//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Metode nianfo dengan objek realitas sejati dalam Mazhab Chan  (Read 3452 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Metode nianfo dengan objek realitas sejati dalam Mazhab Chan
« on: 23 November 2008, 02:49:04 PM »
Metode nianfo dengan objek realitas sejati dalam Mazhab Chan

 
Pada umumnya kita menganggap bahwa penggabungan metode ajaran nianfo (baca: nienfo) dengan Chan muncul pada masa-masa belakangan. Padahal sesungguhnya mazhab Chan telah menjadikan praktik nianfo sebagai bagian dari pelatihannya sejak masa Patriak Chan ke 4- Master Daoxin. Cuma saja prinsip nianfo yang dipraktikkan adalah suatu tataran tingkat tinggi, di mana bagi praktisi Sukhavati menyebutnya sebagai Shixiang Nianfo (nianfo dengan objek realitas sejati). Hal ini dapat ditelusuri dari kitab LengCieShiZiJi (Catatan Silsilah Patriak dalam basis kitab Lankavatara).
Pada masa awal perkembangan mazhab Chan, kitab utama yang menjadi pedoman utama adalah Lankavatara Sutra. Ini merupakan kitab yang dianjurkan oleh Master Bodhidharma. Hingga pada era Patriak ke 5-Hongren-, kitab pedoman mulai beralih ke Sutra Intan. Namun bila kita telusuri aliran Chan yang dibawa oleh master Shenxiu (salah satu murid utama Hongren), ternyata beliau mengungkapkan bahwa warisan ajaran yang didapatkannya adalah ajaran yang berdasarkan kitab Wenshu shuo Boruo Jing (Sutra Prajnaparamita yang dibabarkan Manjusri) , dan metode praktik utamanya adalah Yixing Sanmei (Samadhi praktik kemanunggalan). Yixing Sanmei adalah suatu praktik kombinasi antara Prajna-paramita dan nianfo. Dalam kitab Wenshu shuoBoruojing menyebutkan bahwa untuk mempraktikkan metode ini harus mengerti konsep dan prinsip Prajna-paramita. Bagi orang yang berhasil mempraktikkan metode ini akan dapat mencapai pencerahan. Tahap dari praktik Yixing Sanmei adalah, pertama-tama harus menetap ditempat yang sepi dan tenang. Kemudian tenangkan pikiran, dan lepaskan semua bentuk pikiran dengan berkonsentrasi pada objek satu Buddha dengan melafalkan namanya. Dengan terus menerus melafalkan nama Buddha maka akan dapat “melihat” semua Buddha dari masa lalu, sekarang dan akan datang. Mengapa? Karena dengan melafal nama satu Buddha, maka pahalanya tak terbatas, sebanding dengan pahala semua Buddha…., dengan praktik Yixing Sanmei ini, maka dapat memahami sifat nondualitas dari dharmadhatu para Buddha.  (Bandingkan dengan kitab Amitayur-dhyana Sutra yang menyatakan bahwa dengan mempraktikkan visualisasi pada objek Buddha Amitabha, maka sama dengan “melihat” semua Buddha di semua penjuru)   

Di sini terlihat jelas bahwa ternyata praktik Yixing sanmei adalah suatu praktik yang bukan semata-mata merenungkan  Buddha secara definitif, malahan secara konkrit menyatakannya sebagai “melafal nama Buddha”. Namun yang membedakannya dengan metode Sukhavati adalah di mana praktik Chan ini tidak bertujuan secara eksplisit demi terlahir di tanah-murni. Sedangkan dalam sudut pandang ajaran Sukhavati sendiri diakui bahwa praktik ini adalah suatu praktik Nianfo tingkat tinggi. Secara prinsip, kedua-duanya adalah sama.   

Jika kita perhatikan, pusat perhatian dari kitab yang dipegang master Hongren ini (Wenshu shuo Boruo jing) adalah menyelami Prajna-paramita. Bagaimanapun hal ini selaras dengan Sutra Intan, sehingga inti dari mazhab Chan tidak terlepas dari Prajna-paramita. Di tangan Shenxiu, kitab pegangannya adalah Sutra WenshuBoruoJing. Di tangan Huineng, kitab pegangannya tetap berdasarkan warisan Master Hongren, yakni Sutra Intan.  Hingga pada era master Huineng, sang master bersandar pada ajaran Prajna-paramita sebagai pendamping penyelaman terhadap intisari Chan. Di sini, master Huineng tidak lagi menganjurkan para siswa untuk mempraktikkan nianfo, namun bila dikehendaki maka nianfo yang beliau anjurkan adalah nianfo yang bersandar pada objek Buddha dalam hakikat diri, bukan Buddha diluar diri.  Beliau kemudian menekankan untuk mempraktikkan perenungan tentang Prajna-paramita. Pada intinya nianfo dan prajna-paramita adalah kombinasi dari Yixing Sanmei. Untuk melihat korelasi keduanya secara lebih jelas, maka kita dapat menemukannya di dalam kitab Maha Prajna-paramita Sastra, di mana Nagarjuna menjelaskan bahwa salah satu tujuan dari pendalaman Maha-prajna-paramita adalah menjadi katalisator bagi tercapainya nianfo sanmei (Samadhi nianfo).   
Lalu, pemisahan antara nianfo dan Prajna-paramita yang dilakukan oleh master Huineng dianggap wajar, karena pada masa itu muncul suatu fenomena di mana semakin hari semakin banyak praktisi yang terjebak dalam kemelekatan pada wujud dalam pelatihan maupun pemahaman mereka tentang praktik nianfo itu sendiri.

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya prinsip ChanJing Shuangxiu (Pelatihan kombinasi antara Chan dan Sukhavati) yang muncul belakangan (semenjak master Yongming Yenshou), itu merupakan praktik yang kembali pada metode Yixing Sanmei. Cuma, bedanya adalah prinsip nianfo-nya telah berkembang secara lebih sempurna, di mana dari prinsip tidak melekat pada wujud hingga kembali ke pemahaman bahwa alam Sukhavati itu juga merupakan suatu objek yang bukan wujud pun bukan tanpa wujud dan Amitabha adalah bagian yang tak terpisahkan dari hakikat-buddha yang bersemayam dalam batin sendiri. Dengan pemahaman demikian maka tidaklah heran bila tampak bahwa Chan dan Sukhavati berangsur-angsur dapat berjalan bersama dengan begitu kokoh di Tiongkok. Maka, sebagai praktisi Chan, seharusnya kembali untuk memperhatikan secara lebih serius pada metode nianfo. Begitu juga sebaliknya bagi praktisi Sukhavati, seharusnya tidak melulu terpaku pada nama Buddha, seharusnya mendalami prinsip Prajna-paramita, toh setelah tiba di Sukhavati, hal-hal seperti itulah yang akan terus menerus dipupuk sepanjang kalpa.


                        Ching ik, 11-Okt-2006