BAB 2
EMPAT KEBENARAN MULIA
Berikut ini adalah penjelasan singkat atas Khotbah Pertama
Kebenaran Mulia Pertama tentang Penderitaan. Kata Dukkha, secara etimologi merujuk pada apa yang tidak stabil atau tidak berubah, dapat diinterpretasikan dalam dua kategori.
Pertama, istilah ini menunjuk pada segala sesuatu, yang setelah terlahir, mengalami perubahan, menjadi usang dan akhirnya lenyap. Secara sederhana, ini merujuk pada kebenaran atas apapun yang dilahirkan pasti mengalami kematian. Ini sungguh adalah Dukkha (tidak peduli apapun terjemahannya dalam Bahasa Indonesia) karena tidak dapat selalu stabil setiap saat. Jika ia mampu terus-menerus ada tanpa mengalami perubahan maka ia tidak akan usang dan lenyap. Ini adalah sifat dari Dukkha (sebutlah sebagai sifat dari penderitaan, kesakitan, atau ketidak-memuaskan jika anda menginginkannya), yang mencakup segala sesuatu di dunia, termasuk dunia itu sendiri. Tidak ada apapun yang, setelah terlahir, tidak akan mengalami pelenyapan atau kematian, perbedaannya hanya pada berapa cepat atau lambat proses itu terjadi.
Dalam Sutta atau Khotbah, konsep Dukkha lebih spesifik. Menunjuk secara langsung ke dalam, menunjuk pada Dukkha yang mengendalikan tubuh, menguraikannya sebagai kelahiran, usia tua dan kematian. Manifestasi demikian harus dijelaskan, misalnya, penderitaan dan kesakitan yang dialami pada saat melahirkan (oleh ibu dan bayi). Ini lebih kabur daripada jelas. Riwayatnya, melihat hanya dengan manfaat dari masa lalu. Bahkan apa yang disebut “menjadai tua” juga memiliki beberapa aspek positif dan menyenangkan – dari anak-anak hingga dewasa, yang secara halus disebut ‘tumbuh menjadi muda’. Perubahan demikian, jelas sebagaimana adanya dalam berbagai cara, diterima sebagai aspek perubahan yang estetis dan indah, bukannya dianggap sebagai suatu aspek dukkha. Hanya ketika perubahan telah mulai menurun maka aspek yang nyata dan negative dari Dukkha menjadi lebih nyata. Dukkha kematian, pada kenyataannya, pada tahap tertentu, adalah menyesatkan. Karena kebenaranya adalah bahwa Dukkha apapun yang ada (yaitu, kesakitan, betapapun menyakitkan) muncul sesaat sebelum kematian. Pada saat-saat kritis tidak dapat diketahui bagaimana Dukkha terjadi. Rasa takut akan kematian, pada kenyataannya, adalah ketakutan sebelum kematian. Selama masih ada ketakutan, maka selama itu tidak mungkin ada kematian. Tetapi pada saat kematian, tidak ada ketakutan demikian, yaitu, tidak ada perasaan takut, tidak ada perasaan bahwa itu adalah Dukkha. Semua ini menunjukkan bagaimana masih ada makna tersembunyi yang harus diungkapkan demi suatu pemahaman yang lebih langsung dan lebih jernih dari apa itu Dukkha yang sesungguhnya dimaksudkan.
Oleh karena itu, mungkin saja, bahwa makna sebenarnya yang disiratkan oleh Dukkha pada dasarnya adalah makna literal, dengan sikap batin atau reaksi yang ditambahkan atau berhubungan dengannya. Untuk mengulangi, makna literal atau etimologis menunjukkan kondisi alami dan sesuai sifatnya sebagai kondisi yang terus-menerus berubah, tidak mampu tetap stabil atau kokoh. Ini, seperti disebutkan sebelumnya, mencakup dunia itu sendiri dan segala sesuatu di dalamnya. Sekarang ini, seperti biasanya, termasuk apa yang merupakan tubuh kita, yang, setelah terlahir, menjalani proses tumbuh menjadi muda, kemudian tumbuh menjadi tua, menjadi usang dan rusak yaitu kematian. Ini adalah makna dasar dari kata Dukkha.
Sekarang yang ke dua, aspek pendamping dari kata ini. Ini berasal dari reaksi atau sikap seseorang terhadap aspek alami dan mendasar yang dijelaskan di atas. Reaksi ini berdasarkan pada Taõhà atau keinginan (atau kegemaran, sebutlah apa yang anda kehendaki), yang darinya muncul aspek kembar yaitu, Upàdàna atau keterikatan atau kemelekatan. Adalah dua ini yaitu keinginan dan kemelekatan yang secara kolektif yang pada gilirannya memunculkan serangkaian Dukkha batin seperti kesedihan, ratapan, dukacita dan kegelisahan. Tanpa si jahat kembar ini, seperti halnya pada Sang Buddha dan para siswa Arahant, maka tidak ada Dukkha yang ke dua, kategori pendamping untuk mempengaruhi mereka dalam cara apapun atau dalam tingkat apapun. Mereka telah menyadari oleh diri sendiri bagaimana segala sesuatu yang berkondisi itu, termasuk jasmani mereka, dikuasai oleh hukum kejadian atau alam. Kejadian alami demikian, setelah dikondisikan untuk terlahir atau menjelma, secara intrinsik – dan oleh karena itu tidak terhindarkan – pasti mengalami perubahan, kemunduran, keusangan, dan lenyap: secara kiasan, menuju ke ketiadaan. Tanpa Kilesa (kekotoran secara umum) atau Taõhà (khususnya Keinginan) yang berfungsi sebagai rantai penghubung, belenggunya putus dan Dukkha dari kategori ke dua menjadi padam.
Adalah karena fakta inilah maka aspek lain dari Dukkha yang disebut Taõhà atau Keinginan disebutkan. Melaluinya muncul ‘kembaran’nya yang disebut Upàdàna atau kemelekatan, yang membawa berbagai penderitaan batin. Kebenaran ke dua ini disebut Samudaya, asal-mula penderitaan yaitu Dukkha.
Sekarang, dengan padamnya Keinginan atau Kemelekatan muncullah padamnya Dukkha. Apapun yang muncul tidak dapat mempengaruhi batin. Ini dapat dilihat ketika kita melihat sekeliling, mengamati segala sesuatu, dan kejadian-kejadian, pada saat terjadi. Dengan faktor yang mengintervensi yaitu Keinginan dan Kemelekatan (termasuk ketidak-senangan dan kejijikan seperti biasanya), kemunculan ini tentu menurunkan Dukkha jika termasuk dalam kategori ‘yang tidak menyenangkan’. Sebaliknya, tanpa si jahat itu, hanya akan ada Keseimbangan yang mengecewakan dan menjemukan di tengah-tengah segala situasi, apakah menyenangkan atau tidak menyenangkan. Dengan demikian, tidak aka nada Dukkha, khususnya yang berasal dari batin. ‘peristiwa-peristiwa’ yang terlihat, dan dianggap, sebagaimana adanya – sebagai terlahir, berlangsung, memudar dan lenyap.
Dengan Magga atau Sang Jalan yang dimaksudkan adalah proses mengembangkan batin atau menghaluskan hingga sejauh munculnya kebijaksanaan (di antara kualitas mulia lainnya) yang dengannya Keinginan dan kemelekatan yang disebutkan di atas dilenyapkan. Ini adalah makna ringkas dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, Kebenaran Mulia Ke empat. Apa yang perlu dicatat adalah bahwa pengetahuan sebagai hasil dari Kebijaksanaan itu harus memungkinkan seseorang untuk mengatasi dan menaklukkan Kekotoran seperti Keinginan dan Kemelekatan. Oleh karena itu maka jalan itu haruslah cukup praktis dan cukup kuat. Jika prasyarat ini tidak tercapai, maka ia hanya mengetahui namanya namun tidak mampu mengatasi dan mencabut kekotoran itu. Apa yang memungkinkan seseorang untuk melakukannya adalah, menurut Khotbah Pertama, tiga tahapan yang mencakup masing-masing Kebenaran Mulia, yang menghasilkan dua belas aspek berbentuk spiral dari Nana atau Pandangan Terang.
Sekarang, Tiga Tahap Pandangan Terang adalah sebagai berikut:
1. Pertama adalah Saccanana, Pandangan Terang ke dalam apa itu Empat Kebenaran Mulia.
2. Ke dua adalah Kiccanana, Pandangan Terang ke dalam apa yang harus dilakukan sehubungan dengan masing-masing dari Empat Kebenaran Mulia.
3. Ke tiga adalah Katanana, Pandangan Terang ke dalam apa yang telah dilakukan dengan sempurna sehubungan dengan masing-masing dari Empat Kebenaran Mulia.
Memahami ketiga tahapan Pandangan Terang berturut-turut dapat menjadi jelas melalui perbandingan dengan kinerja dari tugas-tugas seseorang dalam beberapa aspek kehidupannya. Pertama, ia perlu mengetahui apa yang merupakan tugas atau tanggung jawabnya. Dengan kata lain, ini adalah mengetahui sejauh mana tanggung jawab yang harus ia pikul. Ini dapat dilakukan dengan mempelajari fakta-fakta dan data yang dikumpulkan dari sebanyak mungkin sumber. Ini diperlukan bagi seseorang yang memikirkan tugas-tugas dalam pekerjaannya, keluarganya dan aspek sosil lainnya. Ini serupa dengan “Saccanana” – pada tahap duniawi, mengetahui apa yang merupakan batas-batas tugas dan kinerjanya.
Setelah mengetahui ini, ia berusaha untuk memenuhi sebatas kemampuannya apa yang dibutuhkan darinya. Ini serupa dengan Kiccanana pada tahap duniawi. Pengamatannya sendiri yang memastikan bahwa tidak ada lagi yang belum dilakukan adalah sesuai dengan Kata¤àõa yang memberikan kepuasan dan kegembiraan yang selayaknya padanya.
Contoh lain dari tahap duniawi dapat dilihat dalam kasus seorang dokter, yang pertama-tama harus mengetahi penyakit apakah yang harus ia sembuhkan, - juga penyebab dan gejala-gejalanya secara terperinci. Kemudian ia memanfaatkan apa yang telah ia pelajari dari pengalaman, mengetahui seberapa baik menanggulangi sindrom dan memberikan hasil terbaik untuk menyembuhkan penyakit. Setelah itu, melalui pengalaman professional dan praktik, ia mampu mengendalikan, dan kemudian menyembuhkan penyakit, memulihkan kesehatan pasien (yang mungkin saja dirinya sendiri). Ini telah ia capai dan, tentu saja, berhak untuk bangga akan kinerjanya. Semua ini berfungsi untuk memberikan gagasan atas ketiga ¥àõa sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia.
Sekarang kembali kepada Empat Kebenaran Mulia itu sendiri. Terbukti bahwa Sang Buddha telah dengan jelas memberikan penjelasan untuk masing-masingnya, menunjukkan apa yang secara komprehensif disiratkan oleh, pertama, Dukkha atau Penderitaan, kemudian oleh penyebab atau asal-mulanya. Dalam merujuk pada padamnya Dukkha, Beliau secara jelas menunjukkan apa yang harus dipadamkan dan sewaktu menyebutkan Jalan yang menuju padamnya, sekali lagi Beliau secara sistematis menjelaskannya pada pendengarNya. Sekarang bagi umat Buddha adalah disarankan untuk memutuskan apakah penjelasan Beliau dapat kita terima atau tidak, apakah itu Dukkha seperti lahir, tua dan mati, atau asal-mula Dukkha yaitu Keinginan, kemudian padamnya dan akhirnya Sang Jalan yang menuju ke sana. patokan tingkat penerimaan atas fenomena-fenomena adalah oleh sendiri, melalui keyakinannya, terlepas apakah disebutkan oleh Sang Buddha atau guru lainnya. Penerimaan melalui keyakinan seseorang demikian adalah, dengan kata lain, berasal dari dalam. Ini karena Empat Kebenaran, apakah Dukkha, penyebabnya, dan seterusnya, bukan merujuk pada yang di luar. Oleh karena itu, pencapaiannya, dimulai dari, atau berdasarkan pada, di mana keseluruhan tema itu berasal-mula, kalau tidak maka tidak dapat disebut Sacca¤àõa, Pandangan Terang ke dalam sifat dari masing-masing dari Empat Kebenaran. Suatu perbandingan dapat dilakukan, katakanlah, melihat empat orang yang berjalan bersama-sama. Untuk mengetahui segala sesuatu sehubungan dengan mereka seperti ciri-ciri, kebiasaan, kecenderungan dan kapasitas mereka mengumpamakan apa yang disebut Saccanana sehubungan dengan Empat Kebenaran.
Tahap ke dua disebut Kiccanana, Pandangan Terang ke dalam apa yang harus dilakukan atas Kebenaran-kebenaran itu. Dukkha yaitu segala manifestasi yang dijelaskan sebelumnya harus diketahui yaitu menentukan atau mendeteksi hingga tingkat yang selengkapnya, atau sedalam-dalamnya. Batasannya jelas, - tidak boleh melewati. Sekarang, penyebabnya, dalam bentuk atau tingkat apapun, harus secara total ditinggalkan atau dilenyapkan. Padamnya harus dicapai, sementara Sang Jalan yang menuju ke sana harus dikembangkan atau dilatih, - sekali lagi hingga tingkat yang selengkapnya, atau setinggi-tingginya. Semua ini merupakan sikap batin yang benar terhadap masing-masing dari Empat Kebenaran, dengan masing-masing sikap berfungsi di dalam apa yang menjadi pendekatan yang sesuai atau menjadi pendamping tanpa tumpang tindih dengan yang lainnya.