//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - sobat-dharma

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8 ... 85
1
DhammaCitta Press / Re: Request Buku DC Press
« on: 31 December 2019, 10:19:35 PM »
Oke , trims  _/\_

2
DhammaCitta Press / Re: Request Buku DC Press
« on: 30 December 2019, 03:05:07 PM »
Mohon izin , Theraghata cetaknya masih ada? Trims

3
C2O Library & Collabtive, Surabaya
1 Set Kitab AN
09-06-2016

Sdr. The Ronald Tejo, Surabaya
2 Set AN
16-06-2016

Perpustakaan Universitas Surabaya (UBAYA), Surabaya
1 KKSB
1 DN
1 Set AN
1 Set MN
17-06-2016

4
Vihara BDC Surabaya, Surabaya
1 Set Kitab AN
22-11-2015

Maha Vihara Mojopahit, Mojokerto
2 Set Kitab AN
22-11-2015

Sdr. Tosin (Pengurus Vihara BDC)
1 Set Kitab AN
22-11-2015

Bhikkhu Diro
1 Set Kitab AN
22-11-2015

Buddhist Education Center, Surabaya
2 Set
23-01-2016

Sdr. Hendrick Gandalf

1 Set
23-01-2016

Vihara Dhammadipa, Surabaya
1 Set Kitab AN
12-02-2016

Vihara Buddhayana Surabaya, Surabaya
1 Set Kitab AN
05-04-2016

Triyana Dharma Center, Surabaya
1 Set Kitab AN
07-04-2016

5
Kalau mau request? Bagaimana caranya?

6
Nanti dikirim via Bro Ronaldo dr sby yah bro

Thanks a lot

7
Tonny
Jl. Nginden Intan Timur VI/F1-34
Surabaya 60118

Ini alamatku. Trims.

Aku berikrar untuk membaca dan mempelajarinya hingga tuntas.

8
Request 1 buku MN. Alamatnya japri ke siapa? trims

9
DhammaCitta Press / Re: Request Buku DC Press
« on: 09 March 2014, 06:11:35 PM »
Boleh request untuk buku majjhima nikaya?

10
Chan atau Zen / Peraturan Meditasi duduk (?? ?/Zuo-Chan-Yi)
« on: 12 April 2013, 03:08:22 PM »
Oleh: Changfu Zongze

 

Seseorang yang ingin menjadi Bodhisattva harus memahami bahwa welas asih agung (mahakaruna) adalah syarat mutlak untuk mengembangkan kebijaksanaan (prajna). Ikrar agung harus ditempuh agar keadaan Samadhi dapat diusahakan. Semua makhluk harus diselamatkan dan keegoisan dikecilkan. Jangan melekat pada wujud eksternal, dan lepaskan kemelekatannya dalam berbagai peristiwa eksternal. Seimbangkan tubuh dan pikiran sehingga keduanya menjadi ‘satu’, dan mengalami ketiadaan dualitas antara ‘gerak’ dan ‘keheningan’.

Ukur (dan atur) asupan makanan dan minuman –tidak terlalu sedikit ataupun terlalu banyak. Menyeimbangkan kebutuhan tidur —waktunya tidak terlalu panjang ataupun terlalu pendek .

Untuk bermeditasi secara efektif, cari tempat yang tenang dan duduk di atas tikar tebal. Kendurkan ikat pinggang dan pakaian.

Menerapkan tingkah laku yang teratur, yang dapat membangkitkan rasa hormat, memandang segalanya setara, dan kemudian duduk dengan posisi kaki disilangkan sepenuhnya (posisi ‘teratai penuh’)

Posisi Teratai Penuh

Pertama tempatkan kaki kanan di atas area atas kaki kiri  (yaitu ‘paha’), dan kemudian tempatkan kaki kiri di atas area atas kaki kanan (yaitu ‘paha’) – kedua kaki dengan telapak kaki menghadap ke atas. Namun, duduk dengan posisi kaki setengah disilangkan (posisi ’setengah teratai’) juga dapat diberlakukan. Di mana kaki kiri diletakkan di atas kaki kanan – dengan kaki kiri ditumpangkan di atas area atas kaki kanan (yaitu ‘paha’)

Posisi Setengah Teratai

Kemudian pada kaki kiri, tempatkan tangan kanan (telapak tangan menghadap ke atas). Letakkan tangan kiri (telapak tangan menghadap ke ke atas ) di atas telapak tangan kanan dan biarkan kedua jempol bersentuhan. Dengan tenang dan lembut angkat dan bangkitkan batang tubuh ke depan bersama tarikan nafas ke dalam – dan kemudian menghembuskan napas – secara bersamaan guncang (atau ayunkan) tubuh ke kiri dan ke kanan. Kemudian biarkan tubuh untuk menetap sehingga postur duduk yang benar (dan tegak) dapat dicapai. Jangan bersandar ke kiri, ke kanan, tidak membungkuk kedepan atau bersandar ke belakang. Gunakan kendali tubuh untuk membuat tulang pinggang, punggung, leher dan kepala semua sejajar satu sama lain – hal ini akan mencegah nafas dari menjadi pendek dan terganggu.

Telinga harus sejajar dengan bahu, hidung dengan pusar. Lidah harus menyentuh langit-langit, serta bibir dan gigi harus ditutup.

Mata harus tetap sedikit terbuka sehingga dapat mencegah rasa kantuk. Bermeditasi dengan cara seperti ini menjamin pencapaian yang sangat kuat dari Samadhi. Pada zaman kuno, para bhikkhu belajar meditasi duduk dengan cara ini – dengan mata sedikit terbuka. Master Ch’an  Fayan Yuantong menyalahkan dengan keras orang yang bermeditasi dengan mata tertutup – dengan menyebut mereka sedang berdiam dalam ’Gua Hantu Gunung Hitam.’ Ini memiliki makna yang dalam bagi mereka yang mempraktikkan metode meditasi dan memahami kebijaksanaan ini.

Tubuh harus stabil dan tenang. Nafas ke dalam dan ke luar harus seimbang sehingga chi (daya vital) didistribusikan secara merata. Ketegangan harus dibebaskan dari seluruh bagian tengah, membebaskan area bagian pusar.

Jangan memunculkan pikiran baik dan buruk. Ketika pikiran muncul – menyadari hal itu – kesadaran membubarkan pikiran. Bila metode ini diterapkan selama jangka waktu yang panjang – semua pikiran dilupakan dan kesatuan dicapai. Adalah penting untuk menguasai keahlian dalam bermeditasi duduk (Zuochan).

Ini adalah pendapat saya bahwa Praktik meditasi duduk (Zuochan) adalah pintu gerbang dharma sukacita dan ketentraman. Beberapa praktisi mengembangkan ketidaksukaan terhadap metode ini dan menjadi sakit – hal ini dikarenakan mereka tidak mengikuti instruksi dan menerapkan metode dengan benar. Sehubungan dengan hal ini pikiran digunakan tanpa alasan yang luhur. Namun, jika kebajikan dikembangkan dan metode ini sepenuhnya dipahami, maka tubuh diubah sebagai empat unsur utama dalam Buddhisme (tanah, air, api dan udara), berpengalaman dengan sikap (dan wawasan) ringan yang tentram. Esensi spiritual akan menjadi terbuka nyata dan jelas. Pikiran menjadi terang dan benar. Cita rasa dharma memperkuat esensi spiritual – dan hal ini menciptakan sebuah pengalaman yang damai, murni dan tentram. Orang yang memahami kebenaran ini ibarat naga yang telah menemukan air, atau harimau yang telah berdiam di pegunungan. Metode yang benar (pengembangan pikiran) membutuhkan usaha lainnya – sekali praktik yang tepat terbentuk – karena memuat di dalamnya suatu kekuatan inheren (yang lengkap sendiri-) – seperti angin yang meniup api dan menjadikannya semakin kuat sebagai hasilnya.

Begitu seseorang berkembang ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi, mungkin akan banyak setan yang menyebabkan segala macam pengalaman yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Namun, jika pikiran tetap lurus dan benar – setan ini tidak berbahaya. Teks seperti  ’Surangama Sutra’, ‘Wawasan Tenang’ (Zhiguan) Tiantai, ‘Peraturan Realisasi Kultivasi’ (Xiuzheng yi) Guifeng, menerangkan dengan jelas bagaimana setan ini dapat dihadapi, dan bagaimana para praktisi dapat mempersiapkan diri terlebih dahulu- oleh karena itu, dengan mendalami teks-teks ini kekhawatiran atas masalah ini dapat teratasi.

Ketika keluar dari kondisi Samadhi (yaitu pikiran mendalam yang tidak terusik), tetap sangat tenang dan tidak menggerakkan tubuh tiba-tiba, atau dengan tergesa – kondisi damai harus dipertahankan melewati transisi dari satu kondisi ke kondisi lainnya.

Ketika praktik meditasi formal selesai, penting untuk mempertahankan kekuatan Samadhi yang dikembangkan (dalam kehidupan sehari-hari) melalui cara-cara yang tepat. Melindungi kekuatan Samadhi harus menjadi usaha yang serius – seperti dalam melindungi hidup seorang bayi. Dengan cara ini kekuatan Samadhi akan terus meningkat dengan mudah.

Mempraktikkan meditasi (dan merealisasikan Samadhi) adalah ajaran yang paling penting. Jika meditasi tidak dilakukan dan disempurnakan melalui realisasi pikiran yang tenang dan penuh wawasan (dhyana), itu akan terjadi kurang lengkapnya pemahaman dan kehilangan arah. Oleh karena itu mutiara (kebijaksanaan) ditemukan ketika air dalam kondisi hening – jika air terganggu mutiara tidak dapat ditemukan. Ketika pikiran diam ia menjadi murni dan jernih (seperti air yang tidak terusik) – dalam kejelasan ini mutiara dari pikiran bermanifestasi secara alami. Oleh karena itu, ‘Sutra Pencerahan Sempurna’ mengatakan, ‘kebijaksanaan murni dan bersih (yang menembus di mana-mana tanpa halangan) – berasal dari berlatih meditasi.’ ‘Sutra Teratai’ mengatakan, ‘Di tempat yang tenang ia berlatih meditasi dengan mengendalikan pikiran. Dia duduk tak bergerak laksana Gunung Semeru.’

Kemampuan untuk melewati (dan melampaui) keadaan yang biasa dan suci sepenuhnya tergantung pada praktik dhyana. Kemampuan mengabaikan tubuh ini sementara duduk, dan meninggalkan kehidupan ini sementara berdiri – sepenuhnya tergantung pada kekuatan Samadhi. Bahkan jika ada kehidupan latihan meditatif, hal itu mungkin tidak cukup waktu. Mereka yang tidak berkomitmen sepenuhnya untuk praktik ini tidak dapat mengatasi kebiasaan karma. Untuk alasan ini ujaran kuno mengatakan, “Jika kekuatan Samadhi tidak ada, maka seseorang dapat dengan mudah akan menghasilkan di gerbang kematian. Mata terpejam setelah tidak mencapai apa-apa (dalam kehidupan ini) menghasilkan gelombang (terdelusi) kelahiran kembali yang tak berujung. ‘Nasib baik dan persahabatan yang telah membawa kita bersama-sama untuk belajar Ch’an. Teks ini harus dibaca berulang-ulang, sehingga makna mendalamnya disempurnakan (dan dipahami). Ini akan menguntungkan diri serta semua orang lain – dan sebagai konsekuensinya semua makhluk akan mencapai pencerahan sejati.

11
Chan atau Zen / Re: Ajaran Zen Bodhidharma, oleh Bodhidharma
« on: 19 April 2012, 08:31:25 PM »
Download khotbah2 Bodhidharma klik di sini dalam bentuk pdf

12
Chan atau Zen / Komentar tentang “2 Pintu Masuk dan 4 Praktik”
« on: 14 April 2012, 11:27:41 AM »
Komentar tentang “2 Pintu Masuk dan 4 Praktik”

Oleh Master Sheng-yen (1930 – 2009).

Terdapat satu karya penting yang dikaitkan dengan Bodhidharma yang berjudul Dua Pintu Masuk dan Empat Praktik, di mana beliau menyebutkan dengan lebih eksplisit apa yang harus dilakukan oleh makhluk hidup agar dapat menyadari hakikat sejatinya. “Dua pintu masuk” terdiri dari memasuki melalui prinsip dan memasuki melalui praktik. Memasuki melalui prinsip berarti melihat secara langsung prinsip pertama, atau hakikat asal, tanpa bergantung pada kata-kata, deskripsi, konsep, pengalaman, atau proses berpikir. Memasuki melalui praktik mengacu pada melatih batin secara bertahap.

Bodhidharma menggambarkan memasuki melalui prinsip sebagai berikut: “Meninggalkan yang palsu, kembali ke yang sejati; tidak membeda-bedakan antara diri dan orang lain. Dalam perenungan, pikiran seseorang harus stabil dan tak bergerak, laksana tembok.”1Hal ini mungkin terdengar seperti cara gampang untuk langsung mencapai pencerahan, akan tetapi sebenarnya merupakan cara yang paling sulit. Jika kita mengira pencerahan Bodhidharma sendiri melalui pintu masuk melalui prinsip, maka kita harus mengatakan bahwa hal itu baru muncul setelah berpraktik sepanjang hidupnya, yang berpuncak pada sembilan tahun bermeditasi menghadap tembok di sebuah gua di Gunung Song. Sebenarnya, metode yang digunakan untuk mencapai memasuki melalui prinsip tepatnya ada pada frasa ini, “Pikiran seseorang harus stabil dan tak bergerak, laksana tembok.” Hal ini bukan berarti pikiran menjadi kosong, sebaliknya, pikiran menjadi waspada dan jernih, menerangi semuanya dengan kesadaran dan menanggapi dengan welas asih. Hal ini ideal, dan ini merupakan keadaan pikiran sebagaimana dimaksud dalam masuk melalui prinsip.

Pintu masuk kedua untuk mencapai realisasi adalah dengan praktik, yang terdiri dari empat: menerima akibat timbal-balik karma, beradaptasi dengan kondisi, tidak mencari, dan bersatu dengan Dharma. Setiap praktik itu semakin ke belakang semakin meningkat, sehingga mereka harus diikuti secara berurutan.

Praktik pertama, “menerima akibat timbal-balik karma,” berarti mengakui dampak dari karma beserta sebab dan akibat. Karma adalah sebuah istilah Sansekerta yang diterjemahkan secara harafiah sebagai “perbuatan.” Saat kita melakukan satu perbuatan, kekuatan karma yang masih menetap menghasilkan akibat di masa depan, baik pada kehidupan yang sekarang, ataupun pada kehidupan yang akan datang. Akibat dari karma perbuatan tertentu tidak menetap secara permanen, karena pelaksanaa terus-menerus perbuatan baru menyesuaikan kembali kekuatan karma, tetapi dalam semua peristiwa, terdapat hubungan sebab-akibat, dan akibatnya akan mirip dengan sifat dari penyebabnya. Oleh karena itu ketika kita menghadapi kesulitan, kita harus memahami bahwa kita sedang menerima akibat  timbal-balik karma dari perbuatan sebelumnya yang tak terhitung jumlahnya dalam kehidupan sebelumnya tak terhitung jumlahnya. Ketika kita membayar kembali sebagian dari utang kita, kita seharusnya bersukacita bahwa kita dapat melakukannya. Bila kita berpandangan demikian, maka ketika musibah muncul, kita akan tetap tenang, tanpa rasa tidak senang. Kita tidak akan menderita akibat emosi yang mengganggu, berkecil hati, atau depresi. Ini merupakan praktik yang penting.

Karma, atau sebab dan akibat, harus dipahami dan diterapkan dalam kaitannya dengan konsep Buddhis tentang sebab dan kondisi Gabungan dari sebab dan kondisi memungkinkan segala sesuatu terjadi. Kita tidak mungkin dan tidak boleh lari dari tanggung jawab kita dan akibat yang disebabkan oleh karma kita Tapi kita harus mencoba untuk memperbaiki kondisi dan karma. Jika keadaan dapat diperbaiki, kita harus mencoba untuk memperbaikinya. Jika keadaan tidak lagi dapat diubah, maka kita harus menerimanya dengan tenang sebagai akibat dari karma.

Boleh jadi gampang sekali untuk  mengacaukan antara prinsip sebab dan kondisi dengan prinsip sebab dan akibat. Pada kenyataannya, kedua prinsip itu terkait erat satu sama lain, dan sulit untuk berbicara tentang satunya tanpa menyinggung yang lain. Dari sudut pandang sebab dan akibat, kita dapat mengatakan bahwa kejadian sebelumnya adalah penyebabnya dan kejadian yang menyertainya adalah akibatnya. Satu kejadian mengarah ke yang berikutnya. Sebuah sebab, bagaimanapun, tidak dapat menyebabkan akibat dengan sendirinya. Sesuatu yang lain harus terjadi, harus muncul bersama dengan penyebabnya, untuk menghasilkan akibat. Gabungan antara kejadian dan faktor disebut sebagai sebab dan kondisi. Seorang pria dan wanita bersama-sama tidak secara otomatis menghasilkan anak-anak. Faktor-faktor lain harus muncul bersama agar penyebab (orang tua) mengahsilkan akibat (anak). Orang tua, anak, dan faktor-faktor lain yang terlibat semua dianggap sebab dan kondisi.

Sebab dan kondisi juga dapat dianggap sebagai “dharma”, sebuah istilah Sansekerta yang mengacu pada semua fenomena, baik fisik maupun mental. Makna ini berbeda dari “Dharma”-dengan abjad D-yang mengacu pada ajaran Buddha, metode dan prinsip-prinsip praktik. Namun, bahkan ajaran Buddha dan metode latihan itu sendiri adalah fenomena, atau dharma.

Bagaimanapun, kondisi (satu dharma) yang berpotongan dengan penyebab (dharma yang lain) harus dengan sendirnya disebabkan oleh hal lainnya, dan seterusnya, dan seterusnya tak terhingga ke segala arah di seluruh ruang dan waktu. Semua fenomena muncul karena sebab dan kondisi. Setiap fenomena yang muncul itu sendiri merupakan akibat dari penyebab sebelumnya dan muncul karena gabungan dari sebab dan kondisi. Ini mengarah pada konsep kemunculan yang berkondisi, juga dikenal sebagai saling bergantungan, yang berarti bahwa semua fenomena, atau dharma, tidak peduli kapan atau di mana mereka terjadi, saling berhubungan.

Oleh karena semua dharma adalah akibat dari sebab dan kondisi, kemunculan mereka adalah bersyarat. Hal ini meliputi bukan saja timbul dan muncul tetapi juga musnah dan lenyap. Seseorang yang lahir adalah fenomena, dan orang yang sekarat adalah fenomena; gelembung yang terbentuk adalah fenomena, dan gelembung yang pecah adalah fenomena, sebuah pemikiran yang muncul adalah fenomena, dan pikiran yang lenyap adalah fenomena. Semua dharma muncul dan lenyap karena sebab dan kondisi.

Praktik yang kedua dari empat praktik yang disarankan oleh Bodhidharma adalah “beradaptasi dengan kondisi”. Praktik ini juga memerlukan pemahaman mengenai sebab dan kondisi. Beradaptasi dengan kondisi berarti bahwa kita harus melakukan yang terbaik dalam batasan lingkungan kita. Jika keadaan kita beruntung atau sesuatu yang baik terjadi pada kita, kita seharusnya tidak terlalu bersemangat. Nasib baik, seperti nasib buruk, adalah hasil dari timbal balik karma.

Mengapa kita harus merasa gembira pada saat kita hanya menikmati hasil kerja kita sendiri? Hal ini seperti menarik uang dari rekening bank kita sendiri. Dengan cara yang sama, kita tidak boleh terlalu bangga, karena nasib baik, seperti halnya nasib buruk, adalah hasil dari banyak penyebab dan kondisi yang muncul bersamaan. Bagaimana kita dapat menyombongkan prestasi kita, ketika mereka sangat tergantung pada kehendak baik orang lain, pada pengorbanan orang tua kita, pada situasi sejarah? Praktik beradaptasi dengan kondisi berarti bahwa kamu menerima karmamu, atau sebab dan akibatnya, tanpa terlalu gembira, puas diri, atau kecewa.

Menerima hukum karma dan beradaptasi dengan kondisi adalah praktik yang sangat membantu dalam kehidupan sehari-hari. Jalan tersebut memungkinkan kita memperbaiki kondisi dan karma serta mempertahankan sikap positif terhadap kehidupan. Mereka membantu kita menikmati ketenangan hati dalam menghadapi perubahan situasi, memperbaiki perilaku kita, dan memelihara hubungan kita harmonis. Ajaran Bodhidharma ini tidak sulit untuk dipahami, dan setiap orang biasa dapat memanfaatkannya . Jika kita dapat menerapkannya dalam kondisi sehari-hari, kita akan memenuhi kewajiban kita dan kita akan melakukan yang terbaik dalam setiap kesempatan. Dengan cara ini, hidup akan lebih berarti.

Praktik yang ketiga dari empat  praktik Bodhidharma adalah “tidak mencari”. Ada pepatah Cina yang berbunyi “orang membesarkan anak untuk membantu mereka kelak di usia tua, dan orang-orang menumpuk makanan untuk kelak apabila terjadi paceklik”. Saat ini, orang di Barat mungkin tidak lagi membesarkan anak hanya untuk mendukungnya di usia tua nanti, tetapi orang mungkin masih menumpuk makanan, atau kekayaan, untuk kelak apabila terjadi kesulitan. Sikap ini bukanlah sikap tidak mencari. Dalam praktik tidak mencari, kita secara terus menerus, dengan tekun melakukan kegiatan yang berfaedah, namun kita tidak berpikir bahwa kegiatan ini untuk mendapatkan keuntungan pribadi kita pada saat ini ataupun di masa depan. Kita tidak mencari keuntungan pribadi. Hal ini tidaklah mudah, dan itu adalah tingkat praktik yang lebih tinggi dari praktik kedua. Pada kenyataannya, untuk sepenuhnya menghindari kegiatan yang mementingkan diri sendiri, kita harus membuat langkah sulit dalam mewujudkan bahwa diri itu tidak ada.

Apa yang biasanya kita anggap sebagai diri adalah ilusi. Ia sama sekali hampa dalam dirinya sendiri melainkan hanyalah nama yang kita berikan kepada interaksi kita yang berkelanjutan dengan lingkungan. Kita selalu melihat, mendengar, mencium, merasakan, menyentuh, dan berpikir, dan inilah arus deras sensasi, persepsi, dan penilaian, pikiran demi pikiran, yang kita kenali sebagai diri.

Berkata bahwa diri adalah ilusi, bagaimanapun, tidak sama dengan mengatakan diri adalah halusinasi. Diri bukanlah fatamorgana. Kita mengatakan bahwa diri adalah ilusi karena ia bukanlah entitas yang stabil, melainkan serangkaian peristiwa yang selamanya berubah dalam menanggapi lingkungan yang terus berubah. Diri bukan hal yang tetap sama, dan dengan demikian, kita mengatakan bahwa diri adalah ilusi. Dengan alasan yang sama, semua fenomena dianggap ilusi, yaitu, semua fenomena adalah tidak berinti. Segala sesuatu berubah dari waktu ke waktu, berkembang dan berubah menjadi sesuatu yang lain. Diri, karena itu, adalah keberadaan palsu yang tak henti-hentinya berinteraksi dengan lingkungan palsu.

Praktik tidak mencari merupakan praktik lanjutan karena ia merupakan praktik tanpa-diri. Sementara adalah wajar bagi orang yang mulai mempelajari dan mempraktikkan Buddhisme demi keuntungan mereka sendiri, akhirnya, melalui praktik, keegoisan mereka berguguran. Mereka mendapati diri mereka sibuk karena orang lain memerlukan bantuan mereka, dan mereka menyediakan apa yang dibutuhkan. Orang seperti itu bahkan tidak lagi berpikir tentang mencapai pencerahan.

Bila kamu telah berhenti khawatir soal pencapaianmu sendiri, maka kamu telah tercerahkan. Jika tidak demikian, akan selalu ada pikiran berkelana yang halus dan keterikatan pada keinginan untuk melakukan sesuatu untuk diri sendiri. Jika kamu ingin membebaskan diri dari segala kekotoran batin dan penderitaan duniawi dan jika kamu menginginkan pembebasan, kamu masih melekat pada dirimu. Hanya ketika kamu tidak memiliki kekhawatiran soal pencerahanmu sendiri, maka kamu benar-benar dapat tercerahkan. Praktik tidak mencari merupakan praktik keadaan tercerahkan.

Praktik Bodhidharma yang keempat adalah “bersatu dengan Dharma”, merupakan ajaran dasar Buddhisme bahwa semua fenomena adalah tidak kekal dan tidak memiliki diri yang hakiki. Dalam praktik bersatu dengan Dharma, kita mencoba untuk mengalami ketidakkekalan dan ketiadaan-diri secara langsung melalui perenungan langsung terhadap kekosongan. Ini adalah praktek tertinggi Ch’an, dan itu mengarah pada pencapaian tertinggi. Ini adalah praktik yang memungkinkan kita untuk mencapai titik dimana kita “masuk melalui prinsip” yang kita singgung sebelumnya.

Namun dari mana seorang praktisi memulai? Berbagai sekte agama Buddha menerapkan banyak metode yang bisa digunakan oleh pemula, seperti membaca kitab suci, membuat ikrar, melakukan namaskara, perhatian penuh, dan merenungkan nafas. Semua metode ini membantu kita untuk beralih dari pikiran tersebar, yang kacau, emosional, dan tidak stabil, menuju kondisi mental yang tenang dan harmonis dengan lingkungan kita. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah merilekskan tubuh dan pikiran. Jika kita dapat rileks, kita akan lebih sehat dan lebih stabil dan akan berhubungan dengan orang lain lebih harmonis.

Ada seorang perumah tangga Buddhis yang datang ke Ch’an Center yang sangat gugup. Kegugupannya membuat orang lain merasa gugup. Ketika ia berbicara denganmu, tubuhnya tegang, seolah-olah ia akan menyerangmu atau membela diri. Orang bereaksi terhadap perilaku semacam ini, itu mengganggu . Ketika saya menyuruhnya untuk merelakskan tubuhnya, ia menjawab dalam suara yang dipaksakan dan tegang, “Saya sudah relaks!” Dia selalu ketakutan dan tidak aman, dan karena masalah perasaan ini menyebabkan, ia datang ke Ch’an Center untuk mencari bantuan. Ia ingin belajar bermeditasi, jadi saya mengajarinya untuk secara bertahap merelakskan tubuhnya dan kemudian pikirannya. Jika kita tidak dapat relaks, tidak mungkin kita dapat bermeditasi, dan jika kita tidak dapat bermeditasi, praktik tidak mencari benar-benar mustahil. Orang ini tidak sabar dan berpikir bahwa jika ia tercerahkan semua masalahnya akan hilang. Dia berkata kepada saya, “Guru, saya tidak ingin apa-apa, saya hanya ingin metode untuk bisa tercerahkan dengan cepat. Berikan saya metode sesegera mungkin.”Saya menjawab, “Metode seperti itu belum ditemukan. Jika saya bisa menemukan sebuah metode yang dijamin mencapai pencerahan dengan cepat, saya mungkin bisa menjualnya untuk mendapatkan cukup banyak uang.”

Sekarang saya telah menemukan metode berikut, dan saya menawarkannya secara cuma-cuma kepada siapa saja yang berkeinginan untuk belajar. Metode ini merelakskan tubuh dan pikiran. Sangat mudah dan sederhana. Jangan bertanya apakah metode ini dapat membuatmu tercerahkan atau tidak. Kamu harus dapat menjadi relaks dulu, baru nanti kita dapat berbicara tentang pencerahan.

Pejamkan matamu, bersandarlah di kursimu dan relakskan otot-ototmu. Sepenuhnya merelakskan matamu. Sangatlah penting bahwa kelopak matamu menjadi relaks dan tidak bergerak. Tidak boleh ada ketegangan di sekitar bola matamu. Tidak perlu menerapkan tenaga atau ketegangan di manapun. Kendurkan otot-otot wajah, bahu, dan lengan. Relakskan perutmu dan letakkan tanganmu di pangkuan. Jika kamu merasakan berat tubuhmu, titik beratnya harus berada di kursimu. Tidak perlu memikirkan apa pun. Jika pikiran datang, kenali mereka dan perhatikan keluar dan masuknya napasmu melalui lubang hidung. Abaikan apa yang sedang orang lain lakukan. Berkonsentrasilah pada praktikmu, lupakan tentang tubuhmu, dan relaks. Tidak perlu menghiraukan keraguan soal apakah yang kamu lakukan berguna atau tidak.

Prinsip dari metode ini adalah menjadi relaks –untuk menjadi alami dan jernih. Pertahankan setiap sesi berlansgung singkat, namun berpraktiklah dengan sesering mungkin. Pada awalnya, setiap sesi sebaiknya sepuluh menit atau kurang, secara bertahap tingkatkan latihanmu hingga dua puluh sampai tiga puluh menit jika kamu dapat melakukannya tanpa terlalu banyak rasa tidak nyaman. Jika kamu melakukannya lagi, kamu mungkin akan merasa gelisah atau tertidur. Kamu dapat menggunakan metode ini beberapa kali sehari; maka akan menyegarkan tubuh dan pikiran dan menghilangkan sebagian kegalauan dalam kehidupan sehari-hari. Secara bertahap kamu akan mendapatkan stabilitas tubuh dan batin yang memungkinkan untuk, pada akhirnya, memasuki gerbang Ch’an.

Catatan:
1. Terjemahan alternatif untuk bagian ini adalah: “Mereka yang berpaling dari delusi kembali ke realitas, bermeditasi menatap tembok, tanpa-timbulnya diri dan orang lain, manunggal antara yang fana dan yang bijak, serta tetap teguh tak terusik bahkan oleh sutra-sutra berada dalam kondisi yang hening dan sempurna selaras dengan prinsip. Tanpa gerak, tanpa usaha, mereka masuk melalui prinsip.” (Dikutip dari terjemahan Red Pine).


13
Pure Land / Tanah Suci / Re: melafal nama Buddha sampai samadhi?
« on: 09 April 2012, 01:00:38 AM »
anumodana atas penjelasannya.
terkesan adanya praktik yang dilakukan oleh guru Mahayana melalui praktik Theravada dengan batasan yang kabur, dimana praktik tsb telah tercapai.

Saya memang belum pernah mendengar soal "nimitta" dalam Mahayana, meski dari pengalaman2 dalam meditasi yang diceritakan pada beberapa sumber memang menyerupai deskripsi tentang nimitta. Kalau "jhana" memang disebutkan dalam literatur Mahayana. Sansekertanya adalah "dhyana". Deskripsinya dalam sutra2 Mahayana sama dengan yang ada di dalam sutta pali. 

14
Pure Land / Tanah Suci / Re: melafal nama Buddha sampai samadhi?
« on: 08 April 2012, 12:14:28 AM »
apakah praktik yang dilakukan juga seperti di theravada ? (menggunakan nimitta & jhana)

Tidak ada deskripsi lengkap demikian dalam literatur mahayana, setahu saya. Tapi dari catatan beberapa laporan orang yang mempraktikkan nien-fo, terkadang muncul deskripsi seperti melihat cahaya atau perasaan bahagia yang kuat yang mirip dengan deskripsi nimitta dan pitti. Seorang guru bahkan dikatakan mencapai dhyana dengan praktik ini, yang dikatakan duduk bermeditasi selama berhari-hari tanpa sadar sampai hampir dikremasi oleh murid2nya sendiri karena dikira mati. Untungnya seorang guru yang lain mencegah murid2-nya dan membangunkan guru itu dari meditasinya. Tapi, terus terang saya tidak tahu apakah hal demikian sama dengan nimitta dan jhana dalam praktik guru2 aliran yang berfokus pada Jhana dalam Theravada.

Saya sendiri pernah dengar langsung dari seorang guru ch'an yang berkata bahwa nien-fo hanya bisa mencapai tingkatan upacara-samadhi, yang artinya dalam aliran Jhana ini berarti nimitta-nya telah stabil, tapi beliau sama sekali tidak menyinggung soal nimitta. Di luar ini, saya pernah membaca seorang guru ch'an lainnya yang ditanya soal bagaimana ia dapat mencapai samadhi duduk selama 7 hari, dan ia menjawab bahwa dengan tetap fokus pada satu titik konsentrasi dalam nienfo.

Jadi, sebenarnya tidak ada kepastian sejauh mana tingkatan samadhi yang bisa dicapai oleh nien-fo, dikarenakan beragamnya pendapat dan pengalaman pada guru2 dalam mahayana sendiri.

15
Pure Land / Tanah Suci / Re: melafal nama Buddha sampai samadhi?
« on: 20 March 2012, 12:33:23 AM »
Menurut pengertian Mahayana, jika dilakukan dg benar, nien-fo (pelafalan nama Buddha) adl jenis meditasi yg termasuk Buddhanussati (Buddhanusmrti)

Dalam Mahayana, samadhi dalam nienfo dinamakan nienfo sanme (念佛三昧), bahasa jepangnya: nembutsu-sanmei, yang merupakan terjemahan dari Sansekerta buddhanusmrti-samadhi

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8 ... 85