//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah Ke Dua  (Read 40114 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
74 Dighanakha Sutta
« Reply #30 on: 04 September 2010, 12:57:19 PM »
74  Dīghanakha Sutta
Kepada Dīghanakha

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gua Babi di Gunung Puncak Nasar.

2. Kemudian Pengembara Dīghanakha mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau.  Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, doktrin dan pandanganku adalah seperti ini: ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku.’”

“Pandanganmu, Aggivessana, ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku.’ – bukankah setidaknya pandangan itu dapat diterima olehmu?”

“Jika pandanganku ini dapat diterima olehku, Guru Gotama, maka itu juga sama, itu juga [498] sama.”

3. “Baiklah, Aggivessana, ada banyak di dunia ini yang mengatakan: ‘Itu juga sama, itu juga sama,’ namun mereka tidak melepaskan pandangan itu dan mereka menganut pandangan lainnya. Hanya sedikit di dunia ini yang mengatakan: ‘Itu juga sama, itu juga sama,’ dan yang melepaskan pandangan itu dan tidak menganut pandangan lainnya.

4. “Aggivessana, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrin dan pandangannya adalah seperti ini: ‘Segalanya dapat diterima olehku.’ Ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrin dan pandangannya adalah seperti ini: ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku.’ Dan ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrin dan pandangannya adalah seperti ini: ‘Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku.’  Di antara pandangan-pandangan ini, pandangan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Segalanya dapat diterima olehku’ adalah dekat pada nafsu, dekat pada belenggu, dekat pada kenikmatan; dekat pada genggaman, dekat pada kemelekatan. Pandangan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku’ adalah dekat pada tanpa-nafsu, dekat pada tanpa-belenggu, dekat pada tanpa-kenikmatan; dekat pada tanpa-genggaman, dekat pada tanpa-kemelekatan.”

5. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Dīghanakha berkata: “Guru Gotama memuji pandanganku, Guru Gotama merekomendasikan pandanganku.”

“Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan ‘Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku’ – pandangan mereka sehubungan dengan apa yang dapat diterima adalah dekat pada nafsu, dekat pada belenggu, dekat pada kenikmatan; dekat pada genggaman, dekat pada kemelekatan, sedangkan pandangan mereka sehubungan dengan apa yang tidak dapat diterima adalah dekat pada tanpa-nafsu, dekat pada tanpa-belenggu, dekat pada tanpa-kenikmatan; dekat pada tanpa-genggaman, dekat pada tanpa-kemelekatan.

6. “Sekarang, Aggivessana, seorang bijaksana di antara para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Segalanya dapat diterima olehku’ mempertimbangkan sebagai berikut:  ‘Jika aku dengan keras kepala melekati pandanganku “Segalanya dapat diterima olehku” dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya salah,” maka aku akan berbenturan dengan kedua lainnya: dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin [499] dan pandangan “Tidak ada yang dapat diterima olehku” dan dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku.” Aku mungkin dapat berbenturan dengan kedua ini, dan jika ada benturan, maka ada perselisihan; jika ada perselisihan, maka ada pertengkaran; jika ada pertengkaran, maka ada kekesalan.’ Demikianlah, setelah meramalkan untuk dirinya sendiri benturan, perselisihan, pertengkaran, dan kekesalan, ia meninggalkan pandangan itu dan tidak menganut pandangan lainnya. Ini adalah bagaimana ditinggalkannya pandangan-pandangan ini; ini adalah bagaimana terjadinya pelepasan pandangan-pandangan ini.

7. “Seorang bijaksana di antara para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku’ mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Jika aku dengan keras kepala melekati pandanganku “Tidak ada yang dapat diterima olehku” dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya salah,” maka aku akan berbenturan dengan kedua lainnya: dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin  dan pandangan “Segalanya dapat diterima olehku” dan dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku.” Aku mungkin dapat berbenturan dengan kedua ini, dan jika ada benturan, maka ada perselisihan; jika ada perselisihan, maka ada pertengkaran; jika ada pertengkaran, maka ada kekesalan.’ Demikianlah, setelah meramalkan untuk dirinya sendiri benturan, perselisihan, pertengkaran, dan kekesalan, ia meninggalkan pandangan itu dan tidak menganut pandangan lainnya. Ini adalah bagaimana ditinggalkannya pandangan-pandangan ini; ini adalah bagaimana terjadinya pelepasan pandangan-pandangan ini.

8. “Seorang bijaksana di antara para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku.’ mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Jika aku dengan keras kepala melekati pandanganku “Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku” dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya salah,” maka aku akan berbenturan dengan kedua lainnya: dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin  dan pandangan “Segalanya dapat diterima olehku” dan dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “Tidak ada yang dapat diterima olehku.” Aku mungkin dapat berbenturan dengan kedua ini, dan jika ada benturan, maka ada perselisihan; jika ada perselisihan, maka ada pertengkaran; jika ada pertengkaran, maka ada kekesalan.’ Demikianlah, setelah meramalkan untuk dirinya sendiri benturan, perselisihan, pertengkaran, dan kekesalan, ia meninggalkan pandangan itu dan tidak menganut pandangan lainnya. Ini adalah bagaimana ditinggalkannya pandangan-pandangan ini; ini adalah bagaimana terjadinya pelepasan pandangan-pandangan ini. [500]

9. “Sekarang, Aggivessana,  jasmani ini terbuat dari bentuk materi, terdiri dari empat unsur utama, dihasilkan oleh ibu dan ayah, dan dibangun dari nasi dan bubur, tunduk pada ketidak-kekalan, menjadi tua dan usang, tunduk pada kemusnahan dan kehancuran. Ini harus dianggap sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai anak panah, sebagai bencana, sebagai kesusahan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai hampa, sebagai bukan diri. Ketika seseorang menganggap jasmani ini seperti demikian, maka ia meninggalkan keinginan terhadap jasmani, kasih sayang pada jasmani, kepatuhan pada jasmani.

10. “Terdapat, Aggivessana, tiga jenis perasaan: perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Pada saat seseorang merasakan perasaan menyenangkan, ia tidak merasakan perasaan menyakitkan atau perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan; pada saat seseorang merasakan perasaan menyakitkan, ia tidak merasakan perasaan menyenangkan atau perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan; Pada saat seseorang merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia tidak merasakan perasaan menyenangkan atau perasaan menyakitkan; pada saat itu ia hanya merasakan perasaan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.

11. “Perasaan menyenangkan, Aggivessana, adalah tidak kekal, terkondisi, muncul dengan bergantung, tunduk pada kehancuran, lenyap, meluruh, dan berhenti. Perasaan menyakitkan juga adalah tidak kekal, terkondisi, muncul dengan bergantung, tunduk pada kehancuran, lenyap, meluruh, dan berhenti.

12. “Dengan melihat demikian, seorang siswa mulia yang terlatih baik menjadi kecewa dengan perasaan menyenangkan, kecewa dengan perasaan menyakitkan, kecewa dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Karena kecewa, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

13. “Seorang bhikkhu yang batinnya terbebas demikian, Aggivessana, tidak memihak siapa pun dan tidak berselisih dengan siapa pun; ia mengucapkan bahasa yang digunakan di dunia pada masa itu tanpa melekatinya.”

14. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta sedang berdiri di belakang Sang Bhagavā, [501] mengipasi Beliau. Kemudian ia berpikir: “Sesungguhnya Sang Bhagavā, membabarkan kepada kami tentang meninggalkan hal-hal ini melalui pengetahuan langsung; sesungguhnya Yang Sempurna, membabarkan kepada kami tentang meninggalkan hal-hal ini melalui pengetahuan langsung.” Ketika Yang Mulia Sāriputta merenungkan demikian, batinnya terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

15. Tetapi bagi Pengembara Dīghanakha, penglihatan Dhamma yang murni tanpa noda muncul dalam dirinya: “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan, juga tunduk pada kelenyapan.” Pengembara Dīghanaka melihat Dhamma, mencapai Dhamma, memahami Dhamma, mengukur Dhamma; ia menyeberang melampaui keragu-raguan, menyingkirkan kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru.

16. Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
« Last Edit: 21 September 2010, 11:10:27 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
75 Magandiya Sutta
« Reply #31 on: 04 September 2010, 12:59:22 PM »
75  Māgandiya Sutta
Kepada Māgandiya

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Kuru di mana terdapat sebuah pemukiman Kuru bernama Kammāsadhamma, di atas hamparan rumput di dalam kamar perapian seorang brahmana dari suku Bhāradvāja.

2. Kemudian pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Kammāsadhamma untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Kammāsadhamma dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau pergi ke suatu hutan untuk melewatkan hari. Setelah memasuki hutan, Beliau duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. [502]

3. Kemudian Pengembara Māgandiya, sewaktu berjalan-jalan untuk berolah-raga, mendatangi kamar perapian si brahmana dari suku Bhāradvāja. Di sana ia melihat hamparan rumput yang telah dipersiapkan dan bertanya kepada si brahmana: “Untuk siapakah hamparan rumput ini dipersiapkan di dalam kamar perapian Tuan Bhāradvāja? Seperti tempat tidur seorang petapa.”

4. “Guru Māgandiya, ada Petapa Gotama, putera Sakya, yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya. Sekarang suatu berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Tempat tidur ini dipersiapkan untuk Guru Gotama.”

5. “Sungguh, Guru Bhāradvāja, suatu pemandangan buruk yang kami lihat ketika kami melihat tempat tidur si perusak kemajuan itu,  Guru Gotama.”

“Hati-hati dengan apa yang engkau katakan, Māgandiya, hati-hati dengan apa yang engkau katakan! Banyak para mulia terpelajar, para brahmana terpelajar, para perumah tangga terpelajar, dan para petapa terpelajar yang berkeyakinan penuh pada Guru Gotama, dan telah didisiplinkan oleh Beliau dalam jalan sejati yang mulia, dalam Dhamma yang bermanfaat.”

“Guru Bhāradvāja, bahkan jika kami berhadapan muka dengan Guru Gotama, kami akan mengatakan kepadanya: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan.’ Mengapakah? Karena hal itu telah diturunkan dalam khotbah-khotbah kita.”

“Jika Guru Māgandiya tidak keberatan, bolehkah aku mengatakan hal ini kepada Guru Gotama?”

“Jangan khawatir Guru Bhāradvāja. Beritahukanlah kepadaNya tentang apa yang telah kukatakan.”

6. Sementara itu, dengan telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā mendengarkan percakapan antara brahmana dari suku Bhāradvāja dengan Pengembara Māgandiya ini. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi, pergi ke kamar perapian si brahmana, dan duduk di atas hamparan rumput yang telah dipersiapkan. Kemudian si brahmana dari suku Bhāradvāja mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Bhāradvāja, apakah engkau berbincang-bincang dengan Pengembara Māgandiya [503] tentang hamparan rumput ini?”

Ketika hal ini dikatakan, si brahmana, terkejut dan dengan merinding, menjawab: “Kami hendak memberitahukan kepada Guru Gotama tentang hal ini, namun Guru Gotama telah mendahului kami.”

7. Tetapi diskusi antara Sang Bhagavā dan brahmana dari suku Bhāradvāja tidak selesai, karena kemudian Pengembara Māgandiya, sewaktu berjalan-jalan untuk berolah raga, datang ke kamar perapian si brahmana dan menghadap Sang Bhagavā. Ia bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan ketika ramah-tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya:

8. “Māgandiya, mata bergembira dalam bentuk-bentuk, menyenangi bentuk-bentuk, bersukacita dalam bentuk-bentuk; itu telah dijinakkan oleh Sang Tathāgata, dijaga, dilindungi, dan dikendalikan, dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mengendalikannya. Apakah sehubungan dengan hal ini maka engkau mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan’?”

“Adalah sehubungan dengan hal ini, Guru Gotama, maka aku mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan.’ Mengapakah? Karena itu tercatat dalam kitab kami.”

“Telinga bergembira dalam suara-suara … Hidung bergembira dalam bau-bauan … Lidah bergembira dalam rasa kecapan … Badan bergembira dalam obyek-obyek sentuhan … Pikiran bergembira dalam obyek-obyek pikiran, menyenangi obyek-obyek pikiran, bersukacita dalam obyek-obyek pikiran; itu telah dijinakkan oleh Sang Tathāgata, dijaga, dilindungi, dan dikendalikan, dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mengendalikannya. Apakah sehubungan dengan hal ini maka engkau mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan’?”

“Adalah sehubungan dengan hal ini, Guru Gotama, maka aku mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan.’ Mengapakah? Karena itu tercatat dalam kitab kami.”

9. “Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Di sini seseorang [504] sebelumnya menikmati bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Kemudian, setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk-bentuk. Ia mungkin meninggalkan keinginan akan bentuk-bentuk, melenyapkan demam terhadap bentuk-bentuk, dan berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Apakah yang akan engkau katakan kepadanya, Māgandiya?” – “Tidak ada, Guru Gotama.”

“Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Di sini seseorang sebelumnya menikmati suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan obyek-obyek sentuhan. Ia mungkin meninggalkan keinginan akan obyek-obyek sentuhan, melenyapkan demam terhadap obyek-obyek sentuhan, dan berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Apakah yang akan engkau katakan kepadanya, Māgandiya?” – “Tidak ada, Guru Gotama.”

10. “Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga, Aku menikmati, memiliki lima utas kenikmatan indria: dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Aku memiliki tiga istana, satu untuk musim hujan, satu untuk musim dingin, dan satu untuk musim panas. Aku menetap di istana musim hujan selama empat bulan musim hujan, menikmati para musisi, tidak ada yang laki-laki, dan Aku tidak turun ke istana yang lebih rendah.

“Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, Aku melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, dan Aku berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Aku melihat makhluk-makhluk lain yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, menuruti kenikmatan indria, dan Aku tidak iri pada mereka, juga tidak bergembira di dalamnya. Mengapakah? Karena ada, Māgandiya, kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, [505] yang bahkan melampaui kebahagiaan surgawi.  Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

11. “Misalkan, Māgandiya, seorang perumah tangga atau putera perumah tangga kaya, dengan banyak harta kekayaan, dan memiliki lima utas kenikmatan indria, ia menikmati bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Setelah berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mungkin muncul kembali di alam bahagia, di alam surga di antara para pengikut para dewa Tiga Puluh Tiga; dan di sana, dengan dikelilingi oleh sekelompok bidadari di Hutan Nandana, ia menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria surgawi. Misalkan ia melihat seorang perumah tangga atau putera perumah tangga menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria [manusia]. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah dewa muda itu yang dikelilingi oleh sekelompok bidadari di Hutan Nandana, yang menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria surgawi, iri pada perumah tangga atau putera perumah tangga atas lima utas kenikmatan indria manusia atau apakah ia akan tertarik pada kenikmatan indria manusia?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena kenikmatan indria surgawi adalah lebih unggul dan lebih luhur daripada kenikmatan indria manusia.”

12. “Demikian pula, Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga, Aku menikmati, memiliki lima utas kenikmatan indria: dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, Aku meninggalkan keinginan pada kenikmatan indria, Aku melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, dan Aku berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Aku melihat makhluk-makhluk lain yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, [506] menuruti kenikmatan indria, dan Aku tidak iri pada mereka, juga tidak bergembira di dalamnya. Mengapakah? Karena ada, Māgandiya, kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, yang bahkan melampaui kebahagiaan surgawi. Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

13. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib kepadanya. Tabib itu akan meracik obat untuknya, dan dengan obat itu orang itu menjadi sembuh dari penyakitnya dan menjadi pulih dan bahagia, tidak bergantung, menjadi majikan bagi dirinya sendiri, mampu bepergian kemanapun yang ia sukai. Kemudian ia mungkin melihat penderita penyakit kusta lainnya dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah orang itu iri pada penderita kusta itu karena lubang arang menyala atau pengobatannya?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena ketika ada penyakit, maka ada kebutuhan akan obat-obatan, dan ketika tidak ada penyakit, maka tidak ada kebutuhan akan obat-obatan.”

14. “Demikian pula, Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga … (seperti pada §12) … Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

15. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib kepadanya. Tabib itu akan membuatkan obat untuknya, dan dengan obat itu orang itu menjadi sembuh dari penyakitnya dan menjadi pulih dan bahagia, tidak bergantung, menjadi majikan bagi dirinya sendiri, mampu bepergian kemanapun yang ia sukai. Kemudian dua orang kuat menangkapnya pada kedua lengannya dan menariknya ke arah lubang arang menyala. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah orang itu akan menggeliatkan badannya ke sana dan ke sini?”

“Benar, Guru Gotama. Mengapakah? Karena api itu sungguh menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar.”

“Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah hanya pada saat ini api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar, atau sebelumnya juga api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar?”

“Guru Gotama, api itu pada saat ini  menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar, dan sebelumnya juga api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar. Karena ketika orang itu adalah seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, maka indria-indrianya terganggu; demikianlah, walaupun api itu sesungguhnya menyakitkan ketika disentuh, namun ia memperoleh persepsi salah sebagai menyenangkan.”

16. “Demikian pula, di masa lalu kenikmatan indria adalah menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar; di masa depan kenikmatan indria akan menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar; dan sekarang pada masa kini kenikmatan indria adalah menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar. Tetapi makhluk-makhluk ini yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, memiliki indria-indria yang telah rusak; demikiankah, walaupun kenikmatan indria sesungguhnya menyakitkan jika disentuh, namun mereka memperoleh persepsi keliru menganggapnya sebagai menyenangkan.

17. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala; semakin ia menggaruk bagian kulitnya yang melepuh dan semakin ia membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala, [508] maka luka-lukanya itu akan menjadi semakin membusuk, semakin bau, dan semakin terinfeksi, namun ia memperoleh suatu kepuasan dan kenikmatan dalam menggaruk luka-lukanya itu. Demikian pula, Māgandiya, makhluk-makhluk yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh masih menuruti kenikmatan indria; semakin makhluk-makhluk itu menuruti kenikmatan indria, maka semakin meningkat pula keinginan mereka akan kenikmatan indria dan semakin mereka terbakar oleh demam mereka terhadap kenikmatan indria, namun mereka memperoleh kepuasan dan kenikmatan dengan bergantung pada lima utas kenikmatan indria.

18. “Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Pernahkah engkau melihat atau mendengar seorang raja atau seorang menteri raja menikmati, dan memiliki lima utas kenikmatan indria yang, tanpa meninggalkan keinginan akan kenikmatan indria, tanpa melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, telah mampu berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai, atau yang mampu atau yang akan mampu berdiam demikian?” – “Tidak, Guru Gotama.”

“Bagus, Māgandiya, Aku juga belum pernah melihat atau mendengar seorang raja atau seorang menteri raja menikmati, dan memiliki lima utas kenikmatan indria yang, tanpa meninggalkan keinginann akan kenikmatan indria, tanpa melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, telah mampu berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai, atau yang mampu atau yang akan mampu berdiam demikian. Sebaliknya, Māgandiya, para petapa atau brahmana yang telah berdiam atau sedang berdiam atau akan berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai, semuanya melakukan demikian setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, dan adalah setelah meninggalkan keinginan akan kenikmatan indria dan melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria maka mereka telah berdiam atau sedang berdiam atau akan berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai.”

19. Kemudian pada titik ini Sang Bhagavā mengucapkan seruan kegembiraan:

   “Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi,
   Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan terbaik
   Karena jalan itu menuntun dengan selamat menuju Keabadian.”

Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Māgandiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Sungguh mengagumkan, Guru Gotama, sungguh menakjubkan, betapa tepatnya hal ini diungkapkan oleh Guru Gotama: [509]

   ‘Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi.’

Kemi juga pernah mendengar sebelumnya para pengembara yang adalah para guru dan guru-guru dari para guru mengatakan hal ini, dan ini selaras, Guru Gotama.”

“Tetapi, Māgandiya, ketika engkau mendengar sebelumnya para pengembara yang adalah para guru dan guru-guru dari para guru mengatakan hal ini, apakah kesehatan itu, apakah Nibbāna itu?”

Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Māgandiya mengusap bagian tubuhnya dengan tangannya dan berkata: “Ini adalah kesehatan itu, Guru Gotama, ini adalah Nibbāna itu; karena sekarang aku sehat dan bahagia dan tidak ada apapun yang menyengsarakan aku.”

20. “Māgandiya, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang, yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk berwarna biru, kuning, merah, atau merah muda, yang tidak dapat melihat apa yang rata dan tidak rata, yang tidak dapat melihat bintang-bintang atau matahari dan bulan. Ia mungkin mendengar seseorang yang berpenglihatan baik mengatakan: ‘Sungguh bagus, tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’ dan ia pergi mencari kain putih. Kemudian seseorang menipunya dengan kain usang yang kotor sebagai berikut: ‘Tuan, ini adalah kain putih untukmu, indah, tanpa noda, dan bersih.’ Dan ia menerimanya dan memakainya, dan dengan puas ia mengucapkan kata-kata kepuasan sebagai berikut: ‘Sungguh bagus, tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’ Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Ketika orang yang buta sejak lahir itu menerima kain usang yang kotor itu, memakainya, dan dengan puas ia mengucapkan kata-kata kepuasan sebagai berikut: ‘Sungguh bagus, tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’ – apakah ia melakukan itu karena mengetahui dan melihat, atau karena percaya pada orang yang berpenglihatan baik itu?”

“Yang Mulia, ia melakukan itu tanpa mengetahui dan tanpa melihat, [510] tetapi karena percaya pada orang yang berpenglihatan baik itu.”

----------------------
*** Bersambung
« Last Edit: 21 September 2010, 11:12:10 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
75 Magandiya Sutta (Lanjutan)
« Reply #32 on: 04 September 2010, 01:00:19 PM »
lanjutan 75 Māgandiya Sutta
------------------------------------
21. “Demikian pula, Māgandiya, para pengembara sekte lain adalah buta dan tanpa penglihatan. Mereka tidak mengetahui kesehatan, mereka tidak melihat Nibbāna, namun mereka mengucapkan syair sebagai berikut:

   ‘Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi.’

Syair ini diucapkan oleh para Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna sebelumnya, sebagai berikut:

   ‘Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi,
   Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan terbaik
   Karena jalan itu menuntun dengan selamat menuju Keabadian.’

Sekarang syair ini perlahan-lahan menjadi umum di antara orang-orang biasa.  Dan walaupun jasmani ini, Māgandiya, adalah penyakit, tumor, anak panah, bencana, dan penderitaan, namun dengan merujuk pada jasmani ini engkau mengatakan: “’Ini adalah kesehatan itu, Guru Gotama, ini adalah Nibbāna itu.’ Engkau tidak memiliki penglihatan mulia, Māgandiya, yang dengannya engkau dapat mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna.”

22. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna.’”

“Māgandiya, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang … atau matahari dan bulan. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib untuk mengobatinya. Tabib itu akan meracik obat untuknya, namun dengan obat itu penglihatan orang itu tidak muncul atau tidak menjadi murni. Bagaimana menurutmu, Māgandiya, apakah tabib itu mendapatkan kelelahhan dan kekecewaan?” – “Benar, Guru Gotama.” – “Demikian pula, Māgandiya, jika Aku mengajarkan Dhamma kepadamu sebagai berikut: ‘Ini adalah kesehatan itu, ini adalah Nibbāna itu,’ engkau mungkin tidak mengetahui kesehatan atau tidak melihat Nibbāna, dan itu akan melelahkan dan menyusahkan Aku.” [511]

23. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna.’”

“Māgandiya, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang … atau matahari dan bulan. Ia mungkin mendengar seseorang yang berpenglihatan baik mengatakan: ‘Sungguh bagus, tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’ dan ia pergi mencari kain putih. Kemudian seseorang menipunya dengan kain usang yang kotor sebagai berikut: ‘Tuan, ini adalah kain putih untukmu, indah, tanpa noda, dan bersih.’ Dan ia menerimanya dan memakainya. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib untuk mengobatinya. Tabib itu akan meracik obat untuknya – obat pembuat muntah dan pencahar, salep dan salep-anti, dan terapi hidung – dan dengan obat-obatan itu penglihatan orang itu muncul dan menjadi murni. Bersamaan dengan munculnya penglihatannya, keinginan dan kesukaannya pada kain usang yang kotor itu menjadi ditinggalkan; kemudian ia mungkin terbakar oleh kemarahan dan permusuhan terhadap orang itu dan mungkin berpikir bahwa orang itu harus dibunuh sebagai berikut: ‘Sungguh, aku telah lama diperdaya, ditipu, dan dicurangi oleh orang itu dengan kain usang yang kotor ini ketika ia memberitahukan kepadaku: “Tuan, ini adalah kain putih untukmu, indah, tanpa noda, dan bersih.”’

24. “Demikian pula, Māgandiya, jika Aku mengajarkan Dhamma kepadamu sebagai berikut: ‘Ini adalah kesehatan itu, ini adalah Nibbāna itu,’ engkau mungkin mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna. Bersamaan dengan munculnya penglihatanmu, keinginan dan nafsumu akan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan dapat ditinggalkan. Kemudian mungkin engkau akan berpikir: ‘Sungguh, aku telah lama diperdaya, ditipu, dan dicurangi oleh pikiran ini. Karena ketika melekat, aku telah melekat hanya pada bentuk materi, aku telah melekat hanya pada perasaan, aku telah melekat hanya pada bentukan-bentukan, aku telah melekat hanya pada kesadaran.  Dengan kemelekatanku sebagai kondisi, maka muncul pula penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka muncul pula kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka muncul pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, [512] dan keputus-asaan. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’”

24. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat bangkit dari tempat duduk ini dengan kebutaanku menjadi sembuh’”

“Maka, Māgandiya, bergaullah dengan orang-orang sejati. Ketika engkau bergaul dengan orang-orang sejati, maka engkau akan mendengarkan Dhamma sejati. Ketika engkau mendengarkan Dhamma sejati, maka engkau akan berlatih sesuai dengan Dhamma sejati. Ketika engkau berlatih sesuai dengan Dhamma sejati, maka engkau akan mengetahui dan melihat untuk dirimu sendiri sebagai berikut: ‘Ini adalah penyakit-penyakit, tumor-tumor, dan anak panah-anak panah; tetapi di sini penyakit-penyakit, tumor-tumor, dan anak panah-anak panah itu lenyap tanpa sisa.  Dengan lenyapnya kemelekatan maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’”

26. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Māgandiya berkata: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita adalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, aku ingin menerima penahbisan penuh.”

27. “Māgandiya, seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan. Di akhir empat bulan itu, jika para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu. Tetapi Aku mengenali perbedaan-perbedaan individual dalam hal ini.”

“Yang Mulia, jika seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan, dan jika di akhir empat bulan itu para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu, maka aku akan menjalani masa percobaan selama empat tahun. Di akhir empat tahun itu jika para bhikkhu puas denganku, maka biarlah mereka memberikan kepadaku pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu.” [513]

28. “Kemudian Pengembara Māgandiya menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan penuh. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Māgandiya, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.” Dan Yang Mulia Māgandiya menjadi salah satu di antara para Arahant.
« Last Edit: 21 September 2010, 11:12:44 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
76 Sandaka Sutta
« Reply #33 on: 07 September 2010, 11:43:07 AM »
76  Sandaka Sutta
Kepada Sandaka

[1] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu sejumlah para pengembara terkenal sedang menetap di Taman Suaka Merak, taman para pengembara – yaitu, Annabhāra, Varadhara, dan Pengembara Sakuludāyin, serta para pengembara terkenal lainnya.

3. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi menuju Rājagaha untuk menerima dana makanan. Kemudian Beliau berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan di Rājagaha. Bagaimana jika Aku mendatangi Pengembara Sakuludāyin di Taman Suaka Merak, taman para pengembara.”

4. Kemudian Sang Bhagavā pergi menuju Taman Suaka Merak, taman pengembara. Pada saat itu Pengembara Sakuludāyin sedang duduk bersama dengan sejumlah besar para pengembara yang sangat gaduh, ribut dan berisik membicarakan berbagai jenis pembicaraan tanpa arah. Seperti pembicaraan tentang raja-raja … (seperti Sutta 76, §4) [2] … apakah hal-hal adalah seperti ini atau tidak seperti ini. Kemudian Pengembara Sakuludāyin dari jauh melihat kedatangan Sang Bhagavā. Melihat Beliau, ia menenangkan kelompoknya sebagai berikut: “Tuan-tuan, diamlah, jangan berisik. Telah datang Petapa Gotama. Yang Mulia ini menyukai ketenangan dan menghargai ketenangan. Mungkin jika ia melihat kelompok kita yang tenang, ia akan berpikir untuk bergabung dengan kita.” Kemudian para pengembara itu menjadi diam.

5. Sang Bhagavā mendatangi Petapa Sakuludāyin yang berkata kepadanya: “Silahkan Sang Bhagavā datang! Selamat datang Sang Bhagavā! Telah lama sejak Sang Bhagavā berkesempatan datang ke sini. Silahkan Sang Bhagavā duduk; tempat duduk telah tersedia.”

Sang Bhagavā duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan, dan Pengembara Sakuludāyin mengambil bangku rendah dan duduk di satu sisi. Ketika ia telah melakukan hal itu, Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini, Udāyin? Dan apakah diskusi kalian yang belum selesai?”

“Yang Mulia, biarkanlah diskusi yang karenanya kami duduk bersama di sini. Sang Bhagavā dapat mendengarkannya nanti. Belakangan ini, Yang Mulia, ketika para petapa dan brahmana dari berbagai sekte berkumpul bersama dan duduk bersama dalam aula perdebatan, topik berikut ini muncul: ‘Suatu keuntungan bagi penduduk Anga dan Magadha, suatu keuntungan besar bagi penduduk Anga dan Magadha bahwa para petapa dan brahmana ini, para pemimpin sekte, pemimpin kelompok, para guru dari kelompok-kelompok, pendiri sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Ada Pūraṇa Kassapa ini, pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: ia telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Ada juga Makkhali Gosāla ini … Ajita Kesakambalin ini … Pakudha Kaccāyana ini … Sañjaya Belaṭṭhiputta ini … Nigaṇṭha Nātaputta ini, pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, [3] pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: ia juga telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Juga ada Petapa Gotama ini, pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: ia juga telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Sekarang di antara para petapa dan brahmana mulia ini, para pemimpin sekte ini … yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, siapakah yang yang dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh para siswanya? Dan bagaimanakah, menghormati dan menghargainya, apakah mereka hidup dengan bergantung padanya?’

“Kemudian beberapa orang berkata sebagai berikut: ‘Pūraṇa Kassapa ini adalah pemimpin suatu kelompok … dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, tetapi ia tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dipuja, dan tidak dimuliakan oleh para siswanya, juga para siswanya tidak hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Suatu ketika Pūraṇa Kassapa sedang mengajarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut. Kemudian seorang siswa tertentu membuat keributan sebagai berikut: “Tuan-tuan, jangan mengajukan pertanyaan ini kepada Pūraṇa Kassapa. Ia tidak mengetahui hal itu. Kami mengetahuinya. Tanyakanlah kepada kami pertanyaan itu. Kami akan menjawabnya untuk kalian, tuan-tuan.” Yang terjadi adalah Pūraṇa Kassapa tidak memperoleh cara, walaupun ia melambaikan tangannya dan berteriak: “Diamlah, tuan-tuan, jangan berisik, tuan-tuan. Mereka tidak bertanya kepada kalian. Mereka bertanya kepada kami. Kami akan menjawab mereka.” Sesungguhnya, banyak para siswanya meninggalkannya setelah membantah doktrinnya sebagai berikut: “Engkau tidak memahami Dhamma dan Disiplin ini. Aku memahami Dhamma dan Disiplin ini. Bagamana mungkin engkau memahami Dhamma dan Disiplin ini? Jalanmu salah. Jalanku benar. Aku konsisten. Engkau tidak konsisten. Apa yang seharusnya engkau katakan di awal, engkau katakan di akhir. Apa yang seharusnya engkau katakan di akhir, engkau katakan di awal. Apa yang telah engkau pikirkan dengan begitu saksama telah diputar-balikkan. Doktrinmu telah dibantah. Engkau terbukti salah. Pergi dan belajarlah lebih baik lagi, atau bebaskanlah dirimu dari kekusutan jika engkau mampu!” Demikianlah Pūraṇa Kassapa tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dipuja, dan tidak dimuliakan oleh para siswanya, juga para siswanya tidak hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Sesunguhnya ia diejek dengan ejekan yang ditujukan pada Dhammanya.’ [4]

“Dan beberapa berkata sebagai berikut: ‘Makkhali Gosāla ini … Ajita Kesakambalin ini … Pakudha Kaccāyana ini … Sañjaya Belaṭṭhiputta ini … Nigaṇṭha Nātaputta ini, pemimpin sekte … [tetapi ia] tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dipuja, dan tidak dimuliakan oleh para siswanya, juga para siswanya tidak hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Sesunguhnya ia diejek dengan ejekan yang ditujukan pada Dhammanya.’

“Dan beberapa berkata sebagai berikut: ‘Petapa Gotama ini adalah pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci. Ia dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh para siswanya, dan para siswanya  hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Suatu ketika Petapa Gotama sedang mengajarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut. Kemudian seorang siswa tertentu berdehem. Kemudian salah satu temannya dalam kehidupan suci menyentuhnya dengan lututnya [untuk mengisyaratkan]: [5] “Diamlah, Yang Mulia, jangan berisik; Sang Bhagavā, Sang Guru, sedang membabarkan Dhamma.” Ketika Petapa Gotama sedang membabarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut, pada saat itu tidak ada suara batuk atau suara mendehem dari para siswaNya. Karena pada saat itu kelompok besar itu tenang dengan pengharapan: “Mari kita mendengarkan Dhamma yang akan diajarkan oleh Sang Bhagavā.” Seperti halnya seseorang dipersimpangan jalan memeras madu murni dan sekelompok besar orang tenang dengan pengharapan, demikian pula, ketika Petapa Gotama sedang membabarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut, pada saat itu tidak ada suara batuk atau suara mendehem dari para siswaNya. Karena pada saat itu kelompok besar itu tenang dengan pengharapan: “Mari kita mendengarkan Dhamma yang akan diajarkan oleh Sang Bhagavā.” Dan bahkan para siswa yang berselisih dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dan meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah – mereka bahkan memuji Sang Guru dan Dhamma dan Sangha; mereka menyalahkan diri sendiri bukan menyalahkan orang lain, dengan mengatakan: “Kami tidak beruntung, kami memiliki jasa yang tidak mencukupi; karena walaupun kami telah meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma yang telah dinyatakan dengan sempurna demikian, namun kami tidak mampu menjalani kehidupan yang murni dan sempurna selama sisa hidup kami.” Setelah menjadi palayan vihara atau umat awam, mereka menerima dan menjalankan lima peraturan. Demikianlah Petapa Gotama dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh para siswanya, dan para siswanya  hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya.’”

7. “Tetapi, Udāyin, berapa banyakkah kualitas yang engkau lihat dalam diriku yang karenanya para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu?”

8. “Yang Mulia, aku melihat lima kualitas dalam diri Sang Bhagavā yang karenanya para siswaNya menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanNya, dan hidup dengan bergantung padaNya, dengan menghormati dan menghargaiNya. Apakah lima ini? Pertama, Yang Mulia, Sang Bhagavā makan sedikit dan memuji makan sedikit; ini kulihat sebagai kualitas pertama dari Sang Bhagavā yang karenanya para siswaNya menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanNya, dan hidup dengan bergantung padaNya, dengan menghormati dan menghargaiNya. [6] Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā puas dengan segala jenis jubah dan memuji kepuasan atas segala jenis jubah; ini kulihat sebagai kualitas ke dua Sang Bhagavā … Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā puas dengan segala jenis dana makanan dan memuji kepuasan atas segala jenis dana makanan; ini kulihat sebagai kualitas ke tiga Sang Bhagavā … Sang Bhagavā puas dengan segala jenis tempat tinggal dan memuji kepuasan atas segala jenis tempat tinggal; ini kulihat sebagai kualitas ke empat Sang Bhagavā … Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā terasing dan memuji keterasingan; ini kulihat sebagai kualitas ke lima Sang Bhagavā … Yang Mulia, ini adalah lima kualitas yang kulihat dalam diri Sang Bhagavā yang karenanya para siswaNya menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanNya, dan hidup dengan bergantung padaNya, dengan menghormati dan menghargaiNya.”

9. “Misalkan, Udāyin, para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama makan sedikit dan memuji makan sedikit.’ Sekarang ada siswa-siswaKu yang hidup dari secangkir atau setengah cangkir makanan, sebanyak sebutir buah bilva atau setengah butir buah bilva, [7] sementara Aku kadang-kadang memakan semangkuk penuh atau bahkan lebih. Jadi jika siswa-siswaKu menghormatiKu … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama makan sedikit dan memuji makan sedikit.’ Maka siswa-siswaKu itu yang hidup dari secangkir makanan … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakanKu, dan juga hidup dengan tidak bergantung padaKu, dengan tidak menghormati dan tidak menghargaiKu.

“Misalkan, Udāyin, para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis jubah dan memuji kepuasan atas segala jenis jubah.’ Sekarang ada siswa-siswaKu yang adalah pemakai jubah dari kain buangan, pemakai jubah kasar; mereka mengumpulkan potongan kain dari tanah pekuburan, dari tumpukan sampah, atau dari took-toko, mereka membuatnya menjadi jubah bertambalan. Tetapi Aku kadang-kadang mengenakan jubah yang dipersembahkan oleh para perumah tangga, jubah yang begitu halus sehingga sebagai perbandingan, bulu labu menjadi terasa kasar. Jadi jika siswa-siswaKu menghormatiKu … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis jubah dan memuji kepuasan atas segala jenis jubah.’ Maka siswa-siswaKu yang adalah pemakai jubah dari kain buangan, pemakai jubah kasar … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakanKu, dan juga hidup dengan tidak bergantung padaKu, dengan tidak menghormati dan tidak menghargaiKu.

“Misalkan, Udāyin, para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis dana makanan dan memuji kepuasan atas segala jenis dana makanan.’ Sekarang ada siswa-siswaKu yang adalah pemakan dana makanan yang dipersembahkan, yang berjalan menerima dana makanan dari rumah ke rumah tanpa terputus, yang bergembira dalam mengumpulkan dana makanan mereka; ketika mereka memasuki rumah-rumah itu mereka bahkan tidak akan menerima jika diundang untuk duduk. Tetapi Aku kadang-kadang makan pada undangan makan yang terdiri dari nasi pilihan [8] dan banyak kuah dan kari. Jadi jika siswa-siswaKu menghormatiKu … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis dana makanan dan memuji kepuasan atas segala jenis dana makanan.’ Maka siswa-siswaKu yang adalah pemakan dana makanan yang dipersembahkan … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakanKu, dan juga hidup dengan tidak bergantung padaKu, dengan tidak menghormati dan tidak menghargaiKu.

“Misalkan, Udāyin, para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis tempat tinggal dan memuji kepuasan atas segala jenis tempat tinggal.’ Sekarang ada siswa-siswaKu yang menetap di bawah-bawah pohon dan yang menetap di ruang terbuka, yang tidak menggunakan atap selama delapan bulan [dalam setahun]. Sementara Aku kadang-kadang menetap di istana berkubah yang diplester bagian dalam dan luarnya, terlindung dari angin, diamankan dengan pasak pintu, dengan jendela berpenutup. Jadi jika siswa-siswaKu menghormatiKu … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis tempat tinggal dan memuji kepuasan atas segala jenis tempat tinggal.’ Maka siswa-siswaKu yang menetap di bawah-bawah pohon dan yang menetap di ruang terbuka … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakanKu, dan juga hidup dengan tidak bergantung padaKu, dengan tidak menghormati dan tidak menghargaiKu.

“Misalkan, Udāyin, para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama terasing dan memuji keterasingan.’ Sekarang ada siswa-siswaKu yang menetap di hutan, yang bertempat tinggal di tempat terpencil, yang bertempat tinggal di hutan-belantara terpencil dan kembali ke tengah-tengah Sangha sekali setiap setengah bulan untuk membacakan Pātimokkha. Tetapi Aku kadang-kadang menetap dengan dikelilingi oleh para bhikkhu dan bhikkhunī, oleh para umat awam laki-laki dan perempuan, oleh raja-raja dan para menteri raja, oleh anggota sekte lain dan para siswa mereka. Jadi jika siswa-siswaKu menghormatiKu … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama terasing dan memuji keterasingan.’ [9] Maka siswa-siswaKu yang menetap di hutan … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakanKu, dan juga hidup dengan tidak bergantung padaKu, dengan tidak menghormati dan tidak menghargaiKu.

10. “Akan tetapi, Udāyin, ada lima kualitas yang karenanya para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu. Apakah lima ini?

----------------------

*** Bersambung
« Last Edit: 21 September 2010, 11:19:49 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
76 Sandaka Sutta (Lanjutan)
« Reply #34 on: 07 September 2010, 11:44:08 AM »
Lanjutan 76  Sandaka Sutta
------------------------------------
(IV. EMPAT KEBENARAN MULIA)

14. “Kemudian, Udāyin, ketika para siswaKu mengalami penderitaan dan menjadi korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan, mereka mendatangiKu dan bertanya tentang kebenaran mulia penderitaan. Karena ditanya, Aku menjelaskan kepada mereka tentang kebenaran mulia penderitaan, dan Aku memuaskan pikiran mereka dengan penjelasanKu. Mereka bertanya tentang kebenaran mulia asal mula penderitaan … tentang kebenaran mulia lenyapnya penderitaan … tentang kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan. Karena ditanya, Aku menjelaskan kepada mereka tentang kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan, dan aku memuaskan pikiran mereka dengan penjelasanKu. Ini adalah kualitas ke tiga [11] yang karenanya para siswaKu, menghargaiKu …

(V. JALAN UNTUK MENGEMBANGKAN KONDISI-KONDISI BERMANFAAT)

(1. Empat Landasan Perhatian)

15. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan empat landasan perhatian.  Di sini seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan … Ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran … Ia berdiam dengan merenungkjan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(2. Empat Jenis Usaha Benar)

16. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan empat jenis usaha benar. Di sini seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang belum muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan semangat untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang telah muncul … Ia membangkitkan semangat untuk memunculkan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang belum muncul … Ia membangkitkan semangat untuk mempertahankan kelangsungan, ketidak-lenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi dengan pengembangan atas kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(3. Empat Landasan Kekuatan Batin)

17. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan empat landasan kekuatan batin. Di sini seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari semangat dan usaha penuh tekad. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari kegigihan dan usaha penuh tekad. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari [kemurnian] pikiran dan usaha penuh tekad. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari penyelidilan dan usaha penuh tekad. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(4. Lima Indria)

18. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan lima indria. Di sini [12] seorang bhikkhu mengembangkan indria keyakinan, yang menuntun menuju kedamaian, menuntun menuju pencerahan. Ia mengembangkan indria kegigihan … indria perhatian … indria konsentrasi … indria kebijaksanaan, yang menuntun menuju kedamaian, menuntun menuju pencerahan. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(5. Lima Kekuatan)

19. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan lima kekuatan. Di sini seorang bhikkhu mengembangkan kekuatan keyakinan, yang menuntun menuju kedamaian, menuntun menuju pencerahan. Ia mengembangkan kekuatan kegigihan … kekuatan perhatian … kekuatan konsentrasi … kekuatan kebijaksanaan, yang menuntun menuju kedamaian, menuntun menuju pencerahan. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(6. Tujuh Faktor Penerangan Sempurna)

20. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan tujuh faktor penerangan sempurna. Di sini seorang bhikkhu mengembangkan faktor penerangan sempurna perhatian, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan berakibat dalam pelepasan. Ia mengembangkan faktor penerangan sempurna penyelidikan-kondisi-kondisi … faktor penerangan sempurna kegigihan … faktor penerangan sempurna kegembiraan … faktor penerangan sempurna ketenangan … faktor penerangan sempurna konsentrasi … faktor penerangan sempurna keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan berakibat dalam pelepasan. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(7. Jalan Mulia Berunsur Delapan)

21. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Di sini seorang bhikkhu mengembangkan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(8. Delapan Pembebasan)

22. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan delapan pembebasan ini.  Dengan memiliki bentuk materi, seseorang melihat bentuk-bentuk: ini adalah pembebasan pertama. Tidak melihat bentuk secara internal, ia melihat bentuk secara eksternal: ini adalah pembebasan ke dua. Ia bertekad hanya pada yang indah: ini adalah pembebasan ke tiga. [13] Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada keragaman persepsi, manyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas: ini adalah pembebasan ke empat. Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas: ini adalah pembebasan ke lima. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan: ini adalah pembebasan ke enam. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi: ini adalah pembebasan ke tujuh. Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan: ini adalah pembebasan ke delapan. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(9. Delapan landasan Keunggulan)

23. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan delapan landasan keunggulan.  Dengan melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, terbatas, cantik dan buruk rupa; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan pertama.  Dengan melihat bentuk secara internal, ia melihat bentuk secara eksternal, tanpa batas, cantik dan buruk rupa; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke dua. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, terbatas, cantik dan buruk rupa; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke tiga.  Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, tanpa batas, cantik dan buruk rupa; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke empat. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, biru, berwarna biru, berpenampilan biru, berkilau biru, atau hanya seperti kain Benares yang dihaluskan kedua sisinya, yang biru, berwarna biru, berpenampilan biru, berkilau biru; demikian pula, dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal … berkilau biru; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan [14] ke lima. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, kuning, berwarna kuning, berpenampilan kuning, berkilau kuning, atau hanya seperti kain Benares yang dihaluskan kedua sisinya, yang kuning, berwarna kuning, berpenampilan kuning, berkilau kuning; demikian pula, dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal … berkilau kuning; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke enam. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, merah, berwarna merah, berpenampilan merah, berkilau merah, atau hanya seperti kain Benares yang dihaluskan kedua sisinya, yang merah, berwarna merah, berpenampilan merah, berkilau merah; demikian pula, dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal … berkilau merah; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke tujuh. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, putih, berwarna putih, berpenampilan putih, berkilau putih, atau hanya seperti kain Benares yang dihaluskan kedua sisinya, yang putih, berwarna putih, berpenampilan putih, berkilau putih; demikian pula, dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal … berkilau putih; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke delapan. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(10. Sepuluh Kasiṇa)

24. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan sepuluh landasan kasiṇa.  Seseorang merenungkan kasiṇa-tanah di atas, di bawah, dan di sekeliling, tidak terbagi dan tidak terukur. Yang lain merenungkan kasiṇa-air … Yang lain merenungkan kasiṇa-api … Yang lain merenungkan kasiṇa-udara … Yang lain merenungkan kasiṇa-biru … Yang lain merenungkan kasiṇa-kuning … Yang lain merenungkan kasiṇa-merah … Yang lain merenungkan kasiṇa-putih … Yang lain merenungkan kasiṇa-ruang … Yang lain merenungkan kasiṇa-kesadaran [15] di atas, di bawah, dan di sekeliling, tidak terbagi dan tidak terukur. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(11. Empat Jhāna)

25. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan empat jhāna. Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu.  Bagaikan seorang petugas pemandian atau murid petugas pemandian menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembaban membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu.

26. “Kemudian, para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di dasarnya dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, atau selatan, [16] dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

27. “Kemudian, para bhikkhu, dengan lenyapnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ia membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya; demikian pula, seorang bhikkhu, membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu.

28. “Kemudian, para bhikkhu, dengan meninggalkan kesenangan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya [278] yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikianlah, seorang bhikkhu duduk dengan dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya [17] yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(12. Pengetahuan Pandangan Terang)

29. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk memahami sebagai berikut:  ‘Jasmaniku ini terbuat dari bentuk materi, terdiri dari empat unsur utama, dihasilkan oleh ibu dan ayah, dan dibangun dari nasi dan bubur, tunduk pada ketidak-kekalan, menjadi tua dan usang, tunduk pada kemusnahan dan kehancuran, dan kesadaranku ini didukung oleh jasmani ini dan terikat dengan jasmani ini.’ Misalkan terdapat sebuah permata beryl yang indah sebening air yang paling jernih, bersisi-delapan, dipotong dengan baik, jernih dan cemerlang, memiliki segala kualitas baik, dan seutas benang berwarna biru, kuning, merah, putih, atau coklat menembus mengikatnya. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik, memegangnya dengan tangannya, mengamatinya sebagai berikut: ‘Ini adalah permata beryl yang indah sebening air yang paling jernih, bersisi-delapan, dipotong dengan baik, jernih dan cemerlang, memiliki segala kualitas baik, dan seutas benang berwarna biru, kuning, merah, putih, atau coklat menembus mengikatnya.’ Demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk memahami sebagai berikut: ‘Jasmaniku ini … tunduk pada ketidak-kekalan, menjadi tua dan usang, tunduk pada kemusnahan dan kehancuran, dan kesadaranku ini didukung oleh jasmani ini dan terikat dengan jasmani ini.’ Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(13. Jasmani Ciptaan-Pikiran)

30. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk menciptakan dari jasmani ini suatu jasmani lain yang memiliki bentuk, ciptaan-pikiran, lengkap dengan segala bagian-bagian tubuhnya, lengkap dengan indria-indrianya. Bagaikan seseorang yang mencabut sebatang buluh dari pelepahnya dan berpikir sebagai berikut: ‘Ini adalah pelepah, ini adalah buluh; pelepah adalah satu hal, buluh adalah hal lainnya; adalah dari pelepah ini buluh itu dicabut’; atau bagaikan seseorang mencabut sebatang pedang dari sarungnya dan berpikir sebagai berikut: ‘Ini adalah pedang, ini adalah sarungnya; pedang adalah satu hal, sarungnya adalah hal lainnya; adalah dari sarung ini pedang itu dicabut’; [18] atau bagaikan seseorang menguliti seekor ular dari kulitnya dan berpikir sebagai berikut: ‘Ini adalah ular, ini adalah kulitnya; ular adalah satu hal, kulitnya adalah hal lainnya; adalah dari kulit ini ular itu dikuliti.’ Demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk menciptakan dari jasmani ini suatu jasmani lain yang memiliki bentuk, ciptaan-pikiran, lengkap dengan segala bagian-bagian tubuhnya, lengkap dengan indria-indrianya. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

_________________
Bersambung ****
« Last Edit: 21 September 2010, 11:27:16 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Lanjutan 76 Sandaka Sutta
« Reply #35 on: 07 September 2010, 11:47:02 AM »
Lanjutan 76 Sandaka Sutta
------------------------------

(14. Jenis-jenis Kekuatan Batin)

31. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, mereka menjadi banyak; dari banyak, mereka menjadi satu; mereka muncul dan lenyap; mereka bepergian tanpa rintangan menembus dinding, menembus tembok, menembus gunung, seolah-olah menembus ruang kosong; mereka menyelam masuk dan keluar dari tanah seolah-olah di air; mereka berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, mereka bepergian di angkasa bagaikan burung-burung; dengan tangannya mereka menyentuh bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; mereka mengerahkan kekuatan jasmani, hingga sejauh alam-Brahma. Bagaikan seorang pengrajin tembikar yang terampil atau muridnya dapat membuat dan membentuk tanah liat yang dipersiapkan dengan baik menjadi berbagai bentuk kendi yang ia inginkan; atau bagaikan seorang pengrajin gading terampil atau muridnya dapat membuat atau membentuk gading yang dipersiapkan dengan baik menjadi berbagai karya seni gading yang ia inginkan; atau bagaikan seorang pengrajin emas yang terampil atau muridnya dapat membuat dan membentuk emas yang dipersiapkan dengan baik menjadi segala jenis karya seni emas yang ia inginkan; demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … [19] … mereka mengerahkan kekuatan jasmani, hingga sejauh alam-Brahma. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(15. Unsur Telinga Dewa)

32. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan yang mana dengan unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mereka mendengar kedua jenis suara, suara surgawi dan manusia, suara yang jauh maupun dekat. Bagaikan seorang peniup terumpet yang terampil dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan; demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan yang mana dengan unsur telinga dewa … jauh maupun dekat. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(16. Memahami pikiran makhluk-makhluk lain)

33. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk memahami pikiran makhluk-makhluk lain, orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran makhluk lain dengan pikiran mereka sendiri. Mereka memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai tidak terpengaruh nafsu; mereka memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai tidak terpengaruh kebencian; mereka memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai tidak terpengaruh kebodohan; mereka memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau; mereka memahami pikiran luhur sebagai luhur dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; mereka memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran tidak terbatas sebagai tidak terbatas; mereka memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; mereka memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan. Bagaikan seorang laki-laki atau perempuan – muda, belia, dan menyukai hiasan – ketika melihat bayangan wajahnya di sebuah cermin yang bersih cemerlang atau dalam semangkuk air jernih, akan mengetahui jika terdapat noda sebagai berikut: ‘Ada noda,’ [20] atau akan mengetahui jika tidak ada noda sebagai berikut: ‘Tidak ada noda’; demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk memahami … pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(17. Mengingat Kehidupan Lampau)

34. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengingat banyak kehidupan lampau mereka, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: Di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di tempat lain; dan di sana aku bernama itu … dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di sini.’ Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Bagaikan seseorang yang pergi dari desa tempat tinggalnya ke desa lain dan kemudian kembali lagi ke desanya, ia berpikir: ‘Aku pergi dari desaku ke desa itu, dan di sana aku berdiri demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku pergi ke desa lain, dan di sana [21] aku berdiri demikian … berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku kembali lagi ke desaku.’ Demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengingat banyak kehidupan lampau mereka. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(18. Mata Dewa)

35. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan yang mana dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, mereka melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. mereka memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘Makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, keliru dalam pandangan, memberikan dampak pandangan salah dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kehancuran, bahkan di dalam neraka; tetapi makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang baik, bahkan di alam surga.’ Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, mereka melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, mereka memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Bagaikan terdapat dua rumah dengan pintu-pintu dan seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di antara kedua rumah itu melihat orang-orang memasuki dan keluar dari rumah itu silih berganti, demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan yang mana dengan mata-dewa … Mereka memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung. [22]

(19. Hancurnya Noda-Noda)

35. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan yang mana dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, mereka di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Bagaikan terdapat sebuah danau pada sebuah ceruk di gunung, bersih, jernih, dan tidak terganggu, sehingga seseorang dengan penglihatan yang baik yang berdiri di tepinya dapat melihat kerang, kerikil, dan koral, dan juga kawanan ikan yang berenang kesana kemari  dan beristirahat, ia berpikir: ‘Danau ini bersih, jernih, dan tidak terganggu, dan terdapat kerang, kerikil, dan koral ini, dan juga kawanan ikan yang berenang kesana kemari dan beristirahat.’ Demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan yang mana dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, mereka di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

37. “Ini, Udāyin, adalah kualitas ke lima yang karenanya para siswaKu, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu.

38. “Ini, Udāyin, adalah lima kualitas yang karenanya para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Pengembara Udāyin merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 21 September 2010, 11:32:28 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
77 Mahasakuludayi Sutta
« Reply #36 on: 07 September 2010, 11:49:32 AM »
77  Mahāsakuludāyi Sutta
Khotbah Panjang kepada Sakuludāyin

[1] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu sejumlah para pengembara terkenal sedang menetap di Taman Suaka Merak, taman para pengembara – yaitu, Annabhāra, Varadhara, dan Pengembara Sakuludāyin, serta para pengembara terkenal lainnya.

3. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi menuju Rājagaha untuk menerima dana makanan. Kemudian Beliau berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan di Rājagaha. Bagaimana jika Aku mendatangi Pengembara Sakuludāyin di Taman Suaka Merak, taman para pengembara.”

4. Kemudian Sang Bhagavā pergi menuju Taman Suaka Merak, taman pengembara. Pada saat itu Pengembara Sakuludāyin sedang duduk bersama dengan sejumlah besar para pengembara yang sangat gaduh, ribut dan berisik membicarakan berbagai jenis pembicaraan tanpa arah. Seperti pembicaraan tentang raja-raja … (seperti Sutta 76, §4) [2] … apakah hal-hal adalah seperti ini atau tidak seperti ini. Kemudian Pengembara Sakuludāyin dari jauh melihat kedatangan Sang Bhagavā. Melihat Beliau, ia menenangkan kelompoknya sebagai berikut: “Tuan-tuan, diamlah, jangan berisik. Telah datang Petapa Gotama. Yang Mulia ini menyukai ketenangan dan menghargai ketenangan. Mungkin jika ia melihat kelompok kita yang tenang, ia akan berpikir untuk bergabung dengan kita.” Kemudian para pengembara itu menjadi diam.

5. Sang Bhagavā mendatangi Petapa Sakuludāyin yang berkata kepadanya: “Silahkan Sang Bhagavā datang! Selamat datang Sang Bhagavā! Telah lama sejak Sang Bhagavā berkesempatan datang ke sini. Silahkan Sang Bhagavā duduk; tempat duduk telah tersedia.”

Sang Bhagavā duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan, dan Pengembara Sakuludāyin mengambil bangku rendah dan duduk di satu sisi. Ketika ia telah melakukan hal itu, Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini, Udāyin? Dan apakah diskusi kalian yang belum selesai?”

“Yang Mulia, biarkanlah diskusi yang karenanya kami duduk bersama di sini. Sang Bhagavā dapat mendengarkannya nanti. Belakangan ini, Yang Mulia, ketika para petapa dan brahmana dari berbagai sekte berkumpul bersama dan duduk bersama dalam aula perdebatan, topik berikut ini muncul: ‘Suatu keuntungan bagi penduduk Anga dan Magadha, suatu keuntungan besar bagi penduduk Anga dan Magadha bahwa para petapa dan brahmana ini, para pemimpin sekte, pemimpin kelompok, para guru dari kelompok-kelompok, pendiri sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Ada Pūraṇa Kassapa ini, pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: ia telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Ada juga Makkhali Gosāla ini … Ajita Kesakambalin ini … Pakudha Kaccāyana ini … Sañjaya Belaṭṭhiputta ini … Nigaṇṭha Nātaputta ini, pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, [3] pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: ia juga telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Juga ada Petapa Gotama ini, pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: ia juga telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Sekarang di antara para petapa dan brahmana mulia ini, para pemimpin sekte ini … yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, siapakah yang yang dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh para siswanya? Dan bagaimanakah, menghormati dan menghargainya, apakah mereka hidup dengan bergantung padanya?’

“Kemudian beberapa orang berkata sebagai berikut: ‘Pūraṇa Kassapa ini adalah pemimpin suatu kelompok … dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, tetapi ia tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dipuja, dan tidak dimuliakan oleh para siswanya, juga para siswanya tidak hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Suatu ketika Pūraṇa Kassapa sedang mengajarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut. Kemudian seorang siswa tertentu membuat keributan sebagai berikut: “Tuan-tuan, jangan mengajukan pertanyaan ini kepada Pūraṇa Kassapa. Ia tidak mengetahui hal itu. Kami mengetahuinya. Tanyakanlah kepada kami pertanyaan itu. Kami akan menjawabnya untuk kalian, tuan-tuan.” Yang terjadi adalah Pūraṇa Kassapa tidak memperoleh cara, walaupun ia melambaikan tangannya dan berteriak: “Diamlah, tuan-tuan, jangan berisik, tuan-tuan. Mereka tidak bertanya kepada kalian. Mereka bertanya kepada kami. Kami akan menjawab mereka.” Sesungguhnya, banyak para siswanya meninggalkannya setelah membantah doktrinnya sebagai berikut: “Engkau tidak memahami Dhamma dan Disiplin ini. Aku memahami Dhamma dan Disiplin ini. Bagamana mungkin engkau memahami Dhamma dan Disiplin ini? Jalanmu salah. Jalanku benar. Aku konsisten. Engkau tidak konsisten. Apa yang seharusnya engkau katakan di awal, engkau katakan di akhir. Apa yang seharusnya engkau katakan di akhir, engkau katakan di awal. Apa yang telah engkau pikirkan dengan begitu saksama telah diputar-balikkan. Doktrinmu telah dibantah. Engkau terbukti salah. Pergi dan belajarlah lebih baik lagi, atau bebaskanlah dirimu dari kekusutan jika engkau mampu!” Demikianlah Pūraṇa Kassapa tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dipuja, dan tidak dimuliakan oleh para siswanya, juga para siswanya tidak hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Sesunguhnya ia diejek dengan ejekan yang ditujukan pada Dhammanya.’ [4]

“Dan beberapa berkata sebagai berikut: ‘Makkhali Gosāla ini … Ajita Kesakambalin ini … Pakudha Kaccāyana ini … Sañjaya Belaṭṭhiputta ini … Nigaṇṭha Nātaputta ini, pemimpin sekte … [tetapi ia] tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dipuja, dan tidak dimuliakan oleh para siswanya, juga para siswanya tidak hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Sesunguhnya ia diejek dengan ejekan yang ditujukan pada Dhammanya.’

“Dan beberapa berkata sebagai berikut: ‘Petapa Gotama ini adalah pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci. Ia dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh para siswanya, dan para siswanya  hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Suatu ketika Petapa Gotama sedang mengajarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut. Kemudian seorang siswa tertentu berdehem. Kemudian salah satu temannya dalam kehidupan suci menyentuhnya dengan lututnya [untuk mengisyaratkan]: [5] “Diamlah, Yang Mulia, jangan berisik; Sang Bhagavā, Sang Guru, sedang membabarkan Dhamma.” Ketika Petapa Gotama sedang membabarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut, pada saat itu tidak ada suara batuk atau suara mendehem dari para siswaNya. Karena pada saat itu kelompok besar itu tenang dengan pengharapan: “Mari kita mendengarkan Dhamma yang akan diajarkan oleh Sang Bhagavā.” Seperti halnya seseorang dipersimpangan jalan memeras madu murni dan sekelompok besar orang tenang dengan pengharapan, demikian pula, ketika Petapa Gotama sedang membabarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut, pada saat itu tidak ada suara batuk atau suara mendehem dari para siswaNya. Karena pada saat itu kelompok besar itu tenang dengan pengharapan: “Mari kita mendengarkan Dhamma yang akan diajarkan oleh Sang Bhagavā.” Dan bahkan para siswa yang berselisih dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dan meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah – mereka bahkan memuji Sang Guru dan Dhamma dan Sangha; mereka menyalahkan diri sendiri bukan menyalahkan orang lain, dengan mengatakan: “Kami tidak beruntung, kami memiliki jasa yang tidak mencukupi; karena walaupun kami telah meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma yang telah dinyatakan dengan sempurna demikian, namun kami tidak mampu menjalani kehidupan yang murni dan sempurna selama sisa hidup kami.” Setelah menjadi palayan vihara atau umat awam, mereka menerima dan menjalankan lima peraturan. Demikianlah Petapa Gotama dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh para siswanya, dan para siswanya  hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya.’”

7. “Tetapi, Udāyin, berapa banyakkah kualitas yang engkau lihat dalam diriku yang karenanya para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu?”

8. “Yang Mulia, aku melihat lima kualitas dalam diri Sang Bhagavā yang karenanya para siswaNya menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanNya, dan hidup dengan bergantung padaNya, dengan menghormati dan menghargaiNya. Apakah lima ini? Pertama, Yang Mulia, Sang Bhagavā makan sedikit dan memuji makan sedikit; ini kulihat sebagai kualitas pertama dari Sang Bhagavā yang karenanya para siswaNya menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanNya, dan hidup dengan bergantung padaNya, dengan menghormati dan menghargaiNya. [6] Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā puas dengan segala jenis jubah dan memuji kepuasan atas segala jenis jubah; ini kulihat sebagai kualitas ke dua Sang Bhagavā … Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā puas dengan segala jenis dana makanan dan memuji kepuasan atas segala jenis dana makanan; ini kulihat sebagai kualitas ke tiga Sang Bhagavā … Sang Bhagavā puas dengan segala jenis tempat tinggal dan memuji kepuasan atas segala jenis tempat tinggal; ini kulihat sebagai kualitas ke empat Sang Bhagavā … Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā terasing dan memuji keterasingan; ini kulihat sebagai kualitas ke lima Sang Bhagavā … Yang Mulia, ini adalah lima kualitas yang kulihat dalam diri Sang Bhagavā yang karenanya para siswaNya menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanNya, dan hidup dengan bergantung padaNya, dengan menghormati dan menghargaiNya.”

9. “Misalkan, Udāyin, para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama makan sedikit dan memuji makan sedikit.’ Sekarang ada siswa-siswaKu yang hidup dari secangkir atau setengah cangkir makanan, sebanyak sebutir buah bilva atau setengah butir buah bilva, [7] sementara Aku kadang-kadang memakan semangkuk penuh atau bahkan lebih. Jadi jika siswa-siswaKu menghormatiKu … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama makan sedikit dan memuji makan sedikit.’ Maka siswa-siswaKu itu yang hidup dari secangkir makanan … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakanKu, dan juga hidup dengan tidak bergantung padaKu, dengan tidak menghormati dan tidak menghargaiKu.

“Misalkan, Udāyin, para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis jubah dan memuji kepuasan atas segala jenis jubah.’ Sekarang ada siswa-siswaKu yang adalah pemakai jubah dari kain buangan, pemakai jubah kasar; mereka mengumpulkan potongan kain dari tanah pekuburan, dari tumpukan sampah, atau dari took-toko, mereka membuatnya menjadi jubah bertambalan. Tetapi Aku kadang-kadang mengenakan jubah yang dipersembahkan oleh para perumah tangga, jubah yang begitu halus sehingga sebagai perbandingan, bulu labu menjadi terasa kasar. Jadi jika siswa-siswaKu menghormatiKu … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis jubah dan memuji kepuasan atas segala jenis jubah.’ Maka siswa-siswaKu yang adalah pemakai jubah dari kain buangan, pemakai jubah kasar … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakanKu, dan juga hidup dengan tidak bergantung padaKu, dengan tidak menghormati dan tidak menghargaiKu.

“Misalkan, Udāyin, para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis dana makanan dan memuji kepuasan atas segala jenis dana makanan.’ Sekarang ada siswa-siswaKu yang adalah pemakan dana makanan yang dipersembahkan, yang berjalan menerima dana makanan dari rumah ke rumah tanpa terputus, yang bergembira dalam mengumpulkan dana makanan mereka; ketika mereka memasuki rumah-rumah itu mereka bahkan tidak akan menerima jika diundang untuk duduk. Tetapi Aku kadang-kadang makan pada undangan makan yang terdiri dari nasi pilihan [8] dan banyak kuah dan kari. Jadi jika siswa-siswaKu menghormatiKu … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis dana makanan dan memuji kepuasan atas segala jenis dana makanan.’ Maka siswa-siswaKu yang adalah pemakan dana makanan yang dipersembahkan … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakanKu, dan juga hidup dengan tidak bergantung padaKu, dengan tidak menghormati dan tidak menghargaiKu.

“Misalkan, Udāyin, para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis tempat tinggal dan memuji kepuasan atas segala jenis tempat tinggal.’ Sekarang ada siswa-siswaKu yang menetap di bawah-bawah pohon dan yang menetap di ruang terbuka, yang tidak menggunakan atap selama delapan bulan [dalam setahun]. Sementara Aku kadang-kadang menetap di istana berkubah yang diplester bagian dalam dan luarnya, terlindung dari angin, diamankan dengan pasak pintu, dengan jendela berpenutup. Jadi jika siswa-siswaKu menghormatiKu … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama puas dengan segala jenis tempat tinggal dan memuji kepuasan atas segala jenis tempat tinggal.’ Maka siswa-siswaKu yang menetap di bawah-bawah pohon dan yang menetap di ruang terbuka … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakanKu, dan juga hidup dengan tidak bergantung padaKu, dengan tidak menghormati dan tidak menghargaiKu.

“Misalkan, Udāyin, para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu, dengan pikiran: ‘Petapa Gotama terasing dan memuji keterasingan.’ Sekarang ada siswa-siswaKu yang menetap di hutan, yang bertempat tinggal di tempat terpencil, yang bertempat tinggal di hutan-belantara terpencil dan kembali ke tengah-tengah Sangha sekali setiap setengah bulan untuk membacakan Pātimokkha. Tetapi Aku kadang-kadang menetap dengan dikelilingi oleh para bhikkhu dan bhikkhunī, oleh para umat awam laki-laki dan perempuan, oleh raja-raja dan para menteri raja, oleh anggota sekte lain dan para siswa mereka. Jadi jika siswa-siswaKu menghormatiKu … dengan pikiran: ‘Petapa Gotama terasing dan memuji keterasingan.’ [9] Maka siswa-siswaKu yang menetap di hutan … seharusnya tidak menghormati, tidak menghargai, tidak memuja, dan tidak memuliakanKu, dan juga hidup dengan tidak bergantung padaKu, dengan tidak menghormati dan tidak menghargaiKu.

10. “Akan tetapi, Udāyin, ada lima kualitas yang karenanya para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu. Apakah lima ini?

(I. MORALITAS YANG LEBIH TINGGI)

11. “Di sini, Udāyin, para siswaKu menghargaiKu karena moralitas yang lebih tinggi sebagai berikut: ‘Petapa Gotama adalah bermoral, Beliau memiliki kelompok moralitas tertinggi.’ Ini adalah kualitas pertama yang karenanya para siswaKu, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu.

(II. PENGETAHUAN DAN PENGLIHATAN)

12. “Kemudian, Udāyin, para siswaKu menghargaiKu karena pengetahuan dan penglihatanKu yang mulia sebagai berikut: ‘Ketika Petapa Gotama mengatakan “Aku mengetahui,” Beliau sungguh mengetahui; ketika Beliau mengatakan “Aku melihat,” Beliau sungguh melihat. Petapa Gotama mengajarkan Dhamma melalui pengetahuan langsung bukan tanpa pengetahuan langsung; Beliau mengajarkan Dhamma dengan landasan yang kuat, bukan tanpa landasan yang kuat; Beliau mengajarkan Dhamma dengan sikap yang meyakinkan, bukan dengan sikap yang tidak meyakinkan.’ Ini adalah kualitas ke dua yang karenanya para siswaKu, menghargaiKu …

(III. KEBIJAKSANAAN YANG LEBIH TINGGI)

13. “Kemudian, Udāyin, para siswaKu menghargaiKu karena kebijaksanaan yang lebih tinggi sebagai berikut: ‘Petapa Gotama adalah bijaksana, Beliau memiliki kelompok kebijaksanaan tertinggi. Tidaklah mungkin bahwa Beliau tidak meramalkan implikasi dari suatu pernyataan  atau bahwa Beliau tidak mampu membantah dengan logis doktrin-doktrin orang lain yang ada sekarang.’ Bagaimana menurutmu, Udāyin? Akankah para siswaKu, setelah mengetahui dan melihat demikian, datang dan menyelaKu?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Aku tidak mengharapkan instruksi dari para siswaKu; adalah para siswaKu yang senantiasa mengharapkan instruksi dariKu. Ini adalah kualitas ke tiga yang karenanya para siswaKu, menghargaiKu …

(IV. EMPAT KEBENARAN MULIA)

14. “Kemudian, Udāyin, ketika para siswaKu mengalami penderitaan dan menjadi korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan, mereka mendatangiKu dan bertanya tentang kebenaran mulia penderitaan. Karena ditanya, Aku menjelaskan kepada mereka tentang kebenaran mulia penderitaan, dan Aku memuaskan pikiran mereka dengan penjelasanKu. Mereka bertanya tentang kebenaran mulia asal mula penderitaan … tentang kebenaran mulia lenyapnya penderitaan … tentang kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan. Karena ditanya, Aku menjelaskan kepada mereka tentang kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan, dan aku memuaskan pikiran mereka dengan penjelasanKu. Ini adalah kualitas ke tiga [11] yang karenanya para siswaKu, menghargaiKu …

(V. JALAN UNTUK MENGEMBANGKAN KONDISI-KONDISI BERMANFAAT)

(1. Empat Landasan Perhatian)

15. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan empat landasan perhatian.  Di sini seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan … Ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran … Ia berdiam dengan merenungkjan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(2. Empat Jenis Usaha Benar)

16. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan empat jenis usaha benar. Di sini seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang belum muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan semangat untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang telah muncul … Ia membangkitkan semangat untuk memunculkan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang belum muncul … Ia membangkitkan semangat untuk mempertahankan kelangsungan, ketidak-lenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi dengan pengembangan atas kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

--------------------
Bersambung *****
« Last Edit: 21 September 2010, 11:36:15 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
77 Mahasakuludayi Sutta (Lanjutan)
« Reply #37 on: 07 September 2010, 11:50:33 AM »
Lanjutan 77  Mahāsakuludāyi Sutta
-----------------------------------------------
(3. Empat Landasan Kekuatan Batin)

17. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan empat landasan kekuatan batin. Di sini seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari semangat dan usaha penuh tekad. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari kegigihan dan usaha penuh tekad. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari [kemurnian] pikiran dan usaha penuh tekad. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari penyelidilan dan usaha penuh tekad. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(4. Lima Indria)

18. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan lima indria. Di sini [12] seorang bhikkhu mengembangkan indria keyakinan, yang menuntun menuju kedamaian, menuntun menuju pencerahan. Ia mengembangkan indria kegigihan … indria perhatian … indria konsentrasi … indria kebijaksanaan, yang menuntun menuju kedamaian, menuntun menuju pencerahan. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(5. Lima Kekuatan)

19. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan lima kekuatan. Di sini seorang bhikkhu mengembangkan kekuatan keyakinan, yang menuntun menuju kedamaian, menuntun menuju pencerahan. Ia mengembangkan kekuatan kegigihan … kekuatan perhatian … kekuatan konsentrasi … kekuatan kebijaksanaan, yang menuntun menuju kedamaian, menuntun menuju pencerahan. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(6. Tujuh Faktor Penerangan Sempurna)

20. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan tujuh faktor penerangan sempurna. Di sini seorang bhikkhu mengembangkan faktor penerangan sempurna perhatian, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan berakibat dalam pelepasan. Ia mengembangkan faktor penerangan sempurna penyelidikan-kondisi-kondisi … faktor penerangan sempurna kegigihan … faktor penerangan sempurna kegembiraan … faktor penerangan sempurna ketenangan … faktor penerangan sempurna konsentrasi … faktor penerangan sempurna keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan berakibat dalam pelepasan. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(7. Jalan Mulia Berunsur Delapan)

21. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Di sini seorang bhikkhu mengembangkan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(8. Delapan Pembebasan)

22. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan delapan pembebasan ini.  Dengan memiliki bentuk materi, seseorang melihat bentuk-bentuk: ini adalah pembebasan pertama. Tidak melihat bentuk secara internal, ia melihat bentuk secara eksternal: ini adalah pembebasan ke dua. Ia bertekad hanya pada yang indah: ini adalah pembebasan ke tiga. [13] Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada keragaman persepsi, manyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas: ini adalah pembebasan ke empat. Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas: ini adalah pembebasan ke lima. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan: ini adalah pembebasan ke enam. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi: ini adalah pembebasan ke tujuh. Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan: ini adalah pembebasan ke delapan. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(9. Delapan landasan Keunggulan)

23. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan delapan landasan keunggulan.  Dengan melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, terbatas, cantik dan buruk rupa; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan pertama.  Dengan melihat bentuk secara internal, ia melihat bentuk secara eksternal, tanpa batas, cantik dan buruk rupa; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke dua. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, terbatas, cantik dan buruk rupa; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke tiga.  Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, tanpa batas, cantik dan buruk rupa; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke empat. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, biru, berwarna biru, berpenampilan biru, berkilau biru, atau hanya seperti kain Benares yang dihaluskan kedua sisinya, yang biru, berwarna biru, berpenampilan biru, berkilau biru; demikian pula, dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal … berkilau biru; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan [14] ke lima. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, kuning, berwarna kuning, berpenampilan kuning, berkilau kuning, atau hanya seperti kain Benares yang dihaluskan kedua sisinya, yang kuning, berwarna kuning, berpenampilan kuning, berkilau kuning; demikian pula, dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal … berkilau kuning; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke enam. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, merah, berwarna merah, berpenampilan merah, berkilau merah, atau hanya seperti kain Benares yang dihaluskan kedua sisinya, yang merah, berwarna merah, berpenampilan merah, berkilau merah; demikian pula, dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal … berkilau merah; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke tujuh. Dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, putih, berwarna putih, berpenampilan putih, berkilau putih, atau hanya seperti kain Benares yang dihaluskan kedua sisinya, yang putih, berwarna putih, berpenampilan putih, berkilau putih; demikian pula, dengan tidak melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal … berkilau putih; dengan mengunggulinya, ia melihat sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan keunggulan ke delapan. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(10. Sepuluh Kasiṇa)

24. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan sepuluh landasan kasiṇa.  Seseorang merenungkan kasiṇa-tanah di atas, di bawah, dan di sekeliling, tidak terbagi dan tidak terukur. Yang lain merenungkan kasiṇa-air … Yang lain merenungkan kasiṇa-api … Yang lain merenungkan kasiṇa-udara … Yang lain merenungkan kasiṇa-biru … Yang lain merenungkan kasiṇa-kuning … Yang lain merenungkan kasiṇa-merah … Yang lain merenungkan kasiṇa-putih … Yang lain merenungkan kasiṇa-ruang … Yang lain merenungkan kasiṇa-kesadaran [15] di atas, di bawah, dan di sekeliling, tidak terbagi dan tidak terukur. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(11. Empat Jhāna)

25. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengembangkan empat jhāna. Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu.  Bagaikan seorang petugas pemandian atau murid petugas pemandian menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembaban membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu.

26. “Kemudian, para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di dasarnya dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, atau selatan, [16] dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

27. “Kemudian, para bhikkhu, dengan lenyapnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ia membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya; demikian pula, seorang bhikkhu, membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu.

28. “Kemudian, para bhikkhu, dengan meninggalkan kesenangan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya [278] yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikianlah, seorang bhikkhu duduk dengan dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya [17] yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

------------------
Bersambung *****
« Last Edit: 21 September 2010, 11:38:00 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
77 Mah?sakulud?yi Sutta (Lanjutan)
« Reply #38 on: 09 September 2010, 07:35:15 PM »
Lanjutan 77  Mahāsakuludāyi Sutta
----------------------------------------

(12. Pengetahuan Pandangan Terang)

29. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk memahami sebagai berikut:  ‘Jasmaniku ini terbuat dari bentuk materi, terdiri dari empat unsur utama, dihasilkan oleh ibu dan ayah, dan dibangun dari nasi dan bubur, tunduk pada ketidak-kekalan, menjadi tua dan usang, tunduk pada kemusnahan dan kehancuran, dan kesadaranku ini didukung oleh jasmani ini dan terikat dengan jasmani ini.’ Misalkan terdapat sebuah permata beryl yang indah sebening air yang paling jernih, bersisi-delapan, dipotong dengan baik, jernih dan cemerlang, memiliki segala kualitas baik, dan seutas benang berwarna biru, kuning, merah, putih, atau coklat menembus mengikatnya. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik, memegangnya dengan tangannya, mengamatinya sebagai berikut: ‘Ini adalah permata beryl yang indah sebening air yang paling jernih, bersisi-delapan, dipotong dengan baik, jernih dan cemerlang, memiliki segala kualitas baik, dan seutas benang berwarna biru, kuning, merah, putih, atau coklat menembus mengikatnya.’ Demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk memahami sebagai berikut: ‘Jasmaniku ini … tunduk pada ketidak-kekalan, menjadi tua dan usang, tunduk pada kemusnahan dan kehancuran, dan kesadaranku ini didukung oleh jasmani ini dan terikat dengan jasmani ini.’ Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(13. Jasmani Ciptaan-Pikiran)

30. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk menciptakan dari jasmani ini suatu jasmani lain yang memiliki bentuk, ciptaan-pikiran, lengkap dengan segala bagian-bagian tubuhnya, lengkap dengan indria-indrianya. Bagaikan seseorang yang mencabut sebatang buluh dari pelepahnya dan berpikir sebagai berikut: ‘Ini adalah pelepah, ini adalah buluh; pelepah adalah satu hal, buluh adalah hal lainnya; adalah dari pelepah ini buluh itu dicabut’; atau bagaikan seseorang mencabut sebatang pedang dari sarungnya dan berpikir sebagai berikut: ‘Ini adalah pedang, ini adalah sarungnya; pedang adalah satu hal, sarungnya adalah hal lainnya; adalah dari sarung ini pedang itu dicabut’; [18] atau bagaikan seseorang menguliti seekor ular dari kulitnya dan berpikir sebagai berikut: ‘Ini adalah ular, ini adalah kulitnya; ular adalah satu hal, kulitnya adalah hal lainnya; adalah dari kulit ini ular itu dikuliti.’ Demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk menciptakan dari jasmani ini suatu jasmani lain yang memiliki bentuk, ciptaan-pikiran, lengkap dengan segala bagian-bagian tubuhnya, lengkap dengan indria-indrianya. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(14. Jenis-jenis Kekuatan Batin)

31. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, mereka menjadi banyak; dari banyak, mereka menjadi satu; mereka muncul dan lenyap; mereka bepergian tanpa rintangan menembus dinding, menembus tembok, menembus gunung, seolah-olah menembus ruang kosong; mereka menyelam masuk dan keluar dari tanah seolah-olah di air; mereka berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, mereka bepergian di angkasa bagaikan burung-burung; dengan tangannya mereka menyentuh bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; mereka mengerahkan kekuatan jasmani, hingga sejauh alam-Brahma. Bagaikan seorang pengrajin tembikar yang terampil atau muridnya dapat membuat dan membentuk tanah liat yang dipersiapkan dengan baik menjadi berbagai bentuk kendi yang ia inginkan; atau bagaikan seorang pengrajin gading terampil atau muridnya dapat membuat atau membentuk gading yang dipersiapkan dengan baik menjadi berbagai karya seni gading yang ia inginkan; atau bagaikan seorang pengrajin emas yang terampil atau muridnya dapat membuat dan membentuk emas yang dipersiapkan dengan baik menjadi segala jenis karya seni emas yang ia inginkan; demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … [19] … mereka mengerahkan kekuatan jasmani, hingga sejauh alam-Brahma. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(15. Unsur Telinga Dewa)

32. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan yang mana dengan unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mereka mendengar kedua jenis suara, suara surgawi dan manusia, suara yang jauh maupun dekat. Bagaikan seorang peniup terumpet yang terampil dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan; demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan yang mana dengan unsur telinga dewa … jauh maupun dekat. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(16. Memahami pikiran makhluk-makhluk lain)

33. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk memahami pikiran makhluk-makhluk lain, orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran makhluk lain dengan pikiran mereka sendiri. Mereka memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai tidak terpengaruh nafsu; mereka memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai tidak terpengaruh kebencian; mereka memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai tidak terpengaruh kebodohan; mereka memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau; mereka memahami pikiran luhur sebagai luhur dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; mereka memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran tidak terbatas sebagai tidak terbatas; mereka memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; mereka memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan. Bagaikan seorang laki-laki atau perempuan – muda, belia, dan menyukai hiasan – ketika melihat bayangan wajahnya di sebuah cermin yang bersih cemerlang atau dalam semangkuk air jernih, akan mengetahui jika terdapat noda sebagai berikut: ‘Ada noda,’ [20] atau akan mengetahui jika tidak ada noda sebagai berikut: ‘Tidak ada noda’; demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk memahami … pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(17. Mengingat Kehidupan Lampau)

34. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengingat banyak kehidupan lampau mereka, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: Di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di tempat lain; dan di sana aku bernama itu … dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di sini.’ Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Bagaikan seseorang yang pergi dari desa tempat tinggalnya ke desa lain dan kemudian kembali lagi ke desanya, ia berpikir: ‘Aku pergi dari desaku ke desa itu, dan di sana aku berdiri demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku pergi ke desa lain, dan di sana [21] aku berdiri demikian … berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku kembali lagi ke desaku.’ Demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan untuk mengingat banyak kehidupan lampau mereka. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

(18. Mata Dewa)

35. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan yang mana dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, mereka melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. mereka memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘Makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, keliru dalam pandangan, memberikan dampak pandangan salah dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kehancuran, bahkan di dalam neraka; tetapi makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang baik, bahkan di alam surga.’ Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, mereka melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, mereka memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Bagaikan terdapat dua rumah dengan pintu-pintu dan seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di antara kedua rumah itu melihat orang-orang memasuki dan keluar dari rumah itu silih berganti, demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan yang mana dengan mata-dewa … Mereka memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung. [22]

(19. Hancurnya Noda-Noda)

35. “Kemudian, Udāyin, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan yang mana dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, mereka di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Bagaikan terdapat sebuah danau pada sebuah ceruk di gunung, bersih, jernih, dan tidak terganggu, sehingga seseorang dengan penglihatan yang baik yang berdiri di tepinya dapat melihat kerang, kerikil, dan koral, dan juga kawanan ikan yang berenang kesana kemari  dan beristirahat, ia berpikir: ‘Danau ini bersih, jernih, dan tidak terganggu, dan terdapat kerang, kerikil, dan koral ini, dan juga kawanan ikan yang berenang kesana kemari dan beristirahat.’ Demikian pula, Aku telah menyatakan kepada para siswaKu jalan yang mana dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, mereka di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Dan dengan demikian banyak siswaKu berdiam setelah mencapai pemenuhan dan kesempurnaan pengetahuan langsung.

37. “Ini, Udāyin, adalah kualitas ke lima yang karenanya para siswaKu, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu.

38. “Ini, Udāyin, adalah lima kualitas yang karenanya para siswaKu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakanKu, dan hidup dengan bergantung padaKu, dengan menghormati dan menghargaiKu.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Pengembara Udāyin merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 21 September 2010, 11:38:56 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
78 Sama?ama??ik? Sutta
« Reply #39 on: 09 September 2010, 07:38:19 PM »
78  Samaṇamaṇḍikā Sutta
Samaṇamaṇḍikaputta

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Pengembara Uggāhamāna Samaṇamaṇḍikāputta sedang menetap di Taman Mallikā, di aula tunggal kebun Tinduka untuk perdebatan filosifis,  [34] bersama dengan sejumlah besar para pengembara, berjumlah tiga ratus pengembara.

2. Tukang kayu Pañcakanga keluar dari Sāvatthī pada suatu siang hari untuk menemui Sang Bhagavā. Kemudian ia berpikir: “Bukan waktu yang  tepat untuk menemui Sang Bhagavā; Beliau masih bermeditasi. Dan bukan waktu yang tepat untuk menemui para bhikkhu yang layak dihormati; mereka masih bermeditasi. Bagaimana jika aku pergi ke Taman Mallikā, mengunjungi Pengembara Uggāhamāna Samaṇamaṇḍikāputta?” Dan ia pergi ke Taman Mallikā.

3. Pada saat itu Pengembara Uggāhamāna sedang duduk bersama dengan sejumlah besar para pengembara yang sangat gaduh, ribut dan berisik membicarakan berbagai jenis pembicaraan tanpa arah. Seperti pembicaraan tentang raja-raja … (seperti Sutta 76, §4) … apakah hal-hal adalah seperti ini atau tidak seperti ini.

Kemudian Pengembara Uggāhamāna Samaṇamaṇḍikāputta dari jauh melihat kedatangan si tukang kayu Pañcakanga. Melihatnya, ia menenangkan kelompoknya sebagai berikut: “Tuan-tuan, diamlah, jangan berisik. Telah datang si tukang kayu Pañcakanga, seorang siswa Petapa Gotama, salah satu umat awam berpakaian putih dari Petapa Gotama yang menetap di Sāvatthī. Para Mulia ini menyukai ketenangan dan menghargai ketenangan. Mungkin jika ia melihat kelompok kita yang tenang, ia akan berpikir untuk bergabung dengan kita.” Kemudian para pengembara itu menjadi diam.

4. si tukang kayu Pañcakanga mendatang Pengembara Uggāhamāna dan saling bertukar sapa dengannya. [24] Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Kemudian Pengembara Uggāhamāna berkata kepadanya:

5. “Tukang kayu, ketika seseorang memiliki empat kualitas, Kugambarkan ia sebagai terampil dalam apa yang bermanfaat, sempurna dalam apa yang bermanfaat, seorang petapa tak-terkalahkan yang mencapai pencapaian tinggi. Apakah empat ini? Di sini ia tidak melakukan perbuatan buruk jasmani, ia tidak mengucapkan ucapan buruk, ia tidak memiliki kehendak yang buruk, dan ia tidak mencari penghidupan dengan segala penghidupan yang buruk. Ketika seseorang memiliki empat kualitas, Kugambarkan ia sebagai terampil dalam apa yang bermanfaat, sempurna dalam apa yang bermanfaat, seorang petapa tak-terkalahkan yang mencapai pencapaian tinggi.

6. Kemudian si tukang kayu Pañcakanga dengan tidak menyetujui juga tidak membantah kata-kata Pengembara Uggāhamāna. Dengan tidak melakukan salah satunya ia bangkit dari duduknya dan pergi, dengan berpikir: “aku akan mempelajari makna dari pernyataan ini di hadapan Sang Bhagavā.”

7. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan melaporkan kepada Sang Bhagavā seluruh pembicaraannya dengan Pengembara Uggāhamāna. Kemudian Sang Bhagavā berkata:

8. “Kalau begitu, Tukang kayu, maka seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup adalah terampil dalam apa yang bermanfaat, sempurna dalam apa yang bermanfaat, seorang petapa tak-terkalahkan yang mencapai pencapaian tinggi, menurut pernyataan Pengembara Uggāhamāna. Karena seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘jasmani,’ jadi bagaimana ia melakukan perbuatan buruk jasmani yang lebih dari sekadar menggeliat? Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘ucapan,’ jadi bagaimana ia mengucapkan ucapan buruk melebihi rengekan? Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘kehendak,’ jadi bagaimana ia memiliki kehendak buruk melebihi merajuk? Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘penghidupan,’ jadi bagaimana [25] ia bagaimana melakukan penghidupan buruk yang melebihi menyusu pada dada ibunya? Kalau begitu, Tukang kayu, maka seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup adalah terampil dalam apa yang bermanfaat … menurut pernyataan Pengembara Uggāhamāna.

“Ketika seseorang memiliki empat kualitas, Kugambarkan ia bukan sebagai terampil dalam apa yang bermanfaat, bukan sempurna dalam apa yang bermanfaat, dan bukan seorang petapa tak-terkalahkan yang mencapai pencapaian tinggi, tetapi sebagai seseorang yang berada dalam kelompok yang sama dengan bayi lembut yang berbaring telungkup itu. Apakah empat ini? Di sini ia tidak melakukan perbuatan buruk jasmani, ia tidak mengucapkan ucapan buruk, ia tidak memiliki kehendak yang buruk, dan ia tidak mencari penghidupan dengan segala penghidupan yang buruk. Ketika seseorang memiliki empat kualitas, Kugambarkan ia bukan sebagai terampil dalam apa yang bermanfaat … tetapi sebagai seseorang yang berada dalam kelompok yang sama dengan bayi lembut yang berbaring telungkup itu.

9. “Ketika seseorang memiliki sepuluh kualitas, Kugambarkan ia sebagai terampil dalam apa yang bermanfaat, sempurna dalam apa yang bermanfaat, seorang petapa tak-terkalahkan yang mencapai pencapaian tinggi. [Tetapi pertama-tama] Aku katakan, harus dipahami bahwa:  ‘Ini adalah kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat,’ dan bahwa: ‘Kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat berasal-mula dari ini,’ dan bahwa: ‘Kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa di sini,’ dan bahwa: ‘Seorang yang mempratikkan jalan ini berarti mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat.’ Dan Aku katakan, harus dipahami bahwa: ‘Ini adalah kebiasaan-kebiasaan bermanfaat,’ dan bahwa: ‘Kebiasaan-kebiasaan bermanfaat berasal-mula dari ini,’ dan bahwa: ‘Kebiasaan-kebiasaan bermanfaat lenyap tanpa sisa di sini,’ dan bahwa: ‘Seorang yang mempratikkan jalan ini berarti mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kebiasaan-kebiasaan bermanfaat.’ Dan Aku katakan, harus dipahami bahwa: ‘Ini adalah kehendak-kehendak tidak bermanfaat,’ dan bahwa: ‘Kehendak-kehendak tidak bermanfaat berasal-mula dari ini,’ [26] dan bahwa: ‘Kehendak-kehendak tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa di sini,’ dan bahwa: ‘Seorang yang mempratikkan jalan ini berarti mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kehendak-kehendak tidak bermanfaat.’ Dan Aku katakan, harus dipahami bahwa: ‘Ini adalah kehendak-kehendak bermanfaat,’ dan bahwa: ‘Kehendak-kehendak bermanfaat berasal-mula dari ini,’ dan bahwa: ‘Kehendak-kehendak bermanfaat lenyap tanpa sisa di sini,’ dan bahwa: ‘Seorang yang mempratikkan jalan ini berarti mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kehendak-kehendak bermanfaat.’

10. “Apakah kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat ini? Yaitu perbuatan jasmani yang tidak bermanfaat, perbuatan ucapan yang tidak bermanfaat, dan penghidupan yang buruk. Ini disebut kebiasaan-kebiasaan yang tidak bermanfaat.

“Dan dari manakah kebisaan-kebiasaan tidak bermanfaat ini berasal-mula? Asal-mulanya disebutkan: kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat ini harus dikatakan berasal-mula dari pikiran. Pikiran apakah? Akan tetapi pikiran ada banyak, bervariasi, dan terdiri dari banyak aspek, ada pikiran yang terpengaruh oleh nafsu, oleh kebencian, dan oleh kebodohan. Kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat berasal-mula dari ini.

“Dan di manakah kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat ini lenyap tanpa sisa? Lenyapnya disebutkan: di sini seorang bhikkhu meninggalkan perbuatan salah jasmani dan mengembangkan perbuatan baik jasmani, ia meninggalkan perbuatan salah ucapan dan mengembangkan perbuatan baik ucapan; ia meninggalkan perbuatan salah pikiran dan mengembangkan perbuatan baik pikiran; ia meninggalkan penghidupan salah dan mencari nafkah melalui penghidupan benar.  Adalah di sini kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat itu lenyap tanpa sisa.

“Dan bagaimanakah ia mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat? Di sini seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan semangat untuk meninggalkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul … Ia membangkitkan semangat untuk memunculkan kondisi-kondisi bermanfaat yang belum muncul … Ia membangkitkan semangat untuk mempertahankan kelangsungan, ketidak-lenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi dengan pengembangan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. [27] Seorang yang berlatih demikian mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kebiasaan-kebiasaan tidak bermanfaat.

11. “Apakah kebiasaan-kebiasaan bermanfaat ini? Yaitu perbuatan jasmani yang bermanfaat, perbuatan ucapan yang bermanfaat, dan pemurnian penghidupan. Ini disebut kebiasaan-kebiasaan yang bermanfaat.

“Dan dari manakah kebisaan-kebiasaan bermanfaat ini berasal-mula? Asal-mulanya disebutkan: kebiasaan-kebiasaan bermanfaat ini harus dikatakan berasal-mula dari pikiran. Pikiran apakah? Akan tetapi pikiran ada banyak, bervariasi, dan terdiri dari banyak aspek, ada pikiran yang tidak  terpengaruh oleh nafsu, oleh kebencian, dan oleh kebodohan. Kebiasaan-kebiasaan bermanfaat berasal-mula dari ini.

“Dan di manakah kebiasaan-kebiasaan bermanfaat ini lenyap tanpa sisa? Lenyapnya disebutkan: di sini seorang bhikkhu bermoral, tetapi ia tidak mengidentifikan diri dengan moralitasnya, dan ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan itu di mana kebiasaan-kebiasaan bermanfaat itu lenyap tanpa sisa.

“Dan bagaimanakah ia mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kebiasaan-kebiasaan bermanfaat? Di sini seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul … untuk mempertahankan kelangsungan, ketidak-lenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi dengan pengembangan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Seorang yang berlatih demikian mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kebiasaan-kebiasaan bermanfaat.

12. “Dan apakah kehendak-kehendak tidak bermanfaat? Yaitu kehendak keinginan indria, kehendak niat buruk, dan kehendak kekejaman. Ini disebut kehendak-kehendak tidak bermanfaat.

“Dan dari manakah kehendak-kehendak tidak bermanfaat ini berasal-mula? Asal-mulanya disebutkan: kehendak-kehendak tidak bermanfaat ini harus dikatakan bermula dari persepsi. Persepsi apakah? Akan tetapi persepsi ada banyak, bervariasi, dan terdiri dari banyak aspek, ada persepsi keinginan indria, persepsi niat buruk, dan persepsi kekejaman. Kehendak-kehendak tidak bermanfaat berasal-mula dari ini.

“Dan di manakah kehendak-kehendak tidak bermanfaat ini lenyap tanpa sisa? Lenyapnya disebutkan: di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari [28] kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Adalah di sini kehendak-kehendak tidak bermanfaat itu lenyap tanpa sisa.

“Dan bagaimanakah ia mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kehendak-kehendak tidak bermanfaat? Di sini seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul … untuk mempertahankan kelangsungan, ketidak-lenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi dengan pengembangan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Seorang yang berlatih demikian mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kehendak-kehendak tidak bermanfaat.

13. “Dan apakah kehendak-kehendak bermanfaat? Yaitu kehendak pelepasan keduniawian, kehendak tanpa niat buruk, dan kehendak tanpa-kekejaman. Ini disebut kehendak-kehendak bermanfaat.

“Dan dari manakah kehendak-kehendak bermanfaat ini berasal-mula? Asal-mulanya disebutkan: kehendak-kehendak bermanfaat ini harus dikatakan bermula dari persepsi. Persepsi apakah? Akan tetapi persepsi ada banyak, bervariasi, dan terdiri dari banyak aspek, ada persepsi pelepasan keduniawian, persepsi tanp niat buruk, dan persepsi tanpa-kekejaman. Kehendak-kehendak bermanfaat berasal-mula dari ini.

“Dan di manakah kehendak-kehendak bermanfaat ini lenyap tanpa sisa? Lenyapnya disebutkan: di sini, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran. Adalah di sini kehendak-kehendak bermanfaat itu lenyap tanpa sisa.

“Dan bagaimanakah ia mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kehendak-kehendak bermanfaat? Di sini seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul … untuk mempertahankan kelangsungan, ketidak-lenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi dengan pengembangan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Seorang yang berlatih demikian mempraktikkan jalan menuju lenyapnya kehendak-kehendak bermanfaat.

14. “Sekarang, Tukang kayu, Kapankah seseorang memiliki sepuluh kualitas, [29] Aku  gambarkan sebagai terampil dalam apa yang bermanfaat, sempurna dalam apa yang bermanfaat, seorang petapa tak-terkalahkan yang mencapai pencapaian tinggi? Di sini, seorang bhikkhu memiliki pandangan benar dari seorang yang melampaui latihan,  kehendak benar dari seorang yang melampaui latihan, ucapan benar dari seorang yang melampaui latihan, perbuatan benar dari seorang yang melampaui latihan, penghidupan benar dari seorang yang melampaui latihan, usaha benar dari seorang yang melampaui latihan, perhatian benar dari seorang yang melampaui latihan konsentrasi benar dari seorang yang melampaui latihan, pengetahuan benar dari seorang yang melampaui latihan, dan kebebasan benar dari seorang yang melampaui latihan. Ketika seseorang memiliki sepuluh kualitas ini, Aku gambarkan ia sebagai terampil dalam apa yang bermanfaat, sempurna dalam apa yang bermanfaat, seorang petapa tak-terkalahkan yang mencapai pencapaian tinggi.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Tukang kayu Pañcakanga merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

« Last Edit: 21 September 2010, 11:43:47 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
78 Samanamandika Sutta
« Reply #40 on: 09 September 2010, 07:39:56 PM »
Lanjutan 78  Samaṇamaṇḍikā Sutta
--------------------------------------

21. “Tetapi, Udāyin, bagaimanakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”

“Di sini, Yang Mulia, dengan meninggalkan membunuh makhluk-makhluk hidup, seseorang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; dengan meninggalkan melakukan hubungan seksual yang salah, ia menghindari melakukan hubungan seksual yang salah; [36] dengan meninggalkan ucapan salah, ia menghindari ucapan salah; atau kalau tidak, ia menjalani beberapa jenis praktik pertapaan. Ini adalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”

22. “Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia meninggalkan membunuh makhluk-makhluk hidup dan menghindari makhluk-makhluk hidup, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”

“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan … Pada saat ia melakukan hubungan seksual yang salah … Pada saat ia meninggalkan ucapan salah dan menghindari ucapan salah, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”

“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia menjalani beberapa jenis praktik pertapaan, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”

“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Apakah pencapaian alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu terjadi dengan mengikuti jalan yang bercampur antara kenikmatan dan kesakitan?”

23. “Sang Bhagavā telah menghentikan diskusi; Yang Sempurna telah menghentikan diskusi.”

“Tetapi, Udāyin, mengapa engkau berkata begitu?”

“Yang Mulia, telah diajarkan dalam doktrin guru-guru kami: ‘Ada suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan; ada cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.’” Tetapi ketika didesak dan dipertanyakan dan diperdebatkan tentang doktrin guru-guru kami oleh Sang Bhagavā, kami terbukti kosong, hampa, dan keliru. Tetapi bagaimanakah, Yang Mulia, adakah suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan? Adakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?” [37]

24. “Ada suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan, Udāyin, ada cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”

“Yang Mulia, bagaimanakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”

25. “Di sini, Udāyin, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … dalam jhāna ke tiga … ini adalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”

“Yang Mulia, itu bukan cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu; pada titik itu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu telah tercapai.”

“Udāyin, pada titik itu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu belum tercapai; itu hanyalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”

26. Ketika hal ini dikatakan, kelompok Pengembara Sakuludāyin menjadi ribut, berisik dan berbicara dengan suara keras: “Kami telah lama tersesat dalam doktrin guru-guru kami! Kami telah lama tersesat dalam doktrin guru-guru kami! Kami tidak mengetahui yang lebih tinggi daripada itu!”

Kemudian Pengembara Sakuludāyin menenangkan para pengembara itu dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

27. “Yang Mulia, pada titik manakah alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu tercapai?”

“Di sini, Udāyin, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia berdiam bersama dengan para dewa yang telah muncul dalam alam yang sepenuhnya nikmat dan ia berbicara kepada mereka dan berbincang-bincang dengan mereka.  Pada titik ini alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu telah tercapai.”

28. “Yang Mulia, tentu adalah demi mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā.”

“Bukan demi mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu. Ada kondisi-kondisi lain, Udāyin, yang lebih tinggi dan lebih mulia [daripada itu] dan adalah demi mencapai itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.” [38]

“Apakah kondisi-kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia itu, Yang Mulia, yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā?”

29-36. “Di sini, Udāyin, seorang Tathāgata telah muncul di dunia, sempurna, tercerahkan sempurna … (seperti sutta 51, §§12-19) … ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

37. “Setelah meninggalkan kelima rintangan, ketidak-sempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Ini, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.

38-40. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.

41. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti sutta 51, §24) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.

42. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (seperti sutta 51, §25) …. Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.

43. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … (seperti sutta 51, §26) [39] … ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

44. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.

“Ini, Udāyin, adalah kondisi-kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.”

45. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Sakuludāyin berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita adalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, aku ingin menerima penahbisan penuh.”

46. Ketika hal ini dikatakan, kelompok Pengembara Sakuludāyin berkata kepadanya sebagai berikut: “Jangan menjalani kehidupan suci di bawah Petapa Gotama, Guru Udāyin, setelah menjadi guru, Guru Udāyin, janganlah hidup sebagai seorang murid. Karena jika Guru Udāyin melakukan hal itu maka itu bagaikan sebuah kendi air yang menjadi cangkir. Jangan menjalani kehidupan suci di bawah Petapa Gotama, Guru Udāyin, setelah menjadi guru, Guru Udāyin, janganlah hidup sebagai seorang murid.”

Demikianlah bagaimana kelompok Pengembara Sakuludāyin menghalanginya menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā.
« Last Edit: 21 September 2010, 11:46:48 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
79 Culasakuludayi Sutta
« Reply #41 on: 09 September 2010, 07:41:01 PM »
79  Cūḷasakuludāyi Sutta
Khotbah Pendek kepada Sakuludāyin

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu Pengembara Sakuludāyin sedang menetap di Taman Suaka Merak, taman para pengembara, bersama dengan sejumlah besar para pengembara.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi menuju Rājagaha untuk menerima dana makanan. Kemudian Beliau berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan di Rājagaha. Bagaimana jika Aku mendatangi Pengemabara Sakuludāyin di Taman Suaka Merak, taman para pengembara.”

3-4. Kemudian Sang Bhagavā pergi menuju Taman Suaka Merak, taman pengembara. Pada saat itu Pengembara Sakuludāyin sedang duduk bersama dengan sejumlah besar para pengembara yang sangat gaduh, … (seperti Sutta 77, §4-5) [30] … “Untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini, Udāyin? Dan apakah diskusi kalian yang belum selesai?”

5. “Yang Mulia, biarkanlah diskusi yang karenanya kami duduk bersama di sini. Sang Bhagavā dapat mendengarkannya nanti. Yang Mulia, ketika aku tidak datang ke pertemuan ini, maka pertemuan ini membicarakan berbagai jenis pembicaraan tanpa arah. Tetapi ketika aku datang ke pertemuan ini, maka pertemuan ini duduk menatapku, dengan berpikir: ‘Kami akan mendengarkan Dhamma yang Petapa Udāyin akan babarkan kepada kami.’ Akan tetapi, ketika [31] Sang Bhagavā datang, maka baik aku maupun pertemuan ini duduk menatap Sang Bhagavā, dengan berpikir: ‘Kami akan mendengarkan Dhamma yang Sang Bhagavā akan babarkan kepada kami.’”

6. “Kalau begitu, usulkanlah sesuatu yang harus Kubicarakan.”

“Yang Mulia, belakangan ini terdapat seseorang yang mengaku sebagai maha-tahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap sebagai berikut: ‘Apakah Aku berjalan atau berdiri atau tidur atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tanpa terputus ada padaKu.” Ketika aku mengajukan pertanyaan tentang masa lampau, ia berbicara berputar-putar, mengalihkan pembicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kejengkelan. Kemudian kegembiraan sehubungan dengan Sang Bhagavā muncul padaku sebagai berikut: ‘Ah, tentu saja adalah Sang Bhagavā, tentu saja Yang Sempurna yang terampil dalam hal-hal ini.”

“Tetapi, Udāyin, siapakah itu yang mengaku sebagai maha-tahu dan maha-melihat … namun ketika diajukan suatu pertanyaan olehmu tentang masa lampau, ia berbicara berputar-putar, mengalihkan pembicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kejengkelan?

“Ia adalah Nigaṇṭha Nātaputta, Yang Mulia.”

7. “Udāyin, jika seseorang dapat mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran ... demikianlah, dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya, ia mengingat banyak kehidupan lampaunya, maka apakah ia mengajukan pertanyaan kepadaku tentang masa lampau atau Aku mengajukan pertanyaan kepadanya tentang masa lampau, dan ia akan memuaskan pikiranKu dengan jawabannya atas pertanyaanKu atau Aku akan memuaskan pikirannya dengan jawabanKu atas pertanyaannya. Jika seseorang dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, dapat melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin ... dan memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka, maka apakah ia mengajukan pertanyaan kepadaku tentang masa depan [32] atau Aku mengajukan pertanyaan kepadanya tentang masa depan, dan ia akan memuaskan pikiranKu dengan jawabannya atas pertanyaanKu atau Aku akan memuaskan pikirannya dengan jawabanKu atas pertanyaannya. Tetapi biarkanlah masa lampau, Udāyin, biarkanlah masa depan. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu: Jika ini ada, maka itu terjadi; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak terjadi; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu.”

8. “Yang Mulia, aku bahkan tidak dapat mengingat apa yang telah aku alami dalam kehidupan ini dengan segala aspek dan ciri-cirinya, jadi bagaimana mungkin aku mengingat banyak kehidupan lampauku, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran ... dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya, seperti halnya Sang Bhagavā? Dan aku bahkan tidak dapat melihat sesosok hantu-lumpur, jadi bagaimana mungkin aku dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin ... dan memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka, seperti halnya Sang Bhagavā? Tetapi, Yang Mulia, ketika Sang Bhagavā berkata kepadaku: ‘Tetapi biarkanlah masa lampau, Udāyin, biarkanlah masa depan. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu: Jika ini ada, maka itu terjadi; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak terjadi; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu’ – itu bahkan lebih tidak jelas lagi bagiku. Mungkin, Yang Mulia, aku dapat memuaskan pikiran Sang Bhagavā dengan menjawab pertanyaan tentang doktrin guru kami sendiri.”

9. “Baiklah, Udāyin, apakah yang diajarkan dalam doktrin gurumu sendiri?”

“Yang Mulia, ini diajarkan dalam doktrin guru kami: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna, ini adalah kecemerlangan  sempurna!’”

“Tetapi, Udāyin, karena diajarkan dalam doktrin guru kalian sendiri: ‘Ini adalah kecemerlangan  sempurna, ini adalah kecemerlangan  sempurna!’ – apakah kecemerlangan  sempurna itu?”

“Yang Mulia, kecemerlangan  itu adalah kecemerlangan  sempurna yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan  lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia.”

“Tetapi, Udāyin, apakah kecemerlangan itu yang yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan  lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia?” [33]

“Yang Mulia, kecemerlangan itu adalah kecemerlangan sempurna yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan  lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia.”

10. “Udāyin, engkau dapat melanjutkan cara ini untuk waktu yang lama. Engkau mengatakan: ‘Yang Mulia, kecemerlangan  itu adalah kecemerlangan  sempurna yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan  lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia,’ namun engkau tidak menunjukkan apa kecemerlangan  itu. Misalnya seseorang mengatakan: “Aku jatuh cinta dengan gadis tercantik di negeri ini.’ Kemudian mereka bertanya kepadanya: ‘Tuan, gadis tercantik di negeri ini yang engkau cintai itu – apakah engkau mengetahui apakah ia berasal dari kasta mulia atau kasta brahmana atau kasta pedagang atau kasta pekerja?’dan ia menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian mereka bertanya kepadanya: Tuan, gadis tercantik di negeri ini yang engkau cintai itu – apakah engkau mengetahui nama dan sukunya? ... Apakah ia tinggi atau pendek atau sedang? ... Apakah ia berkulit gelap atau coklat atau keemasan? ... Di desa atau pemukiman atau kota apakah ia menetap?’ dan ia menjawab: ‘Tidak.’ Dan kemudian mereka bertanya kepadanya: ‘Tuan, kalau begitu apakah engkau mencintai gadis yang belum engkau kenal dan belum pernah engkau lihat?’ dan ia akan menjawab: ‘Benar.’ Bagaimana menurutmu, Udāyin, kalau begitu, bukankah kata-kata orang itu adalah omong-kosong belaka?”

“Tentu saja, Yang Mulia, kalau begitu, maka kata-kata orang itu adalah omong-kosong belaka.”

“Tetapi dengan cara yang sama, Udāyin, engkau mengatakan: ‘Kecemerlangan  itu adalah kecemerlangan  sempurna yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan  lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia,’ namun engkau tidak menunjukkan apa kecemerlangan  itu.”

11. “Yang Mulia, seperti halnya sebutir permata beryl sebening air yang paling murni, bersisi delapan, dipotong dengan baik, diletakkan di atas kain brokat merah, berkilau, bercahaya, dan bersinar, demikianlah kecemerlangan diri [yang tetap bertahan] tanpa rusak setelah kematian.”

12. “Bagaimana menurutmu, Udāyin? Permata beryl sebening air yang paling murni ini, yang bersisi delapan, dipotong dengan baik, diletakkan di atas kain brokat merah, [34] yang berkilau, bercahaya, dan bersinar, atau seekor kunang-kunang dalam kegelapan malam – dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?” – “Kunang-kunang dalam kegelapan malam, Yang Mulia.”

13. “Bagaimana menurutmu, Udāyin, kunang-kunang dalam kegelapan malam ini atau lampu minyak dalam kegelapan malam - dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?” – “Lampu minyak, Yang Mulia.”

14. “Bagaimana menurutmu, Udāyin, lampu minyak dalam kegelapan malam atau sebuah api unggun besar dalam kegelapan malam - dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?” – “Api unggun besar, Yang Mulia.”

15. “Bagaimana menurutmu, Udāyin, sebuah api unggun besar dalam kegelapan malam atau bintang pagi menjelang fajar di langit yang bersih tanpa awan - dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?” – “Bintang pagi menjelang fajar di langit yang bersih tanpa awan, Yang Mulia.”

16. “Bagaimana menurutmu, Udāyin, bintang pagi menjelang fajar di langit yang bersih tanpa awan atau bulan penuh di tengah malam di langit tanpa awan pada hari Uposatha tanggal lima belas - dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?” – “Bulan penuh di tengah malam di langit tanpa awan pada hari Uposatha tanggal lima belas, Yang Mulia.” [35]

17. “Bagaimana menurutmu, Udāyin, bulan penuh di tengah malam di langit tanpa awan pada hari Uposatha tanggal lima belas atau matahari penuh di tengah hari di langit tanpa awan di musim gugur di bulan terakhir musim hujan - dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?” – “Matahari penuh di tengah hari di langit tanpa awan di musim gugur di bulan terakhir musim hujan, Yang Mulia.”

18. “Di atas ini, Udāyin, Aku mengetahui banyak para dewa [yang cahayanya] tidak dapat ditandingi oleh matahari dan bulan, namun Aku tidak mengatakan bahwa tidak ada kecemerlangan yang lebih tinggi atau lebih mulia daripada kecemerlangan itu. Tetapi engkau, Udāyin, mengatakan kecemerlangan yang lebih rendah dan lebih hina daripada kecemerlangan kunang-kunang: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna,’ tetapi engkau tidak menunjukkan apa kecemerlangan itu.”

19. “Sang Bhagavā telah menghentikan diskusi; Yang Sempurna telah menghentikan diskusi.”

“Tetapi, Udāyin, mengapa engkau berkata begitu?”

“Yang Mulia, telah diajarkan dalam doktrin guru-guru kami: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna, ini adalah kecemerlangan sempurna.’ Tetapi ketika didesak dan dipertanyakan dan diperdebatkan tentang doktrin guru-guru kami oleh Sang Bhagavā, kami terbukti kosong, hampa, dan keliru.”

--------------
Bersambung *****
« Last Edit: 21 September 2010, 11:51:13 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
79 Culasakuludayi Sutta
« Reply #42 on: 12 September 2010, 10:43:09 AM »
Lanjutan 79  Cūḷasakuludāyi Sutta
-------------------------------------
20. “Bagaimanakah, Udāyin, adakah suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan? Adakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”

“Yang Mulia, telah diajarkan dalam doktrin guru-guru kami: ‘Ada suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan; ada cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.’”

21. “Tetapi, Udāyin, bagaimanakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”

“Di sini, Yang Mulia, dengan meninggalkan membunuh makhluk-makhluk hidup, seseorang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; dengan meninggalkan melakukan hubungan seksual yang salah, ia menghindari melakukan hubungan seksual yang salah; [36] dengan meninggalkan ucapan salah, ia menghindari ucapan salah; atau kalau tidak, ia menjalani beberapa jenis praktik pertapaan. Ini adalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”

22. “Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia meninggalkan membunuh makhluk-makhluk hidup dan menghindari makhluk-makhluk hidup, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”

“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan … Pada saat ia melakukan hubungan seksual yang salah … Pada saat ia meninggalkan ucapan salah dan menghindari ucapan salah, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”

“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia menjalani beberapa jenis praktik pertapaan, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”

“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Apakah pencapaian alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu terjadi dengan mengikuti jalan yang bercampur antara kenikmatan dan kesakitan?”

23. “Sang Bhagavā telah menghentikan diskusi; Yang Sempurna telah menghentikan diskusi.”

“Tetapi, Udāyin, mengapa engkau berkata begitu?”

“Yang Mulia, telah diajarkan dalam doktrin guru-guru kami: ‘Ada suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan; ada cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.’” Tetapi ketika didesak dan dipertanyakan dan diperdebatkan tentang doktrin guru-guru kami oleh Sang Bhagavā, kami terbukti kosong, hampa, dan keliru. Tetapi bagaimanakah, Yang Mulia, adakah suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan? Adakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?” [37]

24. “Ada suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan, Udāyin, ada cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”

“Yang Mulia, bagaimanakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”

25. “Di sini, Udāyin, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … dalam jhāna ke tiga … ini adalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”

“Yang Mulia, itu bukan cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu; pada titik itu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu telah tercapai.”

“Udāyin, pada titik itu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu belum tercapai; itu hanyalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”

26. Ketika hal ini dikatakan, kelompok Pengembara Sakuludāyin menjadi ribut, berisik dan berbicara dengan suara keras: “Kami telah lama tersesat dalam doktrin guru-guru kami! Kami telah lama tersesat dalam doktrin guru-guru kami! Kami tidak mengetahui yang lebih tinggi daripada itu!”

Kemudian Pengembara Sakuludāyin menenangkan para pengembara itu dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

27. “Yang Mulia, pada titik manakah alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu tercapai?”

“Di sini, Udāyin, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia berdiam bersama dengan para dewa yang telah muncul dalam alam yang sepenuhnya nikmat dan ia berbicara kepada mereka dan berbincang-bincang dengan mereka.  Pada titik ini alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu telah tercapai.”

28. “Yang Mulia, tentu adalah demi mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā.”

“Bukan demi mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu. Ada kondisi-kondisi lain, Udāyin, yang lebih tinggi dan lebih mulia [daripada itu] dan adalah demi mencapai itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.” [38]

“Apakah kondisi-kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia itu, Yang Mulia, yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā?”

29-36. “Di sini, Udāyin, seorang Tathāgata telah muncul di dunia, sempurna, tercerahkan sempurna … (seperti sutta 51, §§12-19) … ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

37. “Setelah meninggalkan kelima rintangan, ketidak-sempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Ini, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.

38-40. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.

41. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti sutta 51, §24) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.

42. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (seperti sutta 51, §25) …. Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.

43. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … (seperti sutta 51, §26) [39] … ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

44. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.

“Ini, Udāyin, adalah kondisi-kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.”

45. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Sakuludāyin berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita adalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, aku ingin menerima penahbisan penuh.”

46. Ketika hal ini dikatakan, kelompok Pengembara Sakuludāyin berkata kepadanya sebagai berikut: “Jangan menjalani kehidupan suci di bawah Petapa Gotama, Guru Udāyin, setelah menjadi guru, Guru Udāyin, janganlah hidup sebagai seorang murid. Karena jika Guru Udāyin melakukan hal itu maka itu bagaikan sebuah kendi air yang menjadi cangkir. Jangan menjalani kehidupan suci di bawah Petapa Gotama, Guru Udāyin, setelah menjadi guru, Guru Udāyin, janganlah hidup sebagai seorang murid.”

Demikianlah bagaimana kelompok Pengembara Sakuludāyin menghalanginya menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā.
« Last Edit: 21 September 2010, 11:52:22 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
80 Vekhanassa Sutta
« Reply #43 on: 12 September 2010, 10:45:53 AM »
80 Vekhanassa Sutta
Kepada Vekhanassa

[40] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Pengembara Vekhanassa mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar-sapa dengan Beliau.  Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia berdiri di satu sisi dan di hadapan Sang Bhagavā ia mengucapkan seruan ini:

“Ini adalah kecemerlangan sempurna, ini adalah kecemerlangan sempurna!”

“Tetapi, Kaccāna, mengapa engkau berkata: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna, ini adalah kecemerlangan sempurna!’? Apakah kecemerlangan sempurna itu?”

“Guru Gotama, kecemerlangan itu adalah kecemerlangan  sempurna yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan  lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia.”

“Tetapi, Kaccāna, apakah kecemerlangan itu yang yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan  lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia?”

“Guru Gotama, kecemerlangan itu adalah kecemerlangan sempurna yang tidak tertandingi oleh kecemerlangan  lainnya yang lebih tinggi atau lebih mulia.”

3-11. “Kaccāna, engkau dapat melanjutkan cara ini untuk waktu yang lama … (seperti Sutta 79, §§10-18) … namun engkau tidak menunjukkan apa kecemerlangan  itu.

12. “Kaccāna, ada lima utas kenikmatan indria ini.  Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan [43] yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

13. “Sekarang, Kaccāna, kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini disebut kenikmatan indria. Demikianlah kenikmatan indria [muncul] melalui kenikmatan indria, tetapi di luar  kenikmatan indria ini terdapat suatu kenikmatan yang berada di puncak indria, dan itu dinyatakan sebagai yang tertinggi di antara kenikmatan-kenikmatan itu.”

14. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Vekhabassa berkata: “Sungguh mengagumkan, Guru Gotama, sungguh menakjubkan, betapa baiknya hal itu dikatakan oleh Guru Gotama: ‘Demikianlah kenikmatan indria [muncul] melalui kenikmatan indria, tetapi di luar  kenikmatan indria ini terdapat suatu kenikmatan yang berada di puncak indria, dan itu dinyatakan sebagai yang tertinggi di antara kenikmatan-kenikmatan itu.’

“Kaccāna, bagimu yang adalah penganut pandangan lain, yang menerima ajaran lain, yang menyetujui ajaran lain, yang menekuni latihan yang berbeda, yang mengikuti guru yang berbeda, adalah sulit untuk mengetahui apa indriawi itu, atau apa kenikmatan indria itu. Tetapi para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan itu, yang telah menjalani kehidupan suci, yang telah melakukan apa yang harus dilakukan, yang telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – adalah mereka yang mengetahui apa indriawi itu, apa kenikmatan indria itu, atau apa kenikmatan di puncak indriawi itu.”

15. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Vekhanassa marah dan tidak senang, dan ia mencaci, menghina, dan mencela Sang Bhagava, dengan mengatakan: “Petapa Gotama akan dikalahkan.” Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Kalau begitu ada beberapa petapa dan brahmana di sini yang, tanpa mengetahui masa lampau dan tanpa melihat masa depan, namun mengaku: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Apa yang mereka katakan terbukti menggelikan; terbukti hanya kata-kata, kosong melompong.”

16. “Jika ada petapa dan brahmana[44], tanpa mengetahui masa lampau dan tanpa melihat masa depan, namun mengaku: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Mereka dapat dibantah secara logika. Sebaliknya, biarkanlah masa lampau, Kaccana, dan biarkanlah masa depan. Silahkan seorang bijaksana datang, seorang yang jujur dan tulus, seorang yang bermoral. Aku akan memberinya instruksi, Aku akan mengajarkan Dhamma kepadanya sedemikian sehingga dengan mempraktikkan sesuai yang diinstruksikan maka ia akan segera mengetahui dan melihat untuk dirinya sendiri: ‘Demikianlah, sungguh, benar-benar ada kebebasan dari belenggu, yaitu, dari belenggu kebodohan.’ Misalkan, Kaccāna, ada seorang bayi lembut yang berbaring telungkup, terikat oleh belenggu yang kuat [pada keempat tangan dan kakinya] dengan yang ke lima di lehernya; dan kemudian, sebagai akibat dari pertumbuhan dan kematangan indria-indrianya, belenggu itu menjadi kendur, kemudian ia akan mengetahui ‘aku bebas’ dan tidak ada lagi belenggu. Demikian pula, silahkan seorang bijaksana datang ... ‘Demikianlah, sungguh, benar-benar ada kebebasan dari belenggu, yaitu, dari belenggu kebodohan.’”

17. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Vekhanassa berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma  ... (seperti Sutta 74, §19) .. agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Sang Bhagavā mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
« Last Edit: 21 September 2010, 11:53:39 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
81 Ghatikara Sutta
« Reply #44 on: 12 September 2010, 10:46:57 AM »
81  Ghaṭīkāra Sutta
Ghaṭīkāra si Pengrajin Tembikar

[45] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di antara penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu.

2. Kemudian Sang Bhagavā meninggalkan jalan utama dan, di suatu tempat tertentu, Beliau tersenyum. Yang Mulia Ānanda berpikir: “Apakah alasannya, apakah sebabnya, Sang Bhagavā tersenyun? Tathāgata tidak tersenyum tanpa alasan.” Maka ia merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan bertanya kepada Beliau: “Yang Mulia, apakah alasan, apakah sebab, bagi senyuman Sang Bhagavā? Tathāgata tidak tersenyum tanpa alasan.”

3. “Suatu ketika, Ānanda, di tempat yang sama ini terdapat sebuah kota niaga bernama Vebhalinga, dengan banyak penduduk dan ramai oleh orang. Pada saat itu Sang Bhagavā Kassapa yang sempurna dan tercerahkan sempurna, menetap di dekat kota niaga Vebhalinga. Adalah di sini, sesungguhnya, letak vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna; adalah di sini, sesungguhnya, Sang Bhagavā Kassapa yang sempurna dan tercerahkan sempurna, duduk dan menasihati Sangha para bhikkhu.”

4. Kemudian Yang Mulia Ānanda melipat jubahnya menjadi empat, dan menghamparkannya, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Kalau begitu, Yang Mulia, silahkan Sang Bhagavā duduk. Dengan demikian tempat ini akan telah digunakan oleh dua Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna.”

Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda sebagai berikut:

5. “Suatu ketika, Ānanda, di tempat ini terdapat sebuah kota niaga bernama Vebhalinga, dengan banyak penduduk dan ramai oleh orang. Pada saat itu Sang Bhagavā Kassapa yang sempurna dan tercerahkan sempurna, menetap di dekat kota niaga Vebhalinga. Adalah di sini, sesungguhnya, letak vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna; adalah di sini, sesungguhnya, Sang Bhagavā Kassapa yang sempurna dan tercerahkan sempurna, duduk [46] dan menasihati Sangha para bhikkhu.”

6. “Di Vebhalinga Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memiliki seorang penyokong, sebagai penyokong utamanya, seorang pengrajin tembikar bernama Ghaṭīkāra, Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar memiliki seorang teman, seorang sahabat, seorang siswa brahmana bernama Jotipāla.

“Suatu hari si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berkata kpada si murid brahmana Jotipāla sebagai berikut: ‘Sahabatku Jotipāla, marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’ Murid brahmana Jotipāla menjawab: ‘Cukup, sahabatku Ghaṭīkāra, apa gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’

“Untuk ke dua dan ke tiga kalinya si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berkata: ‘Sahabatku Jotipāla, marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’ Dan untuk ke dua dan ke tiga kalinya murid brahmana Jotipāla menjawab: ‘Cukup, sahabatku Ghaṭīkāra, apa gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’ – ‘Kalau begitu, Sahabatku Jotipāla, mari kita membawa alat gosok dan bubuk mandi dan pergi ke sungai untuk mandi.’ – ‘Baiklah,’ Jotipāla menjawab.

7. “Maka si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra dan murid brahmana Jotipāla membawa alat gosok dan bubuk mandi dan pergi ke sungai untuk mandi. Kemudian Ghaṭīkāra berkata kepada Jotipāla: ‘Sahabatku Jotipāla, terdapat vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, di dekat sini. Marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’ Jotipāla menjawab: ‘Cukup, sahabatku Ghaṭīkāra, apa [47] gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’

“Untuk ke dua dan ke tiga kalinya si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berkata: ‘Sahabatku Jotipāla, terdapat vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna ...’ Dan untuk ke dua dan ke tiga kalinya murid brahmana Jotipāla menjawab: ‘Cukup, sahabatku Ghaṭīkāra, apa gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’

8. “Kemudian pengrajin tembikar Ghaṭīkāra mencengkeram si murid brahmana Jotipāla pada sabuk pinggangnya dan berkata: ‘Sahabatku Jotipāla, terdapat vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, di dekat sini. Marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’ Kemudian murid brahmana Jotipāla melepaskan sabuk pinggangnya dan berkata: ‘Cukup, sahabatku Ghaṭīkāra, apa gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’

9. “Kemudian, ketika murid brahmana Jotipāla telah mencuci kepalanya, si pengrajin tembikar Ghaṭikāra mencengkeramnya pada rambutnya dan berkata:  ‘Sahabatku Jotipāla, terdapat vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, di dekat sini. Marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’

“Kemudian si murid brahmana Jotipāla berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan bahwa si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra ini, yang berkelahiran rendah, berani mencengkeram rambutku ketika kami telah mencuci kepala kami! Tentu ini bukan persoalan sederhana.’ Dan ia berkata kepada si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra: ‘Engkau melakukan sejauh ini, sahabatku Ghaṭīkāra?’ – ‘Aku melakukan sejauh ini, sahabatku Jotipāla; karena aku sangat meyakini [48] bahwa adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna!’ – ‘Kalau begitu, sahabatku Ghatīkāra, lepaskan aku. Mari kita menemui Beliau.’

10. “Kemudian Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar dan Jotipāla si murid brahmana mendatangi Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Ghaṭīkāra, setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, sementara Jotipāla saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah itu berakhir, ia juga duduk di satu sisi. Kemudian Ghaṭīkāra berkata kepada Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna: ‘Yang Mulia, ini adalah murid brahmana Jotipāla, temanku, sahabat baikku. Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadanya.’

“Kemudian Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar dan Jotipāla di murid braahmana dengan pembabaran Dhamma. Di akhir pembabaran itu, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā Kassapa, mereka bangkit dari duduk dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, mereka pergi.

11. “Kemudian Jotipāla bertanya kepada Ghaṭīkāra: ‘Setelah engkau mendengarkan Dhamma ini, Sahabatku Ghaṭīkāra, mengapa engkau tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah? – ‘Sahabatku Jotipāla, tidakkah engkau tahu bahwa aku harus menyokong kedua orangtuaku yang jompo dan buta?’ – ‘Kalau begitu, sahabatku Ghaṭīkāra, aku akan meninggalkan keduniawian kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’

12. “Kemudian Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar dan Jotipāla si murid brahmana mendatangi Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna.  [49] Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar berkata kepada Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna: ‘Yang Mulia, ini adalah murid brahmana Jotipāla, temanku, sahabat baikku. Sudilah Sang Bhagavā memberikannya pelepasan keduniawian.’ Dan murid brahmana Jotipāla menerima pelepasan keduniawian dari Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna dan ia menerima penahbisan penuh.

13. “Kemudian tidak lama setelah Jotipāla si murid brahmana menerima penahbisan penuh, setengah bulan setelah ia menerima penahbisan penuh, Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, setelah menetap di Vebhalinga selama yang Beliau kehendaki, melakukan perjalanan menuju Benares. Dengan mengembara secara bertahap, akhirnya Beliau tiba di Benares, dan di sana Beliau menetap di Taman Rusa Isipatana.

14. “Kemudiam Raja Kikī dari Kāsi mendengar: ‘Sepertinya bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, telah tiba di Benarres dan menetap di Taman Rusa di Isipatana.’ Maka ia menyiapkan sejumlah kereta kerajaan, dan dengan mengendarai kereta kerajaan, ia pergi keluar dari Benareas dengan segala kemegahan kerajaan untuk menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Ia berkendara hingga sejauh jalan yang dapat dilalui oleh kereta, dan kemudian ia turun dari keretanya dan melanjutkan dengan berjalan kaki ke tempat Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan Raja Kikī dari Kāsi dengan pembabaran Dhamma.

15. “Pada akhir pembabaran itu, Raja Kikī dari Kāsi berkata: [50] ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagava bersama Sangha para bhikkhu menerima makanan dariKu besok.’ Dan Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, menerima dengan berdiam diri. Kemudian, mengetahui bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, telah menerima, ia bangkit dari duduknya dan setelah bersujud kepada Beliau, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

16. “Kemudian, ketika malam telah berlalu, Raja Kikī dari Kāsi mempersiapkan berbagai jenis makanan di tempat kediamannya – beras merah yang tersimpan dalam ikatan dan beras yg kehitaman dipisahkan, bersama dengan banyak kuah dan kari – dan ketika waktunya tiba, ia mengumumkan kepada Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, sebagai berikut: ‘Waktunya telah tiba, Yang Mulia, makanan telah siap.’

17. “Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, Beliau pergi bersama dengan Sangha para bhikkhu menuju kediaman Raja Kikī dari Kāsi dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Raja Kikī dari Kāsi melayani Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Buddha dengan berbagai jenis makanan baik hingga kenyang. Ketika Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, telah selesai makan dan telah menggeser mangkuknya ke samping, Raja Kikī dari Kāsi mengambil bangku yang rendah,  duduk di satu sisi dan berkata: ‘Yang Mulia, Sudilah Sang Bhagavā menerima dariku tempat tinggal selama musim hujan di Benares; akan ada pelayanan kepada Sangha.’ – ‘Cukup, raja, tempat tinggal selama musim hujan telah tersedia untukKu.’

“Untuk ke dua dan ke tiga kalinya Raja Kikī dari Kāsi berkata: Yang Mulia, Sudilah Sang Bhagavā menerima dariku tempat tinggal selama musim hujan di Benares; itu akan sangat membantu Sangha.’ – ‘Cukup, Baginda, tempat tinggal selama musim hujan telah tersedia untukKu.’

“Sang raja berpikir: ‘Sang Bhagavā Kassapa, [51] yang sempurna dan tercerahkan sempurna, tidak menerima dariku tempat tinggal selama musim hujan di Benares,’ dan ia menjadi sangat kecewa dan sedih.

18. “Kemudian ia berkata: ‘Yang Mulia, apakah Engkau memiliki penyokong yang lebih baik daripada aku?‘ – ‘Benar, Baginda. Ada sebuah kota niaga yang bernama Vebhalinga di mana seorang pengrajin tembikar bernama Ghaṭīkāra menetap. Ia adalah penyokongKu, penyokong utamaKu. Sekarang engkau, Baginda, berpikir: “Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, tidak menerima dariku tempat tinggal selama musim hujan di Benares,” dan engkau menjadi sangat kecewa dan sedih; tetapi si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra tidak dan tidak akan demikian. Pengrajin tembikar Ghaṭīkāra telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari mengucapkan ucapan salah, dan menghindari anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi dasar bagi kelengahan. Ia memiliki keyakinan yang tidak tergoyahkan di dalam Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan ia memiliki moralitas yang disukai oleh para mulia. Ia terbebas dari keragu-raguan mengenai penderitaan, mengenai asal-mula penderitaan, mengenai lenyapnya penderitaan, dan mengenai jalan menuju lenyapnya penderitaan. Ia hanya makan satu kali dalam sehari, ia menjalani kehidupan selibat, ia bermoral, berkarakter baik. Ia telah meninggalkan permata dan emas, ia telah meninggalkan emas dan perak. Ia tidak menggali tanah untuk memperoleh tanah liat dengan alat penggali maupun dengan tangannya sendiri; apa yang runtuh dari tepi sungai atau yang digali oleh tikus-tikus, ia bawa ke rumah dengan menggunakan alat pengangkut; ketika ia telah membuat sebuah kendi ia berkata: “Silahkan  siapa pun yang menginginkannya meletakkan beras pilihan atau biji-bijian pilihan atau kacang pilihan, dan silahkan ia mengambil apa pun yang ia inginkan.”  Ia menyokong kedua orangtuanya yang jompo dan buta. [52] Setelah menghancurkan lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang akan muncul secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.

19. “’Pada saat itu ketika Aku sedang menetap di Vebhalinga, pada suatu pagi, Aku merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarKu, Aku mendatangi kedua orangtua si pengrajin tembikar Ghaṭikāra dan bertanya kepada mereka: “Ke manakah, si pengrajin tembikar pergi?” – “Yang Mulia, penyokongmu telah pergi; tetapi ambillah nasi dari kuali dan kuah dari panci dan makanlah.”

“’Aku melakukannya dan pergi. Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra menghadap kedua orangtuanya dan bertanya: “Siapakah yang telah mengambil nasi dari kuali dan kuah dari panci, makan dan pergi?” – “Anakku, Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, yang melakukannya.”

“’Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berpikir: “Sungguh suatu keuntungan bagiku, sungguh suatu keuntungan besar bagiku bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, begitu mempercayaiku!” dan kegembiraan dan kebahagiaan tidak pernah meninggalkannya selama setengah bulan atau kedua orangtuanya selama seminggu.

20. “’Pada kesempatan lain ketika Aku sedang menetap di Vebhalinga, pada suatu pagi, Aku merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarKu, Aku mendatangi kedua orangtua si pengrajin tembikar Ghaṭikāra dan bertanya kepada mereka: “Ke manakah, si pengrajin tembikar pergi?” – “Yang Mulia, penyokongmu telah pergi; tetapi ambillah nasi dari kuali dan kuah dari panci dan makanlah.”

“’Aku melakukannya [53] dan pergi. Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra menghadap kedua orangtuanya dan bertanya: “Siapakah yang telah mengambil nasi dari kuali dan kuah dari panci, makan dan pergi?” – “Anakku, Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, yang melakukannya.”

“’Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berpikir: “Sungguh suatu keuntungan bagiku, sungguh suatu keuntungan besar bagiku bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, begitu mempercayaiku!” dan kegembiraan dan kebahagiaan tidak pernah meninggalkannya selama setengah bulan atau kedua orangtuanya selama seminggu.

21. “’Pada kesempatan lain ketika Aku sedang menetap di Vebhalinga, gubukKu bocor. Kemudian Aku berkata kepada para bhikkhu: “Pergilah, para bhikkhu, dan cari apakah ada rerumputan di rumah si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra.” – “Yang Mulia, tidak ada rumput di rumah si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra; tetapi ada atap rumput di seluruh bangunan tempat kerjanya.” – “Pergilah, para bhikkhu, dan ambillah rumput dari bangunan tempat kerja si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra.”

“’Mereka melakukan hal itu, kemudian orangtua si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra bertanya kepada para bhikkhu: “Siapakah yang mengambil rumput dari bangunan tempat kerja?” – “Saudari, gubuk Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, bocor.” – “Ambillah, para mulia, ambillah!”

“’Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra mendatangi orangtuanya dan bertanya: “Siapakah yang mengambil rumput dari bangunan tempat kerja?” – “Para bhikkhu yang melakukannya, anakku; gubuk  Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, bocor.”

“’Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berpikir: “Sungguh suatu keuntungan bagiku, sungguh suatu keuntungan besar bagiku bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, begitu mempercayaiku!” dan [54] kegembiraan dan kebahagiaan tidak pernah meninggalkannya selama setengah bulan atau kedua orangtuanya selama seminggu. Kemudian bangunan tempat kerja itu tetap begitu selama tiga bulan dengan langit sebagai atapnya, namun tidak ada turun hujan. Demikianlah si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra.’

“Adalah suatu keuntungan bagi si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra, adalah suatu keuntungan besar baginya bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, begitu mengandalkannya.’

22. “Kemudian Raja Kikī dari Kāsi mengirimkan kepada si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra sejumlah lima ratus kereta beras merah yang tersimpan dalam ikatan, dan juga bahan-bahan kuah. Kemudian para utusan raja mendatangi si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra dan berkata: ‘Tuan, ada lima ratus kereta beras merah yang tersimpan dalam ikatan, dan juga bahan-bahan kuah, dikirimkan kepadamu oleh Raja Kikī dari Kāsi; mohon anda menerimanya.’ – ‘Raja sangat sibuk dan banyak yang harus ia lakukan. Aku sudah memiliki cukup. Biarlah ini untuk sang raja sendiri.’

23. “Sekarang, Ānanda, engkau mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Pasti, seorang lain adalah si murid brahmana Jotipāla pada saat itu.’ Tetapi jangan engkau beranggapan begitu. Aku adalah murid brahmana Jotipāla pada saat itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 21 September 2010, 11:55:12 AM by Hendra Susanto »