Dalam suatu perjalanan untuk memperoleh penerangan sempurna, Siddharta Gautama, melewati sekumpulan domba. Para penggembala mengarahkan domba-dombanya ke Rajagaha untuk dikorbankan dalam suatu upacara pembakaran. Satu domba kecil terluka. Karena simpati, Siddhartha menggendong domba itu dan mengikuti para penggembala domba kembali ke kota.
Di kota, dalam suat pemujaan di rumah pemujaan, terdapat api menyala di atas altar, Raja Bimbisara dan sekelompok pendeta sedang melakukan upacara mereka kepada Dewa Indra diseputaran api. Diseputaran Api itu telah banyak darah mengucur sebelumnya dan ketika seorang pemimpin dari para pemuja api itu mengangkat pedangnya untuk membunuh domba pertama, Siddhartha menghampiri pendeta itu dan meminta kepada raja untuk menghentikannya kemudian membuka tali yang mengikat domaba itu dan tidak ada seorangpun yang sanggup mencegahnya.
Siddharta meminta ijin raja Bimbisara untuk berbicara dan ini merupakan kotbah pertama Sidharta yang ringkasnya adalah semua dapat bikin musnah jiwa-jiwa mahluk lain namun tidak ada yang dapat bikin hidup mahluk yang sudah mati, Bagi yang ingin dikasihani Dewa-dewa kita juga mesti mengasihani mahluk lainnya, manusia tidak nanti dapat membersihkan jiwa mereka dengan menggunakan darah,
Sambil menghampiri Raja dengan merangkapkan kedua tangan, ia berkata pula bahwa Alangkah indahnya kalau semua mahluk hidup saling berbuat yang baik terhadap yang lain.
"Jika manusia mengharapkan belas kasih, mereka seharusnya menunjukkan belas kasih. Sesuai dengan hukum sebab-akibat (karma), mereka yang membunuh makhluk lain akan, pada gilirannya, dibunuh.
Jika kita mengharapkan kebahagiaan di masa depan, kita tidak boleh melukai semua makhluk. Siapapun yang menabur penderitaan akan menuai buah yang sama. Alangkah indahnya kalau semua mahluk hidup saling berbuat yang baik terhadap yang lain."
Ucapan ini mengubah pikiran raja Bimbisara sepenuhnya, Raja Bimbisara kemudian membuat maklumat bahwa sejak saat itu dilarang menumpahkan darah binatang-binatang baik untuk persembahan para Dewa maupun dimakan dagingnya kemudian Ia mengundang Siddhartha untuk tinggal dan mengajari rakyatnya. Tetapi Siddhartha menolak, karena ia belum menemukan kebenaran yang dicarinya.
Membaca kisah di atas, maka apakah ini artinya Buddhisme mendukung penuh Praktek Vegetarian?
Praktik vegetarian bukan bagian dari moralitas (sila) yang merupakan salah satu faktor dari Jalan Mulia Beruas Delapan.
Sang Buddha menganjurkan kepada semua murid-Nya untuk mempraktikkan Dhutanga [secara harfiah diartikan sebagai latihan untuk menghancurkan kekotoran batin]. Praktik vegetarian tidaklah termasuk dalam faktor dhutanga, yang berarti bukan merupakan faktor penting untuk mengakhiri penderitaan.
Di Pacittiya Pali, Vinaya Pitaka, disebutkan lima jenis makanan yang biasa disajikan/di Danakan kepada para bhikkhu, yaitu nasi, bubur beras, terigu rebus, ikan, dan daging. Disebutkan pula sembilan jenis makanan yang lebih istimewa, yaitu makanan yang dicampur dengan mentega cair, mentega segar, minyak, madu, sirup gula, ikan, daging, susu, dan dadih. Sembilan jenis makanan tersebut umumnya ditemukan di kalangan keluarga kaya dan mereka juga mendanakannya kepada para bhikkhu. Para Bikkhu dikatakan melanggar vinaya jika dengan sengaja meminta makanan tersebut. Diantara Daging yang disebutkan di atas, Sang Buddha menganjurkan untuk menghindari memakan sepuluh jenis daging. Kesepuluh jenis daging tersebut adalah daging manusia, daging gajah, daging kuda, daging anjing, daging ular, daging singa, daging harimau, daging macan tutul, daging beruang, dan daging serigala atau hyena (Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka).
Seorang Bhikkhu dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi sepuluh macam daging tersebut karena beberapa alasan yang secara ringkas tercantum di kitab Komentar Vinaya (Samattpasadika) seperti berikut ini. Daging manusia tidak seharusnya dimakan karena berasal dari spesies yang sama. Daging gajah dan kuda tidak seharusnya dimakan karena mereka adalah peliharaan dari seorang raja. Sedangkan daging anjing dan ular dikarenakan mereka termasuk jenis hewan yang menjijikkan, kelompok terakhir adalah singa, harimau, dan sebagainya, tidak seharusnya dimakan karena mereka tergolong binatang berbahaya dan jika dimakan bau daging binatang tersebut bisa membahayakan para bhikkhu yang bermeditasi di hutan.
Di Tipitaka juga ditemukan bahwa Buddha dan Para Bikkhu makan daging, misalnya di kisah ini:
Pada suatu ketika, di sebuah hutan, segerombolan perampok membunuh seekor sapi untuk dimakan. Pada saat yang sama, di hutan itu seorang bhikkhuni arahat bernama Uppalavamna sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Ketika melihat bhikkhuni tersebut, kepala gerombolan perampok menganjurkan anak buahnya untuk tidak mengganggu. Dia sendiri menggantungkan sepotong daging sapi di cabang pohon, mempersembahkannya kepada bhikkhuni ini, dan berlalu. Bhikkhuni Uppalavamna kemudian mengambil potongan daging tersebut dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha (Nissaggiyapacittiya Pali, Vinaya Pitaka).
Pada peristiwa lainnya, Sang Buddha dalam perjalanan menuju Kusinara (hari terakhir sebelum Sang Buddha Parinibbana). Cunda, perajin emas dari Pava, mempersembahkan makanan terhadap Sang Buddha, termasuk sukaramaddava di dalamnya. Sukaramaddava berarti daging babi berusia setahun yang dijual. Daging babi semacam ini lunak dan kaya gizi. Meskipun kata sukaramaddava ini ditafsirkan dalam banyak arti, namun arti seperti di atas didukung oleh Y.M. Buddhagosa, penulis kitab Komentar Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya.
Meskipun Sang Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk menkonsumsi daging kecuali kesepuluh jenis di atas, Beliau memberlakukan tiga persyaratan, yaitu seorang bhikkhu tidak diperbolehkan menerima daging apabila:
Melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh
Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh.
Mengetahui bahwa binatang tersebut dibunuh khusus untuk dirinya.
[ref: Jivaka Sutta, MN 55.5]
Karena Sang Buddha dan para murid-Nya bersikap non-vegetarian, tidak sedikit tokoh keagamaan lainnya yang mencela Sang Buddha. Sebagai contoh, suatu ketika kepala suku Vajji yang bernama Siha mengundang Sang Buddha dan murid-Nya untuk makan siang. Siha mempersembahkan nasi dan lauk, termasuk daging yang dibelinya di pasar. Sekelompok pertapa Jain mendengar bahwa Siha mempersembahkan nasi campur daging kepada Sang Buddha. Mereka mencela Sang Buddha maupun Siha, mereka memfitnah: "Siha, sang kepala suku, telah membunuh binatang besar untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Sang Buddha, dan sekalipun Sang Buddha mengetahuinya, Ia tetap saja memakan daging tersebut (Siha-senaoati Sutta, Anguttara Nikaya).
Berdasarkan Jainisme, memakan daging adalah hal yang salah. Mereka berpandangan bahwa seseorang yang memakan daging akan mewarisi setengah karma buruk yang dibuat oleh si pembunuh hewan itu. Si pembunuh membunuh hewan karena si pemakan memakan daging. Sebelum menjadi pengikut Sang Buddha, Siha adalah pengikut Mahavira, pendiri Jainisme.
Suatu ketika, seorang tabib bernama Jivaka mengunjungi Sang Buddha dan memberitahukan tentang berita yang didengarnya. "Yang mulia, ada yang mengatakan bahwa beberapa binatang telah dibunuh untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Pertapa Gotama. Pertapa Gotama menerimanya sekalipun mengetahui bahwa binatang itu khusus dibunuh untuk-Nya. Yang Mulia, mohon dijelaskan apakah yang mereka katakan itu benar atau tidak."
Sang Buddha menolak kebenaran berita tersebut dan menjelaskan, ''O Jivaka, barang siapa yang terlibat dalam pemotongan hewan untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada-Ku dan para murid-Ku, orang itu akan melakukan banyak kejahatan karena lima hal:
Dengan tujuan berdana, orang itu memerintahkan agar seekor binatang dibawa untuk dibunuh;
Binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika ditarik dengan paksa;
Perintah untuk membunuh binatang itu;
Binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika dibunuh;
Ia menyulitkan Aku dan murid-murid-Ku dengan mempersembahkan makanan yang tidak sesuai untuk kami."
(Jivaka Sutta, Majjima Nikaya)
Sang Buddha mengizinkan untuk mengkonsumsi daging asalkan bebas dari ketiga syarat di atas, karena memakan daging bukanlah perbuatan buruk, seperti halnya perbuatan membunuh makhluk hidup. Karena itu Sang Buddha menolak kepercayaan bahwa orang yang makan daging akan ikut mewarisi perbuatan buruk dari orang yang membunuh hewan.
Bhikkhu Devadatta, sepupu Sang Buddha, yang selalu menentang Sang Buddha, pada suatu ketika datang dan meminta Sang Buddha untuk tidak mengizinkan para bhikkhu mengkonsumsi daging dan ikan sepanjang hidup mereka, dan apabila hal itu dilanggar maka mereka dinyatakan bersalah. Dengan tegas Sang Buddha menolak permintaan Devadatta ini (Culavagga Pali, Vinaya Pitaka).
Sehubungan dengan konsumsi daging, Amagandha Sutta adalah sutta yang sangat penting. Sutta yang termasuk dalam Sutta Nipata, Khudaka Nikaya, ini untuk pertama kalinya dibabarkan oleh Buddha Kassapa dan kemudian dikatakan ulang oleh Buddha Gotama.
Pada suatu ketika, seorang pertapa yang menjalani vegetarian mendatangi Sang Buddha dan menanyakan apakah Sang Buddha memakan amagandha atau tidak.
Sang Buddha bertanya kepada pertapa itu, "Apakah amagandha itu?",
dan pertapa itu menjawab bahwa amagandha adalah semacam daging. Amagandha secara harfiah berarti bau daging, dalam hal ini berkonotasi sesuatu yang busuk, menjijikkan, dan kotor. Karena itulah pertapa ini memakai istilah amagandha.
Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan bahwa sesungguhnya daging bukanlah amagandha, tetapi segala jenis kekotoran batin dan semua bentuk perbuatan jahatlah yang semestinya disebut amagandha. Sang Buddha berkata:
Membunuh, menganiaya, memotong, mencuri, berdusta, menipu, kepura-puraan, berzinah, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
Jika seorang tidak terkendali hawa nafsunya, serakah, melakukan tindakan yang tidak baik, berpandangan salah, tidak jujur, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
Jika seseorang berlaku kasar dan kejam, suka memfitnah, pengkhianat, tanpa belas kasih, sombong, kikir, dan tidak pernah berdana, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
Kemarahan, kesombongan, keras kepala, bermusuhan, munafik, dengki, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, berhubungan dengan hal-hal yang tidak baik, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
Jika seseorang bermoral buruk, menolak membayar hutang, pengumpat, penuh tipu daya, penuh dengan kepura-puraan, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
[sumber: Buddhism & Vegetarianism, Sayadaw U Nandamala]
Informasi di atas menegaskan bahwa praktek Vegetarian di Buddhisme bukan hal yang signifikan karena tidak berpengaruh pada upaya meraih tingkat kesucian.