//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - NOYA

Pages: [1] 2 3 4 5
1
Diskusi Umum / Re: Diskriminasi Perempuan Buddhis
« on: 02 April 2011, 06:46:01 PM »
UNEK UNEK SAYA SEBAGAI WANITA  :))

Sang Buddah tidak diskriminatif, tidak gender bias! Ini kunci yang perlu kita pegang.

Dibandingkan dengan ajaran agama lain, agama Buddha paling respect terhadap wanita. Pengakuan bahwa  kesempatan wanita dalam merealisasi tujuan tertinggi (Nibbāna) oleh Sang Buddha adalah point yang luar biasa.

Kalaupun ada "SLIGHT diskriminasi" adalah pada masa selanjutnya oleh umat Buddha dan dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya dimana agama Buddha berkembang. Misalnya saja, sekarang ini ada  praktek bahwa wanita tidak boleh naik ke areal pohon Bodhi (bisa ditanyakan kepada para bhikkhu yang tinggal di Sri Lanka). Tetapi ini bukanlah Sang Buddha dan bukan agama Buddha yang mengajarkan demikian. Ini adalah praktek yang sudah dipengaruhi kultur daerah.


Pada saat membaca beberapa Buddhis literature (tentang ajaran yang mengatakan bahwa sasana akan berumur 500 tahun karena wanita menjadi bhikkhuni,  tentang ketidakmungkinan wanita menjadi Buddha dan menjadi cakkavati) memang kadang saya bertanya "oh...apakah ini karena wanita lebih rendah dari pria?" Misalnya pada saat membaca konsep Raja Cakkavatti. Dikatakan dengan tegas bahwa wanita tidak bisa menjadi raja cakkavatti (Aṭṭhānametaṃ, bhikkhave, anavakāso yaṃ itthī rājā assa cakkavattī. Netaṃ ṭhānaṃ vijjati. Ṭhānañca kho etaṃ, bhikkhave, vijjati yaṃ puriso rājā assa cakkavattī. Ṭhānametaṃ vijjatī’’. A.N. I. 28.)

Hal ini harus disikapi dengan cara positive thinking oleh wanita. Pertama, Sang Buddha tidak melarang wanita menjadi Raja. Nah konsep ini yang harus dimaknai secara positive oleh wanita bahwa kita bisa menjadi pemimpin. Walaupun tidak dapat mendapat julukan cakkavatti, tetapi wanita dapat menjadi raja besar.  Dalam teori tentang kepemimpinan, Sang Buddha mengajarkan bahwa semua raja (raja pria dan wanita) memenuhi kewajiban dengan baik seperti: berlaku sesuai Dhamma dan menyejahterakan rakyatnya (dhammikaṃ-rakkhāvaraṇāguttiṃ. A.N.I. 109) pastilah akan dicintai rakyatnya dan menjadi raja besar.

Melihat konsep bahwa wanita tidak bisa menjadi Buddha (A.N. I. 28), hal ini tidak berati bahwa wanita tidak bisa mencapai kesucian tertinggi. Tentu banyak sutta dan cerita di Therigātha yang dapat dijadikan bukti.

So, para wanita mari berpikir positif. Dan kepada semuanya (pria dan wanita), mari menjadi sadar gender. Gender adalah membedakan wanita dan pria berdasarkan cultur sosial. Secara faktor bilogi, memang kita berbeda, tetapi kita tetap mempunyai potensi yang sama untuk merealisasi kebenaran. 

Pria dan wanita kan sama-sama kumpulan pancakkhandha yang sedang berjuang mencapai Nibbāna.  :-?

2
Diskusi Umum / Re: Buddhists believes in Gods, too
« on: 23 October 2010, 10:39:11 AM »
article ttg God (Tuhan) dan gods (deva)

Ini bisa dilihat dari link ini: http://www.buddhanet.net/e-learning/dharmadata/fdd37.htm

Buddhism could be described as a non-theistic religion in that it considers belief in an omniscient, omnipotent creator God to be both untenable and unnecessary. The Buddha himself and many later Buddhist thinkers used a variety of arguments, many of them similar to those used in Western philosophy, to highlight the problems with the God idea. God's supposed omniscience implies man's predetermination which makes the idea of trying to do good and to avoid evil meaningless. The existence of an omnipotent loving God is negated by the terrible suffering that is found in the world. The supposed miracles, divine interventions and visions that are used to prove God's existence could just as easily be given some other explanation. Each religion affirms the existence of its God while denying the existence of all alternative Gods. If we accept one religion's argument for the existence of its God then we should accept the other religious arguments also, as they are all basically the same. And if we do this we would have to believe in many Gods.

If on the other hand, we accept one religious argument against the existence of alternative Gods then we should accept the other religious arguments as they too are basically the same. And if we did this we would have to believe that there were no Gods etc. etc. But far more important than these logical arguments is the fact that the origins of the universe, the moral order and man's destiny and salvation can be satisfactorily explained without the need to introduce the idea of a supreme being that is responsible for them all.

Buddhism does however accept the existence of a heaven, one of the six realms of existence, in which dwell many lesser gods. As these are neither omnipotent or omniscient or even particularly good or wise, they may be able to help humans obtain material benefits but they cannot help in the quest for Nirvana. Only in the Tantrayana tradition are gods seen as being spiritually superior to humans.

Buku Buddhis lain yang mendiskusikan masalah ini misalnya:

Nyanaponika, Buddhism and the God Idea. Kandy, 1981;

H. Von Glasenapp, Buddhism - A Non Theistic Religion.

M.M.J. Marasinghe, Gods in Early Buddhism. Colombo, 1974.
Buku yang ketiga ini sangat bagus dan menjelaskan ttg gods dalam perspective Early Buddhism dengan sangat detail.


3
Lingkungan / Temu Lawak (Curcuma xanthorrhiza) Diklaim USA
« on: 23 October 2010, 10:26:50 AM »
Temu Lawak (Curcuma xanthorrhiza) Diklaim USA

http://www.kabarinews.com/article.cfm?articleID=35754

Bagi yang pernah minum jamu, pasti tahu jenis rempah ini, ya ini adalah temulawak yang biasanya digunakan untuk campuran jamu tradisional atau jamu instan yang banyak dijual di pasaran.

Temulawak atau yang bernama latin Curcuma xanthorrhiza ini banyak dikenal orang tumbuh dan berasal dari Indonesia. Tapi kenapa yang memiliki hak paten justru Amerika Serikat? Hal ini sangat dirisaukan produsen jamu tanah air, apa jadinya jika tanaman salah satu bahan jamu ternyata dipatenkan negara asing.

Kerisauan itu membuat Koordinator Masyarakat Bangga Produk Indonesia, Alvin Lie, menyambangi DPR, di kantor wakil rakyat itu, ia mengunggapkan kerisaunnya “ Industri jamu tradisional terancam. Apa jadinya industri jamu kalau digugat AS? Mau dibawa kemana Industri kita?” ungkapnya di ruang pers DPR, Senayan Kamis (21/10).

Temulawak mempunyai khasiat yang luar biasa untuk kesehatan tubuh, yaitu bisa digunakan untuk anti inflamasi, anti hepatotoksik (kelainan hati), anti radang, dapat mengobati empedu, sembelit, wasir, diare dan juga untuk mencegah kanker.

Indonesia terkenal dengan negara yang kaya akan rempah, maka tidak jarang banyak macam rempah yang tumbuh di tanah air. Salah satu contoh yang masih berkaitan adalah sampai dengan saat ini obat kanker produksi luar negeri saja masih meminta pasokan bahan baku temulawak dari Indonesia.

Alvin Lie mendesak pemerintah untuk segera bertindak membela produk-produk industri dalam negeri. Menurutnya, ini bukan kasus pertama. Sebelumnya pada Mei 2010, kerajinan tangan tempurung kelapa yang merupakan kerajinan khas Indonesia dipatenkan oleh seorang warga Prancis yang ternyata setelah diusut ia pernah menjalin kemitraan dengan pengrajin Indonesia.

4
Penurunan Patung Budha di Vihara Tri Ratna Kota Tanjung Balai
Sumatera Utara

 
Vihara Tri Ratna terletak di tengah kota Tanjung Balai persisnya di Jln. Asahan Tanjung Balai. Didirikan sejak tahun 2006 dengan luas bangunan 1432 m persegi yang terdiri dari 4 lantai. Vihara tersebut dibangun dengan IMB yang dikeluarkan oleh Walikota dengan No. 648/237/K/2006. Di atas lantai 4 Vihara tersebut didirkan Patung Budha Amitabha dengan tinggi 6 meter yang diresmikan sejak tanggal 8 November 2009. Patung Budha tersebut merupakan satu kesatuan dengan Vihara Tri Ratna. Saat ini Vihara Tri Ratna merupakan satu-satunya Vihara di Kota Tanjung Balai yang melayani sekitar 2.000 orang Umat Budha. Selain Vihara, di Kota Tanjung Balai juga terdapat 3 klenteng sebagai tempat sembahyang Umat Budha.

Semenjak diresmikan, Vihara tersebut digunakan sebagai tempat ibadah umat Budha dengan nyaman, hingga kenyamanan tersebut mulai terusik ketika pada tanggal 30 Mei 2010 dan 29 Juni 2010 beberapa ormas Islam yang tergabung dalam Gerakan Islam Bersatu melakukan demonstrasi ke Kantor DPRD dan Walikota Tanjung Balai mendesak pemerintah menurunkan Patung Budha dengan alasan bahwa keberadaan patung tersebut tidak mencerminkan kesan islami di Kota Tanjung Balai dan dapat mengganggu keharmonisan di tengah-tengah masyarakat.

Aksi tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak sehingga mendorong pemerintah dan organisasi keagamaan melakukan berbagai langkah yang ditandai dengan adanya berbagai surat untuk menyikapi persoalan tersebut. Beberapa surat yang berhasil kami dokumentasikan dapat terlihat sebagai berikut:

Tanggal 3 Juni 2010 surat dari FKUB Sumut No. 60.0-1/FKUB-I/VI/2010 perihal himbauan kepada FKUB Tanjung Balai dan masyarakat agar proaktif  menangani kasus penurunan Patung Budha Amitabha dan mengajak masyarakat menjaga situasi tetap kondusif, tidak melakukan tindakan anarkis dan menjaga perdamaian. Surat tersebut ditandatangani oleh: Drs.Kendro Yahya (Wakil Ketua/ Budha), J.A.Ferdinandus (Sekretaris / kr****n Protestan), Naransami, SH (Bendahara / Hindu), GS.Ir. Djohan Adjuan (wakil Bendahara / Konghuju), Drs. H. Arifinsyah, M.Aj (Anggota / Islam), Drs. Hubertus Lumban Batu (Anggota / ka****k).

Tanggal 8 Juni 2010 surat dari Kementrian Agama Dirjen Bimbingan Masyarakat (BIMMAS) Agama Budha dengan No.DJ.VI/3/BA.02/604/2010 yang ditujukan kepada Ketua Vihara Tri Ratna Kota Tanjung Balai. Inti dari surat tersebut adalah meminta supaya Patung Budha Amitabha dipindahkan kepelataran atau tempat lain yang terhormat.

Tanggal 12 Juni 2010 surat dari Yayasan Vihara Tri Ratna Tanjung Balai dengan No. 05/YVTR-VI/2010 yang ditujukan kepada Menteri Agama Dirjen BINMAS Agama Budha. Surat tersebut menanggapi Surat Menteri Agama dimana Yayasan Vihara Tri Ratna menyesalkan surat Menteri Agama yang meminta mereka untuk menurunkan Patung Budha. Sehubungan dengan hal tersebut, Yayasan Vihara Tri Ratna meminta Menteri Agama meninjau ulang surat tersebut karena Patung Budha merupakan satu kesatuan dengan Vihara dan selama ini tidak menimbulkan keresahan ditengah-tengah masyarakat.

Tanggal 16 Juni 2010 Surat dari Pengurus Daerah Majelis Budhayana Indonesia dengan No. 085/MDI-Sumut/VI/2010 yang ditujukan kepada Dirjen BIMMAS Umat Budha Kementrian Agama. Surat tersebut sangat  menyayangkan surat Dirjen BIMMAS kementerian Agama yang tidak mendengar pendapat berbagai pihak khususnya Umat Budha di Kota Tanjung Balai. Kota Tanjung Balai selama ini kondusif dan keberadaan Patung Budha selama ini tidak ada masalah dan sesuai dengan Izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh Walikota No.648/237/K/2006. Melalui surat ini MDI meminta Dirjen BIMMAS Agama Budha Kementrian Agama agar menarik kembali surat tersebut. Surat tersebut ditandatangani oleh pengurusnya yang terdiri dari: Upa. Ir. Ony Indra Kusuma, MBS
(Ketua), Upa. Triadi Armin Utama, SP (Sekretaris).

Tanggal 23 Juni 2010 surat dari Kementrian Agama RI Dirjen Binmas Agama Budha yang ditujukan kepada Ketua Vihara Tri Ratna dengan No. DJ.VI/3/BA.02/680/2010 perihal pencabutan surat No. DJ.VI/3/BA.02/604/2010 dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Tanggal 13 Juli 2010 surat dari Kementrian Agama Dirjen Agama Budha No. DJ.VI/3/BA.02/361/2010 yang ditujukan kepada Kakanwil Kementrian Agama Provinsi Sumut perihal mohon bantuan penyelesaian masalah Patung Budha Vihara Tri Ratna agar dilakukan secara kekeluargaan.
Tanggal 15 Juli 2010 surat dari MUI Kota Tanjung Balai, ditujukan kepada Walikota Tanjung Balai dengan No.010/DP.11/S/VII/2010 perihal saran dan himbauan sehubungan dengan adanya keresahan masyarakat Tanjung Balai yang ditandai dengan adanya unjuk rasa elemen-elemen masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Islam Bersatu ke Kantor DPRD Tanjung Balai tanggal 30 Mei 2010 dan 29 Juni 2010 yang keberatan terhadap letak patung Budha Amitabha yang berada diatas lantai 4 Vihara Tri ratna di Jln. Asahan Kota Tanjung Balai. Mereka menilai bahwa pihak Vihara Tri Ratna tidak mengindahkan nilai-nilai agama, adat istiadat dan citra umat Islam Kota Tanjung Balai yang ada selama ini. Berdasarkan rapat Komisi Fatwa MUI Kota Tanjung Balai tanggal 14 Juli 2010 yang membahas masalah ini,

MUI meminta pemerintah agar segera menyelesaikan masalah patung tersebut agar kerukunan umat beragama tidak terkoyak koyak atau tercabik cabik, harmonis dan saling menghargai. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan No.8 tahun 2006 pasal 4 ayat 1 dan 2. Maka sehubungan dengan hal tersebut MUI sepakat dengan surat Menteri Agama yang meminta Ketua Vihara Tri Ratna agar memindahkan Patung Budha kepelataran vihara atau tempat lain yang terhormat karena umat islam melalui GIB menghendaki demikian. MUI juga menyesalkan surat Dirjen Binmas Agama Budha Kementrian Agama yang meminta mencabut surat sebelumnya karena mengganggu keharmonisan masyarakat.  Surat tersebut ditandangani oleh Komisi Fatwa MUI: Ustad. Syahlan Sitorus, BA (Ketua), Drs. H.Abd.Syadat saragih (Sekretaris), Diketahui Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI Tanjung Balai.

Tanggal 30 September 2010, surat Walikota Tanjung Balai yang ditujukan kepada Wakil Ketua DPRD, Kepala Kejaksaan, Kapolres, Dandim 0208 Asahan, Kakan Kementrian Agama Tanjung Balai, Ketua FKUB Kota Tanjung Balai, Ketua MUI dan Ketua Yayasan VIhara Tri Ratna No.100/18348/T-an/2010 perihal penyampaikan kesepakatan bersama penyelesaian permasalahan Patung Budha Amitabha. Sehubungan dengan hal tersebut Walikota telah memprakarsai penandatanganan kesepakatan bersama pada tanggal 3 agustus 2010 sebagai bagian dari tindak lanjut rapat koordinasi antara unsur Muspida Plus Kota Tanjung Balai dengan Komisi A DPRD Kota Tanjung Balai dan Gerakan Islam Bersatu pada hari Rabu 28 Juli 2010, rapat dengan pemuka agama Jumat 30 Juli 2010, Rapat Walikota dengan Pengurus Yayasan Vihara
Tri Ratna Senin, 2 agustus 2010 yang menyatakan memindahkan posisi patung Budha ketempat lain yang terhormat tanpa mengurangi kehormatan yang dilakukan oleh Pengurus Vihara. Kesepakatan ini dibuat tanggal 3 Agustus 2010.

 Tanggal 30 September 2010 surat dari Walikota Tanjung Balai yang ditujukan kepada Ketua Yayasan Vihara Tri Ratna dengan No. 100/18349/T-an/2010 perihal tindak lanjut kesepakatan bersama dan mempertanyakan mengapa pihak Yayasan Vihara Tri Ratna belum menurunkna Patung Budha. Walikota juga mengingatkan agar Pengurus Yayasan Vihara Tri Ratna sesegera mungkin menurunkan Patung Budha Amitabha sebagaimana disepakati dalam dalam surat kesepakatan bersama.
Peristiwa tersebut membuat Umat Budha Kota Tanjung Balai tidak nyaman untuk melaksanakan ibadahnya bahkan merasa terintimidasi. Bahkan beberapa hari ini menyebar issu jika Umat Budha tidak menurunkan Patung Budha tersebut maka kemungkinan Peristiwa 1998 (penjarahaan dan tindakan pelanggaran HAM lainnya yang terjadi kepada Komunitas Tionghoa) akan terulang kembali. Informasi yang diperoleh, Patung Budha Amitabha akan diturunkan paling lambat tanggal 9 November 2010.

            Untuk menjamin bahwa setiap warga Negara berhak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadahnya kami berharap Rekan-Rekan yang peduli terhadap persoalan pluralisme di Indonesia agar berkenan memberikan tekanan kepada Walikota Tanjung Balai dan Pejabat Sementara Ketua DPRD Tanjung Balai. Berikut adalah no.kontak Walikota dan Ketua DPRD Tanjung Balai yang bias dihubungi:
·         Walikota Tanjung Balai: dr.Sutrisno Hadi Sp.OG (081375930004).
·         Pjs. Ketua DPRD Tanjung Balai: Surya Dharma (085275540709)
 
Salam Perdamaian,
 
Veryanto Sitohang

Direktur Pelaksana Aliansi Sumut Bersatu

Hp: 08126593680
 

5
Lingkungan / Protes Pemindahan Patung Buddha di Sumatera Utara
« on: 20 October 2010, 06:36:29 PM »

Indonesian-Chinese protest removal of Buddha statue
http://www.thejakartapost.com/news/2010/10/20/indonesianchinese-protest-removal-buddha-statue.html

The Indonesian-Chinese community in Tanjung Balai municipality in North Sumatra has protested against the administration’s plan to dismantle a statute of Buddha on top of the Tri Ratna Temple.

Mayor Sutrisno Hadi has ordered that the statue be removed, claiming that this was called for by public pressures.

However, many suspect his policy is permeated with political motives.

For Buddhists, the mayor’s position is symptomatic of those who  seek to ignore or put aside their faith and a threat to the principle of unity in diversity.

W. Lie, from the Indonesian-Chinese community, said he was shocked to learn that the decision had been taken based on a joint agreement by officials and religious leaders, including the Buddhist community.

Lie acknowledged Buddhist representatives were involved in the joint agreement, but said their involvement was not based on their real wishes. According to Lie, temple leader Suwanto Saima was forced to sign the agreement under pressure.

”Unfortunately, we did not have the opportunity to ask who had intimidated him because he was hit by a pedicab from behind and died a week later,” Lie told The Jakarta Post on Tuesday.

Lie said that despite this agreement, the Buddhist community in Tanjung Balai did not agree that the statue be taken down, two years after it was put on top of the temple.

Lie added that the attempts to remove the statue had hurt the feelings of the Buddhist community.
“We won’t remove the statue. We don’t dare because this involves our faith. If the municipality wants to remove it, they can, because we cannot fight the government,” said Lie, adding the Indonesian-Chinese community of Buddhist faith in Tanjung Balai are currently afraid of provoking trouble for opposing this.

He added the majority of Buddhists in the city opted to keep silent to avoid controversy.

North Sumatra Joint Alliance managing director Veryanto Sitohang expressed concern saying this was linked to municipal elections.

”The mayor’s son is currently vying for the city’s top position. Based on information, he is being pressured by an Islamic organization to remove the statue as a condition of their support for his son’s candidacy as mayor,” Veryanto said.

The municipal election in August featured nine pairs. Based on the results Eka Hadi Sucipto (the mayor’s son)-Afrizal Zulkarnaen and Thamrin Munthe-Rolel Harahap should have gone to the second round but for protests over the elections.

The Constitutional Court on Sept. 29 ordered a rerun in 13 sub-districts because the Eka-Afrizal pair was proven to be involved in vote buying.

The rerun in 13 sub-districts will involve all nine candidate pairs but the election commission has yet to schedule it due to the lack of funds.

When asked about this Mayor Sutrisno said the issue of removing the statute was not linked to  elections.

”Removing the statue is purely reflecting public demand and has no connection with politics or the election,” Sutrisno told the Post.

Sutrisno said he had never instructed that the Buddha statue be dismantled following the joint agreement reached in August. He said every party, including the police, military and prosecutor’s office, were present when the agreement was signed.

“In the meeting, the temple caretakers said they were ready to remove the statue and move it to another place. The municipality has never intimidated them,” said Sutrisno.


6
Quote
nice post sis/bu/mbah....yg bener gimana ya...klo lihat foto profil kok pantasnya mbah, hayooo....mana yg bener....

Panggil apa saja boleh kok samaneri. Panggil 'Mbah' juga lebih cocok sama fotonya. hehe


Quote
untuk menyetarakan gender masih dibutuhkan perjuangan panjang, tidak hnya dlm politik saja, bahkan dlm dunia religi, keagamaan pun didominasi pria, lagi2 perempuan hnya kelas dua, bahkan tidak dipandang mata sama sekali, walaupun karya2nya juga tidak kalah, salah satu buktinya DIPAVAMSA lebih dulu 2 abad dibandingkan MAHAVAMSA, bahkan mahavamsa mengambil Dipavamsa sbg sumber referensinya.

Iya samaneri, perlu dilakukan disegala bidang; politik, religi, ekonomi dan sosial budaya. Penyetaraan ini bukan untuk mengungguli pria, tetapi kan 'katanya' untuk menempatkan pria dan wanita  pada posisi dan kapasitasnya masing2 TANPA ADANYA BIAS. Kayaknya kaum wanita juga harus tahu dan bisa menghadapi pernyataan dari 'beberapa pria' bahwa yang namanya kesetaraan gender (gender balance) hanyalah manifestasi dari egonya kaum perempuan saja.

Apa samaneri ada saran bagaimana kalau ada orang yang mengatakan bahwa ide penyetaraan gender hanyalah manifestasi dari egonya wanita saja?

7
Lingkungan / Beasiswa Penelitian dari Harvard Kennedy School
« on: 18 October 2010, 02:13:09 PM »
Beasiswa Penelitian dari Harvard Kennedy School

Harvard Kennedy School (HKS) Indonesia Program menawarkan beasiswa penelitian periode Januari-Juni 2011. Program beasiswa ini terbuka untuk para peneliti, akademisi maupun praktisi untuk mengikuti proyek-proyek penelitian independen di Rajawali Foundation Institute for Asia, yang merupakan bagian dari Ash Center for Democratic Governance and Innovation of the Harvard Kennedy School.

Kandidat yang sukses dalam seleksi beasiswa ini akan bergabung dengan komunitas-komunitas peneliti Asia terkait isu-isu penelitian yang ditekankan dalam program beasiswa penelitian ini. Kandidat akan memulai program ini pada 15 Januari sampai 15 Juni 2011.

Bagi yang berminat, peserta program asal Indonesia akan bergabung di dalam Ash Center for Democratic Governance and Innovation dan memiliki akses ke sistem perpustakaan Harvard University. Kandidat juga akan menerima sertifikat program ini tetapi tanpa disertai gelar tertentu.

Adapun skema beasiswa yang diberikan HKS antara lain tempat tinggal, asuransi kesehatan, dan honor bulanan. Tetapi, HKS tidak akan menanggung biaya transportasi internasional atau pra-keberangkatan dengan pesawat.

Informasi selengkapnya mengenai syarat dan ketentuan memperoleh beasiswa ini bisa lihat dan diunduh di situs www.ash.harvard.edu. Batas pengiriman aplikasi hanya sampai 29 Oktober 2010

8
Pengaruh Wanita dalam Kebijakan Pemerintah

Pengaruh wanita dalam kebijakan pemerintah lokal cukup tinggi, sehingga
sistem pemerintahan menjadi semakin inklusif, demokratis dan bebas dari kekerasan.

"Adanya wanita dalam dunia politik dan pemerintahan memberikan peluang transformasi kepemimpinan dengan menempatkan hal baru dalam agenda politik," kata pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Dyah Mutiarin, pada seminar Women in Local  Governance and it’s Contribution to Good Governance: Chalenges and Models to Global Governance di Yogyakarta, Jumat (15/10/2010).

Selain itu, pengalaman yang berhubungan dengan wanita juga memberikan perspektif baru dalam isu pemerintahan lokal dan definisi ulang prioritas politik yang mencerminkan dan merujuk pada nilai. Fakta menunjukkan pemerintahan lokal telah menjadi arena di mana wanita dapat memasuki dunia politik.  Wanita berhasil menjadi politisi mengingat mereka memperoleh suara melalui kepemimpinan dan partispasinya.

"Padaabad ke-21 peran wanita di berbagai sektor telah berkembang terutama dalam sektor pemerintahan lokal. Kondisi itu menunjukkan perkembangan kesadaran mengenai persamaan hak antara pria dan wanita dan hal ini merupakan fenomena global di mana wanita memiliki hak untuk sukses seperti pria," katanya.

Bupati Bantul, DIY, Sri Suryawidati mengatakan, bagi sebagian kalangan perempuan masih dianggap warga kelas dua.  Perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan atau tidak berkompeten di bidang politik dan hanya unggul di wilayah domestik. Padahal, perempuan juga memiliki peran sebagaimana laki-laki di bidang pemerintahan.Untuk itu, kesetaraan gender perlu diupayakan kepada berbagai kalangan agar ruang kesempatan bagi perempuan semakin luas.

Menurut dia, kesetaraan gender perlu diupayakan oleh berbagai pihak mulai dari kaum perempuan itu sendiri yang harus diberikan pemahaman mengenai kesetaran gender, bahwa perempuan memiliki posisi dan hak yang sama di berbagai bidang seperti laki-laki. Selain itu, kaum laki-laki juga perlu diberikan pemahaman agar melakukan upaya untuk mendukung kesetaraan gender.

"Para pembuat atau pengambil kebijakan mulai dari pemerintahan hingga kalangan partai politik agar menempatkan ruang bagi perempuan sehingga memudahkan upaya untuk kesetaraan gender di pemerintahan," katanya. Peran perempuan harus dimaksimalkan agar mempengaruhi tata kelola daerah yang berorientasi pada pembangunan kesetaraan gender.  "Oleh karena itu, perempuan harus memiliki rasa percaya diri yang kuat terkait kesetaraan gender. Jika perempuan semakin berkualitas akan semakin memperkuat tata kelola daerah," katanya.

9
Politik, ekonomi, Sosial dan budaya Umum / Jejak Laksamana Cheng Ho
« on: 17 October 2010, 10:22:24 PM »
Jejak Laksamana Cheng Ho

kompas.com. Cheng Ho menjadi penanda kontak budaya antara Nusantara dan China melalui ekspedisi maritim abad ke-15. Rombongannya melaksanakan misi diplomasi, negosiasi budaya, hingga penyebaran agama. Pembuktian antitesis terhadap argumen Samuel P Huntington tentang benturan peradaban yang menjadi perbincangan akademis bertahun-tahun.

Selain tercatat dalam dokumen sejarah, jejak Cheng Ho (Zheng He) masih dapat dilacak lewat peninggalan arkeologis di beberapa kota di pesisir Jawa ataupun Pasai (Aceh) dan Kukang (Palembang). Nama Cheng Ho, yang terdengar gagah dan karismatik, tumbuh lewat sejarah lisan sebagai penduduk di Cirebon, Semarang, Lasem, Tuban, Gresik, dan Surabaya.

Buku karya Tan Ta Sen ini mulanya disertasi di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia. Sebelumnya, ia menulis Cheng Ho and Malacca (2005) dan beberapa naskah terkait ekspedisi Cheng Ho. Tan Ta Sen kini menjabat sebagai Presiden International Zheng He Society dan Direktur Cheng Ho Cultural Museum, Malaka.

Pada buku ini, Tan Ta Sen menghadirkan pendapat bahwa ekspedisi Cheng Ho didasari misi kontak kebudayaan dengan jalur diplomasi. Ia menampik argumen Geoff Wade (2005), Bokwahan (1975), dan Pan Hui Li (1979) bahwa pelayaran Cheng Ho dianggap sebagai purwakolonialisme maritim Dinasti Ming. Data maupun riset yang disajikan lewat buku ini juga ingin menghadirkan antitesis terhadap argumen Samuel P Huntington tentang benturan peradaban (the clash of civilization) yang menjadi perbincangan dunia akademis selama bertahun-tahun.

Misi

Siapakah sebenarnya Laksamana Cheng Ho? Bagaimana hingga ia disebut dengan khusyuk oleh mayoritas warga Tionghoa- Jawa di wilayah pesisir? Dalam Riset Tan Ta Sen, yang didasarkan sejarah resmi Dinasti Ming (Mingshi), Cheng Ho lahir pada 1371 di distrik Kunyang, Provinsi Yunnan, wilayah Tiongkok yang sejak lama dihuni bangsa China muslim. Cheng Ho merupakan putra dari Ma Hazhi (Haji Ma) yang beragama Islam.

Setelah ayahnya terbunuh pada pertempuran di Yunnan, Cheng Ho kemudian dibawa ke Beijing untuk mengabdi kepada Raja Zu. Ia berjasa dalam bidang militer dan pernah menyelamatkan nyawa Raja Zu ketika melawan Kaisar Jiwen. Atas jasanya itu, ia mendapat gelar Zheng serta diangkat menjadi kasim istana. Masa inilah yang menjadi penanda karier dan pengabdian Cheng Ho. Atas dukungan Dinasti Ming, pada 1405 ia memulai lawatan budaya ke pelbagai negeri untuk menuntaskan misi diplomatik.

Dalam amatan Tan Ta Sen, ada lima tujuan pokok misi Cheng Ho. Pertama, pelayaran-pelayaran bermotif politik. Kedua, diplomasi. Misi ini sejalan dengan menurunnya kedatangan misi kehormatan kepada Dinasti Ming dan keinginan kuat untuk memainkan peran sebagai pelindung wilayah dan perdamaian. Ketiga, memajukan perdagangan luar negeri. Lawatan ini berdampak positif pada misi kebudayaan dan perdagangan China ke negeri lain. Keempat, kampanye budaya China ke negeri-negeri Afrika-Asia. Cheng Ho memperkenalkan adat istiadat, kalender, almanak, dan gaya hidup orang China ke daerah-daerah yang dikunjungi. Kelima, mempelajari dunia maritim terdepan yang belum terpetakan. Kapal-kapal Cheng Ho dilengkapi dengan alat navigasi yang berfungsi memetakan kondisi geografis dan astronomis. Keenam, kunjungan armada Cheng Ho ke Hormuz bertujuan membentuk persekutuan militer dengan Timur—orang kuat Muslim Turki—di Asia Tengah guna mengalahkan pasukan Mongol (hlm 223-227).

Kontak budaya

Selain menggambarkan jejak diplomasi Cheng Ho melalui misi-misi kebudayaan dan perdamaian dengan negara-negara yang dikunjungi, Tan Ta Sen juga menguatkan pendapat tentang pengaruh China atas penyebaran Islam di Nusantara. Argumentasi ini melengkapi tesis SQ Fatimi (1963) dan Slamet Muljana (1968) ataupun arus China-Islam-Jawa dalam riset Sumanto al-Qurtuby (2003). Tesis tentang arus China dalam penyebaran Islam di Nusantara ini melengkapi pendapat lain bahwa Islam di Nusantara disebarkan oleh tokoh agama ataupun pedagang dari Timur Tengah dan Gujarat (India).

Slamet Muljana, bahkan, meneguhkan argumen bahwa sebagian dari Walisongo yang merupakan tokoh penyebar agama Islam di Jawa merupakan keturunan China muslim. Kerajaan Demak juga tak bisa dilepaskan dari peran tokoh China yang telah membentuk simpul-simpul kebudayaan. Malah, Raden Patah, penguasa pertama kerajaan Demak, merupakan keturunan China bergelar pangeran ”Jin Bun”. Argumentasi ini diteruskan oleh Tan Ta Sen dengan data arkeologis, dokumentatif, dan arsip historis tentang warisan Cheng Ho yang mewarnai penyebaran agama di Nusantara.

Jejak diplomasi yang dipraktikkan Cheng Ho ketika mengunjungi wilayah Nusantara berdampak pada interaksi antaretnis di pesisir Jawa. Pasca-pelayaran Cheng Ho, etnis Jawa dan China menjalin hubungan harmonis dalam dimensi budaya, perdagangan, hingga religi. Jika diamati, banyak sekali akulturasi budaya Jawa-China pada makanan, busana, arsitektur, hingga bahasa. Hubungan harmonis ini pecah oleh politik kolonial Belanda yang membikin retak antaretnis Jawa-China. Puncaknya, diawali pada tahun 1740 dengan pembantaian ribuan warga China di Batavia. Setelah itu, berangsur-angsur hubungan antaretnis kembali retak. Pada awal abad ke-20, juga terjadi kerusuhan di Solo, Semarang, Kudus, dan kota lain yang disulut provokasi yang menjadikan hubungan Jawa-China semakin merenggang. Pada tahun 1998, tragedi ini terulang kembali dengan korban dan kerugian yang tak terkira.

Nilai-nilai diplomasi Cheng Ho yang penting sebagai pijakan untuk mencipta kembali hubungan kultural antaretnis. Ekspedisinya mewariskan nilai interaksi antaretnis, akulturasi budaya, dan komunikasi ideologis tanpa melalui jalan kekerasan. Kontak budaya inilah yang pada saat ini perlu dikaji untuk dikembangkan ulang sebagai model interaksi antaretnis yang efektif dan harmonis.

Sayang, sumber lokal yang disaring dalam buku ini terlalu terbatas untuk menggambarkan Cheng Ho di pesisir Jawa maupun Sumatera. Jika Singapura telah berhasil menghidupkan sosok Cheng Ho sebagai simbol budaya dan magnet pariwisata, lalu bagaimana memperlakukan kasim Dinasti Ming ini sebagai tonggak kontak budaya Nusantara?


10
BANGGA MAKAN SINGKONG: SEBUAH LOCAL WISDOM TTG KETAHANAN PANGAN

By Ninuk M. Pambudi



Kompas.com. Suasana di mulut Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, seperti kampung biasa. Beberapa anak remaja berkumpul di saung di mulut kampung. Ada yang membawa motor, ada yang asyik dengan telepon selulernya.

Enci (17) yang baru lulus SMA tanpa banyak tanya menunjukkan jalan ke rumah ketua adat, Emen, tak jauh dari mulut kampung.

Jalan di dalam kampung lebarnya 1-2 meter, terbuat dari semen. Rumah-rumah berdinding batu berdiri bersisian. Kali kecil mengalirkan air jernih di tengah kampung yang teduh oleh pohon besar.

Di luar yang tampak permukaan, Cireundeu memiliki keistimewaan. Separuh warga masih teguh menjaga wejangan nenek moyang mereka sejak 1924 untuk tidak makan nasi beras.

Sebagai ganti, mereka mengonsumsi rasi sebagai sumber karbohidrat. Rasi atau nasi singkong dibuat dari ampas singkong yang dijadikan tepung. Untuk menjadi rasi, tepung itu diberi air, lalu diaduk dengan tangan hingga berbulir-bulir mirip nasi beras, kemudian dikukus.

Bila harus bepergian keluar kampung, mereka akan membawa rasi yang bisa tahan dua hari. Bila pergi lebih lama, mereka membawa tepung rasi atau memakan pangan lain kecuali beras. ”Banyak umbi-umbian lain. Ada ubi, singkong, kentang,” kata Emen, ketua adat yang mantan kepala sekolah dasar.

Kemandirian

Menurut Emen, awal mula warga menolak beras adalah nasionalisme. Saat itu para tetua adat mencari hal paling hakiki dari kemandirian di tengah penjajahan Belanda.

Saat itu, tambah Asep, untuk makan nasi beras berarti bekerja sama dengan penjajah yang ujungnya akan meminta imbalan berupa informasi. Menolak bekerja sama, akhirnya tetua adat mengajak warga memanfaatkan yang ada di sekitar mereka dan tidak mengonsumsi beras.

”Lagi pula, sekeliling kampung ini gunung, tanahnya banyak batu. Padi sawah tidak mungkin,” tambah Emen.

Hampir seratus tahun kemudian, Asep merasa keputusan nenek moyang mereka benar. Mereka tak bergantung pada beras dan tidak pernah merasa malu tak makan beras.

”Sekarang di mana-mana banyak orang miskin, raskin. Indonesia negara agraris, kok tidak bisa makan. Beras sampai impor,” kata Emen.

Mereka memegang wejangan ”tak ada sawah asal ada padi, tak ada padi asal ada beras, tak ada beras asal menanak nasi, tak menanak nasi asal makan, tidak bisa makan asal kuat”. Artinya, tidak makan nasi, beras pun tak apa karena sumber kekuatan bukan hanya beras.

Relevan

Sebagai komunitas yang menyebut diri orang Sunda yang tetap memelihara keaslian budaya dan penghayat kepercayaan, warga juga mengamalkan hidup selaras dengan lingkungan.

Hutan warga seluas 500 hektar dibagi tiga areal: luweng larangan (hutan lindung) yang sama sekali tak boleh disentuh, luweng tutupan untuk hutan produksi, dan luweng baladahan untuk budidaya singkong dan palawija. Areal yang ditinggali hanya 6 hektar.

Sejak 2002, Asep, sarjana teknik elektro dari Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi, yang juga ketua kelompok tani di sana, mengajak warga menanami bukit di sekitar kampung yang ditumbuhi alang- alang dengan pohon tahunan.

Di kampung yang terdiri dari satu RW dan 5 RT itu, separuh warganya, kira-kira 70 keluarga yang terdiri dari 200-an orang, menurut Asep, memegang teguh ajaran nenek moyang mereka. Yang lain, juga warga pendatang, memakan beras atau mencampur beras dengan rasi.

Warna beras rasi kecoklatan, di mulut terasa kenyal, dan rasa singkongnya tak kentara. ”Mengukus rasi itu pagi-pagi dan bisa tahan sampai malam,” tutur Ny Cicih, istri Emen, sambil menawari rasi.

Warga menanam singkong racun karena patinya banyak. Asam sianida dihilangkan dengan merendam semalam pati parutan singkong, membuang airnya, kemudian menjemur hingga kering. Ampasnya dijemur, digiling menjadi tepung, lalu diolah jadi rasi.

Menurut Emen, warga tidak pernah kekurangan pangan sebab singkong dipanen bergan- tian. Tapioka dijual Rp 5.000 per kilogram dan menjadi penghasilan warga selain ternak kambing.

Tidak ada yang terbuang. Daunnya dijadikan sayur atau jadi pakan kambing. Kotoran kambing digunakan untuk memupuk singkong dan palawija.

Mulai tahun lalu, kelebihan tepung rasi mulai dijual seharga Rp 3.000 per kg. Beberapa bulan lalu, dengan binaan Pemerintah Kota Cimahi, tepung rasi diolah menjadi bermacam kue kering yang rasanya tak jauh beda dari kue berbahan tepung terigu.

Kampung ini oleh Badan Ketahanan Pangan (BPK) Kementerian Pertanian (Kemtan) dijadikan contoh komunitas mandiri pangan. ”Kami mendorong komunitas seperti ini yang mandiri pangan,” kata Kepala BPK Kemtan Achmad Suryana.

Sejak 2006, Kemtan sudah membina 1.926 desa dengan tujuan menurunkan jumlah orang miskin. Warga dibantu memanfaatkan sumber daya di sekelilingnya agar mandiri pangan.

Kemandirian pangan seperti yang ditunjukkan warga Cireundeu semakin relevan saat ini karena perubahan iklim memengaruhi produksi pangan, seperti padi yang jadi andalan konsumsi masyarakat. Lahan pertanian produktif juga terus menyusut, penduduk bertambah, dan pasar dalam negeri semakin terkait dengan pasar global sehingga mudah dipengaruhi gejolak harga pangan internasional.

Di tengah perhatian pemkot, pemprov, hingga pemerintah pusat, Asep mengharapkan kampungnya dapat menjadi pusat penelitian dan pelatihan pemanfaatan singkong.

Dia berharap, lahan bekas tempat pembuangan sampah Leuwigajah yang bertetangga dengan kampung itu ditanami berjenis singkong. Penelitian mulai dari budidaya hingga pemanfaatan untuk pangan, energi, dan industri.

”Yang penting ada pengakuan pada kearifan Cireundeu dalam kemandirian pangan. Jangan sampai nanti negara lain mengaku sebagai pemilik kearifan ini,” kata Asep. ”Jangan hanya seremonial lagi.”

11
Lingkungan / Re: BEASISWA KE PERANCIS
« on: 11 October 2010, 11:55:18 PM »
At Rooney.......S1 kok syaratnya

At NPNG......haha......emang sih susah banget...yach coba test aja sekali lagi. Siapa tahu nutup skor 550......Take it as challenge to increase your score......hehe...sok British...padahal TOEFL saya cuma 350.... :(

12
Lingkungan / Re: BEASISWA KE PERANCIS
« on: 10 October 2010, 05:07:32 PM »
Semoga ada anggota DC yang nantinya diterima. Peluangnya kayaknya bagus karena dapat biaya sekolah, biaya hidup, ticket pulang, dan juga asuransi kesehatan.


Ayo siapa-siapa yang TOEFL nya 550 dan IELTS nya dengan skor 6 silakan daftar.....


Semoga suksesssssssssssssssssssss!!!!!!!!!!!!!!!!!!!




13
Orang Jawa dan pertunjukan BUTO CAKIL di Suriname


Oleh: Frans Sartono

Kompas.com. Buto Cakil, raksasa dalam pewayangan itu, pecicilan di Suriname. Itulah diplomasi budaya dari Indonesia dalam Indofair, 24 September- 2 Oktober di Suriname, dalam rangka peringatan 120 tahun kedatangan pertama imigran Jawa ke negara di Amerika Selatan itu. 

Warga Suriname riuh, bertepuk kagum pada gerak tari Cakil yang lincah. Kontras dengan gerak ksatria yang begitu lembut melawan sang Cakil. Itulah tari Bambangan Cakil yang merupakan salah satu suguhan dalam acara Malam Budaya Indonesia dalam Indofair 2010 di Paramaribo, ibu kota Suriname.

Pada acara yang didukung KBRI di Suriname itu tampil pula penari Didik Nini Thowok dengan tari Dwimuko yang membuat penonton terpingkal-pingkal. Ada pula Yan Felia, penyanyi asal Solo yang rupanya cukup populer di Suriname. Dia membawakan lagu berbahasa Jawa ”Sewu Kutho” yang juga sangat dikenal luas warga Suriname. Tim kesenian yang dibawa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia itu menjadi hiburan bagi warga Suriname.

Suasana malam itu mengingatkan pada pasar malam di Indonesia. Warga Suriname hadir untuk menikmati tontonan kesenian. Mereka belanja di gerai-gerai pameran yang menjajakan batik, kerajinan dari Indonesia, seperti belangkon dan wayang kulit, sampai cobek batu untuk mengulek sambal.

Tampak hadir sejumlah petinggi Suriname, seperti Menteri Dalam Negeri Soewarto Moestadja, Menteri Tenaga Kerja Ginmardo Kromosoeto, serta Menteri Peternakan dan Perikanan Hendrik Setrowidjojo. Ada pula Kepala Kepolisian Suriname H Setrosentono.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia Wardiyatmo, yang juga ketua delegasi misi kebudayaan Indonesia, membuka Indofair dengan menyapa hadirin dalam bahasa Jawa. ”Sugeng wengi... selamat malam.”

Warga Suriname merasa mendapatkan atmosfer Jawa dari acara Indofair. Generasi tua usia sekitar 50 tahun ke atas datang dengan baju batik. Sementara kaum mudanya tampil layaknya anak muda Amerika Latin-Karibia, yaitu dengan celana ketat serta pakaian seperti tank top, semacam kemben ketat, dan jenis pakaian yang serba terbuka bagian belakang atau depan. Mungkin karena udara Suriname yang sangat panas.

Acara digelar di Sana Budaya, pendapa berarsitektur joglo milik Vereniging Herdenking Javaanse Immigratie (VHJI). Ini sebuah perhimpunan untuk mengenang imigrasi Jawa di Suriname. Sana Budaya memang tempat bertemunya warga keturunan Jawa yang merupakan 15 persen dari sekitar 470.000 orang jumlah penduduk Suriname.

Di Sana Budaya terdapat monumen peringatan 100 tahun kedatangan imigran Jawa ke Suriname berupa tugu berbentuk gunungan. ”Setiap tanggal 8 Agustus kami membuat pasar malam untuk memperingati kedatangan pertama imigran Jawa di Suriname. Kami meletakkan bunga di gunungan,” kata Kim Sontosoemarto (50), Ketua VHJI.

Drama manusia

Di balik aksi Cakil dan ritual pasar malam itu terdapat drama kehidupan manusia dari nenek moyang keturunan Jawa. Mereka datang ke

negeri asing yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

”Mereka adalah petani tak berpendidikan. Mereka mengira akan dibawa ke tanah seberang, Sumatera. Tetapi, waktu tiba di Suriname, mereka keget dan bingung melihat orang berkulit hitam,” tutur Soewarto Moestadja, menteri keturunan Jawa itu, menceritakan pengalaman kakek-neneknya yang berasal dari Kalirancang, Alian, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Imigrasi Jawa dimulai tahun 1890 .

Buku Historische Database Van Suriname yang disusun Maurits Hassankhan dan Sandew Hira mencatat, dari 9 Agustus 1890 sampai 13 Desember 1939, sebanyak 32.965 imigran asal Jawa dikapalkan ke Suriname.

Selama kurun 49 tahun, terjadi 54 pengapalan pekerja asal Jawa dari pelabuhan di Batavia dan Semarang. Rombongan pertama diangkut pada 9 Agustus 1890 dengan

Prins Alexander dan Prins Willem II. Kapal terakhir pembawa tenaga kontrak adalah kapal Kota Gede pada 13 Desember 1939.

Mereka diikat kontrak lima tahunan sebagai buruh perkebunan dan pekerja pabrik. Sampai tahun 1954, sebanyak 8.684 atau 26 persen dari imigran itu pulang kampung.

Zaman baru

Zaman telah berganti. Nasib telah berubah. Generasi demi generasi telah lahir sejak imigran pertama datang. Pasangan Soegijo Nojoredjo dan Semen Kartosemito yang datang ke Suriname pada tahun 1929, misalnya, kini telah beranak pinak sampai generasi kelima yang totalnya berjumlah 108 anggota keluarga. Bersama kelompok etnis keturunan Afro- Suriname, Hindustani, keturunan Jawa di Suriname telah berintegrasi sebagai satu bangsa bernama Suriname.

Ikatan sejarah itu menjadi salah satu landasan hubungan Indonesia-Suriname. Delegasi dari Indonesia datang ke Suriname sebagai bangsa multietnis.

Pada kunjungan itu dijalin kerja sama pertukaran program kebudayaan tahun 2011-2013 antara Kembudpar RI dan Kementerian Pendidikan dan Pembangunan Masyarakat Suriname.

Disepakati nota kesepahaman tentang kerja sama di bidang kebudayaan, sumber daya, serta riset dan pengembangan yang ditandatangani oleh Sekjen Kembudpar Wardiyatmo dan Pemerintah Suriname yang diwakili Direktur Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Pembangunan Masyarakat Suriname.

Melihat kekaguman orang Suriname dengan suguhan kesenian dari Indonesia, Wardiyatmo memberi catatan. ”Kita jangan sampai meremehkan kebudayaan kita sendiri.”

Jangan pernah pula meremehkan Cakil yang dihargai di Suriname. ”Ho-ha...!”


Nama-nama menterinya "Jawa Banget" loh ........ :o :o
 _/\_

14
ADA TAMBAHAN ARTIKEL TTG RMS, BELANDA  DAN INDONESIA.

Judulnya bikin geli....LONDO EDAN ORA KATO'AN (Belanda Gila Gak pakai Celana).

Oleh: Budiarto Shambazy

Mustahil pengadilan Den Haag menangkap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena itu bertentangan dengan hukum internasional yang menjamin kekebalan (ratione materiae) kepala negara/pemerintahan dan menteri. Kekebalan berlaku untuk menghormati kedaulatan negara/pemerintahan.

Pengadilan Inggris gagal menangkap Presiden Zimbabwe Robert Mugabe saat berkunjung ke London. Kasus yang sama terjadi ketika Presiden Kuba Fidel Castro melawat ke Spanyol, Presiden China Jiang Zemin bertamu ke Amerika Serikat, atau Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Donald Rumsfeld ke Perancis.

Jika Mugabe, Castro, Jiang, atau Rumsfeld tak menjabat lagi, baru mereka bisa ditangkap di negara penuntut atau melalui Mahkamah Internasional (ICJ). Itu pun kalau terbukti melakukan kejahatan (genosida, perang, dan terhadap kemanusiaan) sebelum atau setelah jadi presiden/menlu.

Jakarta sempat meminta jaminan tertulis SBY tak akan diseret ke pengadilan begitu tiba. Namun, Den Haag menolak karena undangan dan jaminan Ratu Beatrix untuk SBY sudah lebih dari cukup.

Baru pertama kalinya terjadi dalam sejarah kita Kepala Negara membatalkan kunjungan saat pesawat sudah siap lepas landas. Dalam dunia internasional, pembatalan mendadak ini merupakan insiden diplomatik unik dan langka serta membuat malu citra kedua negara/bangsa.

Ia membuat malu bukan cuma karena rencana telanjur disiapkan sampai ke detail-detailnya dengan biaya tak sedikit, melainkan juga menurunkan wibawa kedua pemimpin/negara/bangsa di arena internasional. Meminjam istilah populer, ”Apa kata dunia”?

Pembatalan mendadak diputuskan jika terjadi force majeure seperti bencana alam. Pembatalan sebaiknya diputuskan jauh hari, seperti rencana lawatan SBY ke Brussels (Belgia) dan Moskwa (Rusia) yang dijadwalkan berlangsung bersamaan dengan kunjungan ke Den Haag ini.

Apalagi selalu ada ancaman terjadinya demonstrasi anti-Indonesia di negara mana pun tiap kali Kepala Negara melawat. Kita pun melancarkan demonstrasi menghebohkan tatkala Presiden AS George W Bush berkunjung ke Istana Bogor.

Mungkin Pak Harto ”bosan” menghadapi demonstrasi di mana-mana. Insiden terburuk dialami rombongan Pak Harto saat bus ”digoyang-goyang” sejumlah demonstran di Jerman, membuat Pak Harto menangkapi aktivis di dalam negeri yang dianggap terlibat.

Kemarin, sekitar 600 aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) unjuk rasa anti-Indonesia di Den Haag. Aparat bertindak tegas menangkapi 12 demonstran yang terlibat kerusuhan kecil akibat terjadinya saling provokasi.

Pembatalan kunjungan itu membuat RMS mendapat momentum kembali diberitakan media internasional. Setelah menyatakan kemerdekaan 23 April 1950, mereka hidup di alam mimpi.

Mimpi merdeka diidamkan generasi tua yang tiap tahun menaikkan bendera RMS. Generasi muda RMS, yang lahir dan dibesarkan di Belanda dan dijuluki ”Kentang Perancis” karena kebarat-baratan, tak tertarik lagi dengan ide kemerdekaan.

Sebagian lebih suka menjalin hubungan dengan Tanah Air melalui berbagai cara. Salah satunya yang sedang diupayakan adalah menawarkan program naturalisasi agar pemain-pemain sepak bola berdarah Maluku memperkuat tim nasional kita.

Mereka punya ”pemerintahan pelarian” dengan total populasi sekitar 50.000 saja. Mereka termakan gombal Belanda yang berjanji mendirikan negara Maluku Selatan sebagai balas jasa atas dukungan serdadu-serdadu Ambon yang berpihak kepada Belanda setelah Proklamasi.

Belanda ingkar janji karena Bung Karno menumpas RMS, salah satu pemberontakan paling awal tak lama setelah kemerdekaan kita. Rasa kecewa RMS terhadap Belanda setiap tahun menggumpal dan kadang dilampiaskan mencapai tingkat ekstrem dalam bentuk teror.

Mereka pernah menduduki kedutaan besar kita di Den Haag sekaligus menyandera beberapa staf. Tahun 1975 dan 1977 mereka membajak kereta api dan menyandera penumpang—termasuk perempuan dan anak-anak—menimbulkan antipati masyarakat Belanda.

Sejak itu RMS meninggalkan metode kekerasan dan kepemimpinan Presiden RMS John Wattilete memilih cara-cara non-kekerasan, termasuk lobi dan dialog. Bahkan, ia memandang Indonesia tak lagi musuh abadi dan tak keberatan dengan gagasan otonomi Maluku Selatan.

Suka atau tidak, pembatalan kunjungan menaikkan kembali RMS ke panggung pertunjukan. Sebaiknya lawatan baru dijadwalkan kembali secepatnya setelah pemerintahan baru hasil pemilu Juni lalu terbentuk dan dilantik Ratu Beatrix.

Banyak yang menduga, pembatalan diputuskan karena SBY kurang mendapat masukan akurat tentang kondisi Belanda. Ada spekulasi menyebut tentang upaya membesar-besarkan ancaman RMS membahayakan keamanan fisik rombongan SBY.

Ada spekulasi tentang kekhawatiran bergabungnya Geert Wilders ke kabinet baru pemerintahan yang akan dipimpin partai liberal konservatif Volkspartij voor Vrijheid en Democratie (VVD) pimpinan Mark Rutte. Wilders politisi anti-Islam.

Belanda negeri kecil yang letaknya jauh dan kurang vital untuk kepentingan kita, negara menengah di Asia. Kita hanya sesekali melihat atau mendengar tentang ulah mereka.

Terakhir kita saksikan tim sepak bolanya main kasar di final Piala Dunia 2010, sebelum itu mendengar ulah nyentrik Wilders. Seperti kata orang tua kita, londo édan ora kato’an.

15
Lingkungan / BEASISWA KE PERANCIS
« on: 08 October 2010, 10:12:28 PM »
BEASISWA KE PERANCIS

Kedutaan Besar Prancis di Indonesia menawarkan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia yang ingin meraih ijazah Master dan Doktor dari salah satu lembaga pendidikan tinggi Prancis.


Informasi mengenai persyaratan program beasiswa Pemerintah Prancis untuk periode tahun 2011 dapat diperoleh dengan mengunduh dokumen “scholarship program to study in France”.


Para peminat dapat mengunduh formulir beasiswa untuk program-program berikut ini:

- “Formulir beasiswa tingkat Master”

- “Formulir beasiswa tingkat Doktor”


Untuk keterangan lebih lanjut, silakan kunjungi http://www.ambafrance-id.org/spip.php?article504

SELAMAT MENCOBA TEMAN-TEMAN.
  _/\_

Pages: [1] 2 3 4 5