membersihkan diri, setelah mengambil mangkuk, ia boleh memasuki desa dengan waspada dan tidak tergesa-gesa. Ia harus memasuki rumah dengan berpakaian selayaknya [215] …  ia tidak boleh memasuki rumah dengan menyeret tumitnya. Ketika ia memasuki rumah ia harus merenungkan: ‘Aku akan masuk dengan (cara) begini. Aku akan pergi dengan begini.’ Ia tidak boleh masuk dengan tergesa-gesa, ia tidak boleh pergi dengan tergesa-gesa, ia tidak boleh berdiri terlalu jauh, ia tidak boleh berdiri terlalu dekat, ia tidak boleh berdiri terlalu lama, ia tidak boleh berbalik terlalu cepat. Ketika berdiri, ia harus mempertimbangkan: ‘Apakah mereka akan memberikan dana makanan atau tidak?’ Jika ia mengesampingkan pekerjaannya  atau bangkit dari duduknya atau menyeka sendok atau menyeka piring atau mengeluarkannya, maka ia harus berdiri diam, dengan berpikir: ‘Tampaknya ia akan memberi.’ Ketika dana makanan diserahkan, setelah mengulurkan jubah luarnya dengan tangan kiri, setelah membuka mangkuknya dengan tangan kanan, dengan kedua tangan memegang mangkuk ia menerima dana makanan itu, tetapi ia tidak boleh melihat wajah di pemberi dana.  Ia harus mempertimbangkan: ‘Apakah mereka akan memberikan kari atau tidak?’ Jika ia menyeka sendok atau menyeka piring atau mengeluarkannya, maka ia harus berdiri diam, dengan berpikir: ‘Tampaknya ia akan memberi.’ Ketika dana makanan telah diserahkan, setelah menutup mangkuknya dengan jubah luarnya, ia harus berbalik dengan waspada dan tidak tergesa-gesa. Ia harus meninggalkan rumah dengan berpakaian selayaknya … ia tidak boleh meninggalkan rumah dengan menyeret tumitnya. ||2||

“Siapa pun yang pertama kembali dari desa dalam perjalanan menerima dana makanan harus mempersiapkan tempat duduk, ia harus mempersiapkan air (untuk mencuci) kaki, sebuah bangkuk kaki, sebuah pijakan kaki, ia harus menyiapkan sebuah mangkuk sampah, setelah mencucinya, ia harus mempersiapkan air minum dan air untuk mencuci. Siapa pun yang terakhir kembali dari desa dalam perjalanan menerima dana makanan,  jika masih ada sisa makanan dan jika ia menghendaki, maka ia boleh memakannya; tetapi jika ia tidak menghendakinya, ia boleh membuangnya di mana tidak terdapat rerumputan hijau atau ia boleh membuangnya ke dalam air di mana tidak terdapat makhluk hidup. Ia harus menyimpan tempat duduk, ia harus menyingkirkan air (untuk mencuci) kaki, bangku kaki, pijakan kaki, ia harus menyimpan mangkuk sampah, setelah mencucinya, ia harus menyimpan air minum dan air untuk mencuci, ia harus menyapu ruang makan. Siapa pun yang melihat kendi air minum atau kendi air untuk mencuci atau gentong (air)  untuk bercebok setelah buang air, telah habis dan kosong, maka ia harus menyediakan (air). Jika tidak memungkinkan baginya (untuk melakukan hal ini) ia harus menyediakan (air) dengan memberikan isyarat dengan tangannya, mengundang temannya (untuk membantunya) dengan gerakan tangannya; tetapi ia tidak boleh berbicara karena alasan itu. Ini, para bhikkhu, adalah peraturan bagi para bhikkhu ketika mereka melakukan perjalanan menerima dana makanan dan yang harus dilaksanakan oleh para bhikkhu yang sedang melakukan perjalanan menerima dana mkanan.” ||3||5||

Pada saat itu beberapa bhikkhu menetap di suatu hutan. Mereka tidak menyediakan air minum, mereka juga tidak menyediakan air untuk mencuci, [216] mereka juga tidak menyalakan api,  juga tidak menyediakan kayu api,  mereka tidak mengetahui posisi rembulan, mereka tidak mengetahui pembagian perempatan bulan. Para pencuri, setelah pergi ke sana, berkata kepada para bhikkhu ini: “Adakah air minum, Yang Mulia?”

“Tidak ada, sahabat.”

“Adakah air untuk mencuci … adakah api … adakah kayu api, Yang Mulia?”

“Tidak ada, sahabat.”

“Bagaimanakah posisi rembulan terhadap hari ini, Yang Mulia?”

“Sesungguhnya, kami tidak tahu, sahabat.”

“perempatan bulan apakah sekarang, Yang Mulia?”

“Sesungguhnya, kami tidak tahu, sahabat.” Kemudian para pencuri ini berpikir: “Mereka tidak mempunyai air minum juga air untuk mencuci, tidak ada api, tidak ada kayu api, mereka tidak mengetahui posisi rembulan, mereka tidak mengetahui pembagian perempatan bulan. Mereka adalah pencuri, mereka bukan bhikkhu,” dan setelah memukul mereka, para pencuri itu pergi. Kemudian para bhikkhu itu memberitahukan hal itu kepada para bhikkhu lain. Para bhikkhu mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Kemudian Sang Bhagavā pada kesempatan ini, setelah membabarkan khotbah, berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Baiklah, para bhikkhu, aku akan menetapkan peraturan bagi para bhikkhu yang adalah para penghuni hutan dan yang harus dilaksanakan oleh para bhikkhu yang adalah para penghuni hutan. ||1||

“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang penghuni hutan, bangun pagi-pagi, setelah menempatkan mangkuknya ke dalam tas, setelah menggantungnya di bahunya, setelah merapikan jubahnya  di bahunya, setelah mengenakan sandalnya, setelah menyimpan barang-barang dari kayu, barang-barang dari tanah, setelah menutup pintu dan jendela, boleh meninggalkan  tempat tinggalnya. Jika ia berpikir: ‘Sekarang aku akan memasuki desa,’ setelah menanggalkan sandalnya, setelah meletakkannya, setelah memukul-mukulnya, setelah menyimpannya dalam tas, setelah menggantungnya di bahunya, setelah merapikan jubah menutupi tiga lingkaran, setelah mengikatkan sabuknya … (seperti pada ||5.2||) … ia harus berbalik dengan waspada dan tidak tergesa-gesa. . Ia harus meninggalkan rumah dengan berpakaian selayaknya … ia tidak boleh meninggalkan rumah dengan menyeret tumitnya. ||2||

“Setelah meninggalkan desa, setelah menyimpan mangkuknya ke dalam tas, setelah menggantungnya di bahunya, setelah menggulung jubahnya, setelah meletakkannya di atas kepala,  setelah mengenakan sandalnya, ia boleh pergi. Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang penghuni hutan harus menyediakan air minum, ia harus menyediakan air untuk mencuci, ia harus menyalakan api, ia harus menyediakan kayu api, ia harus menyediakan tongkat berjalan,  ia harus mempelajari posisi rembulan, apakah secara keseluruhan atau satu bagian, ia harus mahir dalam perempatan bulan. Ini, para bhikkhu, adalah peraturan bagi para bhikkhu yang adalah para penghuni hutan dan yang harus dilaksanakan oleh para bhikkhu yang adalah para penghuni hutan.” ||3||6||

Pada saat itu beberapa bhikkhu sedang [317] membuat jubah di ruang terbuka. Kelompok enam bhikkhu memukul-mukul perlengkapan tempat tinggal mereka memotong arah angin di ruang terbuka;  para bhikkhu menjadi terpapar debu. Para bhikkhu lain yang merasa malu merendahkan, mengkritik, dan menyebarkannya, dengan mengatakan: “Bagaimana mungkin kelompok enam bhikkhu ini memukul-mukul perlengkapan tempat tinggal mereka … sehingga para bhikkhu terpapar debu?” Kemudian para bhikkhu ini mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Benarkah, seperti dikatakan, para bhikkhu, bahwa kelompok enam bhikkhu memukul-mukul perlengkapan tempat tinggal mereka …  terpapar debu?”

“Benar, Yang Mulia.” Setelah menegur mereka, setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Baiklah, para bhikkhu, Aku akan menetapkan peraturan bagi para bhikkhu sehubungan dengan perlengkapan tempat tinggal yang harus dilaksanakan oleh para bhikkhu sehubungan dengan perlengkapan tempat tinggal.” ||1||

Dalam tempat tinggal mana pun ia menetap, jika tempat tinggal itu kotor, maka ia harus membersihkannya, jika ia mampu.  Ketika ia sedang membersihkan tempat tinggal, setelah pertama-tama mengeluarkan mangkuk dan jubah, ia harus meletakknya di satu sisi. Setelah mengeluarkan kain penutup alas duduk dan kain penutup alas tidur … alas tidur dan alas duduk, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah menurunkan dipan, setelah mengeluarkannya dengan hati-hati tanpa menggeseknya, tanpa membenturkannya pada pintu atau tiang, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah menurunkan kursi, setelah mengeluarkannya dengan hati-hati tanpa menggeseknya, tanpa membenturkannya pada pintu atau tiang, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah mengeluarkan penyangga dipan, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah mengeluarkan tempolong, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah mengeluarkan papan pembaringan, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah mengamati bagaimana penutup lantai itu terletak, setelah mengeluarkannya, ia harus meletakknya di satu sisi. Jika terdapat jaring laba-laba di dalam tempat tinggal itu, pertama-tama ia harus menyingkirkannya dari penutup (lantai). Ia harus menyeka sudut-sudut jendela. Jika dinding yang berwarna merah menjadi ternoda, maka ia harus menyekanya dengan kain basah, setelah memerasnya. Jika lantai yang hitam menjadi ternoda, maka ia harus menyekanya dengan kain basah, setelah memerasnya. Jika lantai belum dibersihkan, maka ia harus menyapunya setelah memercikkan air, dengan berpikir: ‘Rawatlah agar tempat tinggal ini tidak ternoda oleh debu.’ Setelah mencari sampah (apa pun), ia harus menyingkirkannya ke satu sisi. Ia tidak boleh memukul-mukul perlengkapan tempat tinggal di dekat para bhikkhu … di dekat tempat-tempat tinggal … di dekat air minum … di dekat air untuk mencuci … ia tidak boleh memukul-mukul perlengkapan tempat tinggal di ruang terbuka memotong arah angin. ||2||

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB VIII)
« Reply #56 on: 07 March 2012, 12:25:14 PM »
“Setelah menjemur penutup lantai,  setelah membersihkannya, setelah mengguncangnya, setelah mengembalikannya, ia harus menghamparkannya (seperti semula).  Setelah menjemur penyangga dipan di satu sisi, [218], setelah menyekanya, setelah mengembalikannya, ia harus meletakkannya (seperti semula). Setelah menjemur dipan di satu sisi, setelah membersihkannya, setelah memukul-mukulnya, setelah menurunkannya, setelah membawanya masuk dengan hati-hati tanpa menggeseknya, tanpa membenturkannya pada pintu atau tiang, ia harus meletakkannya (seperti semula). Setelah menjemur kursi di satu sisi, setelah membersihkannya, setelah mengguncangnya, setelah menurunkannya, setelah membawanya masuk dengan hati-hati tanpa menggeseknya, tanpa membenturkannya pada pintu atau tiang, ia harus meletakkannya (seperti semula). Setelah menjemur alas tidur dan alas duduk di satu sisi, setelah membersihkannya, setelah mengguncangnya, setelah mengembalikannya, ia harus meletakkannya (seperti semula). Setelah menjemur kain penutup alas duduk dan kain penutup alas tidur, setelah membersihkannya, setelah mengguncangnya, setelah mengembalikannya, ia harus meletakkannya (seperti semula). Setelah menjemur tempolong di satu sisi, setelah menyekanya, setelah mengembalikannya, ia harus meletakkannya (seperti semula). Setelah menjemur papan pembaringan di satu sisi, setelah menyekanya, setelah mengembalikannya, ia harus meletakkannya seperti semula. Mangkuk dan jubah harus disimpan.  Ketika menyimpan mangkuk, setelah memegang mangkuk dengan satu tangan, setelah dengan tangan lainnya mendorongnya ke bawah dipan atau di bawah kursi, mangkuk itu disimpan, tetapi mangkuk tidak boleh diletakkan di atas tanah. Ketika menyimpan jubah, setelah memegang jubah dengan satu tangan, setelah dengan tangan lainnya mengusap sepanjang batang bambu untuk jubah atau sepanjang tali untuk jubah, setelah menatanya dengan bagian tepinya menjauhinya dan lipatannya ke arahnya, jubah itu disimpan. ||3||

“Jika angin berdebu  bertiup dari arah timur, maka ia harus menutup jendela timur. Jika angin berdebu bertiup dari arah barat … dari arah utara … dari arah selatan, maka ia harus menutup jendela selatan. Jika cuaca sejuk, maka jendela harus dibuka pada siang hari, ditutup pada malam hari. Jika cuaca panas, maka jendela harus ditutup pada siang hari, dibuka pada malam hari. Jika bilik kotor, maka bilik harus disapu. Jika teras kotor, maka teras harus disapu. Jika ruang pertemuan … jika ruang perapian … jika kakus kotor, maka kakus harus disapu. Jika tidak ada air minum, maka air minum harus disediakan. Jika tidak ada air untuk mencuci, maka air untuk mencuci harus disediakan. Jika tidak ada air dalam gentong untuk bercebok, maka air harus dituang ke dalam v air untuk bercebok. Jika ia menetap dalam sebuah tempat tinggal bersama dengan  seorang senior, maka ia tidak boleh memberikan pembacaan ?? tanpa meminta (izin) dari senior, ia tidak boleh memberikan interogasi,  ia tidak boleh belajar,  ia tidak boleh membabarkan dhamma,  ia tidak boleh menyalakan lampu, ia tidak boleh memadamkan lampu, ia tidak boleh membuka jendela, ia tidak boleh menutup jendela. [219] Jika ia berjalan mondar-mandir di tempat berjalan mondar-mandir bersama dengan seorang senior, ia harus berbelok ketika sang senior berbelok, tetapi ia tidak boleh menyentuh sang senior (bahkan) dengan ujung jubah luarnya. Ini, para bhikkhu, adalah peraturan bagi para bhikkhu sehubungan dengan perlengkapan tempat tinggal yang harus dilaksanakan oleh para bhikkhu sehubungan dengan perlengkapan tempat tinggal.” ||4||7||

Pada saat itu kelompok enam bhikkhu, karena dihalangi dalam (menggunakan) kamar mandi oleh para bhikkhu senior, setelah dengan tidak hormat mengambil sejumlah tongkat kayu, setelah membakarnya, setelah menghalangi pintu, duduk di depan pintu. Para bhikkhu, merasa kepanasan, tidak dapat melewati pintu, jatuh pingsan. Para bhikkhu lain yang merasa malu … menyebarkannya, dengan mengatakan: “Bagaimana mungkin kelompok enam bhikkhu ini, karena dihalangi dalam (menggunakan) kamar mandi oleh para bhikkhu senior … duduk di depan pintu, sehingga para bhikkhu … jatuh pingsan?” Kemudian para bhikkhu ini mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Benarkah, seperti dikatakan, para bhikkhu, bahwa kelompok enam bhikkhu, karena dihalangi dalam (menggunakan) kamar mandi oleh para bhikkhu senior … duduk di depan pintu, sehingga para bhikkhu … jatuh pingsan?”

“Benar, Yang Mulia.” Setelah menegur mereka, setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ketika dihalangi dalam (menggunakan) kamar amndi oleh para bhikkhu senior, setelah dengan tidak hormat membawa sejumlah tongkat kayu, tidak boleh membakarnya. Siapa pun yang melakukannya, maka ia melakukan pelanggaran perbuatan-salah. Dan juga, para bhikkhu, tidak boleh menghalangi pintu, jika kalian duduk di depan pintu, siapa pun yang duduk (demikian), maka ia melakukan pelanggaran perbuatan salah. ||1||

“Sehubungan dengan hal ini, para bhikkhu, Aku akan menetapkan peraturan bagi para bhikkhu sehubungan dengan kamar mandi dan yang harus dilaksanakan oleh para bhikkhu di dalam kamar mandi. Siapa pun yang pertama memasuki kamar mandi, jika ada sampah, maka ia harus membuang sampah. Jika kamar mandi kotor, maka kamar mandi harus disapu. Jika lantai  … bilik … teras …ruangan dalam kamar mandi kotor, maka ruangan kamar mandi harus disapu. Bubuk mandi harus diaduk, tanah liat harus dibasahi, air harus dituang ke dalam gentong air. Ketika memasuki kamar-mandi, setelah melumuri wajah dengan tanah, setelah menutupi bagian depan dan belakang tubuhnya, ia boleh memasuki kamar mandi. Ia tidak boleh duduk melewati batas (ruang yang disediakan bagi) para bhikkhu senior, juga para bhikkhu yang baru ditahbiskan tidak boleh dijauhkan dari tempat duduknya.  Jika ia mampu, suatu pemijatan boleh dilakukan di dalam kamar mandi kepada para bhikkhu senior. Ketika meninggalkan kamar mandi, setelah mengambil kursi kamar mandi dan setelah menutupi bagian depan dan belakang tubuhnya, ia boleh meninggalkan kamar mandi. Jika ia mampu, suatu pemijatan juga boleh dilakukan dalam air kepada para bhikkhu senior. Ia tidak boleh mandi di depan para bhikkhu senior, [220] juga tidak boleh mandi di atas mereka. Jalan harus diberikan oleh seseorang yang telah selesai mandi dan sedang keluar (dari air) kepada mereka yang hendak memasuki air. Siapa pun yang terakhir meninggalkan kamar mandi, jika kamar mandi kotor, maka ia harus mencucinya. Setelah mencuci wadah tanah liat, setelah menyimpan kursi kamar mandi, setelah memadamkan api, setelah menutup pintu, maka ia boleh pergi. Ini, para bhikkhu, adalah peraturan bagi para bhikkhu sehubungan dengan kamar mandi dan yang harus dilaksanakan oleh para bhikkhu di dalam kamar mandi.” ||2||8||

Pada saat itu seorang bhikkhu yang berasal dari kelahiran brahmana, setelah buang air besar, tidak mau bercebok, berpikir: “Siapa yang sudi menyentuh benda bau menjijikkan ini?” seekor cacing masih menempel di anusnya. Kemudian bhikkhu ini memberitahukan hal ini kepada para bhikkhu. Mereka berkata: “Tetapi apakah engkau, Yang Mulia, tidak bercebok setelah buang air besar?” “Tidak, Yang Mulia.” Para bhikkhu lain yang merasa malu … menyebarkannya … Kemudian para bhikkhu ini mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Benarkah, seperti yang dikatakan, bahwa engkau, bhikkhu, tidak bercebok setelah buang air besar?” “Benar, Yang Mulia.” Setelah menegur mereka, setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Para bhikkhu, jika terdapat air maka kalian harus bercebok setelah buang air besar. Siapa pun yang tidak bercebok, maka ia melakukan pelanggaran perbuatan-salah.” ||9||

Pada saat itu para bhikkhu buang air di kakus berdasarkan urutan senioritas. Para bhikkhu yang baru ditahbiskan, setelah datang terlebih dulu, menunggu dan karena terlalu menahankannya, mereka jatuh pingsan.  Mereka mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Benarkah, seperti dikatakan, para bhikkhu?” “Benar, Yang Mulia.” Setelah menegur mereka, setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Para bhikkhu, kalian tidak boleh buang air besar di kakus berdasarkan urutan senioritas. Siapa pun yang melakukan (hal ini) maka ia melakukan pelanggaran perbuatan-salah. Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, untuk buang air besar berdasarkan urutan kedatangan.” ||1||

Pada saat itu kelompok enam bhikkhu memasuki kakus dengan tergesa-gesa dan mereka memasukinya dengan paksa  dan mereka buang air sambil mengerang  dan sambil mengunyah kayu pembersih gigi dan di luar wadah yang semestinya dan mereka meludah ke dalam wadah dan mereka membersihkan diri dengan sepotong kayu kasar dan mereka menjatuhkan sepotong kayu untuk membersihkan diri ke dalam lubang kakus; dan mereka keluar dengan tergesa-gesa dan mereka keluar dengan paksa dan mereka bercebok sambil mendecapkan lidah dan mereka menyisakan air di gayung untuk mengambil (air untuk) bercebok. Para bhikkhu lain yang merasa malu [221] … menyebarkannya, dengan mengatakan: “Bagaimana mungkin kelompok enam bhikkhu ini memasuki kakus dengan tergesa-gesa … dan menyisakan air di gayung untuk mengambil (air untuk) bercebok.?” Kemudian para bhikkhu mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Benarkah, seperti dkatakan, para bhikkhu?” “Benar, Yang Mulia.” Setelah menegur mereka, setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Baiklah, para bhikkhu, Aku akan menetapkan peraturan sehubungan dengan kakus, dan yang harus dilaksanakan oleh para bhikkhu di dalam kakus. ||2||

Siapa pun yang hendak memasuki kakus, harus berdehem selagi berdiri di luar dan seseorang yang sedang duduk di dalam harus berdehem pula. Setelah menggantungkan jubah pada sebatang bambu untuk jubah atau pada seutas tali untuk jubah, ia harus memasuki kakus dengan waspada dan tidak tergesa-gesa, ia tidak boleh masuk dengan paksa, ia harus tegak di atas pijakan kakus. Ia tidak boleh buang air sambil mengerang … kalian tidak boleh menjatuhkan sepotong kayu untuk membersihkan diri ke dalam lubang kakus. Kalian harus menyingkirkannya selagi tegak di atas pijakan kakus. Kalian tidak boleh keluar dengan tergesa-gesa, juga tidak dengan paksa.  Kalian tidak boleh bercebok sambil mendecapkan lidah, kalian tidak boleh menyisakan air dalam gayung untuk (mengambil air untuk) bercebok. Kalian harus menyingkirkannya selagi tegak di atas pijakan untuk bercebok. Jika kakus kotor maka kakus harus dicuci. Jika wadah tempat (kayu) pembersih penuh, maka kayu pembersih itu harus dibuang. Jika ruangan kakus kotor maka ruangan kakus harus disapu. Jika lapisan lantai … jika bilik … jika teras kotor maka teras harus disapu. Jika tidak ada air dalam gentong air untuk bercebok, maka air harus dituangkan ke dalamnya. Ini, para bhikkhu, adalah peraturan sehubungan dengan kakus, dan yang harus dilaksanakan oleh para bhikkhu di dalam kakus.” ||3||10||

Pada saat itu mereka yang berbagi bilik tidak berperilaku selayaknya terhadap para penahbis mereka. Para bhikkhu lain yang merasa malu … menyebarkannya, dengan mengatakan: “Bagaimana mungkin mereka yang berbagi bilik ini tidak berperilaku selayaknya terhadap para penahbis mereka?” Kemudian para bhikkhu ini mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Benarkah, seperti dikatakan, para bhikkhu, bahwa mereka yang berbagi bilik tidak berperilaku selayaknya terhadap para penahbis mereka?” “Benar, Yang Mulia.” Yang Tercerahkan, Sang Bhagavā, menegur mereka dengan mengatakan:

“Bagaimana mungkin, para bhikkhu, mereka yang berbagi bilik [222] tidak berperilaku selayaknya terhadap para penahbis mereka? Ini bukanlah, para bhikkhu, …” dan setelah menegur mereka, setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Baiklah, para bhikkhu, Aku akan menetapkan peraturan bagi mereka yang berbagi bilik terhadap para penahbis mereka dan yang harus dilaksanakan oleh mereka yang berbagi bilik terhadap para penahbis: ||1||

“Seseorang yang berbagi bilik,  para bhikkhu, harus berperilaku selayaknya terhadap penahbisnya. Berikut ini adalah perilaku selayaknya dalam hal ini: setelah bangun pagi, setelah melepaskan sandalnya, setelah merapikan jubahnya di satu bahunya, ia harus menyediakan kayu pembersih gigi, ia harus menyediakan air untuk membersihkan mulut, ia harus mempersiapkan tempat duduk. Jika tersedia bubur cair, setelah mencuci mangkuk, bubur cair itu harus diletakkan di dekat (sang penahbis), Ketika ia telah meminum bubur cair, setelah memberikan air, setelah menerima mangkuk, setelah menurunkannya, setelah mencucinya dengan baik tanpa menggosoknya, mangkuk harus disimpan. Ketika penahbis telah bangkit, tempat duduk harus disingkirkan. Jika tempat itu kotor, maka tempat itu harus disapu. ||2||

“Jika sang penahbis ingin memasuki desa, jubah dalamnya harus diserahkan (kepadanya), dan jubah dalam (yang sedang ia kenakan) harus diterima (darinya), sabuk pinggang harus diserahkan (kepadanya); setelah melipatnya (dalam dua atau empat lipatan) jubah luar harus diserahkan (kepadanya); setelah mencucinya, mangkuk berisi air harus diserahkan (kepadanya). Jika sang penahbis membutuhkan seorang pelayan, maka (ia) setelah mengenakan jubah dalamnya menutup tiga lingkaran, setelah mengenakan sabuk pinggang, setelah melipat, dan setelah mengenakan jubah luar, setelah mengikatkan simpul-simpulnya, setelah membersihkan diri, setelah mengambil mangkuk, maka ia menjadi pelayan bagi sang penahbis. Ia tidak boleh berjalan terlalu jauh (darinya). Ia tidak boleh berjalan terlalu dekat. Ia harus membawakan mangkuk dan isinya. ||3||

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB VIII)
« Reply #57 on: 07 March 2012, 12:25:46 PM »
“Ia tidak boleh memotong ketika sang penahbis sedang berbicara. (Tetapi) jika sang penahbis nyaris melakukan pelanggaran, maka, dengan berbicara sendiri, harus memperingatkannya. Ketika berjalan pulang, ia harus mempersiapkan tempat duduk, setelah berjalan terlebih dulu; ia harus menyediakan air untuk mencuci kaki, sebuah bangku kaki, sebuah pijakan kaki; setelah menyambutnya, ia harus menerima mangkuk dan jubahnya, ia harus menyerahkan jubah dalam (yang diterima), ia harus menerima jubah dalamnya. Jika jubahnya basah karena keringat, ia harus menjemurnya beberapa saat di bawah panas matahari. Ia harus melipat jubah itu, setelah melipat sudut-sudutnya selebar empat jari, ia harus melipat jubah, dengan berpikir ‘Jangan sampai ada kekusutan di bagian tengah.’ Jika ada makanan dan sang penahbis ingin makan, maka setelah memberikan air, makanan itu harus diletakkan di dekat(nya). ||4||

“Ia harus memberikan air minum kepada sang penahbis. Ketika ia telah selesai makan, setelah memberikan air, setelah menerima mangkuk, setelah menurunkannya, setelah mencucinya dengan baik tanpa menggosoknya, setelah mengosongkan airnya, ia harus menjemurnya beberapa saat di bawah panas matahari, tetapi mangkuk tidak boleh disimpan di bawah panas matahari. [223] Ia harus menyimpan mangkuk dan jubah. Ketika menyimpan mangkuk, setelah memegang mangkuk dengan satu tangan, setelah mendorongnya dengan tangan lainnya di bawah dipan atau di bawah kursi, mangkuk itu disimpan, tetapi mangkuk tidak boleh diletakkan di atas tanah. Ketika menyimpan jubah, setelah memegang jubah dengan satu tangan, setelah dengan tangan lainnya mengusap sepanjang batang bambu untuk jubah atau sepanjang tali untuk jubah, setelah menatanya dengan bagian tepinya menjauhinya dan lipatannya ke arahnya, jubah itu disimpan. Ketika sang penahbis bangkit dari duduknya, tempat duduknya harus disingkirkan, air untuk mencuci kaki, bangku kaki, pijakan kaki harus disimpan. Jika tempat itu menjadi kotor, maka tempat itu harus disapu. ||5||

“Jika sang penahbis hendak mandi, maka ia harus mempersiapkan air mandi. Jika ia hendak (mandi) air dingin, maka ia harus mempersiapkan air dingin; ika ia hendak (mandi) air panas, maka ia harus mempersiapkan air dpanas. Jika sang penahbis hendak memasuki kamar mandi, ia harus mengaduk bubuk mandi, harus membasahi tanah liat; mengambilkan kursi kamar mandi, setelah berjalan persis di belakang sang penahbis, setelah menyerahkan kursi kamar mandi, setelah menerima jubahnya maka ia harus meletakkannya di satu sisi. Ia harus menyerahkan bubuk mandi, ia harus menyerahkan tanah liat. Jika ia mampu melakukannya, maka ia harus memasuki kamar mandi. Ketika memasuki kamar mandi, setelah melumuri wajahnya dengan tanah liat, setelah menutup bagian depan dan belakang tubuhnya, ia memasuki kamar mandi. ||6||

“Ia tidak boleh duduk melewati batas (tempat yang disediakan untuk) para bhikkhu senior. Ia tidak boleh menjauhkan para bhikkhu yang baru ditahbiskan dari tempat duduk mereka. Ia harus melakukan persiapan bagi sang penahbis di dalam kamar mandi. Ketika meninggalkan kamar mandi, sambil membawa kursi kamar mandi, setelah menutup bagian depan dan belakang tubuhnya, ia keluar dari kamar mandi. Ia juga harus melakukan persiapan bagi sang penahbis di dalam air. Ketika ia sedang mandi, setelah keluar (terlebih dulu) dari dalam air, setelah mengeringkan tubuhnya, setelah mengenakan jubah dalamnya, ia harus menyeka air dari bagian-bagian tubuh sang penahbis, ia harus menyerahkan jubah dalamnya, ia harus menyerahkan jubah luarnya; sambil membawa kursi kamar mandi, setelah berjalan terlebih dulu, ia harus mempersiapkan tempat duduk, ia harus menyediakan air untuk mencuci kaki, bangku kaki, dan pijakan kaki. Ia harus memberikan air minum kepada sang penahbis. ||7||

Jika ia ingin agar ia membaca, maka ia harus memintanya membaca, jika ia ingin bertanya, maka ia harus ditanya. Di tempat ringgal mana pun sang penahbis menetap, jika tempat tinggal itu kotor, maka tempat tinggal itu harus dibersihkan jika ia mampu (melakukannya). Ketika ia membersihkan tempat tinggal itu, setelah pertama-tama mengeluarkan mangkuk dan jubah, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah mengeluarkan kain pelapis alas duduk dan kain pelapis alas tidur, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah mengeluarkan alas tidur dan alas duduk, ia harus meletakkannya di satu sisi. ||8||

Setelah menurunkan dipan, [224] setelah mengeluarkannya dengan hati-hati tanpa menggeseknya, tanpa membenturkannya pada pintu atau tiang, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah menurunkan kursi, setelah mengeluarkannya dengan hati-hati tanpa menggeseknya, tanpa membenturkannya pada pintu atau tiang, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah mengeluarkan penyangga dipan, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah mengeluarkan tempolong, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah mengeluarkan papan pembaringan, ia harus meletakkannya di satu sisi. Setelah mengeluarkan penutup lantai, setelah memperhatikan bagaimana penataannya, ia harus meletakkannya di satu sisi. Jika terdapat jaring laba-laba di dalam tempat tinggal itu, pertama-tama ia harus menyingkirkannya dari penutup (lantai); ia harus menyeka sudut-sudut jendela. Jika dinding yang berwarna merah menjadi ternoda, maka ia harus menyekanya dengan kain basah, setelah memerasnya. Jika lantai yang berwarna hitam menjadi ternoda, maka ia harus menyekanya dengan kain basah, setelah memerasnya. Jika lantai belum dibersihkan, maka ia harus menyapunya setelah memercikkan air, dengan berpikir: ‘Rawatlah agar tempat tinggal ini tidak ternoda oleh debu.’ Setelah mencari sampah (apa pun), ia harus menyingkirkannya ke satu sisi. ||9||

“Setelah menjemur penutup lantai, setelah membersihkannya, setelah mengguncangnya, setelah mengembalikannya, ia harus menghamparkannya seperti semula. Setelah menjemur penyangga dipan, setelah menyekanya, setelah mengembalikannya, ia harus meletakkannya seperti semula. Setelah menjemur dipan … kursi, setelah membersihkannya, setelah mengguncangnya, setelah membawanya masuk dengan hati-hati tanpa menggeseknya, tanpa membenturkannya pada pintu atau tiang, ia harus meletakkannya seperti semula. Setelah menjemur alas tidur dan alas duduk …  setelah menjemur kain penutup alas duduk dan kain penutup alas tidur, setelah membersihkannya, setelah mengguncangnya, setelah mengembalikannya, ia harus meletakkannya seperti semula. Setelah menjemur tempolong, setelah menyekanya, setelah mengembalikannya, ia harus meletakkannya seperti semula. Setelah menjemur papan pembaringan, setelah menyekanya, setelah mengembalikannya, ia harus meletakkannya seperti semula. ||10||

Ia harus menyimpan mangkuk dan jubahnya. Ketika menyimpan mangkuk … (seperti pada ||5||) … Ketika menyimpan jubah … lipatannya ke arahnya, jubah itu disimpan. ||11||

“Jika angin berdebu bertiup dari arah timur, maka ia harus menutup jendela timur. Jika angin berdebu bertiup dari arah barat … arah utara … [225] … arah selatan, maka ia harus menutup jendela selatan. Jika cuaca sejuk, ia harus membuka jendela pada siang hari, ia harus menutup jendela pada malam hari. Jika cuaca panas, ia harus menutup jendela pada siang hari, ia harus membuka jendela pada malam hari. ||12||

“Jika bilik kotor, maka bilik harus disapu. Jika teras  … ruang pertemuan … ruang perapian … kakus kotor, maka kakus harus disapu. Jika tidak ada air minum, maka air minum harus disediakan. Jika tidak ada air untuk mencuci, maka air untuk mencuci harus disediakan. Jika tidak ada air dalam gentong untuk bercebok, maka air harus dituang ke dalam gentong air untuk bercebok. ||13||

“Jika ketidakpuasan muncul pada sang penahbis, maka seorang yang berbagi bilik dengannya harus menenangkannya atau meminta orang lain untuk menenangkannya, atau ia harus membabarkan khotbah dhamma kepadanya. Jika penyesalan muncul pada sang penahbis, maka seorang yang berbagi bilik dengannya harus melenyapkannya atau meminta orang lain untuk melenyapkannya, atau ia harus membabarkan khotbah dhamma kepadanya. Jika pandangan salah muncul pada sang penahbis, maka seorang yang berbagi bilik dengannya harus memintanya meninggalkan (pandangan salah itu) atau meminta orang lain untuk memintanya meninggalkan (pandangan salah itu), atau ia harus membabarkan khotbah dhamma kepadanya. ||14||

“Jika sang penahbis telah melakukan suatu pelanggaran atas suatu peraturan penting dan layak menerima masa percobaan, maka ia yang berbagi bilik dengannya harus berusaha, dengan berpikir: ‘Bagaimanakah agar Saṅgha memberikan masa percobaan kepada sang penahbis?’ Jika sang penahbis layak dikembalikan ke awal, maka ia yang berbagi bilik dengannya harus berusaha, dengan berpikir: ‘Bagaimanakah agar Saṅgha mengembalikan sang penahbis ke awal?’ Jika sang penahbis layak menerima (disiplin) mānatta, maka ia yang berbagi bilik dengannya harus berusaha, dengan berpikir: ‘Bagaimanakah agar Saṅgha menjatuhkan disiplin (mānatta) atas sang penahbis?’  Jika sang penahbis layak menerima rehabilitasi, maka ia yang berbagi bilik dengannya harus berusaha, dengan berpikir: ‘Bagaimanakah agar Saṅgha merehabilitasi sang penahbis?’ ||15||

“Jika Saṅgha hendak melaksanakan suatu tindakan (resmi) atas sang penahbis – pengecaman atau pembimbingan atau pengusiran atau pendamaian atau penangguhan – maka ia yang berbagi bilik dengannya harus berusaha, dengan berpikir: ‘Bagaimana agar Saṅgha tidak melaksanakan suatu tindakan (resmi) atas sang penahbis atau mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih ringan?’ Namun jika suatu tindakan (resmi) – pengecaman … penangguhan – tetap dilaksanakan atas sang penahbis, maka ia yang berbagi bilik dengannya harus berusaha, dengan berpikir: ‘Bagaimana agar sang penahbis dapat berperilaku selayaknya, tunduk, mengubah perilakunya, (sehingga) Saṅgha akan mencabut tindakan (resmi) tersebut?’ ||16||

“jika jubah sang penahbis harus dicuci, [226] maka ia yang berbagi bilik dengannya harus mencucinya atau ia harus berusaha, dengan berpikir: ‘Bagaimanakah agar jubah sang penahbis dapat dicuci?’ jika bahan jubah sang penahbis harus dijahit, maka ia yang berbagi bilik dengannya harus menjahitnya atau ia harus berusaha, dengan berpikir: ‘Bagaimanakah agar bahan jubah sang penahbis dapat dijahit?’ Jika bahan pewarna harus dimasak untuk sang penahbis, maka ia yang berbagi bilik dengannya harus memasaknya atau ia harus berusaha, dengan berpikir: ‘Bagaimanakah agar bahan pewarna dapat dimasak?’ Jika jubah sang penahbis harus dicelup dalam bahan pewarna, maka ia yang berbagi bilik dengannya harus mencelupnya atau ia harus berusaha, dengan berpikir: ‘Bagaimanakah agar jubah sang penahbis dapat dicelup dalam bahan pewarna?’ Ketika ia mencelup jubah, ia harus mencelupnya dengan baik, membalik-balikkannya, juga ia tidak boleh pergi jika tetesannya belum berhenti. ||17||

“Tanpa meminta (izin) dari sang penahbis, ia tidak boleh memberikan mangkuk makan kepada siapa pun juga ia tidak boleh menerima mangkuk makan dari siapa pun; ia tidak boleh memberikan jubah kepada siapa pun, juga ia tidak boleh menerima jubah dari siapa pun; ia tidak boleh memberikan suatu barang kebutuhan kepada siapa pun, juga ia tidak boleh menerima suatu barang kebutuhan dari siapa pun; ia tidak boleh memotong rambut siapa pun, juga ia tidak boleh rambutnya dipotong oleh siapa pun; ia tidak boleh memberikan layanan kepada siapa pun, juga ia tidak boleh menyuruh siapa pun memberikan suatu layanan; ia tidak boleh melakukan suatu tugas untuk siapa pun, juga ia tidak boleh menyuruh siapa pun melakukan suatu tugas; ia tidak boleh menjadi pelayan bagi siapa pun, juga ia tidak boleh menjadikan siapa pun sebagai pelayan; ia tidak boleh membawa pulang dana makanan untuk siapa pun, juga ia tidak boleh menyuruh siapa pun membawa pulang dana makanan. Tanpa (izin) dari sang penahbis, ia tidak boleh memasuki desa, ia tidak boleh pergi ke pekuburan, ia tidak boleh meninggalkan wilayah itu. Jika sang penahbis jatuh sakit, ia harus melayaninya hingga akhir hidupnya; ia harus menjaga(nya) hingga ia sembuh. Ini, para bhikkhu, adalah peraturan bagi mereka yang berbagi bilik terhadap para penahbis mereka dan yang harus dilaksanakan oleh mereka yang berbagi bilik terhadap para penahbis.” ||18||11||

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB VIII)
« Reply #58 on: 07 March 2012, 12:28:13 PM »
Pada saat itu para penahbis tidak berperilaku selayaknya terhadap mereka yang berbagi bilik dengan mereka. Para bhikkhu lain yang merasa malu … menyebarkannya, dengan mengatakan: “Bagaimana mungkin para penahbis ini tidak berperilaku selayaknya terhadap mereka yang berbagi bilik dengan mereka?” Kemudian para bhikkhu ini mengadukan hal ini kepada Sang Bhagavā. Beliau berkata: “Benarkah, seperti dikatakan, para bhikkhu, bahwa para penahbis tidak berperilaku selayaknya terhadap mereka yang berbagi bilik dengan mereka?”

“Benar, Yang Mulia.” Setelah menegur mereka, setelah membabarkan khotbah, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Baiklah, para bhikkhu, Aku akan menetapkan peraturan bagi para penahbis terhadap mereka yang berbagi bilik dengan mereka dan yang harus dilaksanakan oleh para penahbis yang berbagi bilik dengan mereka.” ||1||

“Sang penahbis,  harus berperilaku selayaknya terhadap mereka yang berbagi bilik dengannya. [227] berikut ini adalah perilaku selayaknya dalam hal ini: seorang yang berbagi bilik dengannya harus diperdalam, ia harus dibantu oleh sang penahbis dalam hal pembacaan, pertanyaan, nasihat, instruksi. Jika terdapat sebuah mangkuk untuk sang penahbis tetapi tidak ada untuk ia yang berbagi bilik dengannya, maka sebuah mangkuk harus diberikan oleh sang penahbis kepada ia yang berbagi bilik dengannya, atau ia harus berusaha, dengan berpikir: ‘Bagaimana agar sebuah mangkuk dapat diperoleh untuk ia yang berbagi bilik denganku?’ Jika terdapat sehelai jubah … Jika terdapat suatu barang kebutuhan (lainnya) … ‘Bagaimana agar barang kebutuhan (lainnya) ini dapat diperoleh untuk ia yang berbagi bilik denganku?’ ||2||

“Jika ia yang berbagi bilik jatuh sakit, setelah bangun pagi, Ia harus memberikan kayu pembersih gigi, ia harus menyediakan air untuk membersihkan mulut, ia harus mempersiapkan tempat duduk. Jika tersedia bubur cair, setelah mencuci mangkuk, bubur cair itu harus diletakkan di dekatnya, Ketika ia telah meminum bubur cair, setelah memberikan air, setelah menerima mangkuk, setelah menurunkannya, setelah mencucinya dengan baik tanpa menggosoknya, mangkuk harus disimpan. Ketika ia yang berbagi bilik telah bangkit, tempat duduk harus disingkirkan. Jika tempat itu kotor, maka tempat itu harus disapu. ||3||

“Jika ia yang berbagi bilik ingin memasuki desa, jubah dalamnya harus diserahkan (kepadanya), dan jubah dalam (yang sedang ia kenakan) harus diterima (darinya), jubah luar harus diserahkan (kepadanya) setelah melipatnya (dalam dua atau empat lipatan); setelah mencucinya, mangkuk berisi air harus diserahkan (kepadanya). Dengan berpikir: ‘Ia akan segera pulang saat ini,’ ia harus mempersiapkan tempat duduk, ia harus menyediakan air untuk mencuci kaki, sebuah bangku kaki, sebuah pijakan kaki; setelah menyambutnya, ia harus menerima mangkuk dan jubahnya, ia harus menyerahkan jubah dalam (yang diterima), ia harus menerima jubah dalamnya. Jika jubahnya basah karena keringat, ia harus menjemurnya beberapa saat di bawah panas matahar, tetapi jubah tidak boleh disimpan di bawah panas matahari. Ia harus melipat jubah itu, setelah melipat sudut-sudutnya selebar empat jari, ia harus melipat jubah, dengan berpikir ‘Jangan sampai ada kekusutan di bagian tengah.’ Sabuk pinggang harus diletakkan di dalam lipatan (jubah). Jika ada makanan dan ia yang berbagi bilik ingin makan, maka setelah memberikan air, makanan itu harus diletakkan di dekat(nya). ||4||

“Ia harus memberikan air minum kepada ia yang berbagi bilik dengannya. Ketika ia telah selesai makan, setelah memberikan air, setelah menerima mangkuk, setelah menurunkannya, setelah mencucinya dengan baik tanpa menggosoknya, setelah mengosongkan airnya, ia harus menjemurnya beberapa saat di bawah panas matahari, tetapi mangkuk tidak boleh disimpan di bawah panas matahari. Ia harus menyimpan mangkuk dan jubah. Ketika menyimpan mangkuk, setelah memegang mangkuk dengan satu tangan, [228] setelah mendorongnya dengan tangan lainnya di bawah dipan atau di bawah kursi, mangkuk itu disimpan, tetapi mangkuk tidak boleh diletakkan di atas tanah. Ketika menyimpan jubah, setelah memegang jubah dengan satu tangan, setelah dengan tangan lainnya mengusap sepanjang batang bambu untuk jubah atau sepanjang tali untuk jubah, setelah menatanya dengan bagian tepinya menjauhinya dan lipatannya ke arahnya, jubah itu disimpan. Ketika ia yang berbagi bilik dengannya bangkit dari duduknya, tempat duduknya harus disingkirkan, air untuk mencuci kaki, bangku kaki, pijakan kaki harus disimpan. Jika tempat itu menjadi kotor, maka tempat itu harus disapu. ||5||

“Jika ia yang berbagi bilik dengannya hendak mandi, maka ia harus mempersiapkan air mandi. Jika ia hendak (mandi) air dingin, maka ia harus mempersiapkan air dingin; ika ia hendak (mandi) air panas, maka ia harus mempersiapkan air dpanas. Jika ia yang berbagi bilik dengannya hendak memasuki kamar mandi, ia harus mengaduk bubuk mandi, harus membasahi tanah liat; mengambilkan kursi kamar mandi, setelah berjalan (persis di belakang ia yang berbagi bilik dengannya), setelah menyerahkan kursi kamar mandi, setelah menerima jubahnya maka ia harus meletakkannya di satu sisi. Ia harus menyerahkan bubuk mandi, ia harus menyerahkan tanah liat. Jika ia mampu melakukannya, maka ia harus memasuki kamar mandi. Ketika memasuki kamar mandi, setelah melumuri wajahnya dengan tanah liat, setelah menutup bagian depan dan belakang tubuhnya, ia memasuki kamar mandi. ||6||

“Ia tidak boleh duduk melewati batas (tempat yang disediakan untuk) para bhikkhu senior. Ia tidak boleh menjauhkan para bhikkhu yang baru ditahbiskan dari tempat duduk mereka. Ia harus melakukan persiapan bagi ia yang berbagi bilik dengannya di dalam kamar mandi. Ketika meninggalkan kamar mandi, sambil membawa kursi kamar mandi, setelah menutup bagian depan dan belakang tubuhnya, ia keluar dari kamar mandi. Ia juga harus melakukan persiapan bagi ia yang berbagi bilik dengannya di dalam air. Ketika ia sedang mandi, setelah keluar (terlebih dulu) dari dalam air, setelah mengeringkan tubuhnya, setelah mengenakan jubah dalamnya, ia harus menyeka air dari bagian-bagian tubuh ia yang berbagi bilik dengannya, ia harus menyerahkan jubah dalamnya, ia harus menyerahkan jubah luarnya; sambil membawa kursi kamar mandi, setelah berjalan terlebih dulu, ia harus mempersiapkan tempat duduk, ia harus menyediakan air untuk mencuci kaki, bangku kaki, dan pijakan kaki. Ia harus memberikan air minum kepada ia yang berbagi bilik dengannya. ||7||

“Jika tempat tinggal di mana ia yang berbagi bilik dengannya menetap itu kotor, jika ia mampu (melakukannya) maka ia harus membersihkannya. Ketika membersihkannya, setelah pertama-tama mengeluarkan mangkuk dan jubah, ia harus meletakkannya di satu sisi … jika tidak ada air dalam gentong air untuk bercebok, maka air harus dituangkan ke dalam gentong air untuk bercebok. Jika ketidakpuasan muncul pada ia yang berbagi bilik dengannya, maka sang penahbis harus menenangkannya atau meminta orang lain untuk menenangkannya, atau ia harus membabarkan khotbah dhamma kepadanya. Jika penyesalan …, maka sang penahbis harus melenyapkannya atau meminta orang lain untuk melenyapkannya, atau ia harus membabarkan khotbah dhamma kepadanya. Jika [229] pandangan salah muncul pada ia yang berbagi bilik dengannya, maka sang penahbis harus memintanya meninggalkan (pandangan salah itu) atau meminta orang lain untuk memintanya meninggalkan (pandangan salah itu), atau ia harus membabarkan khotbah dhamma kepadanya. ||8||

“Jika ia yang berbagi bilik dengannya telah melakukan suatu pelanggaran atas suatu peraturan penting … maka sang penahbis harus berusaha, dengan berpikir: ‘Bagaimanakah agar Saṅgha merehabilitasi ia yang berbagi bilik denganku?’ ||9||

“Jika Saṅgha hendak melaksanakan suatu tindakan (resmi) atas ia yang berbagi bilik  dengan berpikir: ‘Bagaimana agar ia yang berbagi bilik denganku dapat berperilaku selayaknya, tunduk, mengubah perilakunya, (sehingga) Saṅgha akan mencabut tindakan (resmi) tersebut?’ ||10||

“jika jubah milik ia yang berbagi bilik harus dicuci … Ketika mencelup jubah, ia harus mencelupnya dengan baik, membalik-balikkannya, juga ia tidak boleh pergi jika tetesannya belum berhenti. Jika ia yang berbagi bilik jatuh sakit, maka ia harus melayaninya hingga akhir hidupnya; ia harus menjaga(nya) hingga ia sembuh. Ini, [230] para bhikkhu, adalah peraturan bagi para penahbis terhadap mereka yang berbagi bilik dengan mereka dan yang harus dilaksanakan oleh para penahbis terhadap mereka yang berbagi bilik  dengan mereka.” ||11||12||

Demikianlah Bagian Pengulangan Ke dua

Pada saat itu para murid tidak berperilaku selayaknya terhadap para guru mereka – (seperti pada ||11||. Dengan menggantikan penahbis menjadi guru; dengan menggantikan ia yang berbagi bilik menjadi murid) … ||13||

Pada saat itu para guru tidak berperilaku selayaknya terhadap para murid mereka – (seperti pada ||12||. Dengan menggantikan penahbis, ia yang berbagi biiik menjadi guru; murid) … ||14||

Demikianlah bagian ke delapan: yaitu tentang peraturan untuk dilaksanakan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: VINAYA PITAKA 5 (PTS), CULLAVAGGA (BAB IX)
« Reply #59 on: 07 March 2012, 12:31:22 PM »
CULLAVAGGA IX
Tentang Penangguhan Pātimokkha


Pada suatu ketika  Yang Tercerahkan, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Vihara Timur di rumah besar ibunya Migāra. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang duduk dikelilingi oleh Saṅgha para bhikkhu pada hari Uposatha. Kemudian, pada larut malam, menjelang akhir jaga pertama, Yang Mulia Ānanda, bangkit dari duduknya, setelah merapikan jubahnya di satu bahunya, setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā dengan merangkapkan tangan, berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Yang Mulia, malam telah larut, jaga pertama segera berakhir; Saṅgha para bhikkhu telah duduk cukup lama; Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā membacakan Pātimokkha untuk para bhikkhu.”  Ketika ia telah berkata demikian, Sang Bhagavā berdiam diri. Dan ketika malam telah semakin larut, ketika jaga ke dua hampir berakhir, Yang Mulia Ānanda, untuk ke dua kalinya bangkit dari duduknya, setelah merapikan jubah … berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Yang Mulia, malam semakin larut, jaga ke dua segera berakhir; … membacakan Pātimokkha untuk para bhikkhu.” Dan untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā berdiam diri. Dan ketika malam semakin larut lagi, ketika jaga terakhir hampir berakhir, ketika matahari telah terbit dan malam tampak menggembirakan,  untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Ānanda, bangkit dari duduknya, setelah merapikan … berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Yang Mulia, malam telah semakin larut, jaga terakhir segera berakhir; matahari telah terbit, malam tampak menggembirakan Saṅgha para bhikkhu telah duduk cukup lama; Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā membacakan Pātimokkha untuk para bhikkhu.”

“Ānanda, kelompok ini tidak seluruhnya murni.”  ||1||

Kemudian Yang Mulia Moggallāna yang Agung berpikir: “Sehubungan dengan siapakah Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: ‘Ānanda, kelompok ini tidak seluruhnya murni’?” Kemudian Yang Mulia Moggallāna yang Agung dengan pikirannya melingkupi pikiran seluruh Saṅgha para bhikkhu. Kemudian Yang Mulia Moggallāna yang Agung melihat seseorang yang sedang duduk di tengah-tengah Saṅgha para bhikkhu – yang bermoral buruk,  berkarakter rusak, berperilaku tidak murni dan mencurigakan,  dengan perbuatan-perbuatan tersembunyi,  bukan seorang petapa (sejati) (walaupun) berpura-pura sebagai seorang petapa sejati, bukan seorang pengembara dalam pengembaraan-Brahma (walaupun) berpura-pura sebagai seorang pengembara dalam pengembaraan-Brahma, busuk dalam batinnya, dipenuhi dengan keinginan,  dengan sifat menjijikkan; melihatnya, ia mendatangi orang itu, [236] setelah mendekat, ia berkata kepada orang itu sebagai berikut:

“Bangkitlah, Yang Mulia, Sang Bhagavā telah melihatmu; bagimu tidak ada kebersamaan  dengan para bhikkhu.” Ketika ia telah menyelesaikan kata-katanya, orang itu hanya berdiam diri. Dan untuk ke dua kalinya … Dan untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Moggallāna yang Agung berkata kepada orang itu: “Bangkitlah, Yang Mulia, … bagimu tidak ada kebersamaan dengan para bhikkhu.” Dan untuk ke tiga kalinya orang itu hanya berdiam diri. Kemudian Yang Mulia Moggallāna yang Agung, setelah mencengkeram lengan orang itu, setelah mendorongnya keluar melalui teras pintu utama, setelah mengunci pintu,  mendekati Sang Bhagavā; setelah mendekat, ia berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Yang Mulia, aku telah mengeluarkan orang itu; kelompok ini telah sepenuhnya murni; Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā membacakan Pātimokkha untuk para bhikkhu.”

“Betapa aneh, Moggallāna, betapa mengherankan, Moggallāna, bahwa orang dungu itu harus menunggu hingga lengannya dicengkeram.” ||2||

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, ada delapan hal aneh dan menakjubkan ini sehubungan dengan samudera raya,  yang dengan terus-menerus melihatnya para asura  bergembira dalam samudera raya. Apakah delapan ini? Samudera raya, para bhikkhu, semakin dalam secara bertahap, melandai secara bertahap, menjorok secara bertahap, tidak secara tiba-tiba seperti jurang. Dan para bhikkhu, bahwa samudera raya yang semakin dalam secara bertahap, melandai secara bertahap, menjorok secara bertahap, tidak secara tiba-tiba seperti jurang – ini, para bhikkhu, adalah keanehan dan hal menakjubkan pertama sehubungan dengan samudera raya yang dengan terus-menerus melihatnya para asura bergembira dalam samudera raya.

“Dan kemudian, para bhikkhu, samudera raya stabil, tidak meluapkan tepiannya.  Dan para bhikkhu, bahwa samudera raya stabil, tidak meluapkan batasnya - ini, para bhikkhu, adalah keanehan dan hal menakjubkan ke dua …

“Dan kemudian, para bhikkhu, samudera raya tidak berhubungan dengan jasad makhluk yang mati atau mayat. Jasad atau mayat apa pun yang terdapat di samudera raya, mayat itu akan segera didorong ke pantai, ke daratan.  Bahwa samudera raya, para bhikkhu, yang tidak berhubungan dengan jasad makhluk yang mati atau mayat … ini, para bhikkhu adalah keanehan dan hal menakjubkan ke tiga …

“Dan kemudian, para bhikkhu, semua sungai besar, yaitu, Gangga, Jumma, Aciravatī, Sarabhū, dan Mahī  - sungai-sungai ini, ketika mencapai samudera raya menjadi kehilangan nama dan identitasnya  dan hanya dikenal sebagai samudera raya. Bahwa semua sungai besar ini … ini, para bhikkhu, [237] adalah keanehan dan hal menakjubkan ke empat …

“Dan kemudian, para bhikkhu, semua aliran di dunia ini yang mengalir ke samudera raya, dan curahan hujan dari angkasa yang jatuh ke atas samudera raya, namun kosongnya dan penuhnya samudera raya tidak terpengaruh oleh hal-hal itu. Bahwa aliran-aliran di dunia ini … ini, para bhikkhu adalah keanehan dan hal menakjubkan ke lima …

“Dan kemudian, para bhikkhu, samudera raya memiliki satu rasa, yaitu rasa asin. Bahwa samudera raya, para bhikkhu, memiliki satu rasa … ini, para bhikkhu adalah keanehan dan hal menakjubkan ke enam …

“Dan kemudian, para bhikkhu, samudera raya menyimpan banyak harta karun,  harta karun para penyelam; harta karun ini ada di sana, yaitu, mutiara,  Kristal, lapis lazuli, kulit kerang, kwarsa, koral, perak, emas, mirah delima, mata-kucing. Bahwa samudera raya, para bhikkhu, menyimpan banyak harta karun … ini, para bhikkhu adalah keanehan dan hal menakjubkan ke tujuh …

“Dan kemudian, para bhikkhu, samudera raya adalah alam dari makhluk-makhluk agung; makhluk-makhluk ini adalah: timi, timingala, timitimingala, asura,  nāga, gandhabba. Terdapat di samudera raya, makhluk-makhluk  yang seratus yojana  (panjangnya),  makhluk-makhluk yang dua ratus … tiga ratus … empat ratus … lima ratus yojana (panjangnya). Bahwa samudera raya, para bhikkhu, adalah alam dari makhluk-makhluk agung; makhluk-makhluk ini adalah: timi … makhluk-makhluk yang lima ratus yojana (panjangnya) – ini, para bhikkhu, adalah delapan hal aneh dan menakjubkan sehubungan dengan samudera raya, yang dengan terus-menerus melihatnya para asura bergembira dalam samudera raya. ||3||

“Dengan cara yang persis sama, para bhikkhu, dalam dhamma dan disiplin ini terdapat delapan keanehan dan hal menakjubkan yang dengan terus-menerus melihatnya para bhikkhu bergembira dalam dhamma dan disiplin ini. Apakah delapan ini?

“Seperti halnya,  para bhikkhu, samudera raya yang semakin dalam secara bertahap, melandai secara bertahap, menjorok secara bertahap, tidak secara tiba-tiba seperti jurang, demikian pula, para bhikkhu, dalam dhamma dan disiplin ini terdapat latihan bertahap,  tindakan bertahap,  jalan bertahap,  tidak secara tiba-tiba seperti penembusan pengetahuan mendalam. Dan para bhikkhu, bahwa dalam dhamma dan disilin ini terdapat … alan bertahap, tidak secara tiba-tiba seperti penembusan pengetahuan mendalam, ini, para bhikkhu, adalah keanehan dan hal menakjubkan pertama yang dengan terus-menerus melihatnya para bhikkhu bergembira dalam dhamma dan disiplin ini.

“Dan seperti halnya, para bhikkhu, samudera raya yang stabil, tidak meluapkan tepiannya, demikian pula, para bhikkhu, aturan latihan apa pun yang Kutetapkan bagi para siswa, para siswaKu tidak akan melanggarnya bahkan dengan taruhan nyawanya. Dan, para bhikkhu, bahwa para siswaKu tidak akan melanggar bahkan dengan taruhan nyawanya, [238] ini, para bhikkhu, adalah keanehan dan hal menakjubkan ke dua …

“Dan seperti halnya, para bhikkhu, samudera raya yang tidak berhubungan dengan jasad makhluk yang mati atau mayat, jasad atau mayat apa pun yang terdapat di samudera raya, tetapi mayat itu akan segera didorong ke pantai, ke daratan, demikian pula, para bhikkhu, siapa pun juga yang berperilaku tidak bermoral, berkarakter buruk, yang tidak murni dan berperilaku mencurigakan, dengan perbuatan sembunyi-sembunyi, bukan seorang petapa (sejati) (walaupun) berpura-pura sebagai seorang petapa (sejati), bukan seorang pengembara dalam pengembaraan-Brahma (walaupun) berpura-pura sebagai seorang pengembara dalam pengembaraan-Brahma, busuk dalam batinnya, dipenuhi dengan keinginan, dengan sifat menjijikkan - Saṅgha tidak menetap dalam kebersamaan  dengannya, tetapi setelah berkumpul segera, kemudian menyingkirkannya; dan walaupun ia duduk di tengah-tengah Saṅgha para bhikkhu, namun ia jauh dari Saṅgha dan Saṅgha jauh darinya  … ini, para bhikkhu, adalah keanehan dan hal menakjubkan ke tiga …

“Dan seperti halnya, para bhikkhu, semua sungai besar, yaitu, Gangga, Jumma, Aciravatī, Sarabhū, dan Mahī yang, ketika mencapai samudera raya menjadi kehilangan nama dan identitasnya dan hanya dikenal sebagai samudera raya, demikian pula, para bhikkhu, (para anggota) dari empat kasta ini: mulia, brahmana, pedagang dan rendah, setelah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-Kebenaran, kehilangan nama dan suku sebelumnya dan hanya dikenal sebagai para petapa, para putera Sakya  … ini, para bhikkhu, adalah keanehan dan hal menakjubkan ke empat …

“Dan seperti halnya, para bhikkhu, semua aliran di dunia ini yang mengalir ke samudera raya, dan curahan hujan dari angkasa yang jatuh ke atas samudera raya, namun kosongnya dan penuhnya samudera raya tidak terpengaruh oleh hal-hal itu – demikian pula, para bhikkhu, bahkan jika banyak bhikkhu mencapai Nibbāna dalam kondisi-Nibbāna hingga tidak ada lagi kelompok yang tersisa,  bukan karena itu maka kosongnya dan penuhnya kondisi-Nibbāna terpengaruh … ini, para bhikkhu, adalah keanehan dan hal menakjubkan ke lima …

“Dan seperti halnya, para bhikkhu, samudera raya memiliki satu rasa, yaitu rasa asin, demikian pula, para bhikkhu, dhamma dan disiplin ini memiliki satu rasa, yaitu rasa kebebasan … ini, para bhikkhu, adalah keanehan dan hal menakjubkan ke enam …

“Dan seperti halnya, para bhikkhu, samudera raya menyimpan banyak harta karun, harta karun para penyelam; harta karun ini ada di sana, yaitu, mutiara,  Kristal, lapis lazuli, kulit kerang, kwarsa, koral, perak, emas, mirah delima, mata-kucing – demikian pula [239], para bhikkhu, dhamma dan disiplin ini memiliki banyak harta karun, harta karun para penyelam - harta karun ini ada di sana, yaitu, empat penegakan perhatian, empat usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, tujuh rantai dalam pencerahan, Jalan Mulia Berunsur Delapan  … ini, para bhikkhu, adalah keanehan dan hal menakjubkan ke tujuh …

“Dan seperti halnya, para bhikkhu, samudera raya adalah alam dari makhluk-makhluk agung; makhluk-makhluk ini adalah: timi, timingala, timitimingala, asura,  nāga, gandhabba. Terdapat di samudera raya, makhluk-makhluk  yang seratus yojana  (panjangnya),  makhluk-makhluk yang dua ratus … tiga ratus … empat ratus … lima ratus yojana (panjangnya). – demikian pula, para bhikkhu, dhamma dan disiplin ini adalah alam dari makhluk-makhluk agung – makhluk-makhluk ini adalah: pemasuk-arus, seorang yang menuju pencapaian buah pencapaian-arus, yang-kembali-sekali, seorang yang menuju pencapaian buah yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, seorang yang menuju pencapaian buah yang-tidak-kembali, yang sempurna, seorang yang menuju kesempurnaan. Dan para bhikkhu, bahwa, dhamma dan disiplin ini adalah alam dari makhluk-makhluk agung – makhluk-makhluk ini adalah: pemasuk-arus … seorang yang menuju kesempurnaan, ini, para bhikkhu, adalah keanehan dan hal menakjubkan ke delapan dalam dhamma dan disiplin ini yang dengan terus-menerus melihatnya para bhikkhu bergembira dalam dhamma dan disiplin ini. Ini, para bhikkhu, adalah delapan keanehan dan hal menakjubkan dalam dhamma dan disiplin ini yang dengan terus-menerus melihatnya para bhikkhu bergembira dalam dhamma dan disiplin ini.”

Kemudian, Sang Bhagavā, setelah mengajarkan hal ini, pada saat itu Beliau mengucapkan:

“hujan turun dengan keras pada sesuatu yang tertutup,
Hujan turun dengan tidak keras pda sesuatu yang terbuka;
Maka bukalah sesuatu yang tertutup itu,
Dengan demikian hujan tidak turun dengan keras di atasnya.”  ||4||1||

 

anything