"Umumnya para modern scholar tidak menguasai dengan benar literatur-literatur Buddhist. Mereka hanya tahu satu atau dua fakta. Dengan fakta itu, mereka kemudian menganggap fakta yang ada dalam Aṭṭhakatā atau Ṭika salah. Mereka menganggap Aṭṭhakathā dan Ṭika tidak valid. Intinya sebenarnya sederhana saja: Itu semua sebenarnya karena ego mereka; kalau bukan diri mereka sendiri yang melejitkan diri mereka ke permukaan dengan cara membuat penyataan yang kontroversi, lalu siapa lagi yang akan mengenal mereka? Siapa yang akan mengakui keberadaan mereka? Dengan membuat penyataan kontroversi, suara mereka akan didengarkan; dengan membuat pernyataan kontroversi, suara mereka akan dipertimbangkan oleh orang lain."
Saya sangat setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Samanera Dhammasiri, umumnya para scholar demikian, mungkin ada beberapa diantara scholar yang memberi komentar karena tidak tahu dan ikut arus.
Pernah suatu ketika saya berdebat dengan bhikkhu (maaf samanera,
bhikkhu tsb juga jebolan Srilanka tapi sudah disrobe). beliau mengatakan bahwa keistimewaan Sang Buddha hanya tiga dan itu tertuang dalam Tevijjavacchagotta sutta di majjhima nikaya. (jadi menurut beliau abhinna Sang buddha hanya tiga jenis).
Saya merasa kaget menghadapi fakta bahwa ada bhikkhu kita bahkan mendegradasikan kemampuan Sang Buddha. Lalu saya ambil Majjhima Nikaya dan saya perlihatkan bahwa banyak di dalam sutta yang lain ada disebutkan abhinna ada enam bukan tiga seperti pendapat beliau.
Keprihatinan saya, bahwa banyak diantara umat Buddha yang sering membaca komentar bhikkhu atau komentar orang terkenal mengenai Tipitaka yang cenderung mendegradasikan kemudian diikuti, karena kualifikasi komentatornya seperti itu (hanya baca satu atau dua sutta) lalu memberi komentar seolah-olah dia banyak membaca. Yang mendengar juga membaca sedikit dan tak berusaha mengkonfirmasi dengan membaca sendiri Tipitaka, lalu menerima begitu saja apa kata bhikkhu tersebut.
Bhante Katukurunde Ñānananda, dalam bukunya "The Concept and Reality" memberikan pandangan yang berbeda dari inteprestasi Aṭṭhakatha dalam beberapa poin. Salah contohnya adalah mengenai konsep "diṭṭhi". Setiap kali menyebutkan pandangan salah, kitab komentar selalu menjelaskan bahwa diṭṭhi terdiri dari 62 pandangan salah saja. Kitab Komentar lupa mengatakan bahwa Dhamma pun akan menjadi diṭṭhi jika seseorang melekatinya. Ibarat seseorang yang menggunakan rakit bukan untuk menyeberangi sungai namun hanya dilekatinya. Poin2 yang diungkapkan oleh Bhante Kaṭukurunde Ñānananda yang terkadang berbeda dari Kitab Komentar telah diterima kebenarannya oleh banyak orang. ...
Maaf saya memberi pendapat yang bertentangan dengan beliau Samanera, seolah-olah bhante Katukurunde nampaknya benar dengan mengatakan Dhamma jangan dilekati.
Menurut saya bhante katukurunde melupakan hal mendasar yang umum terjadi diantara umat Buddha, yang sering dibaca tetapi tak dimengerti dengan jelas.
Memang benar Dhamma adalah suatu ditthi tersendiri menurut istilah saya yaitu: (Buddha Dhamma ditthi).
(menurut saya Buddha Dhamma menjadi ditthi bagi mereka yang tak mempraktikkan Dhamma. Mungkin mereka hanya membaca atau meditasi lima sepuluh menit).
Pandangan beliau bahwa yang mengatakan bahwa Dhamma jangan dilekati berarti menjelaskan bahwa beliau melihat Dhamma hanya sebagai suatu pandangan atau suatu teori (ditthi) tak lebih.
Tetapi apakah Dhamma hanya teori? Mungkin beliau
lupa merenungkan sifat-sifat Dhamma pada waktu membaca Dhammanussati yang berbunyi:
Opanayiko, Pacattam veditabbo vinnuhiti.Menuntun ke dalam batin,
dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing.
Dalam hal ini saya sering tak sepandangan dengan orang lain yang menganggap Dhamma sebagai rakit. Saya lebih setuju dengan pandangan yang melihat Dhamma sebagai jalan dan tujuan.
Apakah bila kita menyelami Dhamma kita dianggap melekat?
Hanya seseorang yang mengetahui Dhamma sebagai teori yang mengatakan Dhamma jangan dilekati. (pandangan Dhamma jangan dilekati menurut saya mirip pandangan saudara seperguruan Theravada)
Dhamma bukan hanya buku 41 jilid. Dhamma adalah pengetahuan yang menuntun batin kearah pencerahan.
Apakah Dhamma tak boleh dilekati? tak boleh dijadikan panutan, bimbingan, jalan, yang harus diselami?
Jadi kesimpulannya bahwa Dhamma memang bukan untuk dimengerti sebagai teori belaka, juga Dhamma bukan untuk dimengerti sebagai sebuah teori untuk menghiasi perpustakaan. Dhamma untuk diselami, dipraktikkan, dan dialami.
Dan Dhamma yang telah berhasil diselami dan direlaisasi terbebas dari ditthi. lantas keadaan yang terbebas dari ditthi apakah juga dianggap sebagai ditthi?
Bagi mereka yang suka mencari pembenaran mungkin akan berkata keadaan tanpa ditthi adalah suatu ditthi juga.
Disini saya berkesimpulan bahwa bhante Kakuturunde juga hanya mewakili pandangan scholar, saya yakin bhikkhu yang sungguh-sungguh mendalami dan mempraktikkan Dhamma akan memiliki pandangan berbeda dengan beliau (maksudnya tidak melihat Dhamma sebagai ditthi).