C. Mengapa Saṅkhāra seharusnya bermakna pengkondisi dalam Paṭiccasamuppāda.Sekarang, mari kita teliti alasan-alasan yang menuntun kita pada kesimpulan bahwa saṅkhāra dalam konteks Paṭiccasamuppāda lebih mengarah pada pengkondisi daripada pembentukan kamma kehidupan masa lampau:
1) Abhidhamma dan Kitab Komentar menyebut bahwa Citta dan Mano adalah serupa dalam konteks Paṭiccasamuppāda, yang menuntun mereka pada kesimpulan bahwa sankhārā merujuk pada pembentukan Kamma. Ketika kita melihat ke dalam Nikāya, kita menemukan bahwa :
(a) dalam Sutta-Sutta yang menjelaskan saṅkhāra yang digunakan dalam Paṭiccasamuppāda (misalnya SN 12.2, MN 9) mereka selalu berbicara tentang serangkaian Kāya/Vacī/Citta-saṅkhāra, tidak pernah sekalipun rangkaian Kāya/Vacī/Mano-saṅkhāra;
(b) dalam Sutta-Sutta yang membahas saṅkhāra yang digunakan sebagai bentukan kamma (misalnya SN 12.25, AN 4.171, MN 57) mereka selalu berbicara tentang serangkaian Kāya/Vacī/Mano-saṅkhāra, tidak pernah sekalipun tentang Kāya/Vacī/Citta-saṅkhāra;
(c) dalam Sutta-Sutta yang membahas saṅkhāra dalam hubungannya dengan penghentian, yakni sebagai pengkondisi (misalnya SN 41.6, MN 44), mereka selalu menyebutkan rangkaian Kāya/Vacī/Citta-saṅkhāra, tidak pernah sekalipun tentang rangkaian Kāya/Vacī/Mano-saṅkhāra.
Jadi di sini, jelaslah pembuktian bahwa tidak ada kekeliruan dalam Sutta-Sutta sehubungan dengan Citta&Mano. Tidak dapat ditemui satu Sutta pun yang menunjukkan pencampuran antara Citta dan Mano. Seperti apa yang dikatakan Abhidhamma dan Kitab Komentar, Citta dan Mano sinonim/sama dalam Paṭiccasamuppāda, maka kita dapat mengharapkan untuk menjumpai setidaknya satu Sutta yang dapat menunjukkannya (misalnya Citta-saṅkhāra digunakan sebagai pembentukan Kamma atau Mano-saṅkhāra digunakan sebagai pengkondisi). Jadi apabila kita mengandalkan Nikāya, kita harus berkata bahwa saṅkhāra dalam konteks Paṭiccasamuppāda merujuk pada Kāya/Vacī/Citta-saṅkhāra yang digunakan sebagai pengkondisi dan berhubungan dengan penghentian seperti yang diberikan dalam Sutta SN 41.6 dan MN 44.
2) Susunan formula dari Kesunyataan Mulia kedua adalah:
“Dan apa, para bhikkhu, asal mula penderitaan?
Nafsu keinginan yang menghasilkan keberadaan selanjutnya…”
Jadi nafsu keinginanlah (yang menimbulkan keterikatan) yang menghasilkan kelahiran kembali. Kita dapat juga berkata keinginan untuk hidup yang menyebabkan suatu makhluk untuk dilahirkan kembali (atau berlanjut keberadaannya), karena keinginan untuk hidup berhubungan langsung dengan nafsu keinginan dan keterikatan.
Mari kita lihat Sutta SN 12.37 dimana Sang Buddha berkata:
“Tubuh jasmani, para bhikkhu, bukanlah milikmu, juga bukan milik orang lain. Hendaknya kita katakan berasal dari kamma masa lampau (purāṇam kamma), dari rencana, dari kemauan, dari perasaan”.
Ketika kita melihat kepada 4 faktor ini, kita menemukan :
(i) kamma masa lampau (past-life kamma)– kamma pada dasarnya adalah niat atau kemauan.
(ii) Rencana (plans) – untuk melakukan ini atau itu, yakni ambisi/keinginan yang tidak terpenuhi.
(iii) kemauan (volitions)– niat/kemauan untuk hidup (pada dasarnya) yang berhubungan dengan kamma dan nafsu keinginan.
(iv) perasaan (feelings)– hasrat terhadap sesuatu/seseorang yang amat dicintai, dll.
Ketika kita menganalisa ke 4 faktor ini,
kita menjumpai bahwa rencana, kemauan dan perasaan berhubungan langsung dengan nafsu keinginan untuk keberadaan (kelahiran kembali)
sementara kamma masa lampau adalah faktor yang pasif untuk kelahiran kembali, bila tidak, ia seharusnya dikelompokkan bersamaan dengan kemauan.
Kelihatannya bahwa kamma masa lampau merujuk pada kamma masa lampau yang biasa
sementara kemauan adalah kamma khusus dari keinginan untuk hidup yang berhubungan langsung dengan kelahiran kembali.
Bukan kamma masa lampau yang menghasilkan kelahiran kembali, tetapi keinginan untuk hidup yang disebabkan oleh kegelapan batin.
Hasil dari Kamma masa lampau akan berfungsi jika ada kelahiran kembali, yang menentukan jenis dunia yang ditimbulkan oleh kesadaran, menyenangkan atau menderita atau perasaan netral yang dialami, dll.
Kasus dari pembunuh Angulimala adalah ilustrasi yang sangat bagus. Dia menciptakan kamma buruk yang sangat berat, tetapi tidak membawa pada kelahiran kembali.
Dengan melenyapkan kegelapan batin dan nafsu keinginan, dan juga melepaskan keinginan untuk hidup, Arahat Angulimala sepenuhnya mengakhiri kelahiran kembali.
Juga, kita lihat bahwa asañña-satta (makhluk tanpa persepsi, perasaan & kesadaran) dari alam Jhāna 4 berhenti menciptakan kamma, karena mereka tidak mempunyai kesadaran, hanya memiliki tubuh, tetapi ini tidak mengakhiri kelahiran kembali. Jadi walaupun kamma masa lampau pada dasarnya adalah niat atau kemauan, tetapi tidak disatukan dengan faktor (iii), kemauan yang berkaitan dengan niat/kemauan untuk hidup.
Di sinilah alasannya mengapa ada 2 rangkaian dari saṅkhāra dalam Sutta-Sutta. Rangkaian dari Kāya/Vacī/Mano-saṅkhāra tidak diragukan merujuk pada kemauan sebagai pembentukan kamma.
Rangkaian Kāya/Vacī/Citta-saṅkhāra yang akan ditunjukkan di bawah merujuk pada kemauan sebagai pengkondisi.
Ketika kita menganalisa pengkondisi - pengkondisi, kita menemukan:
(i) Kāya-saṅkhāra, yakni pernafasan, adalah disengajai/diniati (dengan tujuan untuk hidup), bukan tidak disengajai. Kita hanya menyadarinya ketika nafas kita terganggu dan kita sedang kekurangan nafas – betapa terdesaknya keinginan untuk bernafas!
(ii) vacī-saṅkhāra, yakni pemikiran, pada dasarnya berhubungan dengan pelindungan diri dan penjagaan diri. Tanpa faktor ini, suatu makhluk tidak dapat bertahan hidup di dunia.
(iii) Citta-saṅkhāra, yakni perasaan dan persepsi, diikuti oleh kemauan, di sini adalah kemauan untuk hidup.
Jadi, ketiga pengkondisi tersebut semuanya berhubungan dengan menopang hidup suatu makhluk, yakni berhubungan dengan kemauan untuk hidup.
Jadi, dikarenakan kegelapan batin maka ada niat/kemauan untuk hidup
dan ke 3 pengkondisi bekerja menopang hidup dan berfungsinya suatu makhluk melalui tubuh jasmani, ucapan dan pemikiran.
Apabila kehidupan telah tertopang, ia mengkondisikan munculnya kesadaran, mentalitas-materi, dll (mata rantai lainnya) – menjadi penyebab munculnya keseluruhan massa penderitaan.Jadi pengkondisi berhubungan dengan Paṭiccasamuppāda. Ini adalah penjelasan yang lebih baik daripada berkata bahwa kita menciptakan kamma di masa lampau kita dikarenakan oleh kegelapan batin – yang tidak tampak dalam kehidupan ini dan tidak menjelaskan mengapa saya terus ada sekarang, saat yang satu ke saat yang lain (yang dijelaskan pengkondisi).
3) Untuk menjelaskan berhentinya penderitaan, yakni pencapaian parinibbāna, kita dihadapkan dengan pertanyaan yang sangat penting, yakni :
“Apakah pencapaian parinibbāna harus selalu mengalami proses berhentinya pengkondisi seperti yang tertera dalam Cūḷavedalla Sutta, MN 44?”
Jika benar, maka dengan jelas menunjukkan bahwa saṅkhāra dalam konteks Paṭiccasamuppāda merujuk pada pengkondisi dan bukan bentukan kamma.
Ketika kita meneliti Mahā Parinibbāna Sutta, DN 16, kita menjumpai bahwa untuk memasuki parinibbāna, Sang Buddha harus :
(i) dengan sengaja melepaskan kemauan untuk hidup, dan
(ii) memasuki parinibbāna dari Jhāna 4.
Ini menunjukkan bahwa Sang Buddha mengalami proses berhentinya pengkondisi dalam pencapaian parinibbāna. Ketika kita mempertimbangkan bahwa parinibbāna adalah suatu keadaan dari berhentinya persepsi dan perasaan (DN 11), maka kita memahami mengapa pencapaian parinibbāna harus mengalami proses berhentinya pengkondisi.
Juga Jhāna – Jhāna adalah selang keadaan antara kesadaran normal yang disadari dan berhentinya kesadaran (parinibbāna), itulah sebabnya mengapa mereka harus dicapai dalam memasuki parinibbāna.
Jika saṅkhāra berarti pembentukan kamma, maka Sang Buddha tidak perlu dengan sengaja melepaskan kemauan untuk hidup atau mengalami berhentinya pengkondisi (yakni Jhāna ke 2, Jhāna ke 4, penghentian) berhubung Beliau telah mengakhiri pembentukan kamma (yang sepatutnya secara otomatis menuntun Beliau pada berhentinya kesadaran). Ini mengkonfirmasikan bahwa saṅkhāra dalam konteks Paṭiccasamuppāda berarti pengkondisi, bukan pembentukan kamma.
Seseorang dapat melanjuti argumen bahwa pencapaian penghentian di MN 44 hanyalah penghentian sementara yang bahkan Anāgāmi dapat mengalaminya, sementara penghentian yang disebutkan dalam Paṭiccasamuppāda adalah penghentian yang permanen.
Tetapi, pertanyaan apakah pencapaian penghentian adalah relevan dengan Paṭiccasamuppāda atau tidak, hal ini tidak bergantung pada faktor waktu, berhubung waktu untuk terwujudnya akibat yang dihasilkan bukanlah pertimbangan dalam Paṭiccasamuppāda.
Akan tetapi, seharusnya menjadi pertanyaan apakah hanya Anāgāmi dan Arahat saja yang dapat mengalaminya (penghentian), yakni menuntun pada parinibbāna, atau apakah orang lain dapat mengalaminya tanpa tertuntun menuju parinibbāna. Sejauh yang kita ketahui, hanya Anāgāmi dan Arahat saja yang dapat mengalaminya. Juga Sutta AN 7.6.52 memberikan perumpamaan dari Anāgāmi yang berdiam tenang secara alami menuju parinibbāna seperti kepingan besi
panas yang dipadamkan, yang menunjukkan bahwa Anāgāmi tidak perlu berjuang lagi untuk pencapaian parinibbāna.
4) Jika kita menerjemahkan saṅkhāra sebagai pembentukan kamma, maka pembentukan kamma mengkondisikan kesadaran (yang diterjemahkan sebagai kelahiran kembali menurut Abhidhamma/Kitab Komentar).
Maka, kamma masa lampau (mata rantai no.2) mengkondisikan kelahiran masa sekarang (mata rantai no.3).
Tetapi, pada mata rantai urutan bawah, kita menemukan bahwa nafsu keinginanlah (mata rantai no.
, keterikatan (mata rantai no.9) dan keberadaan (mata rantai no.10) yang mengkondisikan kelahiran kembali (mata rantai no.11).
Jadi, ada kontradiksi dalam hal penyebab kelahiran kembali. Tetapi, dengan pengkondisi sebagai terjemahannya, tidak ada kontradiksi karena pengkondisi berhubungan langsung dengan nafsu keinginan dan keterikatan seperti yang disebutkan di atas.
5) Sang Buddha berkata bahwa Dhamma Beliau adalah “sanditthiko” - dapat dilihat/dibuktikan dalam kehidupan ini juga.
Maka oleh itu, kita menjumpai, sebagai contoh, di Maha Nidāna Sutta (DN 15), Paṭiccasamuppāda hanya dijelaskan dengan 10 mata rantai daripada 12 mata rantai pada umumnya.
Dengan pengecualian avijjā dan saṅkhāra, dan mulai dengan viññāṇa (kesadaran), yakni keberadaan saat ini.
Jadi, kelihatannya bahwa Paṭiccasamuppāda berhubungan dengan kehidupan saat ini yang mengkondisikan kehidupan selanjutnya, yakni interpretasi 2 masa kehidupan. Terjemahan saṅkhāra sebagai pengkondisi sesuai dengan interpretasi 2 masa kehidupan.
Kamma masa lampau tidak mudah dibuktikan. Tidak begitu jelas membandingkan dengan melihat bahwa kita ada karena pengkondisi dari perasaan-persepsi, pernafasan dan pemikiran.
Ini sekali lagi menunjukkan bahwa terjemahan saṅkhāra sebagai pengkondisi lebih diterima daripada pembentukan kamma.
D. Kewaspadaan[…]
Kita juga harus waspada dengan pemenggalan bagian Sutta yang kita pakai sebagai contoh Paṭiccasamuppāda semata-mata karena Sutta tersebut tercantum dalam Nidāna Saṃyutta.
Sebagai contohnya di Sutta SN 12.61 Sang Buddha berkata :
“Tetapi, para bhikkhu,
apa yang kita sebut citta,
apa yang kita sebut mano,
apa yang kita sebut viññāṇa,
orang biasa yang tidak terlatih tidak mampu merasa muak dengannya, mereka tidak mampu berhenti menginginkannya, atau lepas darinya”.
Jadi, seseorang cukup kabur dengan mengatakan bahwa penggunaan tata bahasa dari pernyataan ini bersifat tunggal dalam hal “Tetap saja apa yang kita sebut citta … mano … viññāṇa …” yang secara tidak langsung menyatakan kesamaan dari 3 hal ini.. citta, mano dan viññāṇa;
dan karena Sutta muncul di Nidāna Saṃyutta, Saṃyutta Paṭiccasamuppāda, dengan demikian, hal itu berarti bahwa citta, mano dan viññāṇa adalah serupa dalam konteks Paṭiccasamuppāda!
Tetapi, kita tahu secara pasti tidak demikian halnya, bila tidak, mata rantai no.3, viññāṇa, dapat digantikan dengan citta atau mano, yakni mano mengkondisikan nāma-rūpa , dan sebaliknya, hal ini tidak benar.
Sumber: Paticcasamuppada-Bhikkhu Dhammavuddho Mahathera